Latar Belakang Masalah Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB I

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada warganya. Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 1 1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Edisi I, Graha Ilmu, Cet. I Yogyakarta, 2010, h. 32. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal balik kontra prestasi yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 2 Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Peningkatan potensi penerimaan pajak dapat dilakukan melalui kebijakan intensifikasi pajak danatau ekstensifikasi pajak. Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB. 3 BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Yang menjadi peristiwakeadaanperbuatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB merupakan salah satu jenis pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Wirawan B. Ilyas dan 2 Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, h. 1. 3 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Edisi I, Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003, h. 6. Richard Burton menyatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah termasuk tanaman di atasnya, tanah dan bangunan. 4 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang- Undang dan peraturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk memiliki hak atas tanah dan bangunan. Dalam konteks hukum pajak, tindak pidana pajak diartikan suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang - undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum. Dalam Undang-undang Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak. Adanya tindak pidana perpajakan ini dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan 4 Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2004, h. 90. sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 5 Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Apabila ketentuan dilanggar berkaitan dengan Undang-undang Perpajakan, disebut dengan yang tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata pamungkas atau terakhir ultimum remidium yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakkan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran apabila dalam Undang-undang Perpajakan juga mengatur ketentuan pidana. 6 Terdapat berbagai perbuatan pidana atau tindak pidana atau pelanggaran pajak yang dapat dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh pelanggaran pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan kerugian keuangan negara adalah kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif. 5 Jun Cai dan Amelia Tobing, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, dalam http:baltyra.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2016 6 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat. Jakarta, 2010, h. 154. Kasus ini terjadi karena Wajib Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur Pajak tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan negara dari sisi penerimaan pajak. 7 Menurut Pasal 39 ayat 1 huruf e Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa apabila seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling tinggi 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, ancaman hukumannya bervariasi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 7 Ibid, h. 182. tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menganut sanksi pidana minimum dan maksimum khusus. 8 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum pidana formil dan materiil telah memadai sebagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang- undang tersebut berfungsi sebagai sarana prevensi mengingat ancaman pidananya sangat berat sehingga dapat menakutkan orang untuk berbuat atau melakukan tindak pidana korupsi lebih-lebih lagi apabila dalam kenyataannya pengadilan telah menjatuhkan pidana yang berat kepada si pelaku dalam berbagai kasus korupsi termasuk kasus pelanggaran pajak yang salah satunya berupa penggelapan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan BPHTB. Lebih lanjut, dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah danatau bangunan, bagi pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima pengalihan masing-masing telah ada ketentuan yang mengatur dan menetapkan dalam peraturan yang berbeda mengenai kewajiban masing- 8 Ibid. h. 182. masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan adanya ketentuan ini adalah agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas negara. 9 Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah danatau bangunan PPh Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2009. Sejak perubahan Undang-undang No.28 Tahun 2009 ini, maka setiap pengalihan atas tanah dan bangunan yang terjadi dalam tanah dan bangunan maka dikenakan pajak PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sementara itu, bagi menerima pengalihan hak atas tanah danatau bangunan dikenakan BPHTB. Pajak Penghasilan PPh yang dikenakan terhadap penghasilan dari peralihan hak atas tanah danatau bangunan selanjutnya disebut PPh-PHTB merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian, bagi pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah danatau bangunan berlaku ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah PDRD Pasal 85-94. Dengan demikian dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam transaksi atau peristiwa peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB dikenakan hanya kepada pembeli atau penerima perolehan hak tanah danatau bangunan. 9 Kartasapoetra G, Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya, Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 10. Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan sebagai salah satu komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang – undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya melalui Peraturan Daerah. Adapun Perda yang mengatur dalam hal ini terdapat dalam Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB. Selanjutnya dalam penelitian ini dititikberatkan pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB, yaitu pajak yang dikenakan bagi pihak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut. Perolehan hak atas tanah yang telah bersertifikat yang dilakukan para pihak harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan di hadapan PPAT. Oleh karena peralihan hak atas tanah itu, merupakan salah satu perbuatan hukum yang dibuat dengan akta otentik oleh PPAT, maka salah satu kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa pembayaran BPHTB yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan SSB, barulah pembuatan dan penandatanganan akta hibah tersebut dapat dilaksanakan, dan kewajiban PPAT melaporkan pembuatan akta itu kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan KPPBB sekarang KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan atau bangunan dimaksud berada selambat-lambatnya adalah pada tanggal 10 bulan berikutnya. BPHTB yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah danatau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya Pasal 24 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar Rp. 7.500.000,- tujuh juta lima ratus ribu rupiah untuk setiap pelanggaran Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000. Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank. Dalam penelitian ini, terdapat transaksi jual beli tanah danatau bangunan dimana pembayaran BPHTB nya dititipkan oleh penerima tanah danatau bangunan kepada Notaris. Namun dalam kenyataannya, Notaris yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut tidak pernah melakukan pembayaran BPHTB ke Negara. Sehubungan dengan ini, terdapat dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB SSB dan PPh Final SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp 823.536.000,00 delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah yang dilakukan oleh Pelaku 10 Dalam kasus ini, apabila diuraikan terdapat dua kemungkinan tindak pidana yaitu : a. Tindak pidana pemalsuan dokumen b. Tindak pidana korupsi karena adanya dugaan tindakan yang merugikan keuangan Negara. 10 Subdit III Ditreskrimsus Polda Jateng, Oktober 2014 Bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah perbuatan melanggar hukum korupsi sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang -undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 3 ini setiap orang meliputi orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri. Delik korupsi penyalahgunaan wewenang terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak ada unsur melawan hukum, hanya ada unsur menyalahgunakan kewenangan. Namun, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren sama dengan melawan hukum, sebab penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum merupakan gennya, sementara penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya. Penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini setiap orang meliputi orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan tesis dengan judul : PENGGELAPAN PAJAK OLEH NOTARISPPAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Permasalahan

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

2 95 93

Aplikasi penentu hukum halal haram makanan dari jenis hewan berbasis WEB

48 291 143

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Tinjauan seksi penagihan terhadap tata usaha piutang pajak kantor pelayanan pajak Bandung Karees Wilayah VII Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat

2 91 29

Pengaruh Persepsi Kemudahan dan Kepuasan Wajib Pajak Terhadap Penggunaan E Filling (Survei Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kpp Pratama Soreang)

12 68 1