2.3 Penggunaan Lahan
Lahan merupakan salah satu faktor fisik DAS yang didefinisikan sebagai terrestrial
zone hasil dari gejala atmosfer, biosfer, hidrologi, dan geologi. Lahan sebagai salah
satu alat
untuk memenuhi
memenuhi kebutuhan
manusia Dharoko
1993. Penggunaan lahan land use adalah bentuk
campur tangan intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya Hairiah et al. 2004.
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di
DAS bersifat
dinamis mengikuti
perkembangan penduduk
dan pola
pembangunan wilayah.
Namun, apabila
perubahan penggunaan lahan yang terjadi tidak terkendali maka dapat berakibat buruk
terhadap daya dukung DAS. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada daerah hulu
tetapi juga terhadap daerah hilir. Dampak mendasar yaitu perubahan debit puncak,
volume limpasan, dan nilai hidrograf aliran Hartanto 2009.
Penggunaan lahan daerah aliran sungai mempengaruhi besarnya kapasitas infiltrasi.
Hal tersebut didukung oleh penelitian- penelitian sebelumnya seperti penelitian yang
dilakukan pada DAS Talau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reboisasi DAS Talau
DAS Talau mengalami rebosisasi sehingga mengurangi limpasan yang terjadi pada DAS
tersebut Lusiana et al. 2008. 2.4 Limpasan Permukaan
Curah hujan
merupakan bentuk
presipitasi yang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Curah hujan menjadi input
dalam sistem DAS. Curah hujan yang jatuh memiliki curah hujan efektif atau hujan lebih
excess
rainfall. Curah
hujan efektif
merupakan hujan
yang menyebabkan
terjadinya limpasan
Sosrodarsono dan
Takeda 1983. Menurut Ward dan Robinson 1990,
hujan terjadi karena didukung oleh tiga hal yaitu terdapat uap air, uap air tersebut
kemudian terangkat ke tempat yang dingin dimana terjadi proses kondensasi, dan proses
kondensasi
berlangsung terus
hingga terkumpul massa yang cukup sehingga mulai
terjadi hujan. Hujan yang jatuh dalam suatu DAS sebagian ada yang sampai di permukaan
bumi, sebagian mengalami intersepsi, dan sisanya terevaporasi kembali. Terkait dengan
daerah aliran sungai, limpasan permukaan surface runoff yang terjadi pada suatu derah
aliran sungai terbentuk melalui proses yang kompleks.
Limpasan permukaan
adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan.
Limpasan permukaan berlangsung ketika jumlah curah hujan melampaui kapasitas
infltrasi ke dalam tanah Asdak 1995. Limpasan permukaan dipengaruhi oleh faktor
meteorologi radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan lain-lain, faktor DAS
topografi,
tataguna lahan,
kemiringan, vegetasi penutup permukaan lahan, dan
faktor manusia berupa perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan faktor-faktor tersebut
penggunaan lahan menjadi faktor dominan yang mempengaruhi limpasan permukaan
Seyhan 1977.
Limpasan permukaan dari suatu DAS akan terekam dalam bentuk kurva dan tabel.
Berdasarkan informasi ini maka dapat diketahui bentuk hidrograf suatu DAS. Secara
umum terdapat dua macam bentuk hidrograf yaitu hidrograf tinggi muka air state
hydrograph dan hidrograf debit discharge hydrograph Harto 2000.
2.5 Perubahan Curah Hujan
Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang memiliki keragaman cukup tinggi
menurut ruang dan waktu sehingga curah hujan menjadi unsur iklim yang sering
mengalami perubahan. Perubahan curah hujan dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain fenomena iklim seperti ENSO El Nino Southern Oscilation
dan DME Dipole Mode Event. Analisis perubahan curah hujan memiliki tujuan untuk
mengetahui kondisi curah hujan pada masa mendatang
di suatu
wilayah tertentu
Hermawan 2010. Hulme dan Sheard 1999 menyatakan
bahwa pada masa mendatang kondisi curah hujan di bagian selatan Indonesia secara
umum akan mengalami penurunan hingga 15. Penelitian lain menyatakan bahwa
secara lokal kondisi curah hujan di Jawa Barat akan mengalami penurunan di sebagian
wilayah dan peningkatan di bagian lain. Penurunan curah hujan yang terjadi mencapai
47,08 sedangkan peningkatannya mencapai 31,92 Alfyanti 2010.
Hasil proyeksi menunjukkan wilayah Indonesia bagian utara akan menjadi lebih
kering sedangkan Indonesia bagian selatan menjadi lebih basah Boer 2001.
Perubahan curah hujan di suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi hidrologi wilayah
tersebut. Li et al. 2010 menyatakan bahwa peningkatan
1 curah
hujan dapat
meningkatkan 1
hingga 4
limpasan permukaan runoff. Hal tersebut akan
berimplikasi pada ketidakseimbangan kondisi air saat musim penghujan dan kemarau,
dimana pada saat musim kemarau akan mengalami kekeringan dan pada saat musim
penghujan dapat menimbulkan banjir. 2.6 Model MAGICCSCENGEN
Skenario perubahan curah hujan dalam penelitian ini disusun berdasarkan model
MAGICCSCENGEN. MAGICC Model for the Assessment of Greenhouse-gas Induced
Climate Change merupakan model yang mengintegrasikan model gas rumah kaca,
iklim dan pencairan es. Model ini memberikan output berupa gambaran nilai poyeksi suhu
global rata-rata, level tinggi muka laut akibat dari emisi GRK gas rumah kaca dan SO
2
berdasarkan skenario IPCC Intergovermental Panel on Climate Change. Output yang
dihasilkan oleh model MAGICC kemudian menjadi input dalam model SCENGEN untuk
memproyeksikan perubahan nilai suhu, curah hujan dan tekanan Wigley 2008.
SCENGEN Scenario
Generator merupakan model yang berfungsi untuk
memperoleh nilai skenario perubahan iklim dunia pada masa mendatang berdasarkan hasil
eksperimen model iklim global maupun sederhana yang dikombinasikan dengan data
iklim lokal dan global Mahmud 2011.
Hasil luaran model MAGICCSCENGEN dianalisis sesuai dengan kebutuhan peneliti.
Rata-rata persen perubahan curah hujan merupakan output yang akan dianalisis dalam
penelitian ini. Rata-rata persen perubahan curah hujan ini akan digunakan sebagai input
dalam HEC-HMS dalam menyusun hidrograf aliran
setelah perubahan
curah hujan
Mahmud 2011. Kekurangan model MAGICCSCENGEN
adalah tidak tersedianya teknik downscaling sehingga
hasil luaran
yang dihasilkan
memiliki skala spasial terlalu besar untuk analisis secara lokalregional. Namun, disisi
lain model ini memiliki kelebihan antara lain mudah digunakan sebagai salah satu tools atau
model untuk menganalisis perubahan iklim, dapat membantu mengeksplorasi dan melihat
perubahan konsentrasi gas rumah kaca masa mendatang.
Model MAGICCSCENGEN
melakukan proyeksi
berdasarkan IPCC
sehingga menghasilkan informasi yang dirasa tepat tentang perubahan suhu dan curah hujan
Wigley 2008. Skenario emisi merupakan parameter
penting dalam model MAGICCSCENGEN. Skenario emisi merupakan representasi logis
masa depan terhadap emisi gas rumah kaca. Skenario emisi memiliki range atau nilai
untuk mengidentifikasi sensitifitas suatu unit perubahan iklim. Range tersebut membantu
dalam proses pengambilan kebijakan sebagai langkah
respon menghadapi
perubahan cuacaiklim. Range skenario menunjukkan
skenario emisi yang didasarkan pada indikasi logis, sekumpulan asumsi dan penelitian dari
apa yang akan terjadi pada satu dekade atau satu abad IPCC 2000.
Skema skenario IPCC dalam Special Report on Emission Scenarios SRES ketiga
yaitu TAR Third Assessment Report menunjukkan perkembangan masa depan
terhadap emisi gas rumah kaca di lingkungan global dan regional pada masa yang akan
datang. Skenarios SRES memiliki fungsi untuk melihat cerita masa depan secara
kualitatif dan kuantitatif melalui pendekatan model serta mendeskripsikan demografi,
sosial ekonomi, teknologi, lingkungan dan kebijakan masa depan. Skematik skenario
tersebut tertera pada Gambar 3.
Gambar 3 Skematik SRES. Sumber : IPCC 2000
Skematik SRES
pada Gambar
3 menunjukkan
bahwa skenario
dibangun berdasarkan
gas rumah
kaca sebagai
penggerak utama.
Populasi, ekonomi,
teknologi, energi, pertanian dan tata guna lahan mempengaruhi gas rumah kaca suatu
wilayah. Pohon dua dimensi memiliki dua cabang yaitu ekonomi dan lingkungan dalam
skala global maupun regional. Pohon dua dimensi juga menggambarkan empat skenario.
Skenario SRES yang dilakukan dalam penelitian ini adalah skenario A1B dan A2.
Skenario A1B termasuk dalam skenario emisi grup A1. Skenario A1 mengasumsikan bahwa
pertumbuhan ekonomi pada masa mendatang berlangsung cepat, populasi global meningkat
dan cepatnya pengenalan teknologi baru yang lebih efisien sedangkan skenario A1B
menggambarkan bahwa penggunaan energi yang seimbang antara bahan bakar fosil dan
non-fosil. Skenario emisi A2 menggambarkan bahwa kondisi antar wilayah yang sangat
beragam, kerjasama antar wilayah sangat lemah dan lebih bersifat individu sehingga
pembangunan akan cenderung ke wilayah masing-masing baik dari segi pendapatan
perkapita dan teknologi IPCC 2000.
Parameter lain yang tidak kalah penting adalam model GCM Global Circulation
Model. Global Circulation Model GCM atau model sirkulasi umum merupakan model
dinamik yang didasarkan pada sistem iklim saat ini untuk mensimulasi proses-proses fisik
atmosfer dan lautan Kaimuddin 2000 dalam Kusaeri 2010. GCM memiliki fungsi untuk
menilai dampak peningkatan gas rumah kaca terhadap kondisi atmosfer pada sistem iklim
Von Stroch et al. 1993 dalam Kusaeri 2010. Model GCM CSIRO dan GFDL merupakan
dua model GCM yang digunakan dalam penelitian ini.
Model GCM CSIRO Commonwealth Scientific
and Industrial
Research Organisation
merupakan model
yang dikembangkan oleh Division of Atmospheric
Research CSIRO, Melbourne, Australia. GCM CSIRO menggambarkan interaksi
antara atmosfer dengan lautan. Model ini dapat mensimulasikan siklus harian dan
musiman, dan dapat memprediksi beberapa parameter iklim Nugroho 2001 dalam
Kusaeri 2010. Model GCM yang kedua adalah GFDL Geophysical Fluid Dynamics
Laboratory. Model ini merupakan salah satu model
GCM yang
dikembangkan di
Universitas Princeton,
Amerika Serikat
GFDL 2010. GFDL bekerjasama dengan NOAA
melakukan penelitian
tentang perubahan iklim berdasarkan laporan yang
dikembangkan oleh IPCC GFDL 2010. 2.7 Hidrograf Aliran
Aliran yang terekam pada titik kontrol DAS disajikan dalam bentuk hidrograf.
Hidrograf merupakan
kurva yang
menggambarkan keragaman limpasan dapat berupa tinggi muka air, debit, beban sedimen
terhadap waktu. Hidrograf merupakan suatu ilustrasi suatu daerah aliran sungai terhadap
masukan berupa curah hujan Bras 1990. Namun, untuk hidrograf yang dimaksudkan
pada uraian selanjutnya adalah hidrograf aliran.
Menurut bentuknya, hidrograf aliran terdiri dari tiga bagian Viesman et al. 1977,
yaitu : 1 lengkung naik rising curve atau rising limb, 2 debit puncak quick peak,
dan 3 lengkung menurun falling limb atau recession curve. Bagian-bagian hidrograf
aliran disajikan pada Gambar 4. Bentuk kemiringan sisi naik sangat ditentukan
intensitas dan lama hujan. Kemiringan sisi menurun recession curve dipengaruhi oleh
karakteristik pelepasan air dari simpanan storage sedangkan bentuk hidrograf satuan
ditandai dengan tiga sifat dasar yaitu waktu puncak time to peak, debit puncak peak
discharge, dan waktu dasar base time. Lengkung naik menunjukkan bagian dari
hidrograf antara waktu awal hingga waktu mencapai
debit puncak. Debit puncak merupakan nilai puncak suatu hidrograf.
Lengkung menurun merupakan bagian dari hidrograf mulai dari titik debit puncak hingga
waktu dasar Bras 1990.
Gambar 4 Bagian-bagian hidrograf. Bentuk hidrograf aliran suatu daerah
aliran sungai berbeda-beda sesuai dengan kondisi suatu DAS dalam merespon curah
hujan yang jatuh. Analisis hidrograf aliran menjadi penting untuk mengetahui respon
daerah aliran sungai terhadap curah hujan, mengetahui debit banjir yang akan terjadi
dalam periode tertentu, membantu dalam perencanaan
bangunan seperti
waduk, bendungan dan lainnya Linsley et al. 1982.
Faktor yang
mempengaruhi bentuk
hidrograf aliran dibedakan menjadi dua yaitu faktor tidak tetap berupa faktor meteorologi
dan penggunaan lahan sedangkan faktor tetap berupa karakteristik DAS. Faktor meteorologi
yang mempengaruhi bentuk hidrograf adalah intensitas curah hujan, lama waktu hujan, dan
distribusi curah hujan di daerah aliran sungai.
Intensitas curah
hujan mempengaruhi
kapasitas infiltasi tanah sedangkan lama waktu hujan berhubungan dengan lama waktu
mengalirnya air hujan yan jatuh menuju outlet. Semakin tinggi curah hujan yang jatuh
pada permukaan DAS maka semakin singkat waktu untuk mencapai debit puncak dan nilai
debit puncak akan semakin besar. Distribusi curah hujan yang merata di DAS akan
menyebabkan nilai debit puncak relatif kecil Subarkah 1980.
Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada daerah aliran sungai bersifat dinamis
mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan
wilayah. Namun,
apabila perubahan penggunaan lahan yang terjadi
tidak terkendali maka dapat berakibat buruk terhadap daya dukung DAS. Dampak yang
ditimbulkan tidak hanya pada daerah hulu tetapi juga terhadap daerah hilir. Dampak
mendasar yaitu adanya perubahan debit puncak dan perubahan volume limpasan
Haryanto et al. 2007.
Chow 1988 menjelaskan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi aliran
sungai secara umum
dibagi 2 yaitu,
karakteristik hujan dan karakteristk DAS. Karakteristik hujan yang mempengaruhi aliran
sungai adalah jumlah, intensitas, lama hujan dan distribusi hujan yang jatuh pada suatu
DAS sedangkan dari sisi karakteristik DAS yang mempengaruhi aliran sungai adalah
ukuran DAS, bentuk DAS, topografi, geologi dan
penggunaan lahan.
Disisi lain
karakteristik DAS akan turut mempengaruhi bentuk hidrograf aliran terutama kondisi
akifer di daerah aliran sungai tersebut. Akifer aquifer diartikan sebagai formasi geologi
yang dapat menyimpan dan melepaskan sejumlah air dalam jumlah yang cukup Sri
Harto 2000. Menurut Sri Harto 2000, berdasarkan sifat akifernya kondisi sungai
dibedakan menjadi tiga yaitu sungai yang mampu mengalirkan air sepanjang tahun
sungai
perennial, sungai
yang akan
mengalami kekeringan jika musim kemarau sungai intermitten dan sungai yang aliran
airnya hanya ada di musim penghujan sungai ephemeral. Apabila hidrograf aliran suatu
DAS mendekati keadaan perennial, maka keadaan daerah aliran sungai dirasa cukup
baik.
2.8 Hidrograf Satuan