Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH

DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG

KETENAGAKERJAAN

TESIS

Oleh

MUHAMMAD FAJRIN PANE 067005017/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Nama Mahasiswa : Muhammad Fajrin Pane Nomor Pokok : 067005017

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa,B.,M.Sc)


(3)

Telah diuji pada

Tanggal 25 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA UJIAN TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum


(4)

ABSTRAK

Adanya pembagian pekerja dengan PKWT dan PKWTT, berawal dari adanya pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu dalam pelaksanaan pekerjaannya. PKWT berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dari kedua jenis pekerjaan tersebut di atas, PKWT atas dasar jangka waktu, menimbulkan implikasi bagi pekerja/buruh. Implikasi ini disebabkan dengan diakuinya PKWT atas dasar jangka waktu menimbulkan interpretasi bahwa pekerjaan yang tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas dasar jangka waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan dalam ayat (7) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (2) ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi PKWTT.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah tentang pengaturan PKWT dalam peraturan perudang-undangan di bidang ketenagakerjaan, persesuaian bentuk pengaturan PKWT dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja dengan peraturan perundang-undangan serta perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang terikat dengan PKWT.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menganalisis norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan melalui penelitian kepustakaan maupun teknik pendukung lainnya seperti wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan PKWT dalam peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan tafsir, PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, dengan berbagai alasan pekerja menerima PKWT meskipun bertentangan dengan perundang-undangan, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh masih lemah dan tidak memadai hal ini terbukti masih ditemukan dalam perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha terdapat hal-hal yang merugikan pihak pekerja/buruh, maka disarankan pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenegakerjaan khususnya Pasal 56 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2) yang menimbulkan inkonsistensi dan perbedaan tafsir dalam pengaturan PKWT.


(5)

ABSTRACT

The existence of job sharing with PKWT and PKWTT is initiated from the availability of job that requires certain time in implementing it. PKWT, based on Article 56 (2), is stated that, as meant in Article 56 (1), PKWT is based on a certain period of time or the accomplishment of a certain job. Of the two kinds of jobs, PKWT based on period of time brings implication to the workers. This implication is caused by the recognition of PKWT based on period of time which brings an interpretation that the job which is not based on its kind, nature or temporary activity can be put into agreement based on period of time. This interpretation is surely not in line with Article 59 (2) stating that PKWT can be applied for a permanent job. Even, in Article 59 (7) it is stated that violation of Article 59 (2) can turn PKWT, for the sake of law, into PKWTT.

In relation to the above condition, the problems discussed in this study are about how PKWT is regulated in the regulation of legislation in the sector of manpower, the concurrence on the form of PKWT regulation in the work agreement between the employer/businessman and the worker with the regulation of legislation and legal protection for the workers bound to PKWT.

This study was carried out based on the normative juridical approach. The data obtained through library research and interviews were then analyzed based on the legal norms found in the regulation of legislation.

This result of this study reveals that regulation of PKWT found in the regulation of legislation brings a different interpration, PKWT applied by the employer/businessman is not in line with the stipulation of legislation in the sector of manpower, with various reasons the workers accept the PKWT although it is against the existing legislation, legal protection for the workers is still limited and inadequate and this is proven to be still found in the work agreement made by the employer because there are still many clauses that inflict loss to the workers. Therefore, the government is suggested to revise Law No.13/2003 on Manpower especially Article 56 (2a) and Article 59 (2) that have brought inconsistency and different interpretation in the regulation of PKWT.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Swt Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Kami menyadari bahwa tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis,DTM&H,

Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Sunarmi, SH, M.Hum serta Dr. Mahmul Siregar, SH,


(7)

M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku penguji tesis penulis.

6. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA (Guru Besar IAIN Sumatera Utara) yang Mulia telah berkenan memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana USU.

7. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA yang juga telah berkenan memberikan rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana USU 8. Seluruh Dosen penulis pada program Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU

yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan.

9. Walikota Tanjungbalai Periode 2000-2010 Bapak dr. H. Sutrisno Hadi, Sp.OG serta keluarga yang telah memberikan dukungan, semangat dan do’a kepada penulis dan keluarga besar penulis semoga selalu dalam lindungan Allah Swt. 10.Ketua DPRD Tanjungbalai Abanganda H. Romay Noor, SE serta keluarga yang

selalu memberikan hal yang terbaik dalam setiap perlakuannya kepada penulis sebagai adiknya baik secara moril maupun materil dan seluruh Anggota DPRD Kota Tanjungbalai semoga sukses selalu dalam setiap moment kehidupannya


(8)

serta petunjuk dan kemuliaan serta keberkahan Allah Swt juga selalu diberikan kepada mereka.

11.Direktur POLITEKNIK TANJUNGBALAI (POLTAN) Ir. T. Tibri, MT beserta seluruh civitas akademika.

12.Ketua DPD KNPI Sumut Periode 2008-2011 Abanganda Ir. H. M. Yasir Ridho Loebis beserta segenap rekan juang fungsionaris DPD KNPI Sumut Periode 2008-2011, Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Utara Abanganda Zaharuddin, Bang Joni Koto, Ricky Fahreza serta pengurus lainnya, rekan juang di KIMPG Sumut, Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Aktivis Forum Indonesia Muda (FIM) wadah di mana jati diri penulis dibentuk secara organisatoris.

13.Para senior penulis yang telah banyak membantu khususnya kepada Drs. Ansari, MA, M.Ramadhan, S.Ag, H.Fadly Nurzal, S.Ag, Drs.Azhari Akmal Tarigan,M.Ag, Majda El-Muhtaj,M.Hum dan isteri, Zulham,SHI,M.Hum dan isteri, Mustafa Kamal Rokan,SHI,MH serta senior penulis lainnya yang tak tersebut.

14.Rekan-rekan seperjuangan di Program Ilmu Hukum SPS USU khususnya di kelas Hukum Bisnis SPS USU stambuk 2006.

15.Seluruh staf pegawai di Program studi Ilmu Hukum SPS USU atas bantuan teknis, motivasi dan kebaikan-kebaikan yang kalian berikan.


(9)

16.Kak Yosi atas bantuannya sudah bersedia diwawancara, junior penulis Gilang Medina, SH dan Ayu Manalu, SH atas bantuannya dalam membantu penyelesaian tesis penulis.

17.Lady Quatro Yulius, SE atas motivasi, dorongan, saran dan kritikan serta bantuan sudah berkenan menemani seminar di tengah kesibukannya telah merelakan waktunya untuk menjadi teman dekat, teman diskusi, teman berdebat yang baik untuk sharing dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan.

18.Seluruh Keluarga Besar di Tanjungbalai saudara-saudara penulis (Abang dan Kakak) : H. Romay Noor, SE, Iriani Wa’dah, BA, Zairil Wathan, Husnah Wardah, S.Pd, Dra. Nazla, Hendra Gunawan dan seluruh abang-abang dan kakak ipar serta para keponakan penulis yang lucu-lucu dan terkadang sedikit nakal kalian adalah sumber inspirasi penulis dalam hidup terima kasih atas bantuan dan curahan kasih sayang yang diberikan semoga Allah selalu memberikan limpahan rahmat kepada kalian, I love you all.

Terakhir dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati persembahan do’a dan terima kasih tak terhingga karena penulis rasanya tak akan mampu membalas kebaikan yang diberikan mereka berdua dan tesis ananda ini persembahkan kepada kedua orang tua tercinta yang telah berjasa melahirkan, mengasuh sampai membesarkan dengan penuh rasa kasih sayang dengan merelakan segalanya dalam kehidupan mereka demi kemajuan anak-anaknya yang di akhir hayatnya terlebih kepada Ayahanda Alm. H. Ma’ruf Pane yang tidak sempat menyaksikan ananda meraih gelar Sarjana dan Magister serta Ibunda Almh. Hj.Asnah yang juga tak sempat


(10)

menyaksikan ananda meraih gelar Magister, dalam setiap do’a ananda mohonkan: “Ya Allah ampuni, rahmati, ma’afkan segala dosa dan kesalahan mereka, muliakan

dan lapangkan kubur serta hindarkan mereka berdua dari siksa api neraka amin”.

Sebagai manusia biasa karya penulis ini tentu tidak terlepas dari kesalahan, untuk itu sebagai sebuah karya ilmiah tesis ini terbuka terhadap kritik dan saran yang konstruktif dan merupakan harapan penulis demi perbaikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri dan pembaca serta semua orang yang membutuhkan hasil penelitian ini.

Medan, Agustus 2008

Penulis

Muhammad Fajrin Pane


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Fajrin Pane

Tempat/Tanggal lahir : Tanjungbalai/23 Oktober 1981

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen Politeknik Tanjungbalai (POLTAN) Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 130004 Tanjungbalai

- MTsS YMPI Sei. Tualang Raso Tanjungbalai - MAS YMPI Sei. Tualang Raso Tanjungbalai

- Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara tamat tahun 2004 - Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ……….... ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……… viii

DAFTAR ISI ……….. ix

BAB I : PENDAHULUAN .……….. 1

1. Latar Belakang ……….... 1

2. Permasalahan .……… 8

3. Tujuan Penelitian ..……… 9

4. Manfaat Penelitian ..……… 9

5. Keaslian Penelitian ….……… 10

6. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 10

7. Metode Penelitian ………... 23

BAB II : PENGATURAN PKWT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN ……….... 26

. A. Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum ………….. 26

B. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja ……… 34

C. Pengaturan PKWT Dalam Peraturan Perundang-undang- an……… 46

1. Pengaturan PKWT Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Menimbulkan Perbedaan Tafsir ………… 47


(13)

2. Persyaratan PKWT……… 50

3. Kategori Pekerjaan Dalam PKWT ……… 55

4. Jangka Waktu PKWT ……… 59

5. Berakhirnya PKWT ……… 60

6. Peralihan PKWT Menjadi PKWTT ……… 64

BAB III : PERSESUAIAN PKWT DALAM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN … 66 A. PKWT Yang Diterapkan Pengusaha Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Perundang-undangan ……… 67

1. Lamanya PKWT ……….. 67

2. Sifat Pekerjaan ……… 67

3. Perlindungan Terhadap Pekerja (upah, jaminan sosial dan kesejahteraan .……… 68

B. Pekerja Menerima PKWT Meskipun Bertentangan Dengan Perundang-undangan ………. 69

1. Alasan Ketidaktahuan ……… 69

2. Alasan Kebutuhan……… 69

C. Sosialisasi Terhadap Pekerja Masih Kurang ……….. 70

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PKWT ………... 72

A. Hak Pekerja Dalam Perjanjian Kerja .……… 72 B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam PKWT


(14)

Tidak Memadai……… 77

1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ………. 77

2. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja ……… 88

3. Perlindungan Upah .……… 93

C. Akibat Hukum Bagi Pelanggar Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Ketenagakerjaan …….. 99

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ke- tenagakerjaan ………... 99

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jam- sostek ………... 103

D. Perubahan Substansi Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Di Bidang Ketenagakerjaan Yang Mengatur Tentang PKWT ……….. 104

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ..………. 108

A. Kesimpulan ..………. 108

B. Saran ……….. 110

DAFTAR PUSTAKA ……….. 112


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disingkat PKWT) dianggap perlu, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: Pertama, PKWT merupakan fenomena baru yang hadir dengan tujuan awal mengisi pekerjaan yang memang mempunyai batasan waktu dalam pengerjaannya. Kedua, PKWT merupakan bagian dari perubahan hukum di bidang ketenagakerjaan/perburuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Organski bahwa bangsa yang baru merdeka akan melaksanakan pembangunan melalui tiga tahap satu persatu yaitu unifikasi, industrialisasi dan kesejahteraan sosial.1

Dalam fase industrialisasi yang ditandai dengan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi, dimana hukum berpihak pada kaum industrialis, aturan PKWT lahir untuk menjawab kebutuhan industrialisasi. Ketiga, penerapan aturan dari PKWT melahirkan masalah baru bagi pekerja/buruh dan pengusaha yaitu dalam menentukan persyaratan, kategori dan kondisi seperti apa yang dapat diberlakukannya PKWT. Keempat, bagaimana perlindungan terhadap pekerja/buruh yang terikat dengan PKWT.

1

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab


(16)

Kepentingan terhadap pekerja mulai diperhatikan pada saat negara memasuki tahap negara kesejahteraan. Sebenarnya Indonesia tidak mengalami satu persatu tahapan unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan yang memakan waktu ratusan tahun tiap tahapnya. Indonesia mengalami ketiga tahapan secara bersamaan. Pada saat yang sama melakukan unifikasi terhadap peraturan hukumnya, juga melakukan industrialisasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman dan pada saat yang sama harus juga memperhatikan perlindungan terhadap konsumen, tenaga kerja, sebagaimana negara-negara yang sudah maju. Pada periode ini negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja kemudian tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.2

Untuk melindungi pekerja/buruh dari permasalahan perburuhan yang kompleks, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di Indonesia Undang tentang Ketenagakerjaan yang berlaku pada saat ini yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh secara umum dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap penyandang cacat, perlindungan terhadap perempuan, perlindungan terhadap waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, juga perlindungan dalam hal pengupahan dan dalam hal kesejahteraan.

2

Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan

Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas


(17)

Namun perlindungan di tersebut sebagian besar hanya berlaku bagi pekerja dengan status tetap atau yang terikat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (selanjutnya disingkat PKWTT). Sedangkan bagi pekerja dengan PKWT pengaturannya diatur dalam Keputusan Menteri.

Adanya pembagian pekerja dengan PKWT dan PKWTT, berawal dari adanya pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu (terbatas) dalam pelaksanaan pekerjaannya. Berbeda dengan pekerja dengan PKWTT yang pada Pasal 1603q KUHPerdata ayat (1) yang dinyatakan bahwa pekerjaan yang lamanya hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan. Sedangkan PKWT berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Dari kedua jenis pekerjaan untuk waktu tertentu tersebut di atas, PKWT atas dasar jangka waktu, menimbulkan implikasi bagi pekerja/buruh.3 Implikasi ini disebabkan dengan diakuinya PKWT atas dasar jangka waktu ini menimbulkan interpretasi bahwa pekerjaan yang tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas dasar jangka waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

3

Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003


(18)

Bahkan dalam ayat (7) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (2) ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi PKWTT.4 Berangkat dari uraian tersebut maka seyogyanya aturan PKWT atas jangka waktu direvisi karena tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2).

Adanya interpretasi bahwa PKWT dapat diperjanjikan dengan tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara, melahirkan praktek perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang tidak sesuai dengan tujuan pengaturan PKWT. Hal ini bisa disebabkan karena setidaknya 3 alasan, yaitu:

Pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau masing-masing pihak pekerja/buruh dan

pengusaha. Kedua, karena kekosongan hukum. Ketiga, ada iktikad buruk dari pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/buruh juga karena inkonsistensi dalam Pasal 56 ayat (2) dan 59 ayat (2) yang memungkinkan PKWT dengan tidak berdasarkan jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat dilaksanakan. Akibatnya perlindungan terhadap pekerja/buruh menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, di antaranya tidak berhak atas sejumlah tunjangan (jamsostek, asuransi kecelakaan, pensiun), uang penghargaan kerja pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), upah yang lebih rendah, tidak adanya jaminan kerja dan jaminan pengembangan karir. Bahkan belakangan muncul fenomena adanya PHK massal dan penggantian status pekerja oleh perusahaan dari PKWTT menjadi PKWT.

4 Ibid.


(19)

Praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan undang-undang ini merupakan salah satu dari tuntutan buruh pada saat melakukan demonstrasi besar-besaran.5 Kondisi buruh yang sudah memprihatinkan, ditambah adanya diskriminasi perlindungan terhadap pekerja PKWT menambah keprihatinan itu.

Terlepas dari tujuan pengusaha untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi, juga tujuan pengusaha agar dapat menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh juga harus tetap menjadi prioritas.

Pentingnya perlindungan bagi pekerja/buruh biasanya berhadapan dengan kepentingan pengusaha untuk tetap dapat bertahan (survive) dalam menjalankan usahanya. Sehingga seringkali pihak yang terkait secara langsung adalah pengusaha dan pekerja/buruh.6

Secara umum persoalan perburuhan lebih banyak diidentikkan dengan persoalan antara pekerja dengan pengusaha.7 Pemahaman demikian juga dipahami sebagian besar para pengambil kebijakan perburuhan sehingga terjadi reduksi pemahaman terhadap buruh sebagai pekerja dan buruh sebagai suatu profesi dan kategori sosial. Pemahaman tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap pekerja/buruh dengan PKWT menjadi sangat lemah.

5

Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, 2006, hlm. 9

6

Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, (Jakarta: Renaissan, 2005), hlm.1.

7

Muslimin B.Putra, Buruh dalam Proses Penyusunan Kebijakan, Paper disampaikan pada Workshop Kebijakan Partisipatif Peran Pemuda dalam Proses Penyusunan Perundang-undangan yang diselenggarakan Komite Advokasi Buruh (KAB) pada tanggal 27 Juni 2005 di gedung YLBHI Jakarta.


(20)

Menghadapi realita tersebut, peran pemerintah diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan perburuhan yang adil melalui peraturan perundang-undangan.8 Hubungan antara pengusaha dan buruh idealnya merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Namun seringkali posisi pekerja/buruh tidak seimbang dengan posisi pengusaha.

Ketidakseimbangan posisi tersebut di antaranya karena rendahnya pendidikan pekerja/buruh sehingga tidak mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki keahlian khusus serta regulasi dalam hukum perburuhan tidak seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha.

Melihat kenyataan di atas, dituntut adanya perlindungan terhadap pekerja/buruh khususnya dengan status PKWT. Ditinjau dari segi perlindungan perburuhan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan perlindungan perburuhan yang dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: aspek perlindungan sosial, perlindungan ekonomis dan perlindungan teknis.

Perlindungan sosial pada dasarnya merupakan suatu perlindungan perburuhan yang bertujuan agar pekerja/buruh dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia, bukan hanya sebagai faktor produksi (faktor ekstern, melainkan diperlakukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya (faktor intern atau konstitutif).9 Sedangkan perlindungan ekonomis merupakan perlindungan perburuhan yang

8

Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 12. 9


(21)

bertujuan agar pekerja/buruh dapat menikmati penghasilan secara layak dalam memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.

Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya hukum ekonomi sendiri disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian yang berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.10 Akhirnya perlindungan teknis merupakan perlindungan yang bertujuan agar buruh dapat terhindar dari segala resiko yang timbul dalam suatu hubungan kerja.

Pemerintah yang bersikukuh untuk mempertahankan PKWT karena memang ada pekerjaan yang memiliki batas dalam pengerjaannya.11 Untuk tujuan itu, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan Kepmen No. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT yang ditandatangani pada 21 Juni 2004. Dalam Kepmen itu dijelaskan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama tiga tahun. Peraturan itu juga mengatur sistem PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman dan PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.

Diharapkan dengan adanya pengaturan dalam Kepmen tersebut tidak ada lagi adagium bahwa perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh merupakan

10

Advendi Simangunsong, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm.4. 11

Rochmad Fitriana, Sistem Subkontrak Antara Benci dan Kebutuhan, diakses dari

http://www.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&pared_id=33307 1&patop_id=010, terakhir kali diakses pada tanggal 8 Februari 2008.


(22)

hambatan masuknya investasi ke dalam negeri. Padahal hambatan investasi harus diatasi secara serentak yaitu pemberantasan terhadap korupsi, birokrasi yang membuat biaya tinggi, perbaikan infrastruktur, keamanan, penegakan hukum dan perburuhan.12

Berdasarkan uaraian di atas, penulis memilih judul Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau Dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

B. Permasalahan

Berangkat dari latar belakang penelitian tersebut maka penelitian ini difokuskan pada beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengatur tentang PKWT?

2. Bagaimana PKWT diatur dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang terikat dalam PKWT?

12

Proses Revisi Dimulai Dari Awal, Forum Tripatrit Nasional Libatkan Buruh, Pengusaha dan Pemerintah, diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/08/utama/2567076.htm. Diakses reakhir kali tanggal 8 Februari 2008.


(23)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui dan menganalisis Peraturan Perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan yang mengatur tentang PKWT.

2. Mengetahui dan menganalisis sejauh mana PKWT diatur dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang terikat dalam PKWT.

D. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan tidak hanya bersifat teoritis berupa dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya penelitian di bidang ketenagakerjaan/perburuhan tentunya, tapi juga manfaat praktis dalam bentuk untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam PKWT ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan. Dengan demikian diharapkan pekerja/buruh khususnya dalam hal ini yang terikat dalam PKWT dan pengusaha mengetahui sekaligus terjamin hak-hak dan kewajibannya dan pada gilirannya pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan kesejahteraan.

Selain itu juga penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan kepada pembuat peraturan dalam hal ini Pemerintah, agar hukum


(24)

ketenagakerjaan/perburuhan itu seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah penulis lakukan di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam PKWT ditinjau dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Seperti yang ditegaskan oleh Iman soepomo tujuan pokok hukum perburuhan adalah terlaksana dan terwujudnya keadilan sosial. Hukum ketenagakerjaan tidak bisa dilepaskan dari tujuan awal dilahirkannya sebagai hukum yang mengatur hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan guna tercapainya keadilan sosial.

Dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha terjadi perbedaan bahkan kesenjangan di antara kedua belah pihak yakni terletak pada posisi tawar

(bergaining position). Secara yuridis pekerja/buruh memang manusia yang bebas,

sebagaimana prinsip bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan, berhak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang


(25)

layak. Namun secara sosiologis hal ini sering ditemukan, pekerja/buruh tidak menempati posisi di mana dia harus diberlakukan sebagai manusia yang bermartabat, tidak hanya sebagai faktor produksi tetapi juga pihak yang ikut menentukan keberhasilan seorang pengusaha.

Begitu juga sebaliknya dengan pihak pengusaha menganggap dirinya adalah pihak yang juga berhak mendapatkan keadilan dalam hubungannya dengan pihak pekerja/buruh. Pada gilirannya sampai pada permasalahan bahwa rasa keadilan mana yang harus dikedepankan dan didahulukan apakah pekerja/buruh dengan kondisinya yang serba terbatas dan lemah baik dari keberadaannya dalam mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan upah yang dijanjikan guna tercapainya tujuan negara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dengan menekan angka kemiskinan dan penggangguran.

Pihak pengusaha dengan segala kelebihan modal yang dimilikinya mampu mendapatkan pekerja/buruh yang sesuai dengan kebutuhannya akibat tingginya angka pengangguran menjadikan posisi pekerja/buruh menjadi serba dilematis. Pengusaha dengan alasan selalu ingin membatasi biaya operasional/ produksi yang dikeluarkannya hingga menekan pada titik yang serendah mungkin.

Hal di atas seperti ditegaskan sebelumnya bila dibiarkan terus-menerus maka akan tetap jauh dari kenyataan tujuan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea keempat13 yang menyatakan bahwa : kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang

13


(26)

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat tercapai.

Sistem hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha suatu bangsa senantiasa mencerminkan sistem pembangunan yang pada dasarnya adalah cerminan sistem ekonomi atau sistem pembangunan dan ideologi yang dianut. Misalnya sistem ekonomi yang serba liberalistik, kapitalistik ataupun serba etatis, komunistik akan melahirkan sistem hubungan industrial yang sama sebagai pencerminannya.14

Pengaruh politik ekonomi juga sangat menentukan Hukum Ketenagakerjaan, dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakin berkurang dan peranan swasta manjadi lebih besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan.15

Menurut para ahli seperti dijelaskan Bismar Nasution, masalah mendasar organisasi sosial adalah bagaimana mengkoordinir kegiatan ekonomi jutaan individu. Secara fundamental hanya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, secara terpusat melalui paksaan seperti yang dilakukan oleh negara totaliter dengan menggunakan militer. Kedua, kerjasama sukarela (voluntary) di antara individu

14

Suhardiman, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan

Indonesia, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, Peny. Selo

Soemardjan, (Jakarta: YIIS dan PT. Gramedia,tt), hlm. 104-105. 15

Aloysius Uwiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap

Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, (Jakarta: Yayasan

Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), hlm. 41 dalam Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum

Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, (Medan:


(27)

melalui mekanisme pasar. Model masyarakat yang diorganisir secara sukarela dikenal dengan free private enterprise exchange economy, yang diistilahkan Bismar Nasution dalam hal ini sebagai sistem ekonomi pro pasar.16

Namun tidak semua hal dalam Hukum Ketenagakerjaan dapat diserahkan pada mekanisme pasar. Selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Di sinilah pemerintah ditantang untuk menjalankan kebijakan perburuhan yang mampu mengakomodir semua kepentingan, baik pemilik modal, pekerja/buruh maupun pemerintah sendiri.17

Jika dirujuk kepada cita-cita yang ingin dicapai hukum, paling tidak ada tiga yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban. Selanjutnya kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum, konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.

16

Lihat Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan

Ekonomi, Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Fakultas

Hukum USU, (Medan: USU, 2004), hlm. 1. Sistem ekonomi pro pasar lebih berhasil mensejahterakan masyarakat dibandingkan sistem ekonomi sosialis. Bandingkan misalnya apa yang terjadi di antara Korea Utara dan Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan dengan Cina Daratan (sebelum Deng Xiaoping) atau antara Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum robohnya tembok Berlin dalam Milton Friedmen, Capitalism and Freedom, (Chicago: The University of Chicago Press, 2002),hlm. 15.

17

Aloysius Uwiyono, Op. Cit. Hal ini juga ditegaskan Bismar Nasution bahwa kehadiran sistem ekonomi.yang diistilahkannya dengan sistem pro pasar tentunya tidak menghilangkan peran pemerintah, sebaliknya sangat membutuhkan peran pemerintah karena pandangan yang menyatakan bahwa peran pemerintah harus dibuat seminimal mungkin, kalau bisa sampai ke titik nol, dikatakan kurang tepat diterapkan di Indonesia. Peran pemerintah yang dibutuhkan adalah sebagai forum untuk menetapkan rule of the game dan sebagai wasit yang menafsirkan dan mengakkan (enforce) dari rule


(28)

Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yang dicita-citakan dan diwujudkan dalam Undang-undang, namun sebelumnya perlu ditegaskan bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami:18

1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan= iustitia). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. 2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan

itu dipandang sebagai sarana untu mewujudkan aturan yang adil tersebut.

Hukum ketenagakerjaan seperti yang telah disinggung merupakan hukum yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil.

Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar.19 Keadilan bukanlah nilai yang diperhitungkan dari ekonomi pasar karena itu pendekatan pasar harus selalu didikuti oleh pendekatan normatif, salah satunya melalui hukum yang meletakkan batas-batas dan aturan-aturan.20

18

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 49. 19

Diungkapkan pula oleh Bustanul Arifin dan Didik J. Rachbini dalam Ekonomi Politik dan

Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hlm. 57, dalam Agusmidah, Op. Cit, hlm. 27.

20


(29)

Dalam sejarah filsafat hukum ide konsensus muncul pada abad XVII. Pemikir-pemikir tentang hukum sampai pada keyakinan bahwa harus diminta suatu persetujuan dari pihak anggota masyarakat untuk membentuk Undang-undang. Hal ini berarti bahwa yang berkuasa dalam negara harus menyatakan kehendak rakyat dalam menentukan tata hukum negara. Dalam hal ini Rousseau paling jelas meminta suatu kehendak umum supaya negara didirikan secara hukum dan juga supaya hukum disusun sesuai dengan tuntutan keadilan.21

Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan dengan pembagian nikmat dan beban dari suatu kerjasama sosial khususnya yang dilakukan oleh negara.22 Di negara Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila, keadilan sosial dengan tegas dinyatakan dalam Sila Kelima Pancasila. Nilai ini telah dicoba untuk dilaksanakan salah satunya dengan menetapkan tujuan negara yang sama diketahui adalah memajukan kesejahteraan umum.

Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls disebut

Circumstances Of Justice (COJ) suatu rumusan yang berasal dari David Hume. David Hume menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa keadilan baru merupakan

21

Theo Huijbers, Op. Cit, hlm. 296. 22

Karenanya dalam literatur keadilan sosial sering juga disebut sebagai keadilan distributif. Ada perbedaan antara keadilan sosial dan keadilan distributif di mana keadilan sosial bukan sekedar masalah distribusi ekonomi saja, melainkan jauh lebih luas, mencakup keseluruhan dimensi moral dalam penataan politik, ekonomi dan semua aspek masyarakat yang lain. Keadilan telah dikaji secara filsafat bahkan sejak awal sejarah filsafat itu sendiri dalam karya Plato yang terkenal Republic, dapat diberi anak judul Tentang Keadilan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau harmoni. Harmoni artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara, di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya, dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis

Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),


(30)

keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan.

COJ Rawls adalah objektif COJ yaitu situasi normal konflik klaim dimana kerjasama

antar manusia mungkin dan perlu. Masalah keadilan atau ketidakadilan mustahil dibicarakan dalam konteks manusia yang masih dalam status alamiah atau pra sosial.23

Pada sisi lain hubungan ketenagakerjaan masuk dalam lingkup hubungan ekonomi di mana pelaku bisnis berhak mendapatkan keadilan ekonomi. Dalam keadilan ekonomi berlaku aturan main hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip etik, sedangkan keadilan sosial merupakan hasil dari dipatuhinya aturan main keadilan ekonomi tersebut.24

Menurut G.Ripert25 diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial tersendiri (dalam hal ini hukum ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial yang dalam kehidupan ekonomis mengalami perubahan atau pergeseran, di mana perlindungan kepentingan kerja dalam perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta otonomi individu dalam mengadakan perjanjian kerja.

23

Agusmidah,Op.Cit, hlm. 132. 24

Mubyarto, Indonesia Unik Karena Ketahanan Ekonomi Rakyatnya (Laporan Pertemuan

dengan Presiden Megawati 18 Maret 2002), Jurnal Ekonomi Rakyat diakses dari http://www.ekonomirakyat.org/galeri_wat/wartalip-2.htm, diakses terakhir kali tanggal 12 November 2006 dalam Agusmidah, Op. Cit, hlm. 133.

25

La Regime Democratique et Le Droit Civil Moderne, 1936 dalam FJHM Van der Ven,

Pengantar Hukum Kerdja, Terj. Sridadi, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 9 dalam Agusmidah, Op. Cit, hlm. 3.


(31)

Bergesernya persepsi tersebut tidak lepas dari pengalaman sejarah negara Ripert yang telah membuktikan bahwa gerakan politik buruh mampu membawa Perancis menjalani Revolusi. Jadi menurutnya kekuatan politik pekerja/buruh sebagai faktor utama yang mendorong Hukum Ketenagakerjaan menjadi bagian dari hukum publik. Maka dalam penelitian ini penggunaan teori perubahan hukum turut digunakan karena penulis berpendapat bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja mengalami perubahan.

Paling tidak ada empat perubahan tersebut yaitu:26 Pertama, perubahan yang berasal dari luar sistem hukum yakni masyarakat, namun dampaknya hanya berakhir pada perubahan sistem hukum itu sendiri. Kedua, perubahan yang berasal dari luar yakni dari masyarakat dan membawa dampak pada perubahan masyarakat. Ketiga, perubahan dari dalam sistem hukum itu sendiri, namun hanya berdampak secara internal hukum. Keempat, perubahan dari dalam hukum dan berdampak ke luar atau ke masyarakat.

Perubahan hukum sebagaimana digambarkan oleh Friedman pada dasarnya akan melahirkan karakteristik hukum dipandang dari posisi dan hubungannya dengan masyarakat, yaitu substansi hukum yang represif, otonom dan responsif.27 Model Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dianggap model hukum korporatis28 yang

26

Satya Arinanto, Kumpulan Tulisan Politik Hukum 2, Pilipe Nonet and Philip Selznick, Law

and Society in Transition: Toward Responsive Law, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm.117. 27

Ibid. 28

Tamara Lothion, The Political Consequences of Labor Law Regimes: The Contractualist

and Corporatist Models Compared, Cardozo Law Review, Vol. 7, 1986, hlm. 1. Lihat dalam


(32)

mengatur hubungan ketenagakerjaan melalui jalan legislasi dalam bentuk perundang-undangan.

Untuk itu dalam penelitian ini juga menggunakan teori hukum perburuhan sebagai suatu bentuk intervensi pemerintah terhadap mekanisme perburuhan melalui peraturan perundang-undangan yang telah membawa perubahan mendasar, yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yaitu bersifat privat yang melekat pada prinsip adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara buruh dengan pengusaha atau majikan, sekaligus juga sifat publik dalam artian adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang ketenagakerjaan/perburuhan dan ikut campur tangannya pemerintah dalam menetapkan besarnya upah.29

Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator yang bijak melalui sarana pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan dikarenakan Hukum Ketenagakerjaan akan menjadi sarana utama untuk menjalankan kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri. Kebijakan ketenagakerjaan (labor policy), di Indonesia dapat dilihat dalam UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, juga dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.30

Selanjutnya mengenai pengertian hukum perburuhan dapat didefinisikan sesuai pernyataan Iman Soepomo bahwa hukum perburuhan adalah suatu himpunan

29

Lalu Husni, Op. Cit, hlm.10. 30


(33)

peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.31

Menurut Eggy Sudjana secara umum penyebab lemahnya kondisi pekerja/buruh di Indonesiadi antaranya yakni:32

1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah

2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu:

1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.33

2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.34

31

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm.3.

32

Eggy Sudjana, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi Publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center , Jakarta, 24 Juni 2005, hlm.2-3.

33

Rumusan ini berdasarkan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

34


(34)

3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.35

4. Pengusaha ialah:36

a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri

b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya

c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

5. Perusahaan adalah:37

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

6. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.38

35

Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 36

Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 37


(35)

7. Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.39 8. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

didasarkan atas:40 a. Jangka waktu; atau

b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.

9. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:41

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

10.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.42

11.Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur

38

Pasal 1 Butir 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 39

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 40

Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 41

Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 42


(36)

pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.43 12. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.44

13. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.45

14. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.46

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam PKWT berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini

43

Pasal 1 Butir 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.. 44

Pasal 1 Butir 25 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 45

Pasal 1 Butir 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 46


(37)

merupakan suatu metode penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the books (dalam aturan perundang-undangan) maupun dalam arti law as it is decided by judge through judicial process (putusan-putusan pengadilan).47

Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.48 Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun yang sudah konkrit telah ditetapkan oleh Hakim dalam kasus-kasus yang diputuskan di pengadilan.

2. Sumber data

Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif maka upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data sekunder baik yang bersifat bahan hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin-doktrin dan perundang-undangan atau kaedah hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

Adapun data sekunder terdiri dari:

47

Ronald Dworkin, Legal Research, Deadalus, Spring, 1973, hlm.250, sebagaimana dikutip dari Inocentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,

Op. Cit,hlm.35. 48

Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 57.


(38)

a. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-101/MEN/2004 Tentang Pelaksanaan Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Putusan Pengadilan, Kitab Undang-Udang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu kumpulan artikel/tulisan, jurnal kajian perburuhan dan analisis sosial, makalah-makalah, media internet.

3. Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan meliputi teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dan teknik pendukung lainnya seperti wawancara. Studi kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Medan.

4. Analisis data

Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan hukum ketenagakerjaan


(39)

3. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang lebih umum

4. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan

hubungannya antara satu dengan yang lain

5. Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah yang dilakukan di atas, maka ditarik kesimpulan.


(40)

BAB II

PENGATURAN PKWT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Sebelum memasuki ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang PKWT, terlebih dahulu akan diuraikan tentang perjanjian secara umum dan tentang perjanjian kerja.

A. Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”49

Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian

49


(41)

adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan keududukan perjanjian kerja.50

Pengertian perjanjian kerja mempunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat, hal ini terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada lain dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.

Menurut Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:51

a. Adanya pihak-pihak

b.Adanya persetujuan antara para pihak c. Ada tujuan yang akan dicapai

d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri e. Kecakapan membuat suatu perjanjian

Untuk sahnya perjanjian, harus memenuhi beberapa syarat (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu:

1. Sepakat Mereka Mengikatkan Dirinya

50

Djumadi, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 13. Di dalam pengertian perjanjian kerja tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang karena pihak yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dari bekerja di bawah perintah orang lain dalam hal ini adalah pengusaha.

51


(42)

Yang dimaksud dengan sepakat ialah kedua belah pihak mengadakan perjanjian telah mencapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak yang lainnya.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (Pasal 1321, 1322, 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu, tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, kekerasan jasmani, maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia, sehingga orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Tidak ada kekhilafan atau kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf tentang hal yang pokok yang diperjanikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian atau dengan siapa diadakan perjanjian itu.

Tidak ada penipuan, dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu. Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipuan muslihat dengan memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Misalnya dalam jual beli seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli bahwa barang itu masih baru padahal sebelumnya ia telah mengecat barang itu, ia memberikan kesan yang memeperdayakan seolah-olah keadaannya baru sehingga pembeli tadi terjerumus olehnya.


(43)

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pada umumnya seorang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai 21 tahun ataupun telah kawin walaupun benar belum berumur 21 tahun. Di dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum perdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka dan bagi istri ada izin dari suaminya.

Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, istri sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya dan Pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya membuat perjanjian. Tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat kuasa untuk itu. Jadi untuk dapat membuat suatu perjanjian, seorang itu harus dewasa, sehat pikirannya dan tidak dibatasi atau dikurangi wewenangnya di dalam melakukan perbuatan hukum.

Badan hukum yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain sebagai berikut:


(44)

a. Adanya harta kekayaaan terpisah b. Mempunyai tujuan tertentu c. Mempunyai kepentingan sendiri d. Ada organisasi

Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, barulah badan hukum tersebut bisa disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum dan setelah suatu badan hukum memenuhi syarat sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka badan hukum tersebut telah bisa melakukan hubungan hukum.

3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian disyaratkan harus mengenai hal tertentu. Hal ini penting untuk menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Barang yang menjadi objek perjanjian sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Misalnya jual beli cabai, harus ditentukan jenis apa, cabai rawit atau cabai kering.

4. Suatu sebab yang halal

Yang dimaksud sebab atau causa yaitu mengenai isi perjanjian yang menggambarkan perjanjian yang menunjukkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian adalah pihak yang satu menghendaki hak milik atas barang dan pihak lainnya menghendaki sejumlah uang diserahkan, selanjutnya sebab atau causa itu halal menurut undang-undang, apabila tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).


(45)

Suatu sebab atau causa yang dikatakan tidak halal (dilarang undang-undang)) misalnya jual beli candu, membunuh orang. Perjanjian yang bercausa tidak halal (bertentangan dengan ketertiban umum) misalnya jual beli manusia sebagai budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang bercausa tidak halal (bertentangan dengan kesusilaan) membocorkan rahasia perusahaan, berbuat cabul.

Sebenarnya keempat syarat tersebut di atas, dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:52

a. Syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian dimana hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.

b. Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, ini meliputi hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Dalam suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim), atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

52

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 94.


(46)

Lain halnya dengan suatu syarat obyektif, jika suatu syarat itu tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu perjanjian dalam suatu perjanjian pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan individual dan kebebasan individu baik kebebasan berkontrak berpangkal pada kesamaan kedudukan para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta adanya prinsip bahwa setiap orang harus memiliki sendiri setiap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian serta setiap orang harus dipandang sama dan diperlukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang sama.

Kebebasan liberal yang mengagungkan individualisme mempunyai pandangan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama akan dapat menimbulkan ketidakadilan yang besar bagi seseorang, baik di bidang sosial, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus ikut campur tangan dalam hal pembuatan suatu perjanjian yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap


(47)

kelompok-kelompok tertentu, yang pada umumnya mempunyai kedudukan sosial dan ekonomi yang relatif lemah.53

Campur tangan pemerintah diperlukan, ditinjau dari pihak pengusaha dipandang layak karena bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini buruh, agar tercapai keseimbangan yang mendekatkan masyarakat pada tujuan negara yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warga negara.

Di dalam penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Buruh antara lain disebutkan bahwa pada pokoknya mengakui adanya serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, serta berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, untuk mendapatkan persetujuan tentang apa yang dikehendaki. Tetapi walaupun demikian kekuasaan itu harus dibatasi, yakni di dalam lingkungan apa yang oleh pemerintah yang dianggap layak.

Dalam perjanjian pada umumnya dan perjanjian kerja pada khususnya asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas yang utama, namun dalam ketentuan yang mengatur tentang itu terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri, hal ini dikarenakan antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan tertentu, baik mengenai kondisi, kedudukan hukum dan berbagai hal antara mereka yang membuat perjanjian kerja. Pihak yang satu, dalam hal ini pekerja mempunyai

53

J. M. Van Duane (dkk), sewaktu memberikan penataran Hukum Perjanjian terhadap dosen-dosen hukum perdata seluruh Indonesia pada bulan Januari 1997 di Fakultas Hukum UGM dalam Djumadi, Op.Cit., hlm. 26.


(48)

kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari pihak lainnya yaitu pihak pengusaha atau majikan.

Dengan adanya kenyataan bahwa antar para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut ada perbedaan, yaitu kondisi dan kedudukan yang berbeda dan tidak seimbang sehingga diperlukan adanya intervensi dari pihak ketiga yaitu pemerintah guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah terutama sewaktu mengadakan perjanjian kerja.

B. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja

Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika di dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang.54

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom mempunyai beberapa pengertian. KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian

54


(49)

kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah.55

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.56

Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.57 Perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja.

Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang perburuhan.58 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Mr. Wirjdono Prodjodikoro

55

Pasal 1601 a KUHPerdata. 56

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 57

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003), hlm. 70.

58 Ibid.


(50)

menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.59 Mr. R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan untuk perjanjian kerja sedangkan perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif.60

Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu (pakerja/buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.

Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.

Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada di bawah pimpinnannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan

59

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam Iman Soepomo, Ibid.

60

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keempat, hlm.358 dan 362 dalam Iman Soepomo, Ibid.


(51)

tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan anatara mereka bukanlah hubungan kerja.

Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh dan majikan tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya perjanjian pemborongan pekerjaan dengan perjanjian melakukan tertentu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut perjanjian.61

Menyimak perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan (subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya.

Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagekerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang

61


(52)

memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah.

Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagekerjaan ini tidak menyebutkan bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan pengertian Perjanjian Kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yaitu:62

a. Adanya unsur Pekerjaan (work)

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya dengan seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.”

Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

b. Adanya unsur Perintah

62


(53)

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah pasien dan klien.

c. Adanya Waktu Tertentu63

Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari majikan atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan ketertiban umum.

d. Adanya upah

Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau seorang mahasiswa perhotelan yang sedang malakukan praktek di sebuah hotel.

63


(54)

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun.64 Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya (waras).

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.

64


(55)

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian sedangkan syarat adanya pekerjaan yang dieperjanjkan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus halal sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas demikian juga oleh orang tua/wali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.

Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis.65 Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.

Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan.

65


(56)

Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:66

a. Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh; c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayaran;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat;

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja;

Selain hal-hal di atas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian kerja:67

a. Macam pekerjaan;

b. Cara-cara pelaksanaannya; c. Waktu atau jam kerja; d. Tempat kerja;

e. Besarnya imbalan kerja, macam-macamnya serta cara pembayarannya;

f. Fasilitas-fasilitas yang disediakan majikan/perusahaan bagi pekerja/buruh/pegawai g. Biaya kesehatan/pengobatan bagi buruh/pegawai/pekerja;

66

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 67

A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 23.


(57)

h. Tunjangan-tunjangan tertentu; i. Perihal cuti;

j. Perihal izin meninggalkan pekerjaan; k. Perihal hari libur;

l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja; m. Perihal pakaian kerja;

n. Perihal jaminan perlindungan kerja;

o.Perihal penyelesaian masalah-masalah kerja; p. Perihal uang pesangon dan uang jasa; q. Berbagai masalah yang dianggap perlu.

Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesai pekerjaan tertentu.

Kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi. Dalam hal prestasi ini Soebekti menulis: “suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh yang dianggap sebagai kebalikan pengusaha dan


(1)

aturan mengenai PKWT sehingga dapat memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh. Pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja harus melakukan sosialisasi, pengawasan dan evaluasi secara aktif dan terus-menerus terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan PKWT.

2. Untuk pengusaha atau perusahaan harus menyesuaikan Surat Perjanjian Kerja, khususnya PKWT dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apalagi menyangkut hak-hak pekerja secara umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena kebanyakan dari Surat Perjanjian Kerja yang dibuat oleh pengusaha tidak ada mencantumkan hak-hak pekerja yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan hanya kewajiban saja yang dituntut untuk dikerjakan. Dengan begitu, kondisi sosial ekonomi pun akan teratasi dengan baik.

3. Mengenai perlindungan kerja, sebaiknya program perlindungan kerja harus tertuju kepada yang berhak karena selama ini, program perlindungan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh perusahaan. Buktinya pada Surat Perjanjian dengan Nomor ECP/PKWT/XII/2007/OFF-207 (terlampir) tidak ada mencantumkan program perlindungan kerja dan diharapkan setiap perusahaan harus mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara. Dengan demikian Pemerintah harus tegas dalam menindak dengan memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku siapapun pengusaha yang ditemukan terbukti melanggar aturan ketenagakerjaan tersebut.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Anggraeni, A. M. Tri, Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Purse Ilegal atau Rule of Reason, Jakarta: Universitas Indonesia, 2003.

Arinanto, Satya, Kumpulan Tulisan Politik Hukum 2, Pilipe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.

Asikin, Zainal, et.al, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 1993. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alimni, 1986.

Halim, A. Ridwan, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Husni, Lalu, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.

Ibrahim, Jhonny Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Wijdaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: Mandar Maju, 2004.

Print, Darwin, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-haknya), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.


(3)

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.

Saputra G. Karta dan RG Widianingsih, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Bandung: Armico, 1982.

Sastrohadiwiryo, Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. II, 2003.

Simangunsong, Advendi, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Grasindo, 2004.

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Kerja), Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. VII, 1981.

..., Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, Jakarta: Djambatan, 1983. Sudjana, Eggy, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Jakarta: Renaissan, 2005. Suhardiman, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan

Indonesia, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, Peny. Selo Soemardjan, Jakarta: YIIS dan PT. Gramedia,tt. Suma’mur, Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja, Jakarta; Gunung Agung, Cet.

III, 1980.

..., Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan, Cet. II, Jakarta: Gunung Agung, 1985.

Sunindhia, Y.W Dan Ninik Widiyanti, Manajemen Tenaga Kerja, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Van der Ven, FJHM, Pengantar Hukum Kerdja, Terj. Sridadi, Yogyakarta: Kanisius, 1969.

II. Jurnal Ilmiah, Makalah, Disertasi, Surat Kabar

Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, Medan: SPS USU, 2006. Lothion, Tamara, The Political Consequences of Labor Law Regimes: The

Contractualist and Corporatist Models Compared, Cardozo Law Review, Vol. 7, 1986.


(4)

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam llmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU, Medan: USU, 2004.

Putra, Muslimin B, Buruh dalam Proses Penyusunan Kebijakan, Paper disampaikan pada Workshop Kebijakan Partisipatif Peran Pemuda dalam Proses Penyusunan Perundang-undangan yang diselenggarakan Komite Advokasi Buruh (KAB) di gedung YLBHI Jakarta, 27 Juni 2005.

Rajagukguk, Erman, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia (1950-2000), Kampus UI Depok Jakarta, 5 Februari 2000.

Sudjana Eggy, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi Publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center , Jakarta, 24 Juni 2005.

Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, 2006.

Uwiyono, Aloysius, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 5, Jakarta, 2003. ..……….., Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA

Terhadap Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003.

Waspada, DPRDSU Dukung Dibentuknya Perda Jamsostek, Medan: Sabtu, 14 Juni 2008.

III. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 80 Tahun 1957 Tentang Persetujuan Konvensi Internasional Labour Organization (ILO).


(5)

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan. Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 05/Men/1986.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi PER-03/MEN/1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi PER-04/MEN/1993 Tentang Jaminan Kecelakaan Kerja.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-01/Men/1981 Tentang Kewajban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-02/Men/1983 Tentang Instalasi Alam Kebakaran Otomatik.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-03/Men/1984 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor

PER-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum jo. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP-226/Men/2000 Tentang Perubahan Pasal 1, 3, 4, 8, 11, 20 dan Pasal 21.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


(6)

IV. Internet

Finawati, A.S, “Buruh Di Indonesia : Dilemahkan Dan Ditindas”, http://www.pemantau keadilan.com/detil/deti.php?id=168&tipe=opini.

..., “Buruh Di Indonesia : Dilemahkan Dan Ditindas”, editor A.A.G Peters Dan Koesriani Siswosoebroto, http://www.pemantau keadilan.com/detil/deti.php?id=168&tipe=opini.

..., “Buruh Di Indonesia : Dilemahkan Dan Ditindas”, Adi Haryadi Dan Timboel Siregar, Penelitian Pekerja Kontrak Di 5 Kota Besar di Indonesia: Quo Vadis Pekerja Kontrak. Kerja sama AIRC (ASPEK Indonesia Research Centre) dan ACILs (American Centre for International Labor Solidarity), http://www.pemantau keadilan.com/detil/deti.php?id=168&tipe=opini.

..., “Buruh Di Indonesia : Dilemahkan Dan Ditindas”, Kompas Cyber Media, http://www.pemantau keadilan.com/detil/deti.php?id=168&tipe=opini. Fitriana, Rochmad, “Sistem Subkontrak Antara Benci dan Kebutuhan”,

http://www.com/servlet/page?_pageid=477&_dad=portal30&_schema=PORT AL30&pared_id=333071&patop_id=010.

Kasim, Umar, “Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja”, Informasi Hukum

Vol. 2 Tahun VI, 2004 http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/vol2_vi_2004/phk.

php.

Mubyarto, “Indonesia Unik Karena Ketahanan Ekonomi Rakyatnya (Laporan Pertemuan dengan Presiden Megawati 18 Maret 2002)”, Jurnal Ekonomi Rakyat diakses dari http://www.ekonomirakyat.org/galeri_wat/wartalip-2.htm.

“Proses Revisi Dimulai Dari Awal, Forum Tripatrit Nasional Libatkan Buruh, Pengusaha dan Pemerintah”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/08/utama/2567076.htm.


Dokumen yang terkait

Perbandingan Pengaturan Upah Dan Pekerja Perempuan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 45 81

Analisis Terhadap Status Hukum Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

11 248 141

Analisis Hukum Perjanjian Kerja Outsourcing Di Sumatera Utara (Implementasi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003)

3 59 141

Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu)

0 41 176

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

4 75 129

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

Perlindungan Hukum Terhadap Artis Cilik Dalam Perjanjian Kerja Dengan Rumah Produksi Sinetron Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak JUNCTO Undang-Undang Nomor 13 Tahuan 2003 Tentang Ketenagakerjaan

8 39 80

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 6 1

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Penyelia Jasa (Outsourcing) Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik I

0 2 1

Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dalam Hal Teradi Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

0 4 26