Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Dengan Pengembangan Agrowisata Berbasis Tri Hita Karana: Studi Kasus Di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

(1)

TESIS

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN DENGAN PENGEMBANGAN

AGROWISATA BERBASIS TRI HITA KARANA:

STUDI KASUS DI DESA PELAGA,

KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

NI KOMANG TRI ANI, SE

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

i

TESIS

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN DENGAN PENGEMBANGAN

AGROWISATA BERBASIS TRI HITA KARANA:

STUDI KASUS DI DESA PELAGA,

KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

NI KOMANG TRI ANI, SE NIM. 1391161010

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI

LAHAN PERTANIAN DENGAN PENGEMBANGAN

AGROWISATA BERBASIS TRI HITA KARANA:

STUDI KASUS DI DESA PELAGA,

KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Agribisnis

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KOMANG TRI ANI, SE NIM. 1391161010

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

(5)

(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastyastu,

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya/ karunia-Nya, Tesis ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Wayan Windia,SU, pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam menyelesaikan Tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula kepada Dr.Ir. Ni Wayan Sri Astiti,MP selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Ketut Suamba,MP selaku Ketua Program Pascasarjana Agribisnis sekaligus sebagai penguji yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat dalam penyelesaian Tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Dr. I Gede Setiawan Adi Putra,SP.,MP selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan, semangat serta membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Begitu pula ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr.Ir. Nyoman Sutjipta,MS selaku penguji yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga Tesis ini bisa terwujud seperti ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pemerintah Kabupaten Badung yaitu Ketua DPRD Kabupaten Badung I Nyoman Giri Prasta,S.Sos, Wakil Bupati Badung I Made Sudiana, SH,M.Si, dan Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung I.G.A.K Sudaratmaja yang telah memberikan dukungan, semangat, masukan serta partisipasi dalam menyukseskan penelitian Tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kabid ODTW Dinas Pariwisata Kabupaten Badung I Gede Suastika, Kabid Pelayanan Ijin Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat dan Non Perijinan A.A. Gede Rahmadi, Sekretaris Dinas Pariwisata Provinsi Bali I G.A Ambari, Kasi Perluasan Areal Distanbunhut Kab. Badung Ir. I Wayan Sukarta, Eksekutif Direktur PHRI Kab. Badung I Made Sulasa Jaya, Ketua ASITA Bali I Ketut Ardana dan Camat Petang Gusti Putu Ariawan atas partisipasi dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian Tesis ini. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Perbekel Desa Pelaga I Gusti Lanang Umbara,S.Sos atas dukungan, kerjasama, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian di Desa Pelaga. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dewa Ngurah staf Perbekel Desa Pelaga yang telah banyak membantu penulis untuk observasi ke berbagai tempat di Desa Pelaga dan begitu juga terima kasih kepada Bu Suryathi dan Pak Sugita yang telah hadir dalam acara FGD. Terima kasih juga


(7)

vii

penulis ucapkan kepada kelian subak, kelian dinas, kelian adat dan seluruh masyarakat Desa Pelaga atas kerjasama dan bantuannya.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Ibu dan Bapak selaku orang tua yang telah memberikan restu, doa dan dukungan kepada penulis baik moril maupun materiil dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para sahabat yang turut memotivasi Ninna, Yuli, Sagitarini, Nanti, Maeni Marlina, Sunari, Mitarsih, Wawan dan Setya. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Anas Rizki Bachtiar, Elfis Umbu K. Retang, Putu Intarini, Meilita Isti dan teman-teman Magister Agribisnis lainnya atas masukan, motivasi, bantuan dan kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Dr. A.A.A.Ngurah Tini Rusmini Gorda,SH.,MM.,MH atas perhatian, doa dan dukungannya serta teman-teman pengurus dan anggota Koperasi Perempuan Ramah Keluarga terima kasih atas dukungan dan doanya. Akhirnya ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada teman-teman Karang Taruna Widya Dharma Bhakti Kelurahan Kapal yang kompak memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam acara FGD (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan penulis di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini serta kepada penulis sekeluarga.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om

Denpasar, Agustus 2015 Penulis


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis Ni Komang Tri Ani atau yang lebih akrab dipanggil Tri dilahirkan di Kabupaten Badung, Bali pada Tanggal 22 Juni 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Ketut Sumertana dan Ni Wayan Widnyawati.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Kapal, Mengwi (1996-2002) dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Mengwi (2002-2005). Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Mengwi (2005-2008). Penulis selanjutnya menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan Nasional Denpasar, program studi Akuntansi pada tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Undiknas Denpasar, penulis turut aktif dalam kegiatan organisasi di Kampus, diantaranya menjadi Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEKMA) Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada Tahun 2008-2009, Ketua Sekbid Kesenian Keluarga Besar Mahasiswa Hindu Dharma (KBMHD) pada tahun 2009-2010, Ketua UKM Tari dan Penari Kebesaran Undiknas pada Tahun 2009-2011, Anggota UKM Media Kampus sebagai wartawan kampus, Ketua I BEKMa FEB pada Tahun 2010-2011, Bendahara Umum Badan Legislatif Mahasiswa Universitas Tahun 2010-2011. Penulis juga aktif menjadi Wakil Ketua I Karang Taruna Kelurahan Kapal dan Sekretaris Umum Koperasi Perempuan Ramah Keluarga.

Penulis saat ini menjadi Wiraswasta meneruskan usaha orang tua di UD. Sumertana Kapal menjual sanggah dan sebelumnya sempat bekerja sebagai Customer Service Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Sempidi Cabang Gatot Subroto pada Tahun 2012-2013.


(9)

ix ABSTRAK

Ni Komang Tri Ani. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Dengan Pengembangan Agrowisata Berbasis Tri Hita Karana: Studi Kasus Di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, SU dan Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP.

Dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013, Desa Pelaga yang terletak di wilayah Badung Utara ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan pertanian terintegrasi. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan agrowisata berbasis Tri Hita Karana yang ramah lingkungan untuk meningkatkan konservasi di Desa Pelaga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman; menganalisis rumusan alternatif strategi dan menentukan strategi prioritas dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan matriks IFAS, EFAS, SWOT dan QSPM. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, studi dokumentasi dan FGD yang diikuti 28 orang peserta. Penetapan responden penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) sebanyak 21 orang.

Hasil penelitian menunjukkan: 1) faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yaitu adanya kesadaran masyarakat untuk mengimplementasikan kebijakan Perda No.26 tahun 2013, skill SDM masih rendah, pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana dan kedatangan MEA, 2) alternatif strateginya yaitu mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat petani; menjadikan Perda No. 26 Tahun 2013 sebagai pelindung; mendorong masyarakat untuk berwirausaha; meningkatkan intensitas pendidikan dan pelatihan kepada petani; membangun kerjasama dengan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat petani untuk mempromosikan agrowisata; meningkatkan kegiatan upacara, adat dan budaya; memberikan sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar jalur hijau; mengoptimalkan daya tarik kawasan dengan konsep OVOP; membangun sarana dan prasarana dengan konsep back to nature, serta membudayakan gerakan menanam sejuta pohon “Keep Green for Pelaga”, dan 3) strategi prioritas yang menduduki peringkat pertama yaitu mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat petani Desa Pelaga sebagai pelaku utama pembangunan agrowisata berbasis Tri Hita Karana, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan mengembangkan produk wisata khas Pelaga seperti paket-paket wisata, cenderamata, dan lain sebagainya dengan nilai Total Attreactiveness Score (TAS) sebesar 5,66.

Perlu adanya konsistensi dan sinergi dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat untuk pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.


(10)

x ABSTRACT

Ni Komang Tri Ani. Strategy Of Agricultural Field Function Alteration Control By Agrotourism Development Based On Tri Hita Karana: Case Study At Pelaga Village, Petang Sub-District, Badung Regency. Advisory Committee Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, SU and Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, MP.

In Regulation of Layout Plan of Badung Regency Region No.26 Year 2013, Pelaga Village that located on Northern Badung is decided as conservation region and integrated agricultural. Therefore, it needs to develop agritourism based on Tri Hita Karana that is eco-friendly to improve conservation at Pelaga Village. This research has purpose to analyze factors that become the strength, weakness, opportunity and threat; to analyze formula of strategy alternative and to determine priority strategy in controlling of agricultural field function alteration by the development of agrotourism based on Tri Hita Karana at Pelaga Village, Petang Sub-district, Badung Regency.

Data analysis method that is used in this research is the qualitative and quantitative descriptive by using matrix of IFAS, EFAS, SWOT and QSPM. Data collection was carried out by interview, observation, documentation study and FGD (Focus Group Discussion) that was followed by 28 participants. Determination of research respondent was carried out purposively (intended) which were for 21 people.

Research result shows that: 1) factors of strength, weakness, opportunity

and threat are the existence of people’s consciousness to implement the policy of

Regulation No.26 year 2013, the human resources skill is still low, development of agrotourism based on Tri Hita Karana, and the arrival of MEA, 2) an alternative strategy which optimizes empowerment of farming communities; make regulation No. 26 year 2013 as a protector; encourage people to entrepreneurship; increase the intensity of education and training for farmers; establishing cooperation with government, business and farming communities to promote agro-tourism; increases the activity of ceremonies, customs and culture; providing strict sanctions for people who violate the green line; optimize the appeal of the region with the concept of OVOP; build infrastructure with the concept back to nature, as well as the civilizing movement to plant a million trees "Keep Green for Pelaga", and 3) strategic priorities that ranked first is to optimize the empowerment of farmers Pelaga as the main actors of development of agro-based Tri Hita Karana, so can enhance the local economy by developing tourism products typical Pelaga such as tour packages, souvenirs, etc. with a Total Value Attreactiveness Score (TAS) of 5.66.

It needs consistency and synergy between the government, business and the people to control agricultural fields function alteration by the development of agrotourism based on Tri Hita Karana at Pelaga Village, Petang Sub-district, Badung Regency.


(11)

xi RINGKASAN

STRATEGI PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DENGAN PENGEMBANGAN AGROWISATA BERBASIS TRI HITA

KARANA: STUDI KASUS DI DESA PELAGA, KECAMATAN PETANG,

KABUPATEN BADUNG

Kabupaten Badung memiliki pertumbuhan sektor pariwisata yang begitu pesat, utamanya di wilayah Badung Selatan. Tingginya perkembangan sektor pariwisata memberikan dampak kepada lingkungan, utamanya sektor pertanian. Perkembangan sektor pariwisata yang kebablasan dapat mengancam keberlanjutan sektor pertanian jika alih fungsi lahan pertanian di berbagai daerah di Kabupaten Badung tidak segera disikapi. Perda RTRW No. 26 Tahun 2013 mengatur zona pembagian wilayah Kabupaten Badung menetapkan Badung Utara sebagai daerah konservasi menjadi suatu perlindungan hukum bagi kawasan tersebut. Badung Utara khususnya Desa Pelaga memiliki potensi pertanian dalam arti luas. Potensi alam ini hendaknya dimanfaatkan oleh masyarakat lokal/petani untuk dikembangkan agrowisata.

Agrowisata merupakan wisata alam yang memadukan aktivitas sektor pertanian (sektor primer) ke dalam sektor pariwisata (sektor tersier) tanpa melakukan eksploitasi yang berlebihan dengan menjaga pelestarian lingkungan. Agrowisata memanfaatkan obyek-obyek pertanian sebagai obyek wisata yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perpaduan sistem agribisnis. Dalam hal ini perlu adanya sinergi Tri Mitra dan Tri Karya yaitu pemerintah sebagai pembuat aturan, dunia usaha sebagai penggerak perekonomian dan petani/masyarakat Desa Pelaga sebagai obyek. Agrowisata dapat menciptakan harmoni antara sektor pertanian dan pariwisata dengan aktivitas petani dan wisatawan didalamnya yang menjaga keletarian alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang akan menjadi landasan pentingnya pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Pengembangan ini sebagai wujud pelestarian lingkungan dan pengendalian alih fungsi lahan pertanian untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan.

Tri Hita Karana merupakan tiga penyebab kebahagiaan dan kesejahteraan yang ditunjukkan dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan

(parahyangan), manusia dengan sesamanya (pawongan) dan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Konsep tersebut analog dengan sistem kebudayaan yang meliputi subsistem pola pikir/konsep, subsistem sosial dan subsistem artefak/kebendaan. Melalui implementasi konsep Tri Hita Karana

dalam pengembangan agrowisata yang berlandaskan nilai-nilai agama di Desa Pelaga, diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam dan menjaga kelestarian lingkungan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman; untuk menganalisis rumusan alternatif strategi; dan untuk menentukan strategi yang paling tepat diprioritaskan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.


(12)

xii

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung dengan pemilihan lokasi secara purposive (sengaja). Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif seperti Perda Kabupaten Badung dan monografi Desa Pelaga serta data kuantitatif seperti data time series kondisi lahan pertanian Kabupaten Badung, data jumlah penduduk, luas lahan dan sebagainya. Beberapa instrumen yang digunakan untuk menunjang penelitian ini diantaranya buku catatan, hadphone, kamera dan angket/kuesioner. Responden penelitian ditentukan secara sengaja sebanyak 21 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah wawancara, observasi, studi dokumentasi dan FGD (Focus Group Disscusion).

FGD dilaksanakan pada tanggal 28 Pebruari 2015 di Ruang Pertemuan Kantor Perbekel Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung dengan peserta sejumlah 28 orang dari unsur eksternal dan unsur internal. Dari unsur eksternal yang hadir dalam FGD diantaranya: Wakil Bupati Badung, Ketua DPRD Kabupaten Badung, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Camat Petang, Manajer Bagus Agro Plaga, Mahasiswa Program Pascasarjana Agribisnis UNUD dan Karang Taruna Kelurahan Kapal. Unsur internal yang hadir meliputi Perbekel Desa Pelaga, Kelian Subak dan Kelian Banjar Dinas yang ada di Desa Pelaga. Dari FGD tersebut menghasilkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) serta faktor eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Metode analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan matrik IFAS ((Internal StrategicFactors Analysis Summary) dan matrik EFAS (External StrategicFactors Analysis Summary) untuk mencari nilai bobot, rating dan skor dari masing-masing faktor internal dan eksternal. Hasil perhitungan IFAS pada faktor kekuatan dengan skor tertinggi sebesar 0,229 yaitu kesadaran masyarakat untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah Perda RTRW No.26 Tahun 2013 yang menetapkan Desa Pelaga sebagai kawasan konservasi yang wajib dilindungi dan dilestarikan. Sedangkan kelemahan yang paling penting untuk diperhatikan dengan nilai skor tertinggi sebesar 0,192 yaitu skill SDM masih rendah. Hasil perhitungan matriks EFAS menunjukkan total skor tertinggi sebesar 0,318 untuk faktor peluang yaitu pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana dapat mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan faktor ancaman dengan total skor tertinggi sebesar 0,459 ialah kedatangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bisa menjadi ancaman jika masyarakat lokal tidak mampu bersaing dan mengembangkan diri sehingga penting untuk diwaspadai

Hasil matrik IFAS dan EFAS yang memiliki skor lebih tinggi sebanyak 4-6 faktor internal dan eksternal yang dianggap penting, dimasukkan ke dalam matrik SWOT. Matrik SWOT merupakan pendekatan kualitatif. Gabungan faktor internal dan eksternal dalam matrik SWOT menghasilkan empat kategori strategi alternatif yaitu S-O, S-T, W-O, dan W-T. Strategi alternatif dari analisis SWOT terbagi menjadi tiga aspek strategi yang dikaitkan dengan konsep Tri Hita Karana. Aspek konsep/pola pikir/parahyangan strategi alternatif yang harus


(13)

xiii

dicapai ialah mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat petani Desa Pelaga sebagai pelaku utama pembangunan agrowisata berbasis Tri Hita Karana, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan mengembangkan produk wisata khas Pelaga seperti paket-paket wisata, cenderamata, dan lain sebagainya; mendorong kreatifitas dan memotivasi masyarakat setempat untuk berwirausaha mengelola hasil pertanian Desa Pelaga ke dalam agroindustri atau home industry; menjadikan peraturan pemerintah Perda RTRW No.26 Tahun 2013 sebagai pelindung dengan mensosialisasikan kepada masyarakat untuk meningkatkan konservasi di Desa Pelaga dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian dalam rangka konsep berkelanjutan (sustainable); meningkatkan kegiatan ritual seperti upacara, adat dan budaya untuk mengimplementasikan Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat di Desa Pelaga; dan memberikan sanksi yang tegas bagi masyarakat yang mengalihfungsikan jalur hijau menjadi bangunan fisik atau non pertanian di Desa Pelaga.

Berdasarkan aspek sosial/pawongan maka rumusan alternatif strategi yang diperoleh yaitu melaksanakan dan meningkatkan intensitas pendidikan dan pelatihan mengenai pemandu wisata, teknologi pertanian, pengolahan hasil pertanian, bahasa asing dan lain sebagainya kepada petani dan masyarakat Desa Pelaga agar memiliki kemampuan untuk bersaing dan mengembangkan diri serta membangun kerjasama dengan pemerintah, dunia usaha (PHRI dan ASITA) dan masyarakat petani Desa Pelaga dalam mengembangkan agrowisata, penyaluran hasil pertanian dan promosi agrowisata.

Berdasarkan aspek artefak/kebendaan/palemahan maka rumusan alternatif strateginya ialah mengoptimalkan daya tarik kawasan pertanian Desa Pelaga dengan menata kawasan pertanian secara unik dan menarik dengan konsep one village one product; membangun sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas agrowisata dengan konsep back to nature (menyatu dengan alam) seperti rumah tinggal wisatawan yang memanfaatkan rumah penduduk dengan arsitektur alami, jalur tracking, pasar agribisnis dan sebagainya; dan membudayakan gerakan menanam sejuta pohon "Keep Green for Pelaga" bagi wisatawan yang berkunjung untuk meningkatkan konservasi.

Hasil faktor internal dan eksternal dan rumusan alternatif strategi tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan matrik QSPM untuk mencari strategi utama atau strategi yang paling diprioritaskan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Strategi prioritas dari matrik QSPM dengan nilai Total Attreactiveness Score (TAS) sebesar 5.66 ialah strategi mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat petani Desa Pelaga sebagai pelaku utama pembangunan agrowisata berbasis Tri Hita Karana, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan mengembangkan produk wisata khas Pelaga seperti paket-paket wisata, cenderamata, dan lain sebagainya. Strategi ini termasuk aspek konsep/pola pikir/parahyangan yang berhasil menduduki peringkat satu atau prioritas. Bila petani sejahtera dan agrowisata berbasis Tri Hita Karana mampu dikelola oleh masyarakat Desa Pelaga dengan dukungan pemerintah dan dunia usaha maka tidak akan ada alih


(14)

xiv

fungsi lahan pertanian sehingga tercipta kelestarian alam dan pertanian berkelanjutan.

Saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini ialah 1) diperlukan pemberdayaan masyarakat petani di Desa Pelaga dengan memberikan pendidikan dan pelatihan agar mampu bersaing dan mengembangkan skillnya, 2) diperlukan komitmen dan konsistensi dari pemerintah untuk mendorong masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan melalui pemberdayaan alam, 3) diperlukan kerjasama yang intensif dengan pemerintah, dunia usaha dan travel agent untuk meningkatkan pemasaran dan penyaluran hasil pertanian maupun untuk meningkatkan promosi daya tarik wisata yang ada di Desa Pelaga, 4) diperlukan dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah untuk peningkatan nilai sapta pesona serta perlu dibuatkan fasilitas penginapan yang ramah lingkungan, 5) perlu dikembangkannya pasar agribisnis yang tertata dengan baik disepanjang jembatan Tukad Bangkung untuk menjual berbagai produk hasil pertanian, oleh-oleh khas Pelaga ataupun cenderamata sehingga dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat setempat.


(15)

xv DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Strategi ... 12

2.2. Agrowisata ... 13

2.3. Tri Hita Karana ... 18

2.4. Alih Fungsi Lahan Pertanian ... 22

2.5. Pengendalian Lahan Pertanian ... 25

2.6. Penelitian Terdahulu ... 27

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP ... 32

3.1. Kerangka Berpikir ... 32

3.2. Konsep ... 35

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1. Rancangan Penelitian ... 38

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

4.3. Sumber dan Jenis Data ... 40

4.3.1. Sumber data ... 40

4.3.2. Jenis data ... 41

4.4. Instrumen Penelitian ... 41

4.5. Teknik Pengumpulan Data ... 42

4.5.1. Wawancara ... 42


(16)

xvi

4.5.3. Studi dokumentasi ... 42

4.5.4. Focus Group Disscusion (FGD) ... 43

4.6. Identifikasi Variabel ... 43

4.6.1. Identifikasi faktor internal ... 43

4.6.2. Identifikasi faktor eksternal ... 45

4.7. Metode Analisis Data ... 47

4.7.1. Analisis SWOT... 47

4.7.2. Analisis QSPM ... 58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

5.1. Gambaran Umum Desa Pelaga ... 60

5.1.1. Letak geografis ... 60

5.1.2. Iklim ... 60

5.1.3. Tata guna tanah... 60

5.1.4. Perwilayahan ... 61

5.1.5. Potensi penduduk... 61

5.1.6. Potensi kelembagaan ... 63

5.2. Penentuan Faktor Internal dan Eksternal ... 65

5.2.1. Identifikasi faktor internal ... 66

5.2.2. Identifikasi faktor eksternal ... 68

5.3. Perumusan Alternatif Strategi ... 70

5.3.1. Pendekatan kuantitatif SWOT ... 71

5.3.2. Pendekatan kualitatif SWOT ... 83

5.4. Penentuan Strategi Prioritas dengan Analisis QSPM ... 86

BAB IV PENUTUP ... 102

6.1. Simpulan ... 102

6.2. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1. Data Series Kondisi Lahan Pertanian Kabuapten Badung

(Tahun 2009-2013) ... 3

4.1. Faktor Internal dengan Elemen Faktor Kekuatan ... 44

4.2. Faktor Internal dengan Elemen Faktor Kelemahan ... 45

4.3. Faktor Eksternal dengan Elemen Faktor Peluang ... 46

4.4. Faktor Eksternal dengan Elemen Faktor Ancaman ... 47

4.5. Matriks IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary) ... 50

4.6. Matriks EFAS (Eksternal Strategic Factor Analysis Summary) ... 52

4.7. Penilaian Bobot Faktor Strategi Internal ... 53

4.8. Penilaian Bobot Faktor Strategi Eksternal ... 53

4.9. Matriks SWOT Kearns (1992) ... 56

4.10. SWOT Strategic Issue ... 56

4.11. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM) ... 58

5.1. Jenis Kegunaan Lahan di Wilayah Desa Pelaga ... 61

5.2. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan ... 62

5.3. Jumlah Penduduk Angkatan Kerja Menurut Jenis Mata Pencaharian ... 63

5.4. Faktor Internal Elemen Faktor Kekuatan ... 67

5.5. Faktor Internal Elemen Faktor Kelemahan ... 68

5.6. Faktor Internal Elemen Faktor Peluang ... 69

5.7. Faktor Internal Elemen Faktor Ancaman ... 70

5.8. Matrik IFAS (Internal Strategic Factor Analysis Summary) ... 75

5.9. Matrik EFAS (External Strategic Factor Analysis Summary) ... 78

5.10. Matrik SWOT ... 84

5.12. Alternatif Strategi ... 85


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. ZonasiAgrowisata ... 17

2.2. Analogi konsep THK dengan sistem kebudayaan ... 21

3.1. Kerangka Berpikir ... 34

4.1. Pola Pikir Analisis SWOT ... 49

4.2. Diagram Analisis SWOT ... 54

5.1. Hasil Diagram Analisis SWOT ... 80


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Rekapitulasi Alih Fungsi Lahan Per Kecamatan Tahun 2009-2013 111

2. Peta Desa Pelaga ... 116

3. Jadwal Kegiatan Penyusunan Usulan Penelitian ... 117

4. Responden Penelitian ... 118

5. Peserta Focus Group Disscusion ... 120

6. Dokumentasi Penelitian ... 122

7. Pedoman Wawancara ... 125

8. Kuesioner Penelitian ... 128

9. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Kekuatan dan Kelemahan ... 142

10. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Peluang dan Ancaman ... 145

11. Hasil Perhitungan Rating Faktor Kekuatan dan Kelemahan ... 148

12. Hasil Perhitungan Rating Faktor Peluang dan Ancaman ... 151

13. Perhitungan Matrik QSPM ... 154


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) agar proses alih fungsi lahan dapat dikendalikan dengan baik. Dalam undang-undang tersebut diuraikan bahwa lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk. Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial, bahkan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha pertanian, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya masih bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat.

Kabupaten Badung merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali. Luas wilayah 418,52 km2 (7 % dari Luas Bali), terdiri dari enam Kecamatan, 46 Desa dan 16 Kelurahan. Jumlah Penduduk 578.275 orang (pertumbuhan 6,4% dominan oleh migrasi). Potensi ekonomi di Kabupaten Badung meliputi industri pariwisata, industri kerajinan rakyat dan pertanian.

Bentang wilayah Kabupaten Badung dibagi menjadi tiga zone yaitu hulu, tengah dan hilir. Zone hulu terdiri dari hutan/gunung yang merupakan kawasan konservasi. Secara filosofi hutan/gunung adalah ibu dari pertanian yang secara ekologis mengalirkan air dari hulu, tengah hingga ke hilir. Posisi hulu dapat


(21)

2

menyelamatkan lingkungan bila dilestarikan dengan baik. Zone tengah merupakan kawasan pertanian (sawah irigasi) dan tempat berkembangnya sektor industri. Pariwisata Badung terkenal dengan pariwisata budaya. Sistem pertanian yang khas dengan terasering sawah yang indah mampu menjadi daya tarik pariwisata. Namun fenomena terjadinya alih fungsi lahan tidak dapat dibendung sehingga pemerintah perlu memiliki komitmen/kebijakan ekonomi yang sesuai agar mampu menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang mengancam kelestarian alam. Zone hilir merupakan kawasan pariwisata. Pariwisata di Kabupaten Badung sangat berkembang pesat namun pembangunan fasilitas wisata yang begitu marak menyebabkan tingginya alih fungsi lahan pertanian. Secara filosofi, pertanian adalah ibu dari pariwisata. Tanpa adanya pertanian yang merupakan warisan budaya dan penghasil pangan maka pariwisata tidak dapat berjalan dengan baik. Pariwisata akan dapat berkembang baik apabila menempatkan sektor pertanian sebagai pendukung utama yang dapat disinergikan pengembangannya.

Kabupaten Badung terkenal sebagai kawasan wisata yang sarat akan nilai budaya dan kekayaan alam yang melimpah, menarik serta lahan pertanian yang luas dan berpotensi untuk dikembangkan. Wisatawan tertarik berlibur ke Bali karena pesona alamnya yang indah, alam yang hijau, sejuk dan nyaman. Semua itu tidak terlepas dari sinergi yang baik antara sektor pertanian dan pariwisata yang menghasilkan pengembangan agrowisata yang menarik yang dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat setempat.

Seiring dengan perkembangan globalisasi yang semakin pesat serta kedatangan wisatawan dari berbagai negara dengan tujuan yang berbeda


(22)

3

mempengaruhi berbagai bidang kehidupan termasuk perkembangan infrastruktur di Kabupaten Badung. Banyaknya investor yang datang menyebabkan meningkatnya jumlah pembangunan diberbagai sektor khususnya di Kabupaten Badung. Pembangunan wisata berkelanjutan (sustainable tourism) terus dikembangkan. Namun pengembangan kawasan wisata di Kabupaten Badung dititikberatkan pada pembangunan wisata non pertanian seperti hotel, villa, pusat perbelanjaan, hiburan, bidang industrialisasi dan juga perumahan. Adapun data series kondisi lahan pertanian di Kabupaten Badung diuraikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Data Time Series Kondisi Lahan Pertanian Kabupaten Badung (Tahun 2009-2013)

No. Tahun

URAIAN Jumlah Lahan

Pertanian (Ha)

Jumlah Alih Fungsi

(Ha)

1. 2009 10.295 0

2. 2010 10.285 10

3. 2011 10.243 42

4. 2012 10.195 51

5. 2013 10.144 51

TOTAL 154

Sumber: Badung dalam angka (2014)

Tabel 1.1. menunjukkan data time series kondisi lahan pertanian di Kabupaten Badung lima tahun terakhir. Dalam tabel tersebut terlihat adanya peningkatan alih fungsi lahan dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Pada tahun 2009 tidak tercatat terjadinya alih fungsi lahan dengan luas lahan berjumlah 10.295 Ha. Pada tahun 2010 terjadi alih fungsi lahan sejumlah 10 Ha sehingga luas lahan pertanian berkurang menjadi 10.285 Ha. Pada tahun 2011 terjadi alih fungsi lahan sejumlah 42 Ha sehingga luas lahan pertanian berkurang menjadi 10.243 Ha. Pada


(23)

4

tahun 2012 terjadi alih fungsi lahan pertanian sejumlah 51 Ha sehingga luas lahan pertanian berkurang sejumlah 10.195 Ha. Pada tahun 2013 terjadi alih fungsi lahan sejumlah 51 Ha sehingga luas lahan pertanian berkurang sejumlah 10.144. Jadi total alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun terakhir (2009-2013) berjumlah 154 Ha. Terjadinya alih fungsi lahan yang berkesinambungan dapat mengancam keberlanjutan lahan pertanian. Penjabaran lebih lengkap mengenai rekapitulasi alih fungsi lahan per Kecamatan di Kabupaten Badung dapat dilihat pada Lampiran 1.

Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Badung tergusur oleh pembangunan perumahan, pelebaran jalan, dan akomodasi pariwisata yang menyebabkan terjadinya penurunan jumlah lahan pertanian. Melihat potensi perkembangan pariwisata yang cukup pesat di Badung Selatan menyebabkan pembangunan berbagai fasilitas pariwisata tidak bisa dihentikan sehingga lahan habis tereksploitasi untuk berbagai kepentingan pariwisata dan bisnis. Lokasi ini memang sangat strategis dan menjadi incaran para investor dan masyarakat untuk membangun dan mengembangkan bisnisnya.

Badung Tengah yang terkenal akan potensi industri dan perdagangan juga mengalami alih fungsi lahan pertanian secara berkesinambungan. Bahkan jalur hijau dibangun dan dijadikan tempat berjualan tanpa memperdulikan peraturan yang dibuat pemerintah. Alih fungsi lahan pertanian semakin tidak terkendali sampai mengorbankan jalur hijau yang ditetapkan sebagai lahan yang tidak dapat dialihfungsikan semakin terancam. Hal ini memberi kesan kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi berbagai kebijakan dan peraturan yang telah dibuat. Masyarakat dengan berbagai kepentingan dengan mudah membangun sesuai


(24)

5

keinginan tanpa memikirkan pelestarian alam dan dampak yang ditimbulkan dimasa akan datang.

Pariwisata akan menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik diantaranya: 1) semakin menurunnya minat generasi muda menjadi petani. Dampak dari pariwisata juga berpengaruh terhadap generasi muda Bali yang tidak mau lagi bertani karena kesenjangan yang lebar antara sektor pertanian dan pariwisata. 2) pesatnya alih fungsi lahan sawah beririgasi kearah penggunaan lain di luar pertanian (Sutawan, 2005 dalam Suyastiri, 2012).

Adanya persaingan pemanfaatan lahan pertanian antara sektor pertanian dengan pariwisata sangat dirasakan di Bali. Dalam persaingan itu selalu sektor pertanian yang terpaksa mengalah atau dikalahkan dengan dalih sektor lain lebih menjanjikan menghasilkan devisa. Terbukti penurunan lahan pertanian dan beralih fungsi menjadi non pertanian sangat signifikan terutama untuk pengembangan sektor pariwisata dan pemukiman akibat proses urbanisasi yang tak terkendali.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman bagi kelestarian alam pertanian dan kedaulatan pangan. Kecenderungan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini jelas akan mengancam keberlanjutan pembangunan pertanian dimasa yang akan datang. Terutama dalam penyediaan pangan dan tenaga kerja yang pada akhirnya akan berdampak pada kontribusi sektor pertanian. Alih fungsi lahan pertanian yang subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya terpadu melalui pengembangan wisata hijau dalam mewujudkan Kabupaten Badung yang hijau dan berbudaya sesuai dengan program pemerintah yaitu BaliClean andGreen.


(25)

6

Pembangunan kepariwisataan Bali bertujuan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat sehingga terwujud cita-cita pariwisata untuk Bali dan bukan Bali untuk pariwisata. Lahan bagi masyarakat Bali memiliki nilai yang strategis, kultural dan keagamaan. Oleh karena itu, lahan pertanian bagi masyarakat Bali sangat mutlak atau perlu.

Badung Utara terletak di hulu, memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Pariwisata budaya mengusung kearifan lokal dan kaya akan sumber daya alam (lahan pertanian) yang indah. Namun selama ini pengembangan pariwisata hanya difokuskan di Badung Selatan. Hal ini menyebabkan terjadinya arus urbanisasi yang tidak terkendali sehingga terjadi lonjakan jumlah penduduk di wilayah Badung Selatan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis dan jangka panjang. Reorientasi cara berpikir yang bersifat kepada pelestarian serta pemerataan wilayah-wilayah pembangunan sangat diperlukan untuk membentuk kebijakan-kebijakan tersebut.

Perkembangan sektor pariwisata yang berkembang pesat di Kabupaten Badung, perlu menempatkan sektor pertanian dalam aktivitas sektor pariwisata. Hal ini dimaksudkan supaya petani selaku penyedia pangan dan pemilik lahan, pengelola wisata sebagai leading sector dalam pengembangan tempat wisata serta pemerintah selaku pemangku kebijakan diharapkan mampu bersinergi. Tujuannya untuk menciptakan keseimbangan alam sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Sesuai dengan visi Kabupaten Badung “Melangkah bersama membangun Badung yang Shanti dan Jagadhita berdasarkan Tri Hita Karana”.


(26)

7

Kawasan Badung Utara kaya akan sumber daya alam yang melimpah dengan hasil pertanian dan perkebunan serta keindahaan alam yang mempesona. Kawasan Badung Utara khususnya Desa Pelaga, Kecamatan Petang memiliki potensi untuk dikembangkan agrowisata berbasis Tri Hita Karana. Potensi agrowisata tersebut ditujukan dari keindahan alam pertanian dan produksi sektor pertaniannya yang cukup berkembang.

Potensi pertanian perlu dimanfaatkan dalam upaya pengembangan agrowisata di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung dengan melibatkan masyarakat setempat. Hal ini dapat berfungsi sebagai pemberdayaan masyarakat berbasis pariwisata (community based tourism) dengan pendayagunaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Pengembangan agrowisata diyakini dapat membangun suatu sistem kegiatan terpadu dan terkoordinasi untuk mengembangkan sektor pariwisata sekaligus sektor pertanian dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Sehingga agrowisata dapat disebut sebagai kegiatan yang memihak pada rakyat miskin (Goodwin, 2000 dalam Windia, dkk.2007).

Tri Hita Karana merupakan suatu hubungan atau kehidupan yang harmonis dan seimbang antara bhakti/percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengabdikan diri kepada sesama manusia (sosial) dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan konsep yadnya. Sutjipta (2010) mengemukakan bahwa filosofi Tri Hita Karana merupakan filosofi yang paling mendasar dari kehidupan komunal masyarakat Bali, dengan demikian Tri Hita Karana sangat perlu dihayati dan dikembangkan


(27)

8

dalam pariwisata. Selanjutnya agrowisata dapat berkembang dengan baik jika adanya kerjasama Tri Mitra dan Tri Karya pembangunan agrowisata yang meliputi, pemerintah sebagai pembuat aturan, rakyat/petani sebagai subyek, dan dunia usaha pariwisata sebagai penggerak perekonomian rakyat.

Pengembangan agrowisata akan mendorong tumbuhnya kutub-kutub pertumbuhan baru sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Kutub pertumbuhan baru tersebut diharapkan dapat memberikan dampak tetesan ke bawah (trickle down effect) yang bermanfaat bagi pemerataan lapangan pekerjaan yang bermuara pada pemerataan pendapatan rumah tangga masyarakat pedesaan ( community-based tourism). Peran masyarakat lokal dioptimalkan sehingga tetesan ke bawah (trickle down effect) dan penyebaran ekonomi (spread effect) pengembangan pariwisata ini akan dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat (Vipriyanti dan Kardi, 2013).

Lingkungan alam atau palemahan adalah bagian dari subsitem artefak/kebendaan dari sistem kebudayaan di Bali yang merupakan satu kesatuan. Jika satu subsitem kebudayaan rusak maka akan mempengaruhi seluruh subsistem itu. Oleh sebab itu, Salim (1986) menyatakan rusaknya alam dapat menghancurkan sektor pariwisata karena pariwisata Bali bersandar pada kebudayaan. Salah satu prinsip kepariwisataan ialah menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan (Pasal 5 UU RI No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan).


(28)

9

Pengembangan sektor pertanian dan pariwisata yang seimbang diperlukan melalui agrowisata berbasis Tri Hita Karana sebagai wujud dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Agar tercipta keharmonisan, maka diperlukan strategi-strategi yang tepat sebagai solusinya. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian dengan Pengembangan Agrowisata Berbasis Tri Hita Karana: Studi Kasus di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengendalian alih fungsi lahan dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung?

2. Bagaimana rumusan alternatif strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung?

3. Strategi apakah yang paling tepat diprioritaskan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung?


(29)

10

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengendalian alih fungsi lahan dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui rumusan alternatif strategi pengendalian alih fungsi lahan dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

3. Untuk menentukan strategi yang paling tepat diprioritaskan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian dengan pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat Akademik.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melatih cara berpikir ilmiah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian. Dengan demikian dapat mendukung dan memperkuat teori mengenai alih fungsi lahan, agrowisata dan Tri Hita Karana.


(30)

11

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Badung dalam menentukan kebijakan-kebijakan dan perencanaan pembangunan utamanya di Desa Pelaga, Kecamatan Petang. Selanjutnya pemerintah bisa membuat kebijakan yang strategis berlandaskan konsep Tri Hita Karana. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memperhatikan pertanian berkelanjutan melalui pengembangan agrowisata untuk menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Dengan harapan dimasa yang akan datang lahan pertanian tidak habis tereksploitasi, tercipta ketahanan pangan, kawasan wisata yang hijau dan lestari. Hal ini sesuai dengan program pemerintah Bali Green dengan berlandaskan konsep Tri Hita Karana dalam mewujudkan keseimbangan alam dan pertanian yang berkelanjutan.


(31)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Strategi

Kata strategi berasal dari bahasa Yunani yaitu strategos yang artinya komandan militer. Pada mulanya konsep strategi digunakan untuk kepentingan militer, yaitu suatu cara, seni, rencana, siasat (trick) yang digunakan untuk mengalahkan musuh dan untuk memenangkan perang. Dalam dunia bisnis, manajemen stategi digunakan untuk memenangkan persaingan. Strategi didesain dan dilakukan untuk mencapai tujuan suatu organisasi baik yang berjangka pendek maupun jangka panjang (Nilasari,2014).

Porter (1996) ikut mendefinisikan startegi yang menurutnya adalah penciptaan posisi unik dan berharga yang didapatkan dengan melakukan serangkaian aktivitas. Menurutnya esensi staregi adalah memilih aktivitas yang tidak dilakukan oleh pesaing atau lawan. Chandler (1962) menyatakan strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber daya. Selain itu, ada juga definisi lebih khusus dari dua pakar strategi, Hamel dan Prahalad (1995) mendefinisikan startegi sebagai tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan.

Manajemen strategi adalah seni dan ilmu untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional membuat organisasi mampu mencapai tujuannya (David,2002). Menurut Pearch dan


(32)

13

Robinson (1997) manajemen strategik adalah kumpulan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran organisasi. Manajemen strategi adalah suatu proses kombinasi antara tiga aktivitas yaitu analisis strategi, perumusan strategi dan implentasi strategi (Saladin, 2003). Manajamen strategi menekankan dan mengutamakan pengamatan dan evaluasi mengenai peluang (opportunities) dan ancaman (threats) lingkungan eksternal perusahaan dengan melihat kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) dalam lingkungan internal perusahaan.

2.2. Agrowisata

Salah satu sektor pariwisata di Indonesia yang potensial untuk dikembangkan adalah agrowisata. Agrowisata adalah pengembangan industri wisata alam yang bertumpu pada pembudidayaan wisata alam, memanfaatkan alam tanpa melakukan eksploitasi yang berlebihan agar tetap terlindungi (Perda RTRW No.26 Tahun 2013). Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan, 2005).

Tirtawinata dan Fachruddin (1996) berpendapat bahwa agrowisata merupakan suatu upaya dalam rangka menciptakan produk wisata baru (diversifikasi). Agrowisata merupakan kegiatan wisata yang terintegrasi dengan


(33)

14

keseluruhan sistem pertanian dan pemanfaatan obyek-obyek pertanian sebagai obyek wisata, seperti teknologi pertanian maupun komoditi pertanian (Anonim, 2004). Nurisyah (2001), menyatakan agrotourism/agrowisata/wisata agro atau wisata pertanian merupakan penggabungan antara aktivitas wisata dan aktivitas pertanian.

Menurut Sznajder et. al. (2009) agrowisata merupakan diversifikasi produk wisata yang menggabungkan aktivitas pertanian (agro) dan rekreasi di sebuah lingkungan pertanian. Agrowisata memberi peluang wisatawan untuk terlibat dalam aktivitas rekreasi pedesaan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha dibidang agro. Kegiatan agrowisata sangat potensial untuk dikembangkan melalui konsep pemberdayaan berbasis masyarakat.

Secara umum, Sznajder et. al. (2009) mengemukakan tiga fungsi agrowisata, yaitu fungsi psikologis, ekonomis, dan lingkungan. Fungsi sosio-psikologis bahwa agrowisata berfungsi untuk memberikan keterampilan wirausaha, pengalaman, dan profesi baru bagi petani; pengalaman bertemu dengan orang baru/asing; menghidupkan kembali tradisi perdesaan; dan pendidikan. Fungsi ekonomis agrowisata, yaitu untuk menstimulasi pengembangan fasilitas akomodasi; pengembangan pertanian, hortikultura, dan pemuliaan hewan; menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi tingkat pengangguran; diversifikasi aktivitas ekonomi di wilayah perdesaan; dan memberikan tambahan pendapatan bagi petani dan pemerintah setempat. Selanjutnya, fungsi lingkungan meliputi peningkatan perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan, pengembangan infrastruktur lokal, peningkatan nilai perumahan (misalnya


(34)

15

menjadikannya homestay), pemanfaatan sumberdaya, dan menghentikan migrasi masa dari wilayah perdesaan.

Sutjipta (2010) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Petani bisa membuat stand hasil pertaniannya di sepanjang jalur yang dilintasi oleh para wisatawan. Wilayah agrowisata dapat secara otomatis berfungsi sebagai pasar yang mempertemukan antara para petani sebagai penghasil produk pertanian dengan para wisatawan sebagai penikmat produk. Produk yang dimaksud tidak sebatas yang berwujud seperti buah-buahan atau sayur-sayuran, tetapi dapat berupa jasa misalnya mengukir buah, jasa local guide, dan mungkin atraksi tari-tarian para petani lokal yang mengekspresikan kehidupan pertanian mereka.

Pada dasarnya agrowisata menempatkan sektor primer (sektor pertanian) dalam sektor tersier (sektor pariwisata) yang bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan petani. Petani dan sektor pertanian akan mendapat keuntungan dari aktivitas agrowisata. Agrowisata mampu menjaga keberlajutan sektor pertanian. Agrowisata bertujuan agar petani mendapatkan peningkatan pendapatan dari kegiatan pariwisata yang memanfaatkan sektor pertanian atau sektor primer tersebut sehingga sektor pertanian tidak semakin terpinggirkan. (Windia dan Dewi, 2011).

Ada beberapa aspek yang perlu dilaksanakan untuk pengembangan wisata agro menurut Situs Departemen Pertanian (2005) sebagai berikut.


(35)

16

1) Aspek pengembangan sumberdaya manusia. 2) Aspek sumberdaya alam.

3) Aspek promosi, baik melalui media informasi atau dari mulut ke mulut. 4) Aspek sarana transportasi.

5) Aspek kelembagaan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Menurut Sastrayuda (2010) unsur pengembangan agrowisata adalah mengemas berbagai aktivitas pertanian sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan daya tarik yang unik (Unique Selling Point) untuk disajikan sebagai ODTW agro wisata. Secara garis besar ada dua hal yang perlu dikemas menjadi satu paket wisata agar dapat menarik wisatawan sebagai berikut.

1) Budidaya

Berbagai budidaya mulai dari pembibitan, pengolahan tanah, penanaman dan pemeliharaan hingga panen dapat menjadi kegiatan-kegiatan yang sangat menarik wisatawan apabila kita dapat mengemasnya menjadi satu kegiatan yang unik atau langka.

2) Penataan kawasan areal

Apabila kawasan pertanian akan dijadikan sebagai obyek agrowisata perlu ditata sedemikian rupa sehingga akan menimbulkan daya tarik. Penataan kawasan dapat dilakukan dengan cara menerapkan sistem zonasi. Penataan zonasi amatlah penting sebagaimana dikemukakan Wallace (1995) dalam Sastrayuda (2010) suatu sistem zonasi yang terencana dengan baik akan memberikan kualitas yang tinggi terhadap pengalaman pengunjung dan memberikan lebih banyak pilihan yang akan mempermudah pengelola untuk


(36)

17

beradaptasi terhadap perubahan pasar, untuk lebih jelasnya dapat dicermati pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Zonasi Agrowisata

(Wallace,1995 dalam Sastrayuda,2010)

a. Dalam zona inti dapat dikembangkan berbagai kegiatan atraksi wisata yang saling berkaitan dengan potensi sumber daya pertanian sebagai ODTW agro. Area ini memiliki keunikan tersendiri (unique selling point).

b. Dalam zona penyangga lebih menitikberatkan atau memfokuskan kepada penyangga yang dapat memperkuat kesan hijau, nyaman dan memiliki nilai konservasi yang tinggi. Pada zona penyangga sebaiknya dihindari bangunan-bangunan yang permanen, terbuat dari beton atau batu.

Zona Inti

Buffer Zone Zona Antara Zona Pengembangan

Zone Pelayanan

Area untuk pengembangan wisata agro lebih berfungsi budidaya.

Atraksi/daya tarik wisata/ utama dikembangkan.

Area yang memiliki

keterbatasan untuk

dikembangkan zona pembatas antara inti dan pelayanan.

Area dimana seluruh kegiatan fasilitas kebutuhan wisatawan dikembangkan.

Akses keluar


(37)

18

c. Dalam zona pelayanan, semua kegiatan dan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh pengunjung atau wisatawan seperti restaurant, bussines centre hotel, pelayanan informasi, panggung kesenian, dan lain-lain.

d. Dalam zona pengembangan lebih menitikberatkan kepada kegiatan penelitian pengembangan/budi daya dari masing-masing komoditi.

2.3. Tri Hita Karana

Istilah Tri Hita Karana pertama kali dikemukakan sejak tahun 1964 dalam satu pertemuan Konferensi Badan Perjuangan Umat Hindu Bali (BPUHB, kemudian berubah menjadi Prajanithi Hindu Indonesia) di Aula Perguruan Dwijendra Denpasar. Namun konsep Tri Hita Karana yang disampaikan dalam konferensi tersebut masih sebatas lisan. Baru pada tahun 1967, yakni saat BPUHB berubah menjadi Prajanithi, konsep tersebut dirumuskan dan disusun dalam bentuk buku yakni sebagai bagian dari buku Prajanithi Widia Sesana. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas dan memasyarakat (Sutedja,2012).

Tri Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

1) Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan). 2) Manusia dengan sesamanya (Pawongan).


(38)

19

Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali yang minimal mempunyai tiga unsur pokok, yaitu: wilayah, masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan. Menurut Wiana (2007) falsafah hidup berdasarkan Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III.10, meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana, dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada lingkungannya (Kamadhuk).

Pandangan manusia terhadap alam cenderung merasa dirinya sebagai penguasa alam tanpa memikirkan dampak kerusakan lingkungan. Seharusnya manusia melestarikan alam dan memiliki pandangan yang benar terhadap alam. Pertama, manusia (individu) seharusnya memandang dirinya sebagai bagian dari alam (Prakrti) sehingga usaha memelihara alam juga berarti memelihara dirinya. Kedua, menyadari bahwa alam mempunyai hak untuk ada dan lestari. Manusia tak memiliki wewenang untuk merusaknya. Ketiga, karena dua hal tersebut maka manusia harus bijak mengolahnya. Mengambil manfaat dari alam sekaligus mengupayakan kelestariannya (Wirawan, 2011).

Prinsip Tri Hita Karana merupakan filosofi yang diajarkan di dalam Bhagawadghita, yaitu mengajarkan tentang tiga hal pokok kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu dharma/kebenaran Tuhan dan hakekat manusia, meningkatkan kekeyakinan hati akan kebenaran Tuhan, dan bagaimana


(39)

20

berbuat di dalam kebenaran Tuhan (Palguna, 2007). Ketiga hubungan antara komponen dalam Tri Hita Karana berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya, hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan), yakni melaksanakan berbagai upacara keagamaan. Hubungan antara manusia dengan manusia (Pawongan atau Bhuana Alit), yakni dengan melakukan koordinasi/hubungan dengan organisasi atau masyarakat sekitarnya. Hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan atau Bhuana), yakni memberikan arahan bagaimana manusia mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah atau lahan pertanian, air irigasi, tanaman dan hewan agar dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat.

Sebagai warisan sumberdaya budaya Bali, landasan yang dipergunakan sistem pertanian dalam mengelola organisasinya adalah landasan harmoni dan kebersamaan, yang merupakan perwujudan universal dari konsep Tri Hita Karana (THK) yang menjiwai pertanian di Bali. Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya. Perwujudan ketiga unsur Tri Hita Karana di dalam sistem pertanian dicirikan sebagai berikut.

1) Adanya bangunan-bangunan suci sebagai wujud parhyangan seperti Sanggah Catu, Pura Bedugul, Pura Ulun Danu, dan lain-lain.

2) Adanya organisasi dengan perangkatnya seperti gapoktan (gabungan kelompok tani) dan adanya kelompok subak yang terdiri dari anggota (krama), pengurus (prajuru) dengan segala peraturan (awig-awig) sebagai wujud dari pawongan.


(40)

21

3) Lahan pertanian atau lingkungan alam serta air yang difungsikan sebagai sarana utama pengairan dengan jaringan irigasi yang lengkap merupakan perwujudan palemahan yang harus dijaga.

Konsep Tri Hita Karana pada dasarnya analog dengan sistem kebudayaan yang memiliki tiga elemen, yaitu: 1) elemen/subsistem pola pikir/konsep/nilai, 2) subsistem sosial, dan 3) subsistem artefak/kebendaan (Koentjaraningrat, 1993 dalam Windia dan Dewi, 2011). Keterkaitan antar subsistem analogi Tri Hita Karana dapat digambarkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2.

Analogi konsep THK dengan sistem kebudayaan (Windia dan Dewi, 2011)

Tri Hita Karana digambarkan analog dengan sistem kebudayaan, maka semua subsistemnya terlihat saling berkaitan dan ada pengaruh lingkungan pada sistem tersebut. Pengalaman manusia Bali beradaptasi dengan lingkungannya dapat memunculkan salah satu elemen dari kebudayaan Bali yang disebut Tri Hita

Lingkungan

Lingkungan Pawongan

(Sub sistem sosial)

Palemahan (Sub sistem artefak/kebendaan)

Parhyangan (Sub sistem pola pikir/


(41)

22

Karana. Esensi pemahaman tentang THK bahwa tujuan dari THK adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui proses harmoni dan kebersamaan (Windia dan Dewi, 2011).

Dengan penerapan konsep Tri Hita Karana dalam pengembangan agrowisata berlandaskan nilai-nilai agama didalamnya dapat menjaga keseimbangan alam. Falsafah Tri Hita Karana memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi.

2.4. Alih Fungsi Lahan Pertanian

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Lahan pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi lahan pertanian menjadi bukan pertanian atau non pertanian baik secara tetap maupun sementara. Utomo, dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan sebagai perubahan fungsi


(42)

23

sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Harsono (1992) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan lahan terjadi karena peningkatan keperluan untuk pembangunan pemukiman dan industri serta pembangunan jaringan prasarana dan berbagai fasilitas umum.

Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi ini bersifat permanen. Namun jika lahan sawah dialihfungsikan menjadi lahan lain maka alih fungsi bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat diubah menjadi lahan sawah kembali. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen pada umumnya lebih besar dan berdampak lebih serius dari pada alih fungsi yang bersifat sementara.

Astawa (2009) dalam bukunya yang berjudul “Kearifan Lokal dan Pembangunan Ekonomi Suatu Model Pembangunan Ekonomi Bali Berkelanjutan” menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian di Bali tidak dapat dibendung oleh kekuatan apapun. Banyak aturan hukum yang dibuat tetapi hanya menjadi

pajangan sehingga oleh banyak pihak disebut sebagai “macan ompong”. Lahan

pertanian telah beralih fungsi secara signifikan untuk pembangunan infrastruktur sosial dan fasilitas umum, perumahan dan investasi swasta dan pembangunan berbagai usaha ekonomi produktif sehingga mengalami pengurangan secara gradual karena berbagai tekanan dan kepentingan masyarakat dengan berbagai alasan.


(43)

24

Perubahan penggunaan lahan pada umumnya mengurangi jumlah lahan pertanian. Oleh sebab itu pengembangan sektor pertanian pada umumnya terdapat pada wilayah dengan tanah yang subur. Pada wilayah ini selanjutnya berkembang pusat-pusat pemukiman penduduk disertai prasarana dan fasilitas umum seperti halnya kawasan wisata. Pengembangan sarana prasana semakin meningkat dan peralihan fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian semakin pesat. Alih fungsi lahan yang begitu dahsyat baik untuk perumahan, perkantoran maupun tempat wisata menjadikan kondisi pertanian semakin mengkhawatirkan.

Ada beberapa penyebab ditinggalkannya sektor pertanian menurut Dhyana (2009) sebagai berikut.

1. Sektor pertanian membutuhkan biaya (input) yang besar seperti mahalnya harga pupuk, bibit atau obat-obatan sedangkan hasil (output) tidak begitu besar apalagi bersaing dengan makanan impor yang lebih diminati golongan atas. 2. Pemerintah kurang konsisten dan berpihak terhadap kondisi pertanian kita,

tampak dengan kebijakan pemerintah yang membuka kran impor sehingga masyarakat lebih cenderung memilih makanan impor.

3. Semakin menyempit atau menyusutnya lahan produktif di Bali yang diganti dengan pembangunan sarana fisik berupa bangunan pemukiman, maupun perhotelan serta pertokoan (ruko).

4. Sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca serta hama dan penyakit.


(44)

25

5. Imbas kemajuan sektor pariwisata secara ekonomis dinilai lebih menguntungkan dan hasilnya lebih cepat sehingga masyarakat lebih cenderung berkecimbung di sektor tersebut.

Adanya fenomena alih fungsi lahan pertanian ini kemudian diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 yang bertujuan untuk melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani sekaligus meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang lebih baik.

2.5. Pengendalian Lahan Pertanian

Menurut UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

Pengendalian Lahan Pertanian dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian:

a. Insentif

Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a UU No. 41 Tahun 2009 diberikan kepada petani berupa:

a. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan; b. pengembangan infrastruktur pertanian;

c. pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; d. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi;


(45)

26

e. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;

f. jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik; dan/atau

g. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. b. Disinsentif

Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam UU No.41 Tahun 2009 berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak memenuhi kewajibannya.

c. Mekanisme Perizinan

1. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

2. Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. dilakukan kajian kelayakan strategis;

b. disusun rencana alih fungsi lahan;

c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

d. Proteksi;

Proteksi merupakan sistem perlinduangan baik langsung maupun tidak langsung, yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendukung petani. Proteksi atau perlindungan pekerja merupakan suatu keharusan bagi perusahaan yang diwajibkan oleh pemerintah melalui peraturan perudang – udangan. Proteksi ini


(46)

27

dapat memberikan kontribusi positif bagi peningaktan nilai tambah sektor pertanian.

e. Penyuluhan

Penyuluhan merupakan ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Penyuluhan dan pelatihan dilakukan untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia khususnya petani.

Selain langkah-langkah di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengendalian alih fungsi lahan menurut UU No.41 Tahun 2009 ialah dengan revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian adalah kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan, dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang meneliti tentang alih fungsi lahan ialah Astawa (1998) yang mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan petani menjual lahan pertanian mereka sebagai berikut.

1. Pajak

Sejak pariwisata tumbuh, harga jual tanah meningkat sehingga membawa implikasi terhadap pajak. Hal ini akan mendorong petani menjual lahannya karena tidak mampu membayar pajak.


(47)

28

2. Harga

Harga tanah yang tiba-tiba melambung tinggi membuat pemilik lahan pertanian tergoda untuk menjual lahannya. Saat itu pula sebagian dari mereka tidak sebagai petani lagi tetapi menjadi orang kaya baru (OKB).

3. Hasil Pertanian

Hasil pertanian tidak menentu, disamping tidak adanya kepastian harga. Nasib petani seperti pepatah “naik tangga dan jatuh, tertimpa tangga pula”. Nilai jual pada saat panen sangat murah bahkan tidak ada permintaan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor pendorong petani merelakan lahan pertanian mereka untuk dialihfungsikan.

4. Perilaku Generasi Muda

Generasi muda Bali relatif lebih suka menanti pekerjaan, dibandingkan dengan menggarap lahan pertanian. Sehingga ketika tawaran datang dari pemodal tentu menjual tanah hanya menunggu waktu.

Menurut Ilham, dkk (2003) dampak alih fungsi lahan dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya lahan sawah diperuntukkan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya alih fungsi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah menjadi pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi. Sementara itu volume produksi yang hilang akibat dari alih fungsi lahan ditentukan oleh pola tanam yang diterapkan pada lahan sawah yang belum dialihkan, produktivitas usahatani dari masing-masing


(48)

29

komoditi dari pola tanam yang diterapkan, dan luas lahan sawah yang beralih fungsi.

Windia, dkk (2007) berpendapat bahwa pada dasarnya kegiatan sektor pertanian adalah bagian dari kegiatan budaya masyarakat. Oleh karenanya, semua kegiatan di sektor pertanian termasuk dalam rangka pengembangan agrowisata dapat dipandang/dikaji dengan pendekatan sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan memiliki tiga subsistem yakni subsistem konsep/pola pikir, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Terlebih dahulu kembangkan konsep/pola pikir dari rencana pengembangan agrowisata bahwa pengembangan agrowisata sangat penting dan bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat. Kalau kesepakatan masyarakat sudah bulat, dilanjutkan dengan mengembangkan kesepakatan sosial masyarakat, dilanjutkan dengan mengembangan kesepakatan yang berkait dengan artefak/kebendaan, misalnya kesepakatan tentang tata ruang agrowisata, design pengembangan agrowisata di lapangan, termasuk kesepakatan pengorbanan lahan dari penduduk dalam rangka pengembangan design agrowisata. Kurniadi (2009) melalui analisis SWOT dan analisa prioritas melalui analisis QSPM menghasilkan beberapa alternatif strategi yaitu: mengembangkan pemasaran yang inovatif, pengembangan sarana-prasarana pendukung wisata yang efektif, mengembangkan kerjasama dengan para investor untuk pembangunan kawasan ekowisata inovatif dan ramah lingkungan, mengembangkan paket program wisata berbasis komunitas peminat ekowisata, mengembangkan jejaring, membangun keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata secara efisien dan efektif serta strategi mengembangkan produk yang fokus terhadap karakteristik


(49)

30

spesifik potensi daya dukung ekowisata dan mengembangkan paket-paket wisata yang menjual kekhasan wilayahnya.

Mudita (2009) menyimpulkan pengembangan agrowisata berbasis pada budaya petani, pengembangan agrowisata dengan bernuansa alami, mempertahankan tanah atau lahan dan agama Hindu, pembangunan diwariskan, pembangunan berpegang pada landasan hidup masyarakat, pelaksanaan pembangunan berbasis peraturan adat atau awig-awig, pengembangan agrowisata mengedepankan spesifik lokalita, pembangunan berwawasan agribisnis, dan pembangunan berpihak kepada petani. Disamping itu, hasil penelitian Witari (2011) menyimpulkan bahwa prioritas strategi yang dipilh dalam mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung ialah strategi optimalisasi lahan dan lembaga persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah.

Penelitian mengenai agrowisata dilakukan oleh Vipriyanti dan Kardi (2013) menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan pembangunan dan dampak ekonomi pariwisata di Bali Selatan dan Utara. Investasi pariwisata di Bali sangat dominan terkonsentrasi di wilayah Bali bagian selatan (Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar). Kabupaten Buleleng memiliki beberapa komoditi pertanian yang tidak berkembang di kabupaten lainnya di Bali yaitu ikan kerapu, anggur, beras Bali, serta buah tropis. Peluang pengembangan komoditas tersebut menjadi objek agrowisata ditunjang oleh aksesibilitas yang baik dan dukungan masyarakat yang tinggi. Upaya untuk membangun perekonomian di Kabupaten Buleleng harus didasari oleh revitalisasi tradisi-keyakinan-aspirasi-budaya atau TRAC ( Tradition-Religion-Aspiration-Culture).


(50)

31

Penelitian terdahulu yang telah dijabarkan di atas memiliki perbedaan dengan penelitian pada tesis ini. Tulisan pada tesis ini lebih banyak menjabarkan tentang pemaksimalan potensi yang dimiliki oleh Desa Pelaga seperti kekuatan dan peluang yang dimiliki, menjadi beberapa alternatif strategi untuk menekan kelemahan dan ancaman dalam pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana. Penelitian tesis ini Pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana di Desa Pelaga menekankan pengoptimalan peran serta masyarakat lokal Desa Pelaga sebagai subyek pembangunan, meningkatkan konversi dan penataan daya tarik kawasan pertanian di Desa Pelaga dengan mengembangkan agrowisata berbasis Tri Hita Karana untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sehingga tercipta kelestarian alam dan pertanian berkelanjutan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ialah sama-sama mengkaji tentang agrowisata dan ada juga yang mengkaji tentang alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, penelitian tesis ini memiliki harapan yang sama yaitu meningkatkan pendapatan petani. Teori yang digunakan sebagai pedoman memiliki kesamaan seperti halnya teori tentang konsep Tri Hita Karana dengan sistem kebudayaan yang dipakai dalam penelitian Windia,dkk (2007). Namun cakupan dalam penelitian tesis ini lebih luas yaitu mengkaji tentang alih fungsi lahan pertanian dan pengembangan agrowisata di Desa Pelaga.


(1)

e. penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian;

f. jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik; dan/atau

g. penghargaan bagi petani berprestasi tinggi. b. Disinsentif

Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam UU No.41 Tahun 2009 berupa pencabutan insentif dikenakan kepada petani yang tidak memenuhi kewajibannya.

c. Mekanisme Perizinan

1. Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

2. Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. dilakukan kajian kelayakan strategis;

b. disusun rencana alih fungsi lahan;

c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.

d. Proteksi;

Proteksi merupakan sistem perlinduangan baik langsung maupun tidak langsung, yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendukung petani. Proteksi atau perlindungan pekerja merupakan suatu keharusan bagi perusahaan yang diwajibkan oleh pemerintah melalui peraturan perudang – udangan. Proteksi ini


(2)

dapat memberikan kontribusi positif bagi peningaktan nilai tambah sektor pertanian.

e. Penyuluhan

Penyuluhan merupakan ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Penyuluhan dan pelatihan dilakukan untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia khususnya petani.

Selain langkah-langkah di atas, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengendalian alih fungsi lahan menurut UU No.41 Tahun 2009 ialah dengan revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian adalah kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan, dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang meneliti tentang alih fungsi lahan ialah Astawa (1998) yang mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan petani menjual lahan pertanian mereka sebagai berikut.

1. Pajak

Sejak pariwisata tumbuh, harga jual tanah meningkat sehingga membawa implikasi terhadap pajak. Hal ini akan mendorong petani menjual lahannya karena tidak mampu membayar pajak.


(3)

2. Harga

Harga tanah yang tiba-tiba melambung tinggi membuat pemilik lahan pertanian tergoda untuk menjual lahannya. Saat itu pula sebagian dari mereka tidak sebagai petani lagi tetapi menjadi orang kaya baru (OKB).

3. Hasil Pertanian

Hasil pertanian tidak menentu, disamping tidak adanya kepastian harga. Nasib petani seperti pepatah “naik tangga dan jatuh, tertimpa tangga pula”. Nilai jual pada saat panen sangat murah bahkan tidak ada permintaan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor pendorong petani merelakan lahan pertanian mereka untuk dialihfungsikan.

4. Perilaku Generasi Muda

Generasi muda Bali relatif lebih suka menanti pekerjaan, dibandingkan dengan menggarap lahan pertanian. Sehingga ketika tawaran datang dari pemodal tentu menjual tanah hanya menunggu waktu.

Menurut Ilham, dkk (2003) dampak alih fungsi lahan dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya lahan sawah diperuntukkan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya alih fungsi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah menjadi pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi. Sementara itu volume produksi yang hilang akibat dari alih fungsi lahan ditentukan oleh pola tanam yang diterapkan pada lahan sawah yang belum dialihkan, produktivitas usahatani dari masing-masing


(4)

komoditi dari pola tanam yang diterapkan, dan luas lahan sawah yang beralih fungsi.

Windia, dkk (2007) berpendapat bahwa pada dasarnya kegiatan sektor pertanian adalah bagian dari kegiatan budaya masyarakat. Oleh karenanya, semua kegiatan di sektor pertanian termasuk dalam rangka pengembangan agrowisata dapat dipandang/dikaji dengan pendekatan sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan memiliki tiga subsistem yakni subsistem konsep/pola pikir, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Terlebih dahulu kembangkan konsep/pola pikir dari rencana pengembangan agrowisata bahwa pengembangan agrowisata sangat penting dan bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat. Kalau kesepakatan masyarakat sudah bulat, dilanjutkan dengan mengembangkan kesepakatan sosial masyarakat, dilanjutkan dengan mengembangan kesepakatan yang berkait dengan artefak/kebendaan, misalnya kesepakatan tentang tata ruang agrowisata, design pengembangan agrowisata di lapangan, termasuk kesepakatan pengorbanan lahan dari penduduk dalam rangka pengembangan design agrowisata. Kurniadi (2009) melalui analisis SWOT dan analisa prioritas melalui analisis QSPM menghasilkan beberapa alternatif strategi yaitu: mengembangkan pemasaran yang inovatif, pengembangan sarana-prasarana pendukung wisata yang efektif, mengembangkan kerjasama dengan para investor untuk pembangunan kawasan ekowisata inovatif dan ramah lingkungan, mengembangkan paket program wisata berbasis komunitas peminat ekowisata, mengembangkan jejaring, membangun keterlibatan masyarakat dalam usaha ekowisata secara efisien dan efektif serta strategi mengembangkan produk yang fokus terhadap karakteristik


(5)

spesifik potensi daya dukung ekowisata dan mengembangkan paket-paket wisata yang menjual kekhasan wilayahnya.

Mudita (2009) menyimpulkan pengembangan agrowisata berbasis pada budaya petani, pengembangan agrowisata dengan bernuansa alami, mempertahankan tanah atau lahan dan agama Hindu, pembangunan diwariskan, pembangunan berpegang pada landasan hidup masyarakat, pelaksanaan pembangunan berbasis peraturan adat atau awig-awig, pengembangan agrowisata mengedepankan spesifik lokalita, pembangunan berwawasan agribisnis, dan pembangunan berpihak kepada petani. Disamping itu, hasil penelitian Witari (2011) menyimpulkan bahwa prioritas strategi yang dipilh dalam mempertahankan pertanian sawah di Kabupaten Badung ialah strategi optimalisasi lahan dan lembaga persubakan dalam peningkatan hasil pertanian sawah.

Penelitian mengenai agrowisata dilakukan oleh Vipriyanti dan Kardi (2013) menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan pembangunan dan dampak ekonomi pariwisata di Bali Selatan dan Utara. Investasi pariwisata di Bali sangat dominan terkonsentrasi di wilayah Bali bagian selatan (Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar). Kabupaten Buleleng memiliki beberapa komoditi pertanian yang tidak berkembang di kabupaten lainnya di Bali yaitu ikan kerapu, anggur, beras Bali, serta buah tropis. Peluang pengembangan komoditas tersebut menjadi objek agrowisata ditunjang oleh aksesibilitas yang baik dan dukungan masyarakat yang tinggi. Upaya untuk membangun perekonomian di Kabupaten Buleleng harus didasari oleh revitalisasi tradisi-keyakinan-aspirasi-budaya atau TRAC (


(6)

Penelitian terdahulu yang telah dijabarkan di atas memiliki perbedaan dengan penelitian pada tesis ini. Tulisan pada tesis ini lebih banyak menjabarkan tentang pemaksimalan potensi yang dimiliki oleh Desa Pelaga seperti kekuatan dan peluang yang dimiliki, menjadi beberapa alternatif strategi untuk menekan kelemahan dan ancaman dalam pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita

Karana. Penelitian tesis ini Pengembangan agrowisata berbasis Tri Hita Karana

di Desa Pelaga menekankan pengoptimalan peran serta masyarakat lokal Desa Pelaga sebagai subyek pembangunan, meningkatkan konversi dan penataan daya tarik kawasan pertanian di Desa Pelaga dengan mengembangkan agrowisata berbasis Tri Hita Karana untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan pertanian sehingga tercipta kelestarian alam dan pertanian berkelanjutan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu ialah sama-sama mengkaji tentang agrowisata dan ada juga yang mengkaji tentang alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, penelitian tesis ini memiliki harapan yang sama yaitu meningkatkan pendapatan petani. Teori yang digunakan sebagai pedoman memiliki kesamaan seperti halnya teori tentang konsep Tri Hita Karana dengan sistem kebudayaan yang dipakai dalam penelitian Windia,dkk (2007). Namun cakupan dalam penelitian tesis ini lebih luas yaitu mengkaji tentang alih fungsi lahan pertanian dan pengembangan agrowisata di Desa Pelaga.