hepatik minimal, maka diagnosis EHM harus ditegakkan sehingga terapi segera dapat diberikan tanpa perlu menunggu sampai ensefalopati tersebut sudah nyata
secara klinis Ferenci et al., 2002; Amodio et al., 2004; Randolph et al., 2009. Di Indonesia belum ada alat yang dibakukan untuk mendiagnosis adanya
EHM pada pasien sirosis, sehingga penyakit ini mungkin seringkali terlewatkan sampai pada akhirnya pasien jatuh dalam kondisi EH yang nyata yang tentu saja
dengan risiko mortalitas yang lebih besar. Sampai saat ini sepengetahuan kami, belum ada penelitian di Indonesia yang meneliti tentang nilai standar PHES yang
sesuai dengan populasi di Indonesia dan belum ada penelitian tentang performa PHES di Indonesia. PHES yang menggunakan nilai standar populasi lokal
Indonesia dan valid diharapkan dapat mendeteksi adanya ensefalopati minimal pada pasien sirosis sehingga terapi dapat segera diberikan sehingga diharapkan
mortalitas dapat diturunkan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah tes PHES dapat dipakai untuk mendiagnosis EHM pada pasien sirosis hepatis di Indonesia?
2. Apakah faktor umur, pendidikan, pekerjaan, dan derajat CTP berhubungan dengan tes PHES pada populasi sampel normal, sampel SH tanpa EH nyata,
dan sampel SH dengan EH nyata?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk memvalidasi tes PHES termasuk di dalamnya mendapatkan
referensi nilai normal tes PHES yang sesuai dengan populasi di Indonesia sehingga dapat digunakan secara luas di Indonesia sebagai salah satu alat
untuk mendiagnosis EHM pada pasien sirosis. 2.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan tes PHES.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat akademik
Penelitian ini secara akademik bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya ilmu kedokteran di Indonesia dengan memberikan informasi
mengenai performa tes PHES di Indonesia dalam mendiagnosis ensefalopati minimal pada pasien sirosis, serta dapat dijadikan sebagai
dasar dalam kebijakan penatalaksanaan pasien SH dengan komplikasi ensefalopati di Indonesia.
1.4.2. Manfaat klinik praktis
Bagi para dokter, diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu mendiagnosis adanya EHM pada pasien sirosis sehingga terapi
yang tepat dapat segera diberikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari penyakit
itu sendiri.
Bagi para pasien SH di Indonesia diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih untuk menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas dari komplikasi EH.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati dalam arti luas adalah reaksi akut otak terhadap paparan agen berbahaya tanpa adanya inflamasi, atau adanya perburukan dari fungsi dan
struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini
diterapkan abnormalitas serebral pada pasien sirosis, maka adanya kegagalan hepatoselular dan pintas porto-sistemik inilah yang menyebabkan perubahan pada
fungsi dan metabolisme neuron, perubahan astrosit, disposisi mangan pada otak, edema serebri, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian neuron
Amodio et al., 2004. Kondisi ini menyebabkan penurunan yang nyata dari kualitas hidup pasien, memerlukan biaya yang tinggi, prognosis yang buruk dan
peningkatan risiko kematian. Prevalensinya adalah 30-45 pada pasien dengan sirsosis Ferenci et al., 2002.
Terdapat 3 tipe dari EH berdasarkan jenis kelainan pada hati yaitu tipe A, B, dan C. Pada tipe A, EH yang terjadi berhubungan dengan kegagalan akut hati,
pada tipe B, EH berhubungan dengan pintas porto-sistemik tanpa adanya kelainan hati, dan tipe C adalah EH yang terjadi pada pasien sirosis. Episodik EH adalah
ensefalopati yang terjadi dalam waktu yang pendek dan berfluktuasi dalam derajat keparahannya. Selanjutnya episodik ensefalopati dibagi berdasarkan ada tidaknya
faktor pencetus precipitated dan spontaneous, seperti misalnya perdarahan saluran cerna, infeksi, kelainan elektrolit, dehidrasi, ataupun penggunaan diuretik.
Ensefalopati recurrent adalah istilah yang digunakan bila EH terjadi 2 kali dalam satu tahun. Ensefalopati hepatik persisten adalah ensefalopati berulang dengan
defisit fungsi kognitif, manifestasi ekstrapiramida, dan perubahan pola tidur yang terjadi secara berkelanjutan. Ensefalopati hepatik persisten dibagi menjadi
ensefalopati derajat ringan dan derajat berat Burrough, 2011; Ferenci et al., 2002; Monuz, 2008. Tabel 2.1 menunjukkan tiga tipe dari EH.
Tabel 2.1 Tipe ensefalopati hepatik Ferenci et al., 2002
Berdasarkan gejala klinis yang muncul, derajat EH dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven Tabel 2.2. Secara klinis, EH bermanifestasi
sebagai sindrom neuropsikiatri yang meliputi spektrum yang luas dari gangguan status mental dan fungsi motorik. Perubahan status mentalis dapat bervariasi dari
gejala yang ringan sampai pada keadaan koma. Perubahan pada fungsi motoris
dapat berupa ridgiditas, tremor, asterixis, perlambatan pada gerakan diadokokinetik, hiper atau hiporefleksia, chorea, tanda babinsky. Abnormalitas
lain yang dapat muncul adalah gangguan psikomotor dan neuropsikologis, perubahan neurotransmiter, penurunan aliran darah otak dan metabolisme, dan
perubahan pada homeostatis cairan serebral Amodio et al., 1999.
Tabel 2.2 Derajat ensefalopati hepatik berdasarkan kriteriaWest Haven Ferenci et al., 2002
Stadium Status Mental
I. Kebingungan ringan, euforia atau depresi, penurunan pemusatan
perhatian, euforia atau cemas, gangguan tidur, penurunan kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, bisa didapatkan
asterixis.
II. Drowsiness, letargi, penurunan berat kemampuan untuk melakukan perintah
yang berhubungan dengan mental, gangguan berhitung, perubahan tingkah laku, disorientasi minimal terhadap tempat dan waktu, asterixis.
III. Somnolen tetapi masih bisa dibangunkan, tidak dapat meakukan perintah
yang berhubungan dengan mental, disorientasi yang nyata, kadang-kadang dijumpai agitasi atau gelisah, bicaranya sulit dimengerti.
IV. Koma
Kelainan neuropsikiatri yang dapat terjadi pada pasien EH meliputi kelainan kognitif kecepatan psikomotor, visuopraxis, perhatian dan konsentrasi,
kemampuan abstraksi, dan derajat kesadaran, afektif atau emosional, tingkah laku, dan domain bioregulatory tidur, nafsu, seksualitas Ferenci et al., 2002.
Sebagian besar pasien SH yang tidak menunjukkan gejala ensefalopati ternyata memiliki perubahan minimal yang terjadi pada fungsi kognitif, parameter
elektrofisiologis, aliran darah, metabolisme dan homeostatis otak Amodio et al., 2004. Keadaan tersebut awalnya dikenal sebagai ensefalopati subklinis, namun
berdasarkan kongres gastroenterologi di Viena tahun 1998, istilah tersebut dianggap tidak tepat karena adanya implikasi bahwa ensefalopati subklinis
mempunyai patogenesis yang berbeda, sehingga istilah yang digunakan adalah EHM Ferenci et al., 2002. Jadi pasien dengan EHM adalah pasien sirosis yang
terlihat normal namun menunjukkan gangguan fungsi kognisi dan atau neurospikologis yang bervariasi. Fungsi kognitif utama yang terganggu pada
pasien sirosis adalah kemampuan pemusatan perhatian yang kompleks dan ketrampilan motorik yang halus, selain itu gangguan memori jangka pendek,
penurunan psikomotor dan fungsi eksekutif juga bisa terjadi Groeneweg et al., 1998; Amodio et al., 2004.
Gambar 2.1 Perjalanan klinis ensefalopati hepatik Bajaj et al., 2009
Pada ensefalopati yang dini, tidak semua bagian fungsi kognitif yang terganggu. Beratnya gangguan kognitif yang terjadi pada pasien SH semakin
nyata dengan perburukan sirosis, dan tidak tergantung penyebab sirosisnya Amodio et al., 1999. Kemampuan berbahasa dilaporkan tidak terganggu kecuali
dalam hal menurunnya kefasihan berbicara, hal ini terjadi sekunder akibat
penurunan dari kecepatan prosesi kognitif. Deteksi dini adanya EHM adalah sangat penting karena penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien, dan
dapat memprediksi terjadinya EH yang nyata, selain itu dapat menjadi indikator prognosis pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Mengatasi EHM dapat
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya EH yang nyata Randolph et al., 2009.
2.2. Patogenesis Ensefalopati Hepatik