1 Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam bidang ketenagakerjaan,
outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan
penyediapengerah tenaga kerja.
1
Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa terdapat 3 pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, yakni : perusahaan
penyedia jasa pekerja, perusahaan pemberi pekerjaan, dan pekerja itu sendiri. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan perusahaan penerima pekerja yang
kemudian menyalurkan pekerja tersebut kepada perusahaan pemberi pekerjaan untuk kemudian bekerja diperusahannya sesuai dengan perjanjian tertulis.
Kemudian lahirlah istilah outsourcing, dalam hal ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan.
2
Dari ketiga pihak tersebut hanya terdapat dua perjanjian tertulis. Yakni perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja perjanjian
kerja dan antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaanperjanjian pemborongan. Sehingga antara pekerja dan perusahaan
pemberi pekerjaan tidak memiliki ikatan hukum yang kuat. Perusahaan pemberi pekerjaan mempekerjakan pekerja outsourcing karena
dapat menghemat keuangan perusahaan itu sendiri. Pekerja outsourcing bekerja dalam waktu tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian tertulis antar
perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pekerja
1
Lalu Husni, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, selanjutnya disingkat Lalu Husni I, h. 187.
2
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, selanjutnya disebut Adrian Sutedi I, h. 217.
outsourcing menerima upah yang terhitung sedikit dan diharapkan dapat bekerja dengan baik tanpa ada jaminan ikatan secara langsung kepada perusahaan pemberi
pekerjaan. Dengan adanya outsourcing, perusahaan pemberi pekerjaan cendrung
diuntungkan karena menghemat biaya pengeluaran perusahaan namun justru merugikan bagi pekerja outsourcing itu sendiri karena upah dan jaminan yang
minim namun harus bekerja dengan baik. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
seharusnya dapat menjadi pelindung hukum bagi pekerja outsourcing. Namun, Undang-undang tersebut memiliki kekosongan norma, karena tidak memiliki
aturan yang spesifik terhadap pekerja outsourcing. Jika pihak-pihak yang berhubungan dengan outsourcing perusahaan maupun pakerja melakukan suatu
pelanggaran, tentunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban yang sesuai dengan perbuatannya, dikarenakan aturan maupun sanksi yang ada kurang
mengikat, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Pekerja outsourcing lebih sering terkena dampaknya, karena antara pekerja outsourcing dengan perusahaan
pemberi kerja tidak ada aturan yang mengikat berupa Peraturan perundang- undangan maupun perjanjian kerja.