PROSPEK PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

BAB IV PROSPEK PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap dampak PKH di tujuh propinsi dengan melakukan kuantifikasi, dengan keluaran berupa statistik deskriptif maupun statistik inferensial, yang diharapkan mampu meningkatkan keterukuran dan objektivitas pengetahuan tentang dampak PKH di Indonesia. Namun demikian, penelitian ini juga melengkapi datanya dengan data kualitatif.

Dengan anggaran negara yang terbatas, penelitian ini membuktikan bahwa kebijakan sosial ini tetap dapat dikelola oleh negara yang ekonominya sedang berkembang seperti Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PKH sebagai bantuan tunai bersyarat merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau orang miskin, yang mengalami kerentanan hidup, dan mempengaruhi perilaku keluarganya (baca: membangun kapital manusia), serta menunjukkan upaya dinamis untuk mencegah transmisi kemiskinan dari antar generasi (walaupun masih perlu penelitian lebih lanjut dalam hal ini), sementara tetap menghormati proses pembangunan yang digerakkan oleh pasar.

Kondisionalitas atau kebersyaratan ini pada satu perspektif dipandang positif karena memberikan insentif kepada orang miskin untuk berperilaku dengan cara tertentu yang dapat memutus rantai kemiskinan, dan hendak memastikan bahwa uang yang diberikan tidak dibelanjakan untuk hal-hal yang bersifat “antisosial”, seperti alkohol dan rokok.

Penelitian ini memupuskan seterotip bahwa metode PKH dengan memberikan uang kepada keluarga miskin pasti merupakan penyia- nyiaan keuangan negara. Hal baru yang ditemukan dalam penelitian kali ini adalah temuan sebagai berikut: “Semakin rendah persepsi tentang kecukupan bantuan, (justru) semakin tinggi ketangguhan

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

(resiliensi), dan ketangguhan (resiliensi) selanjutnya berpengaruh positif terhadap status sosial ekonomi.”

Dalam psikologi sosial, gejala di atas dinamakan psychology of insufficient justification (psikologi tentang alasan/pembenaran bertindak yang tidak memadai) (Aronson, Wilson, & Akert, 2007, h. 171). Dijelaskan oleh Aronson, dkk., bahwa gejala psikologis ini merupakan upaya pengurangan disonansi/kesenjangan kognitif yang dilakukan ketika pembenaran dari luar diri (external justification) tidak “memadai” (insufficient) , yakni dengan cara menjustifikasi tingkah laku dari dalam diri (internal justification). Lebih jelasnya, mereka memberikan sebuah contoh penelitian yang dilakukan Festinger dan Carlsmith tahun 1959:

“Seorang peneliti eksperimental meminta mahasiswa untuk menghabiskan waktunya selama satu jam untuk mengerjakan serangkaian tugas yang sungguh-sungguh membosankan dan repetitif (berulang-ulang). Selanjutnya, peneliti menyampaikan pada mereka bahwa tujuan penelitian ini adalah guna menentukan apakah orang akan mengerjakan tugas lebih baik apabila orang itu diinformasikan sebelumnya bahwa tugasnya menarik. Tiap- tiap mahasiswa diberitahukan bahwa mereka telah secara acak ditempatkan dalam ‘kelompok kontrol’, yakni kelompok yang tidak diinformasikan sebelumnya mengenai kemenarikan tugas. Namun demikian, peneliti itu menjelaskan bahwa ada seorang perempuan (mahasiswi) yang baru saja tiba di ruang tunggu akan masuk dalam ‘kelompok eksperimental’, yakni kelompok yang diinformasikan sebelumnya mengenai kemenarikan tugas. Peneliti itu mengatakan bahwa ia perlu meyakinkan perempuan itu bahwa tugas yang akan dijalaninya akan menarik dan menyenangkan. Namun, menurutnya, akan lebih meyakinkan lagi apabila yang memberitahukan tentang kemenarikan tugas tersebut bukan dirinya melainkan sesama mahasiswa. Jadi, peneliti meminta mahasiswa-mahasiswa itu untuk berbohong mengenai tugas tersebut kepada mahasiswi di ruang tunggu (sebenarnya tugas itu membosankan, tetapi mahasiswa

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Implikasi dan aplikasi prinsip ini dalam dunia kerja adalah sebagai berikut (misalnya: Wikipedia, 2012):

“Karyawan akan cenderung kurang bekerja keras dan seringkali kurang menikmati pekerjaannya apabila diberikan gaji (external justification) yang tinggi. Hal ini karena karyawan kurang merasa memiliki obligasi untuk membenarkan motif kerja keras mereka secara internal (dari dalam diri) karena ganjaran eksternal (luar diri) terlalu besar. Lebih khusus lagi, teori ini dapat diterapkan pada perencanaan gaji, benefit, dan promosi. Korporasi hendaknya menyadari tentang seberapa banyak yang mereka berikan kepada karyawan mereka, khususnya kaum eksekutif, sehingga produktivitas maksimum dapat dicapai.”

Teori Psychology of Insufficient Justification ini dapat diterapkan pada temuan penelitian PKH yang disebutkan sebelumnya. Ketangguhan (resiliensi) keluarga meningkat justru saat persepsi kecukupan bantuan menurun. Ada dua hal yang penting mendapat perhatian dalam hal

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Kedua, Edi Suharto (2007) pernah mengungkapkan bahwa monitoring PKH belum banyak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh publik, khususnya yang sering muncul di media, seperti: PKH merusak kekuatan dan daya tahan (resilience) . Hasil penelitian ini menjawab pertanyaan tersebut dan memperlihatkan bahwa klaim sejumlah pihak bahwa PKH menurunkan bahkan merusak resiliensi merupakan klaim yang simplistik atau terlalu menyederhanakan. Secara empiris ditemukan adanya relasi yang lebih kompleks yang melibatkan persepsi mengenai bantuan. Namun demikian, hasil penelitian ini tidak dapat serta merta menjadi dasar untuk “tidak mencukupkan” bantuan PKH. Perlu studi lebih lanjut, mengenai tingkat optimum bantuan, serta interaksinya dengan pendampingan, yang dapat memicu atau membangkitkan resiliensi

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Terdapat sejumlah pendapat menyatakan bahwa “kondisionalitas” (“kebersyaratan”) merupakan bentuk arogansi, karena secara implisit mengandaikan bahwa orang miskin tidak mungkin bertindak rasional kecuali “dikondisikan” demikian. Implikasinya, kondisionalitas ini seolah memisahkan orang miskin dari bagian-bagian lain dari masyarakat. Kritik ini kurang tepat karena pada kenyataannya perlindungan sosial, kebijakan sosial, dan pembangunan sosial memerlukan perhatian yang sangat serius dari Pemerintah (sehingga memerlukan selektivitas berupa kondisionalitas) mengingat dunia semakin keras dilanda oleh neoliberalisme dan proposal-proposal kebijakan global yang berfokus pada pasar yang mengabaikan perhatian kepada orang miskin dan isu- isu sosial yang terkait. Sepanjang sejarah dunia, kondisionalitas selalu merupakan bagian dari mekanisme perlindungan sosial dan memainkan peran penting dalam bencana kemanusiaan, ketidakpastian yang parah, atau periode krisis ekonomi sebuah negara; walaupun PKH utamanya bukan merupakan respons terhadap krisis yang menyebabkan kemiskinan mendadak, melainkan penanganan kemiskinan struktural. Dalam hal ini, krisis dianggap sebagai salah satu peluang untuk melakukan intervensi terhadap kemiskinan struktural.

Di samping itu, terdapat perspektif publik dan privat yang menjadi dasar kondisionalitas (de Brauw & Hoddinott, 2011). Dari perspektif publik, Pemerintah mungkin mempersepsikan bahwa mereka lebih mengetahui ketimbang orang miskin itu sendiri tindakan- tindakan atau perilaku-perilaku apa saja yang akan menguntungkan orang miskin. Sebagai contoh, Pemerintah menyadari keuntungan yang dapat diperoleh dari imunisasi atau pemberian vitamin tertentu, namun orang miskin tidak menyadarinya atau tidak merasa yakin dengan keuntungan tersebut. Ketika pendekatan melalui kampanye

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Sebagai sintesis atas perdebatan perspektif di atas, pertama- tama, kaum miskin hendaknya dipandang sebagai berikut (Sumardi, 2009, h. 79), termasuk dalam intervensi PKH yang sedang berjalan maupun ke depan:

1. Kaum miskin ternyata tak kalah rasional dalam hal mengingat, menimbang, dan memutuskan perkara-perkara yang menyangkut harkat hidup dan mati mereka.

2. Kaum miskin sering kali merupakan aktor sekaligus interpretator sejarahnya sendiri. Mereka cenderung mengembangkan caranya sendiri dalam mencoba memahami segala peristiwa hidup, benda-benda dan alam sekitarnya.

3. Kaum miskin senantiasa cenderung akan menolak tawaran inovasi yang tak mungkin diintegrasikan ke dalam tata nilai serta tata kebutuhan yang ada.

4. Kestabilan mantap dalam cara hidup kaum miskin ternyata sering merupakan hasil penalaran dan mekanisme mempertahankan diri yang telah teruji demikian lama.

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

5. Meski hidupnya serba tergusur, kaum miskin tak akan pernah berhenti berjuang untuk mewujudkan eksistensi hidupnya menuju suatu kepenuhan. Dan kepenuhan ini tak dapat diartikan secara tepat, kecuali oleh mereka sendiri. Maka sikap kita selayaknya adalah: mau memahami dan menghargai cara perjuangan mereka yang khas dan menjauhkan diri dari segala kecenderungan untuk bergatal tangan, mendikte mereka dengan segala macam inovasi yang sebenarnya berasal dari luar kehidupan mereka. Segala macam upaya konsientisasi hanya dapat dibenarkan jika sebagai ajakan untuk bangkit bersama dan membangun bersama.

6. Akhirnya kaum miskin sendiri lah yang paling punya hati dan daya untuk membantu perjuangan kebangkitan sesama kaum miskin. Maka kalau kita ingin membantu mereka, yang pertama- tama harus dibangun adalah jaringan solidaritas di antara mereka sendiri untuk menggalang kekuatan mereka.

7. Dengan prioritas pelayanan pada jaringan solidaritas kaum miskin itu, kita dapat menghindari munculnya ekses berupa sikap ketergantungan mereka pada pribadi atau lembaga kita (yang sering nampak pada sarana finansial dan inovasi spektakuler). Sebaliknya, kita memberikan pendampingan dan kesempatan seleluasa mungkin demi semakin bertumbuhnya sikap mandiri dan serta sikap swadaya/swabela yang sehat dan alamiah pada mereka.

8. Kita perlu lebih hadir sebagai saksi penuh simpati atas perjuangan hidup mereka untuk semakin menjadi aktor dan interpretator dari proses dan sejarah kebangkitan hidup mereka sendiri. Kemandirian, sikap swadaya, dan swakarsa mereka, itulah tujuan pokok dari segala macam partisipasi pelayanan sosial kita.

Oleh karena itu, yang patut menjadi perhatian sebenarnya bukanlah semata-mata kondisionalitasnya, melainkan konteks di sekitar PKH, yakni mekanisme, kebijakan, atau strategi preventif lain yang eksis bersama dengan PKH. Konsep-konsep kunci seperti

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Memang, selama ini, yang populer mengenai jaminan sosial di Indonesia lebih berpusat pada sektor formal yang melibatkan pekerja, dan dengan penekanan pada asuransi sosial (social insurance), seperti jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), asuransi kecelakaan (Jasa Raharja), asuransi kesehatan (Askes). Padahal ada dua kelompok besar jaminan sosial di Indonesia, yakni asuransi sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance) (Yohandarwati, dkk., 2003). Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada umumnya, namun dalam hal ini bersifat "sosial", maka besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu pemerintah atau pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) - yang mempunyai hubungan kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa "bantuan" dalam bentuk, misalnya, block grant atau emergency fund dengan tujuan sosial. PKH dapat dipandang sebagai salah satu bentuk perluasan cakupan jaminan sosial berupa bantuan sosial kepada keluarga-keluarga miskin, baik di pedesaan maupun di perkotaan.

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Program bantuan tunai bersyarat seperti PKH untuk masyarakat miskin wajib diinisiasi dan “dimiliki” oleh Pemerintah, karena keberlangsungannya dipandang lebih terjamin dibandingkan dengan apabila diserahkan kepada penyelenggara donor di luar Pemerintah. Sehubungan dengan faktor keterbatasan negara sekaligus dalam rangka akselerasi dan peningkatan pelaksanaan obligasi negara sebagaimana diamanatkan konstitusi, dalam kerangka perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, perlu dipertimbangkan pelaksanaan PKH dengan mengintegrasikannya dalam sistem jaminan sosial nasional (SJSN) dalam arti luas.

Selama ini, PKH lebih berfokus pada "demand side", yakni menghilangkan konstrain atau batasan-batasan pada pembangunan kapital manusia, dengan memberi kesempatan kepada RTSM untuk membelanjakan uangnya tanpa harus dari kantung sendiri untuk mengikuti layanan kesehatan, sekolah, serta menghilangkan beban- beban pembiayaan opportunity costs (misalnya, akibat tidak bekerjanya anak, dan akibat waktu yang dihabiskan untuk mengakses layanan).

Namun di sisi lain, PKH perlu terus menguatkan "supply side", yakni layanan dasar perlindungan atau jaminan sosial. Subsidi dan penguatan lembaga publik yang menyandang tugas layanan dasar ini justru perlu terus menerus ditingkatkan kapasitasnya, apabila kita menginginkan tujuan jangka panjang PKH tercapai.

Dalam rangka itu, sumber pembiayaan dana bantuan bagi peserta PKH diharapkan berasal dari dana abadi yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS). Jadi yang mengelola bantuan pendanaan PKH dalam Gambar 40 (pada lampiran) seyogyanya adalah BPJS. Selanjutnya, PKH memerlukan penegakan pelaksanaan (enforcement) berupa koordinasi antara program pendidikan, kesehatan, dan program anti-kemiskinan. Dalam hal ini, salah satu kesulitan dalam pelaksanaan PKH saat ini adalah sinergi antar Kementerian (Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informasi). Oleh

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, administrasi dan manajemen bantuan. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi mengenai kesesuaian, kecukupan, ketepatan waktu, keadilan bantuan di sejumlah propinsi masih kurang dibandingkan propinsi yang lain. Padahal, persepsi mengenai bantuan turut berperan, baik sebagai variabel independen maupun variabel mediator terhadap partisipasi bidang kesehatan dan pendidikan. Oleh karena itu, administrasi dan manajemen bantuan perlu diperbaiki sehingga menimbulkan persepsi yang baik di kalangan RTSM yang pada akhirnya meningkatkan motivasi untuk berpartisipasi dalam PKH Pendidikan maupun Kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian:

1. Persepsi tentang keadilan bantuan berkorelasi prediktif positif dengan partisipasi bidang pendidikan, baik secara langsung maupun tak langsung melalui mediasi persepsi manfaat psikis dan sosial.

2. Persepsi tentang keadilan bantuan berkorelasi prediktif positif dengan partisipasi bidang kesehatan secara tak langsung melalui mediasi persepsi manfaat sosial.

Nampak bahwa persepsi tentang keadilan bantuan memainkan peran penting sebagai variabel independen. Oleh karena itu, persepsi tentang “bantuan yang “berkeadilan” perlu terus dibangun dengan memperhatikan kata kunci (Suharto, 2007, h. 10): (a) equally distributed (cakupan dan distribusinya menjangkau setiap segmen masyarakat secara merata); (b) accountably delivered (kualitasnya dapat diandalkan). Dalam hal terjadi ketidakadilan, “penguasa struktur ketidakadilan” harus menyetujui permulaan dialog dengan tujuan mengusahakan tatanan yang lebih adil (Magnis-Suseno, 1999).

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Kedua, deskripsi kerja pendamping perlu dikembangkan. Sebagai ujung tombak, pendamping membutuhkan reorientasi dan atau revitalisasi seperti pengayaan deskripsi tugas pendampingan hingga lebih mengarah pada target fungsional, bukan hanya teknis- administratif-prosedural. Target fungsional dimaksud mengarah pada perubahan perilaku keluarga peserta program PKH kepada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosialnya. Untuk itu petugas pendamping perlu dibekali dengan pengetahuan asesmen dan terapi berdasarkan pendekatan pekerjaan sosial, termasuk pengetahuan tentang PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) dan PSKS (Potensi Sosial Kesejahteraan Sosial) dalam berbagai kategori. Hal-hal tersebut menjadi penting karena berdasarkan hasil penelitian:

1. Persepsi tentang pendampingan berkorelasi prediktif positif dengan partisipasi bidang pendidikan baik secara langsung maupun secara tak langsung melalui mediasi persepsi manfaat sosial PKH.

2. Persepsi tentang pendampingan berkorelasi prediktif positif dengan partisipasi bidang kesehatan secara tak langsung dengan melalui mediasi persepsi manfaat sosial PKH.

Di samping itu, dalam hubungan dengan peran pendamping ini, introspeksi yang ditawarkan Sumardi (2009, h. 86) layak diperhatikan:

1. Secara pribadi: apakah pendamping dan kinerjanya itu sungguh mampu menggerakkan hati, menyentuh kesadaran terdalam warga yang didampingi?

2. Secara intelektual: apakah pewahyuannya memuaskan akal budi dan memperluas horison pengertian serta koheren secara intelektual?

3. Secara praktis: apakah pesan yang disampaikannya menambah nilai kepenuhan diri dan bersifat membebaskan, baik pribadi maupun bersama?

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

PKH lebih mengutamakan kelompok ibu (perempuan) dan anak sebagai basis intervensi. Di satu sisi hal ini dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan sekaligus mendukung pencapaian target Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dalam aspek jender, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan konflik internal dalam keluarga. Berdasarkan data penelitian yang terhimpun melalui FGD, tidak sedikit suami yang bahkan tidak mengetahui jumlah bantuan PKH yang diterima istrinya. Di samping itu, belajar dari evaluasi PKH yang berlangsung di Amerika Latin, Bantuan Tunai Bersyarat di negara itu dikritik karena memperkuat relasi jender yang bersifat asimetrik dan tidak ekual melalui retradisionalisasi peran dan tanggung jawab jender, bahwa ibu memiliki disposisi natural untuk menyelamatkan rumah tangga dan bahwa seolah-olah pasar kerja di luar sana tidak memiliki kapasitas atau ruang bagi ibu untuk berkarya. Molyneux (2007, h. 43) lebih tegas menyatakan:

“Women and households need sustainable routes out of poverty, ones that are at the same time more realistic and imaginative than the maternalistic options that are currently on offer.”

Hal yang menekankan pada agensi perempuan untuk mengentaskan kemiskinan (feminisation of poverty alleviation) menguatkan pandangan familialisasi perempuan (perempuan sebagai ibu dan ibu rumah tangga). Hal ini membuat perempuan yang mengelola keluarga kesulitan untuk terlibat dalam pekerjaan produktif di luar rumah. Hal ini juga membebani perempuan di rumah dengan tugas-tugas yang lebih berat. Dengan perkataan lain, kondisi retradisionalisasi ini tidak menunjang visi baru yang berbeda mengenai pembagian kerja dalam keluarga, melainkan hanya melestarikan pandangan yang lama.

Memang di satu pihak, PKH mengakui komitmen yang lebih besar yang dimiliki perempuan terhadap kesejahteraan (well-being) keluarga. Hal ini dapat memberdayakan perempuan dan menciptakan citra (image) perempuan yang positif, serta meningkatkan kepercayaan diri mereka. Penargetan pada perempuan ini memang masuk akal

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Namun demikian, sejumlah hal patut diperhatikan. Pertama, tanpa disadari telah terjadi pemindahan (displacement) pengentasan kemiskinan dari tanggung jawab ranah publik menjadi tanggung jawab ranah privat (dan lebih khusus lagi perempuan). Kedua, “pemberdayaan perempuan” dalam PKH hendaknya dilihat secara tepat. Ini sebenarnya lebih merupakan efek samping positif (positive byproduct) , bukan tujuan primer PKH. Ketiga, sebagaimana disampaikan sebelumnya, yang patut diperhatikan adalah ketegangan (tensi) yang meningkat dalam rumah tangga karena "pengistimewaan perempuan" ini. Telah terjadi "pukul rata" dalam mengandaikan bahwa relasi kekuasaan dalam semua rumah tangga adalah seimbang (ekual), padahal tidak semua demikian. Perlu dipertimbangkan potensi lahirnya kekerasan dalam rumah tangga apabila relasi antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang. Memberikan uang kepada perempuan tidak serta merta meningkatkan kendali atau kontrol perempuan atas uang tersebut. Uang bukan satu-satunya yang meningkatkan "bargaining power" perempuan. Harus diperhatikan pula konstruksi nilai-nilai budaya yang ada pada suatu masyarakat. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek "pendobrakan" nilai budaya paternalistik yang mungkin dihasilkan oleh PKH, dengan didahului oleh suatu konstruksi instrumen ukur yang menghasilkan indeks persepsi peran dan relasi jender dalam keluarga. Secara implisit PKH memposisikan laki-laki sebagai pihak dalam keluarga yang kurang atau tidak memiliki komitmen terhadap kesejahteraan, bahwa perilaku laki-laki dalam hal kesejahteraan keluarga ini problematis. Kendati demikian, belum ada intervensi PKH terhadap asumsi ini. Jika laki-laki memang demikian,

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Basis intervensi program sebaiknya melibatkan keluarga secara utuh, termasuk pihak suami. Dengan demikian tidak terkesan parsial sehingga perubahan perilaku juga terjadi pada suami sebagai kepala keluarga sebagai salah satu komponen utama keluarga.

Problem lain dari selektivitas dan penargetan (targeting) dalam PKH adalah exclusion and inclusion errors. Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari FGD, cukup banyak RTSM yang mengeluhkan mengenai sekelompok rumah tangga tertentu yang seyogianya lebih membutuhkan bantuan PKH tetapi luput dari pendataan sehingga tidak memperoleh, dan sebaliknya. Menurut laporan Farrington dan Slater (2006), bahkan perlu diwaspadai adanya politisi yang bermain dalam distribusi PKH untuk memperoleh dukungan suara, seperti yang terjadi di beberapa negara lain. Dalam hal identifikasi keluarga miskin, salah satu solusi untuk meminimalisasikan errors tersebut adalah petugas pendata sebaiknya melibatkan masyarakat setempat yang diandaikan lebih “ahli” mengenai lingkungannya sendiri sehingga sasaran program lebih tepat. Hal ini sejalan dengan penjelasan Malik (dalam Sumardi, 2009, h. 74) bahwa sejak awal kegiatan intervensi, individu dan kelompok sasaran hendaknya diposisikan sebagai subjek yang aktif, bukan sekadar sebagai objek intervensi. Kelompok masyarakat harus dimungkinkan secara terbuka untuk mengontrol situasi, memiliki wewenang, dan bekerjasama dengan semua pihak dengan dasar prinsip kemitraan.

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Evaluasi terhadap dampak PKH ini harus ditindaklanjuti dengan menghubungkannya dengan proses-proses sosial-ekonomi, kultural, dan politis yang dalam arah yang lain mengarah pada pemiskinan dan keberlangsungan kemiskinan. Perlu pula studi lebih lanjut mengenai apakah PKH menjawab permasalahan “kemacetan pembangunan” (development bottleneck) .

Dalam memandang kemiskinan, Markum (2009) menekankan bahwa penyebab kemiskinan tidak dapat semata-mata diatribusikan pada individu (bahwa individu yang miskin memang memiliki perilaku yang berbeda dengan individu yang tidak miskin), karena individu tidak dapat dipisahkan dari kondisi struktural, seperti kesempatan yang tidak sama antara orang miskin dan orang kaya dalam hal memperoleh akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kemiskinan bersifat relasional-struktural, dan memerlukan kebijakan sosial yang dapat menanggulangi kemiskinan dengan mengatasi ketidaksamaan kesempatan tersebut, memungkinkan orang miskin untuk berpartisipasi dalam lingkungan yang adil (Slater, 2011). Dalam FGD terungkap keluhan RTSM bahwa walau anak-anak dari keluarga mereka sudah bersekolah, mereka mengamati bahwa pada tetangga yang sudah lulus sekolah, bahkan ada yang mencapai kesarjanaan, pengangguran masih banyak terjadi karena di samping lapangan kerja sangat sulit, mereka menemui kenyataan bahwa untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil pun banyak yang perlu “uang pelicin”. Dengan demikian, RTSM melihat bahwa bersekolah sama saja dengan tidak bersekolah. Dalam psikologi sosial, gejala ini disebut “ketidakberdayaan yang dipelajari” (learned helplessness). Nampak bahwa mekanisme perlindungan sosial perlu melibatkan dan memastikan struktur-struktur kehidupan masyarakat yang tidak korup sampai ke tingkat pasca PKH, dan yang menyediakan kesempatan yang baik untuk berkarya/bekerja. PKH hendaknya tidak hanya mendorong perilaku yang baik (to encourage good behavior), tetapi juga menghubungkan perilaku yang baik dengan kesempatan yang baik (to connect good behavior with good opportunities) dalam kontinum sampai dengan pasca-PKH. Hal ini karena, jika hanya

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Solusi lain yang dapat ditempuh adalah bahwa bantuan aksesibilitas pendidikan yang dibatasi hingga SMP perlu diubah hingga SLTA. Lebih baik lagi jika mereka diprioritaskan masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sehingga mereka langsung memiliki ketrampilan kerja. Perubahan ini menjadikan target program untuk memutus mata rantai kemiskinan semakin relevan karena pasar kerja rata-rata menghendaki ijazah terendah dari SMA atau sederajat. Untuk mengawali perubahan ini, dapat diawali dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah yang sudah menerapkan wajib belajar (WAJAR) 12 tahun seperti Pemda DKI Jakarta, sambil menginisiasi perubahan WAJAR 9 tahun menjadi WAJAR 12 tahun dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, yang lebih penting adalah pembekalan jiwa dan kiat kewirausahaan kepada RTSM sehingga RTSM menjadi tumbuh harga dirinya (esteem) dan keyakinannya untuk melakukan sesuatu (efficacy) sehingga menjadi tahan banting dan dapat bangkit kembali tatkala menghadapi situasi yang sulit dan berat.

Sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan, penelitian ini menunjukkan bahwa PKH belum mampu meningkatkan status sosial ekonomi keluarga miskin, bahkan berkorelasi prediktif negatif, walau kontribusinya kecil. Hal ini sangat wajar karena program tidak secara khusus mengadakan intervensi di bidang status sosial ekonomi. PKH memang tidak dirancang untuk mengurangi kemiskinan dalam jangka pendek. Pada sisi lain, hal ini menginformasikan ketidaksiapan keluarga peserta PKH tahun 2007 untuk di-exit.

Jika exit dipaksakan dikhawatirkan kesinambungan perilaku hidup sehat dengan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan anak (terutama untuk melanjut ke SMA) menjadi rawan. Hal ini misalnya terungkap pada pertanyaan, “Apabila exit (PKH stop), hal-hal yang

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan, sejak awal PKH sebaiknya melakukan intervensi khusus dalam pemberdayaan ekonomi keluarga sekaligus sebagai bagian dari pengkondisian keluarga menuju exit sesuai dengan target waktu program yang sudah diketahui sejak awal program. Sejalan dengan skema kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan, peserta PKH harus dikondisikan sejak awal bahwa dalam jangka waktu tertentu, mereka akan di-exit. Proses penyiapan tersebut harus dilakukan secara bersama antara keluarga peserta dan pihak penyelenggara PKH dalam berbagai aspek, seperti aspek manajemen ekonomi keluarga, sosial psikologis, resiliensi keluarga, dan lain-lain. Secara teknis, penyiapan tersebut dapat dilakukan dengan mendirikan Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dengan fokus pelayanan pada dua bidang, yaitu bidang ekonomi dan sosial. Bidang ekonomi mengadakan kegiatan usaha simpan pinjam semacam koperasi, sementara bidang sosial mengadakan kegiatan advokasi sosial dalam rangka penanganan PMKS dan pengembangan PSKS. Sementara kepengurusan lembaga melibatkan petugas pendamping.

Dalam hal tersebut, apabila PKH dipandang sebagai investasi masa depan, penting untuk melakukan diferensiasi antara investasi

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Berkenaan dengan mekanisme pembelajaran perilaku melalui PKH, calon Peserta PKH yang telah ditetapkan menjadi peserta PKH dan menandatangani komitmen, jika suatu saat melanggar atau tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, baik syarat kesehatan maupun syarat pendidikan, maka bantuannya akan dikurangi, dan jika terus menerus tidak memenuhi komitmennya, maka peserta tersebut akan dikeluarkan dari program. Dalam psikologi, pendekatan ini tergolong dalam pendekatan behavioristik. Yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah, pertama, bahwa unsur “voluntariness” (kesukarelaan) tidak ditekankan di sini. Yang ditekankan adalah hasil (outcome), berupa partisipasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Memang uang dan pendekatan behavioristik dapat memberikan RTSM pilihan-pilihan menuju perilaku pendidikan dan kesehatan yang diharapkan, namun juga uang dapat “menghina” perasaan otonomi dan determinasi keluarga pada saat yang bersamaan. Pendekatan behavirostik yang terlampau mekanistik dan bersifat “transaksional” dan bukan transformasional bukan tidak mungkin menjadi bumerang. Dalam hal ini, peran persuasif dan negosiatif (bargaining) yang dijalankan

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

“Coercion” means “the use of threat or force to influence people’s behavior;” “bargaining” means “the use of an exchange or the promise of an exchange of gains or losses to influence people’s behavior;” and “persuasion” means “the use of speech or other symbols to influence people’s judgment or behavior, apart from coercion or bargaining.” (Koersi berarti penggunaan ancaman atau kekuatan untuk mempengaruhi perilaku. Bargaining berarti penggunaan pertukaran atau janji pertukaran untuk mempengaruhi perilaku. Persuasi berarti penggunaan pembicaraan atau simbol-simbol lain untuk mempengaruhi perilaku).

Menurut Zaltman, Kotler, dan Kaufman (1972), koersi menekankan pada penggunaan power dan sanksi, namun persuasi menekankan pada argumentasi untuk mengubah keyakinan (beliefs) atau nilai-nilai (values) sasaran persuasi.

Persoalan kedua adalah bagaimana uang tunai sebagai bentuk motivasi ekstrinsik berelasi dengan motivasi intrinsik (misalnya, akibat PKH, RTSM menjadi memiliki perasaan kompeten atau rasa puas RTSM jika berpartisipasi dalam suatu program). Dalam psikologi, RTSM dikatakan memiliki motivasi intrinsik jika terlibat dalam suatu aktivitas karena memang mau terlibat (for its own sake), karena motivasi yang “murni”. RTSM dikatakan memiliki motivasi ekstrinsik jika terlibat dalam suatu aktivitas karena ingin meraih sesuatu yang tidak terkait dengan aktivitas itu sendiri (misalnya, uang dan pujian dari lingkungan). Kekhawatiran terhadap motivasi ekstrinsik ini adalah bahwa efek perilaku yang dihasilkan hanya berjangka pendek (selama uang ada); ketika uang dihentikan, RTSM akan kembali pada perilaku awalnya (sebelum diberikan uang). Uang juga tidak dapat diharapkan sebagai insentif yang dapat melahirkan kreativitas dalam pemecahan masalah konkret sehari-hari, serta dapat menurunkan perilaku prososial dan kooperasi dalam keluarga atau komunitas, karena atmosfernya bersifat komersial dan materialistis (Grant, 2011).

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

117

Hal ini juga terungkap dalam FGD, di mana pendamping seringkali mengalami kesulitan mengumpulkan warga penerima PKH. Warga biasanya baru datang jika diiming-imingi “uang transpor”. Oleh karena itu uang harus dipandang sebagai pemicu awal (“a ‘jump start’ for a dead battery”). Yang harus dipikirkan adalah strategi transisi dari insentif kepada motivasi internal (self-motivation) atau kebiasaan yang berkelanjutan (sustained habits). Menurut Grant (2011), program sejenis PKH mengkomunikasikan pesan kepada RTSM, “You cannot be expected to act responsibly without payoffs” (“Anda tidak dapat diharapkan untuk bertindak secara bertanggung jawab tanpa imbalan”). Oleh karena itu, iklim PKH harus diciptakan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan dukungan (support) dan respek terhadap RTSM dan perasaan bebasnya (feeling of freedom), bukannya sebagai sesuatu yang mengontrol, “menistakan”, dan “membonekakan” RTSM. Sebaiknya PKH dilengkapi dengan aktivitas lain yang menginspirasi dan membangun makna (meaning) bersamaan dengan penginformasian kepada peserta PKH bahwa tujuan dari seluruh aktivitas ini bukan melestarikan PKH melainkan justru membuat usang PKH. PKH harus dipandang bukan sebagai ukuran anti-kemiskinan yang utama, bukan berakhir dalam dirinya sendiri, melainkan harus kita pandang sebagai sebuah sarana, sebuah solusi temporer atau sementara untuk kondisi- kondisi spesifik yang dihadapi.

Asumsi CCT seperti PKH selama ini adalah bahwa peningkatan presensi (kehadiran) di sekolah dan peningkatan jumlah tahun yang dihabiskan di sekolah dengan sendirinya meningkatkan akumulasi kapital manusia yang memberdayakan keluarga miskin sehingga dapat keluar dari situasi kemiskinan. Hal ini menurut Lomeli (2009) patut diwaspadai sebagai ilusi. Justru yang harus diperhatikan juga adalah kualitas pendidikan (kurikulum, kemampuan dan gaya mengajar guru, dan sebagainya) yang tepat untuk anak-anak dari RTSM, dan PKH jelas tidak melakukan intervensi yang kuat untuk mengatasi masalah defisiensi kualitas pendidikan di sekolah bagi orang miskin, atau meningkatkan proses belajar (learning process) pada siswa. Jadi, PKH

118

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

perlu ditingkatkan dengan mengikutsertakan program pembangunan kapasitas (capacities building) anak-anak peserta didik dengan kualitas yang memadai untuk menangani kerentanan mereka sendiri dalam menghadapi kenyataan terbatasnya kesempatan yang mereka alami. Oleh karena itu, ukuran-ukuran Partisipasi Anak Sekolah dalam penelitian ini lebih menekankan kualitas berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Partisipasi Anak yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia (2007). Sekali lagi, partisipasi anak dalam bidang pendidikan (kinerja skolastik) tidak bergantung hanya pada seberapa banyak waktu yang dihabiskan anak-anak untuk hadir di sekolah, tetapi juga seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan rumah (homework), seberapa berkonsentrasi dan cukup beristirahat mereka untuk dapat mengerjakan pekerjaan sekolah maupun pekerjaan rumah. Seorang anak yang tertidur selama pelajaran dan tidak memiliki waktu atau mengalami kelelahan untuk memberikan perhatian pada pekerjaan sekolah dan rumah, yang disebabkan karena pekerjaan anak yang tidak kasat mata (covert child labor), yakni anak bekerja atas kehendak orangtua di wilayah privat, seperti misalnya membantu pekerjaan orangtua di rumah, bekerja di sistem pertanian keluarga, atau bekerja untuk bisnis/pekerjaan keluarga) akan menghasilkan prestasi yang buruk. Di samping itu, perlu digarisbawahi bahwa belum ada tes terstandarisasi untuk mengukur prestasi belajar siswa sebagai salah satu proxy efektivitas PKH di bidang pendidikan, karena prestasi inilah yang sebenarnya dianggap sebagai salah satu modal manusia terpenting menuju pemutusan rantai kemiskinan. Diperlukan pula waktu yang lebih panjang untuk mengukur efektivitas PKH bidang pendidikan, dengan mencakup ukuran-ukuran pendapatan siswa sesudah lulus sekolah menengah, padahal PKH saat ini hanya mencakup sampai SMP. Jadi, keuntungan sosial jangka panjang dari PKH belum dapat disimpulkan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa hasil penelitian tidak menunjukkan korelasi prediktif yang signifikan antara partisipasi bidang pendidikan dengan status sosial ekonomi RTSM. Rancangan

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

PKH dan penelitian PKH lebih lanjut perlu mempertimbangkan hal ini dalam prospektusnya.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya penurunan jam kerja anak pada RTSM di propinsi Gorontalo dan Sumatera Barat (data propinsi yang lainnya tidak memadai untuk diolah secara statistik karena banyak yang tidak diisi/missing values). Namun demikian, penelitian ini belum secara rinci mengidentifikasi pekerjaan apa yang dilakukan oleh anak yang berhasil dikurangi secara signifikan berkat intervensi PKH. Ke depan, PKH perlu secara lebih spesifik menargetkan reduksi bahkan eliminasi pekerja anak dengan prioritas awal pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, seperti keterlibatan pekerja anak dalam pelacuran, perbudakan. Dalam hal ini, diperlukan program-program komplementer, khususnya guna membantu mantan pekerja anak masuk ke program pendidikan. Hal ini karena pekerja anak seringkali sulit untuk secara langsung dimasukkan ke dalam sistem pendidikan formal karena usia mereka, pengalaman hidup mereka yang berbeda, dan ketidakakraban mereka dengan lingkungan sekolah. Konsekuensi fisik dan psikologis-sosial dari pekerja anak, seperti pertumbuhan badan yang terhambat, kesakitan/luka, penyakit, ketidakamanan, perilaku antisosial, harga diri yang rendah, defisiensi atensi (kurangnya perhatian/konsentrasi), memiliki dampak negatif terhadap kemampuan anak untuk belajar dan bersosialisasi, serta jauh dari kepemilikan motivasi berprestasi secara akademis dibandingkan teman-teman mereka yang tidak terlibat dalam bentuk- bentuk pekerjaan anak terburuk (Tabatabai, 2009). Oleh karena itu, perlu adanya pencatatan terinci mengenai dinamika pendidikan transisional bagi anak-anak ini sebagai pertimbangan sebelum dimasukkan ke dalam sekolah formal, termasuk kualitas pendidikan transisional itu sendiri.

Apabila PKH hendak dikembangkan, patut disadari bahwa perluasan program ini akan meningkatkan risiko meningkatnya kesalahan (error), pemalsuan (fraud), dan korupsi dalam penyampaian

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah bantuan mempengaruhi partisipasi bidang kesehatan, namun dengan menurunkan status sosial ekonomi terlebih dahulu. Bantuan PKH memang memungkinkan RTSM memiliki kekuatan membeli (purchasing power) yang lebih besar. Dalam bidang kesehatan, uang dapat dibelanjakan untuk membeli makanan yang kualitasnya lebih baik daripada sebelumnya, serta obat-obatan yang diperlukan. RTSM juga dapat menginvestasikan uangnya pada aset material dan perlengkapan, seperti kulkas, yang dapat mengurangi peluang anak terpapar infeksi, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan kesehatan. Dengan perkataan lain, hal ini menunjukkan adanya peningkatan aspirasi yang positif dalam bidang kesehatan, namun mungkin tidak diimbangi oleh jumlah bantuan yang diterima atau

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Sejumlah perilaku positif maupun negatif patut menjadi perhatian. Khususnya perilaku positif dapat menjadi best practices dan pembelajaran untuk RTSM di daerah lain. Berdasarkan hasil penelitian, peruntukan keuangan yang diterima dari PKH untuk anak-anak dalam sejumlah kasus tidak selalu digunakan dengan tepat, malah digunakan untuk konsumsi ekstra oleh orangtua, seperti yang terungkap dalam FGD di Nusa Tenggara Timur:

"Orang tua suka minum, mabok, beli rokok, anak minta beli buku tidak dikasih malah marah-marah; Tidak menggunakan uang tepat pada sasarannya, seperti uang untuk mabok, judi, bayar utang, anak minta uang tapi tidak ada, kalau bapa minta uang untuk beli rokok ada; Berjudi, berhutang, malah uang dipakai untuk beli rokok dan sirih pinang"

Di samping perilaku negatif, ada juga faktor protektif (penopang) yang dibangun atas interaksi antar komunitas RTSM, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur:

1. Dalam kelompok ada kegiatan simpan pinjam, jadi jika PKH selesai, anggota kelompok (RTSM) akan melanjutkan kegiatan simpan pinjam dengan dana yang sudah ada, dan akan digunakan berbagai usaha antara lain : ternak ayam, jualan sayur, berdagang di pasar dan menanam sayuran;

2. Yang dilakukan oleh masyarakat yang mendapat bantuan PKH dan sesudah tidak mendapat bantuan lagi: dengan adanya simpan pinjam di dalam kelompok PKH, bisa meminjam uang tersebut untuk anggota, dengan tujuan untuk membuka usaha, kios, memelihara babi, membuat jajanan pasar yang dapat dimasukan ke kios-kios terdekat. Ini semua dengan tujuan keluarga bisa bertahan hidup / dapat memenuhi kebutuhan;

3. Anggota peserta PKH dapat melakukan usaha ekonomi seperti ternak, pertanian dan lain-lain untuk meningkatkan ekonomi

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Ada pula faktor protektif yang berasal dari RTSM itu sendiri, khususnya nasihat orangtua dan religiusitas (ibadah), seperti yang nampak di Jawa Barat dan Manado. Nasihat orangtua yang menonjol di kedua propinsi tersebut berdasarkan data kualitatif adalah "Hidup harus berjuang dan sabar".

Perumusan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebuah RTSM mampu exit atau tidak dari PKH tidak menjadi bagian dari penelitian ini. Hal ini karena diperlukan instrumen tersendiri yang disusun berdasarkan hasil penelitian empiris untuk perumusannya. Pemodelan ekonometrik, psikometrik, dan sosiometrik perlu dikembangkan dan dikombinasikan guna mengetahui sejauh mana akumulasi kapital manusia pada RTSM dan komponen-komponen apa saja yang secara efisien dan efektif menyusun akumulasi tersebut. Penelitian ini telah ikut ambil bagian dalam hal ini dengan menginisiasi dimasukkannya komponen psikososial, seperti resiliensi (ketangguhan) keluarga dan persepsi manfaat serta pendampingan, dan terbukti bahwa: resiliensi memainkan peran positif dalam peningkatan status sosial ekonomi, persepsi manfaat banyak memainkan peran sebagai mediator menuju partisipasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan, serta persepsi pendampingan berkorelasi positif dengan partisipasi bidang kesehatan dan pendidikan. Dengan instrumen baru untuk asesmen exit, konsekuensinya adalah redesain (perancangan ulang) skala makro pada kebijakan sosial PKH. Redesain memungkinkan penanganan masalah struktural dari kemiskinan dengan berfokus pada aksi intervensi yang menyesuaikan (customized, adaptif, fleksibel, bukan “pukul rata”) dengan konteks idiosinkratik masing-masing RTSM dalam konteks wilayahnya, meskipun tetap perlu mewaspadai “bias aktivis” dan “bias jender”. Hal ini disebabkan karena kondisi antar wilayah tentu ada perbedaan dan persamaan yang mengimplikasikan bahwa pentargetan RTSM, jumlah bantuan, persyaratan perilaku

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

1 (Perlindungan Sosial) Skema Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan harus selalu dilihat sebagai simultan, saling merembesi dan saling sinergi dengan klaster lainnya, bukan saling tersekat dan berdiri sendiri-sendiri sebagai sebuah tahapan sekuensial yang kaku terkotak-kotak.

Secara metodologis, ada sejumlah hal lain yang perlu menjadi perhatian. Malik (dalam Sumardi, 2009, h. 73) mendefinisikan intervensi sosial sebagai:

“Serangkaian kegiatan untuk pemberdayaan bagi masyarakat yang tidak diuntungkan pada suatu wilayah tertentu, secara partisipatif, dengan

bertumpu pada kerangka teori dan metodologi keilmuan yang tepat guna”.

Kutipan yang sengaja dicetak tebal di sini adalah untuk memperlihatkan urgensi untuk menemukan teori dan metodologi yang efektif bagi PKH Indonesia. Penelitian ini telah ikut ambil bagian dengan menginisiasi sebuah model teoritis berbasis data empiris dari tujuh propinsi dengan menggunakan analisis jalur (path analysis) beserta estimasi regresinya. Dengan demikian, sejak hasil penelitian ini diketahui, PKH dapat menyusun strategi intervensinya berbasis pada mekanisme intervensi variabel yang ditawarkan oleh hasil analisis jalur. Dari model tersebut juga sekaligus mengimplikasikan siapa saja agensi/aktor yang perlu dilibatkan untuk meningkatkan efektivitas program, dan bagaimana relasi antar agensi ini disinergikan. Walaupun demikian, uji replikasi dari model ini sangat dimungkinkan. Penelitian ini juga sudah mengarah pada upaya menghasilkan semacam “Indeks PKH” berbasiskan total skor baku (z-score). Namun demikian, yang belum dilakukan secara lebih ketat (rigor) adalah Analisis Faktor untuk

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

Karya Mizunoya (2011), yang berjudul “Improving Targeting of Conditional Cash Transfer Programs: Through Posterior Simulation and Multilevel Modeling” juga dapat dijadikan sebagai masukan untuk peningkatan metodologi.

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA

PROGRAM KELUARGA HARAPAN DI INDONESIA