2. Teori Kewenangan PPAT
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari
kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai dalam Ridwan HR., bahwa:
“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan
hukum tertentu
yaitu tindakan-tindakan
yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu”.
24
Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego 1948:160 bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai
sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatan- jabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan
tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu pengenaan pajak dsb.
25
Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa: “Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan macht. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus
bererti hak dan kewajiban rechten en plichten. Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur sendiri zelfregelen dan mengelola sendiri
24
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta , 2006, h. 102.
25
Makkatutu dan Pangkerego, Op. cit, h. 160
zelfbesturen, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana
mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan”.
26
Menurut Ridwan HR. bahwa “seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas legaliteisbeginsel atau het beginsel van
wetmatigheid van bestuur, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat”.
27
Indroharto menyatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru”.
28
Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara
lain: a.
berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan
DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan
26
Ridwan HR. Op. cit, h. 102
27
Ibid, h. 103-104
28
Indroharto, 1993. Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, h. 104.
suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah;
b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang
berdasarkan pada
suatu ketentuan
undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan
wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.
29
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan
masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum
tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan
pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila
29
Ridwan HR. Op. cit, h. 104-105
perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan
administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami
perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi.
Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan tax crime
harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus
disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
30
Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undang- undang Perpajakan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan
yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
30
Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16 Oktober
2010 dalam
http:www.susnoduadji.com.tulisan-susnopenggelapan-pajak- kejahatan-asal-praktek-pencucian-uang, diunduh 23 November 2015
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang
prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya.
31
Sistem target dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara,
namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati
data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor
pajak. Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan
menjadi celah loophole yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak, wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana
melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan tax crime seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan
dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya
menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara.
32
Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
31
Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online 2010. Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU
Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam http:gagasanhukum.wordpress.com diunduh 23 November 2015
32
Loc. Cit. Susno Duadji. 16 Oktober 2010.
yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari
kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya dikantongi oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi
yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan
bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara
–negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak
.33
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak
zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan
diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran
pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara.
34
Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula
33
Ibid
34
Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam www.google.co.id 2010, diunduh 23 November
2015
didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat 4 Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dinyatakan: Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau
menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16
tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan: Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan
oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut
tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.
Penjelasan pada Pasal 38 di atas, secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek, aparat
penegak hukum lebih cenderung menerapkan ketentuan Undang –undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis.
35
Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat sumber daya manusia SDM kita khususnya hakim dan jaksa
tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan sistem perpajakan.
Disisi lain,
bahwa seseorang
dikatakan secara
hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung
jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan
kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran
BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal
ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.
35
Ibid
Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu
mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang
dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya. Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT
untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan
perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah
tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga
merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah,
akta pemasukan ke dalam perusahaan Inbreng, akta Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna BangunanHak Pakai atas tanah Hak Milik,
Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
PPAT dilarang membuat akta otentik akta jual beli apabila ada hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yaitu :
1 PPAT menolak untuk membuat akta, jika :
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik
atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang
diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau
b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak
disampaikan Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat 1 atau surat keterangan Kepala Desa Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai
bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 2; dan
Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor
Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang
hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa Kelurahan; atau
c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu
surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh
izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam
sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g.
Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Begitu pentingnya kedudukan PPAT dalam ikut serta membantu Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah maka
agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan.
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat 1 PP 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu : 1
Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT
dihadapan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan
Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor
Pertanahan atas akta –akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan. Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang
dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 jo. PP Nomor 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum
yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang
menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.
Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana
kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh
Undang-undang.
F. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis sampai dengan proses menyusun laporannya. Penelitian ialah suatu kegiatan yang bersifat ilmiah dengan mempergunakan
pengetahuan yang didapatkan dari sumber-sumber primer yang bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip umum yang sebelumnya belum pernah