Tri Hita Karana TINJAUAN PUSTAKA

19 Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali yang minimal mempunyai tiga unsur pokok, yaitu: wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan. Menurut Wiana 2007 falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III.10, meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana, dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan Prajapati telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia Praja hendaknya beryadnya kepada Tuhan Prajapati, kepada sesama manusia Praja dan kepada lingkungannya Kamadhuk. Pandangan manusia terhadap alam cenderung merasa dirinya sebagai penguasa alam tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan. Seharusnya manusia melestarikan alam dan memiliki pandangan yang benar terhadap alam. Pertama, manusia individu seharusnya memandang dirinya sebagai bagian dari alam Prakrti sehingga usaha memelihara alam juga berarti memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam mempunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya Wirawan, 2011. Prinsip Tri Hita Karana merupakan filosofi yang diajarkan di dalam Bhagawadghita, yaitu mengajarkan tentang tiga hal pokok kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu dharmakebenaran Tuhan dan hakekat manusia, meningkatkan kekeyakinan hati akan kebenaran Tuhan, dan bagaimana 20 berbuat di dalam kebenaran Tuhan Palguna, 2007. Ketiga hubungan antara komponen dalam Tri Hita Karana berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya, hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa Parhyangan, yakni melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Hubungan antara manusia dengan manusia Pawongan atau Bhuana Alit, yakni dengan melakukan koordinasihubungan dengan organisasi atau masyarakat sekitarnya. Hubungan antara manusia dengan alam Palemahan atau Bhuana, yakni memberikan arahan bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah atau lahan pertanian, air irigasi, tanaman dan hewan agar dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat. Sebagai warisan sumberdaya budaya Bali, landasan yang dipergunakan sistem pertanian dalam mengelola organisasinya adalah landasan harmoni dan kebersamaan, yang merupakan perwujudan universal dari konsep Tri Hita Karana THK yang menjiwai pertanian di Bali. Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya. Perwujudan ketiga unsur Tri Hita Karana di dalam sistem pertanian dicirikan sebagai berikut. 1 Adanya bangunan-bangunan suci sebagai wujud parhyangan seperti Sanggah Catu, Pura Bedugul, Pura Ulun Danu, dan lain-lain. 2 Adanya organisasi dengan perangkatnya seperti gapoktan gabungan kelompok tani dan adanya kelompok subak yang terdiri dari anggota krama, pengurus prajuru dengan segala peraturan awig-awig sebagai wujud dari pawongan. 21 3 Lahan pertanian atau lingkungan alam serta air yang difungsikan sebagai sarana utama pengairan dengan jaringan irigasi yang lengkap merupakan perwujudan palemahan yang harus dijaga. Konsep Tri Hita Karana pada dasarnya analog dengan sistem kebudayaan yang memiliki tiga elemen, yaitu: 1 elemensubsistem pola pikirkonsepnilai, 2 subsistem sosial, dan 3 subsistem artefakkebendaan Koentjaraningrat, 1993 dalam Windia dan Dewi, 2011. Keterkaitan antar subsistem analogi Tri Hita Karana dapat digambarkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Analogi konsep THK dengan sistem kebudayaan Windia dan Dewi, 2011 Tri Hita Karana digambarkan analog dengan sistem kebudayaan, maka semua subsistemnya terlihat saling berkaitan dan ada pengaruh lingkungan pada sistem tersebut. Pengalaman manusia Bali beradaptasi dengan lingkungannya dapat memunculkan salah satu elemen dari kebudayaan Bali yang disebut Tri Hita Lingkungan Lingkungan Pawongan Sub sistem sosial Palemahan Sub sistem artefakkebendaan Parhyangan Sub sistem pola pikir KonsepNilai 22 Karana. Esensi pemahaman tentang THK bahwa tujuan dari THK adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui proses harmoni dan kebersamaan Windia dan Dewi, 2011. Dengan penerapan konsep Tri Hita Karana dalam pengembangan agrowisata berlandaskan nilai-nilai agama didalamnya dapat menjaga keseimbangan alam. Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi.

2.4. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Lahan pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian. Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi lahan pertanian menjadi bukan pertanian atau non pertanian baik secara tetap maupun sementara. Utomo, dkk 1992 mendefinisikan alih fungsi lahan sebagai perubahan fungsi 23 sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Harsono 1992 menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan lahan terjadi karena peningkatan keperluan untuk pembangunan pemukiman dan industri serta pembangunan jaringan prasarana dan berbagai fasilitas umum. Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi ini bersifat permanen. Namun jika lahan sawah dialihfungsikan menjadi lahan lain maka alih fungsi bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat diubah menjadi lahan sawah kembali. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen pada umumnya lebih besar dan berdampak lebih serius dari pada alih fungsi yang bersifat sementara. Astawa 2009 dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Lokal dan Pembangunan Ekonomi Suatu Model Pembangunan Ekonomi Bali Berkelanjutan ” menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian di Bali tidak dapat dibendung oleh kekuatan apapun. Banyak aturan hukum yang dibuat tetapi hanya menjadi pajangan sehingga oleh banyak pihak disebut sebagai “macan ompong”. Lahan pertanian telah beralih fungsi secara signifikan untuk pembangunan infrastruktur sosial dan fasilitas umum, perumahan dan investasi swasta dan pembangunan berbagai usaha ekonomi produktif sehingga mengalami pengurangan secara gradual karena berbagai tekanan dan kepentingan masyarakat dengan berbagai alasan.