Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan pengelolaan keuangan daerah yang dilihat dari kinerja keuangannya ternyata menunjukkan
hasil yang kurang diharapkan. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah sama- sama kurang baik dibandingkan dengan periode sebelum desentralisasi, bahkan
bisa dikatakan lebih buruk dalam hal kemandirian suatu daerah di era desentralisasi. Daerah-daerah yang mempunyai PAD lebih besar dari pada daerah
lain adalah daerah-daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor industri dan sektor jasa-jasa.
5.2 Analisis Model Pertumbuhan Ekonomi
Dalam model data panel di mana dua metode estimasi digunakan, terlihat bahwa Fixed Effect Model FEM lebih dipilih dibandingkan metode estimasi
dengan Random Effect Model REM. Hal ini tercermin nilai statistik uji Hausman χ
2
=88.76 yang signifikan pada taraf nyata 1. Hasil uji Hausman menandakan bahwa FEM lebih dipilih daripada REM. Hasil pengolahan dan ujinya disajikan
secara lengkap di Lampiran 1. Kemampuan model dalam menjelaskan permasalahan dapat dilihat dari nilai R-squared-nya. Terlihat bahwa model ini
mampu menjelaskan pertumbuhan ekonomi dengan sangat baik hingga 99.
Tabel 5.4
Hasil pendugaan parameter model terhadap pertumbuhan ekonomi
Dependent Variable: LOGY
Variable Coefficient Std.
Error t-Statistic
Prob.
C 3.833596 1.066486
3.594606 0.0004
LOGK 0.009260 0.003432
2.697769 0.0073
LOGBH 0.014321 0.004514
3.172352 0.0017
LOGDAU 0.001895 0.021569
0.087854 0.9300
LOGDAK 0.018904 0.005778
3.271779 0.0012
LOGPD 0.088884 0.018494
4.806192 0.0000
LOGRD -0.028061 0.013752
-2.040454 0.0421
LOGLD 0.011582 0.005678
2.039814 0.0422
LOGPS 0.008484 0.011355
0.747175 0.4555
LOGL 0.581745 0.078588
7.402450 0.0000
LOGXM 0.146540 0.017007
8.616686 0.0000
D1 0.066196 0.036550
1.811090 0.0711
R-squared 0.994235 F-statistic
1556.898 Adjusted R-squared
0.993596 ProbF-statistic
0.000000
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel dari fungsi produksi Cobb Douglass terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah
di Indonesia adalah modal swasta K, modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil BH, dana alokasi khusus DAK, pajak daerah PD, retribusi daerah RD,
dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah LD, tenaga kerja L, tingkat keterbukaan daerah XM dan variabel dummy desentralisasi fiskal.
Variabel modal dari swasta K signifikan dengan nilai koefisien 0,009. Hal ini bermakna bahwa apabila terjadi peningkatan modal dari swasta sebesar
1 akan menyebabkan meningkatnya output perekonomian pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebesar 0,009 ceteris paribus.
Tabel. 5.5 Perkembangan investasi PMA dan PMDN di Indonesia
PMA PMDN Tahun
000 US Juta Rupiah
1995 6,698,389.49 11,312,532.64
1996 4,629,979.52 18,603,910.99
1997 3,473,415.14 18,628,824.57
1998 5,015,832.60 14,876,435.26
1999 8,206,670.39 16,286,695.98
2000 11,190,467.41 22,038,020.13
2001 3,502,444.17 9,803,486.32
2002 3,082,623.88 12,499,989.21
2003 5,445,259.88 12,247,008.69
2004 4,571,944.52 15,409,350.22
2005 8,911,001.76 30,724,261.98
2006 5,991,678.17 20,648,982.54
2007 10,341,431.97 34,878,691.13
2008 14,871,600.00 20,363,200.00
Sumber: BKPM, 2009 Keterangan: Data sampai Juni 2008
Sekitar tahun 1970-1980 penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbesar adalah dari ekspor minyak bumi. Namun seiring dengan
menurunnya harga minyak bumi dunia pada tahun 1981 hingga 1983 menyebabkan pendapatan Indonesia pada tahun-tahun tersebut menurun drastis
sehingga pertumbuhan ekonomi ikut terkonstraksi. Sehingga mulai tahun 1983 sampai sekarang pemerintah telah melakukan serangkaian deregulasi dan berbagai
kebijakan yang bertujuan meningkatkan peran sektor swasta dalam perekonomian Indonesia. Dampak dari kebijakan ini mulai terasa di akhir dekade 1990-an.
Peningkatan peran sektor swasta untuk berinvestasi mulai meningkat seiring dengan keterbukaan pemerintah dengan membuka kran investasi bagi pemodal
swasta asing Tabel 5.5. Sehingga peran investasi swasta semakin meningkat yang pada akhirnya menjadi salah satu kunci keberhasilan peningkatan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Walaupun dengan pendekatan yang sedikit berbeda, hasil ini mirip dengan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Marianti 1996 dan Prasetyo 2007 yang menganalisis peran modal dalam perekonomian Indonesia. Marianti menemukan
bahwa investasi swasta sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Variabel fiskal lainnya yang juga signifikan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian daerah adalah dana alokasi khusus DAK. Koefisiean parameter
DAK menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PDRB dengan nilai koefisien sebesar 0,018. Ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan penerimaan
keuangan daerah sebesar 1 maka output ekonomi daerah yang bersangkutan akan naik sebesar 0,018 ceteris paribus. Jenis
-jenis DAK saat ini digunakan untuk membiayai pengeluaran infrastruktur dan sarana prasarana penggerak
perekonomian lainnya yang meliputi 12 dua belas bidang, yaitu: pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, air bersih, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana
pemerintahan, lingkungan hidup, kependudukan dan kehutanan. Sesuai dengan tujuannya, pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu
daerah tertentu dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan
pencapaian sasaran prioritas nasional Nota Keuangan 2009. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi.
Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan
menurunkan produktivitas. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan output perekonomian PDB ternyata mempunyai hubungan
yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, yaitu perubahan persentase pertumbuhan PDB per kapita sebagai akibat dari naiknya satu persen ketersediaan
infrastruktur, di berbagai negara bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,44 World Bank, 1994.
Pembangunan infrastruktur baik berupa prasarana transportasi jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jaringan listrik dan komunikasi telepon,
instalasi dan jaringan air minum, serta pendidikan dan kesehatan yang merupakan infrastruktur sosial sangatlah penting dalam meningkatkan perekonomian di suatu
wilayah. Prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak saja oleh rumah tangga namun juga oleh industri. Oleh sebab itu peningkatan prasarana infrastruktur dapat
membawa kesejahteraan dan mempercepat pembanguan ekonomi. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Sibarani 2002, Setiadi 2006 dan Yanuar 2006
menemukan bahwa pembangunan infrastruktur seperti jalan, telepon, kesehatan dan pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap agregat output.
Variabel lain yang signifikan mempengaruhi perekonomian wilayah Indonesia adalah variabel fiskal Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak BH.
Koefisien parameter BH ini menunjukkan nilai positif sebesar 0,014. Hal ini bermakna bahwa peningkatan dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ke daerah
sebesar 1 akan mampu meningkatkan output ekonomi sebesar 0,014 ceteris paribus.
Sebagaimana diketahui bahwa dana bagi hasil baik pajak dan bukan pajak pada era desentralisasi fiskal sebagian pengelolaannya diserahkan ke daerah
penghasil pajak tersebut. Hal ini menyebabkan anggaran untuk pembangunan di daerah penghasil menjadi semakin besar sehingga daerah semakin leluasa untuk
menjalankan fungsinya dalam rangka meningkatkan penyediaan barang publik yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas di daerah tersebut.
Variabel Pajak Daerah PD didalam analisis ini juga terbukti signifikan mempengaruhi perekonomian wilayah Indonesia. Dari hasil pengolahan tercatat
bahwa peningkatan anggaran dari pajak daerah sebesar 1 akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,089. Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma
2006 terhadap pengaruh pajak daerah terhadap pertumbuhan ekonomi menemukan hasil yang mirip walaupun dengan lokus penelitian yang agak
berbeda dimana dia hanya menggunakan pengeluaran pemerintah provinsi.
Scully 1995 dalam Arsal 2004 menyatakan bahwa sampai dengan suatu level tertentu, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah yang kemudian
digunakan untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa dapat membuat keseluruhan sistem perekonomian menjadi lebih produktif. Tanpa adanya peranan
pemerintah misalnya dalam menyediakan infrastruktur dan memelihara keamanan nasional, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat sulit untuk
diwujudkan. Hal ini berarti bahwa sampai dengan suatu level tertentu, berkurangnya satu unit produksi private goods barang - barang swasta akibat
adanya pajak yang dikenakan oleh pemerintah justru akan menghasilkan lebih dari satu unit total produksi nasional. Akan tetapi, di luar level tersebut dimana
pemerintah menggunakan hasil penerimaan pajak untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran yang bersifat tidak produktif, berkurangnya satu unit produksi
barang-barang swasta akan mengakibatkan berkurangnya total produksi nasional lebih dari satu unit, dengan kata lain rusaknya pertumbuhan ekonomi. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat suatu titik optimal dimana terdapat rasio penerimaan pajakPDB tertentu yang dibutuhkan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Titik inilah yang dikenal dengan istilah GMTR Growth Maximazing Tax Rate.
Sementara dalam model teoritis yang lain, Barro menggambarkan hubungan antara rasio penerimaan pajakPDB dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Asumsi dasar yang digunakan oleh Barro adalah bahwa pemerintah menjalankan sistem anggaran berimbang, dalam artian semua
pengeluaran pemerintah dibiayai oleh penerimaan pajak. Dengan asumsi ini Barro dapat menunjukkan secara jelas bahwa rasio penerimaan pajakPDB suatu negara
dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Barro kemudian menggambarkan hubungan ini dalam suatu kurva U terbalik untuk
menunjukkan bahwa sampai dengan titik maksimum tertentu, pertumbuhan PDB per kapita riil akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pajak yang
dapat dikumpulkan oleh pemerintah. Setelah melewati titik maksimum, meningkatnya jumlah pajak yang diikumpulkan oleh pemerintah akan berakibat
pada menurunnya penurunan tingkat pertumbuhan PDB per kapita riil suatu negara.
Dari studi yang dilakukan oleh Miller dan Russek 1997 pada 48 negara bagian di Amerika selama tahun 1978-1992 dihasilkan bahwa perubahan struktur
fiskal negara bagian dan pemerintah lokal akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Peningkatan penerimaan pajak berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi jika penerimaan yang diperoleh digunakan untuk membiayai pembayaran transfer dan akan berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi jika penerimaan pajak digunakan untuk membiayai pelayanan publik serta pengurangan pengeluaran untuk pendidikan, transportasi
dan keselamatan publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bagian. Dari tinjauan ini bisa ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan pajak daerah
yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih berada dibawah level GMTR. Hal ini menyebabkan pajak daerah berperan secara signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi di daerah. Variable retribusi daerah RD terbukti berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dimengerti sebab seiring dengan di mulainya era otonomi daerah, banyak daerah yang berupaya meningkatkan pendapatan asli
daerahnya PAD dengan jalan pintas yaitu dengan menarik retribusi hampir di semua sektor ekonomi tanpa kajian yang matang. Akibatnya menimbulkan
ekonomi biaya tinggi sehingga para pelaku ekonomi investor banyak yang batal ataupun membatasi investasi mereka. Hal ini berakibat menurunkan kinerja
ekonomi. Sampai dengan akhir tahun 2006, terdapat sekitar 280 jenis retribusi baru yang ditetapkan oleh daerah.
Pada umumnya, setiap daerah mengenakan lebih dari 10 jenis retribusi baru dengan hasil yang sangat kecil. Penerimaan retribusi yang memberikan hasil
yang relatif besar adalah retribusi yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan pertambangan, yang sebenarnya telah dikenakan pungutan sejenis oleh
Pemerintah. Sebagian besar pungutan tersebut, berkaitan dengan lalu-lintas barang, misalnya pengenaan retribusi atas pengeluaran dan pemasukan barang,
hasil-hasil bumi, hewan dan ternak, serta retribusi atas penggunaan jalan umum. Sebagian lainnya adalah retribusi yang berkaitan dengan pelayanan administrasi
pemerintahan, seperti penerbitan izin usaha, rekomendasi, legalisasi surat dan
administrasi lainnya, yang seharusnya dapat dibiayai dari penerimaan umum daerah.
Tabel 5.6 Jumlah perda pungutan daerah yang direkomendasikan untuk dibatalkandirevisi berdasarkan wilayah, tahun 2001-2008
No. Wilayah
2001-2006 2007
2008 Jumlah
1 Nanggroe Aceh Darussalam
10 22
1 33
2 Sumatera Utara
99 70
37 206
3 Sumatera Barat
48 32
11 91
4 Riau
41 23
64 5
Kepulauan Riau 6
4 3
13 6
Jambi 37
15 2
54 7
Sumatera Selatan 21
19 40
8 Bangka Belitung
11 28
39 9
Bengkulu 21
4 2
27 10
Lampung 26
26 11
DKI Jakarta 1
1 12
Jawa Barat 65
62 20
147 13
Banten 20
17 6
43 14
Jawa Tengah 70
46 6
122 15
DI Yogyakarta 30
6 6
42 16
Jawa Timur 68
82 49
199 17
Kalimantan Barat 31
19 8
58 18
Kalimantan Tengah 48
49 5
102 19
Kalimantan Selatan 41
19 3
63 20
Kalimantan Timur 39
24 1
64 21
Sulawesi Utara 24
10 34
22 Gorontalo
21 12
2 35
23 Sulawesi Tengah
31 1
17 49
24 Sulawesi Selatan
80 30
110 25
Sulawesi Barat 7
10 17
26 Sulawesi Tengggara
15 15
30 27
Bali 27
14 7
48 28
Nusa Tenggara Barat 41
35 2
78 29
Nusa Tenggara Timur 27
19 46
30 Maluku
16 12
28 31
Maluku Utara 5
5 10
32 Papua
11 44
3 58
33 Irian Jaya Barat
5 25
10 40
Total 1043 773
201 2017
Sumber: Departemen Keuangan, 2009
Akibat dari pengenaan retribusi baru tersebut cenderung mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi dan tidak kondusif bagi iklim investasi, karena
investor dihadapkan dengan berbagai macam pungutan sehingga dapat meningkatkan biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi compliance cost.
Terkait dengan hal tersebut, sebagian besar retribusi baru yang bermasalah telah dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan tersebut dilakukan juga karena tidak
memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian, terdapat beberapa retribusi yang berkaitan dengan pelayanan
administrasi, yang pengenaannya tidak bersifat pajak belum dibatalkan, dengan pertimbangan untuk memberikan ruang bagi daerah dalam meningkatkan
penerimaan dan meningkatkan kualitas pelayanan administrasi. Kecenderungan daerah untuk menciptakan jenis pajak dan retribusi baru
disebabkan karena UU Nomor 34 Tahun 2000 telah memberikan ruang bagi daerah untuk menciptakan berbagai jenis retribusi baru untuk kabupatenkota.
Ruang ini dimanfaatkan hampir semua daerah tanpa memperhatikan kriteria sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.
Apabila dilihat secara rinci, sebagian besar perda pungutan bermasalah yang telah direkomendasikan untuk dibatalkan direvisi terdapat di sektor-sektor
perhubungan 319 Perda, kemudian diikuti sektor pertanian 301 Perda, perindustrian dan perdagangan 254 Perda, serta kehutanan 237 Perda.
Pungutan daerah yang berlebihan pada sektor-sektor ini akan secara langsung membebani masyarakat yang bergerak di bidang tersebut dan memberikan
dampak negatif bagi pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Sistem pengawasan yang relatif lemah terhadap pelaksanaan pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah juga memberikan kontribusi terhadap banyaknya pungutan daerah yang bermasalah. Pengawasan yang bersifat represif yang tidak
disertai dengan sanksi atas pelanggaran pemungutan pajak dan retribusi cenderung dimanfaatkan oleh daerah untuk mengenakan berbagai pungutan yang tidak
memenuhi kriteria. Banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada Pemerintah untuk menghindari
pembatalan Nota Keuangan 2009. Selama era desentralisasi setidaknya dua ribuan perda yang mengatur
tentang retribusi daerah ini di revisi bahkan sebagian di batalkan oleh Departemen Dalam Negeri Depdagri karena disinyalir tidak sesuai dengan kewenangan
daerah dan menimbulkan keresahan di masyarakat khususnya para pelaku ekonomi. Bukan hanya itu saja, seribuan rancangan Perda ranperda terkait
dengan pungutan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah juga mendapat teguran keras dari Depdagri untuk di revisi bahkan ditolak Tabel 5.6 dan 5.7.
Tabel 5.7 Jumlah raperda pungutan daerah retribusi yang direkomendasi- kan untuk ditolakdirevisi berdasarkan wilayah, tahun 2005-2008
2005-2006 2007
2008 Jumlah
No. Wilayah
R T Σ
R T Σ
R T Σ
R T Σ
1 NAD
1 1
2
26 5
31 5 0 5
32 6 38
2 Sumatera Utara
2
2 3 0 3
0 0 0 5 0 5
3 Sumatera Barat
10 3
13 3 0 3
0 0 0 13 3 16
4 Riau
28 6
34 26 4
30 5 0 5
59 10 69
5 Kepulauan Riau
0 8 8 0 0 0
0 8 8
6 Jambi
18 4
22
14 3
17 12 2 14
44 9 53
7 Sumatera Selatan
81 14 95
48 11 59 12 1 13 141 26 167
8 Bangka Belitung
8 2
10 18 4
22 14 5 19
40 11 51
9 Bengkulu
0 0 0 0 0 0
0 0 0
10 Lampung 2
2
11 2
13 8 0 8
21 2 23
11 DKI Jakarta 0 0 0
0 0 0 0 0 0
12 Jawa Barat 7
1 8
52 9 61
13 0 13 72 10 82
13 Banten 1
1 0 0 0
6 0 6 7 0 7
14 Jawa Tengah 39 16
55 63 13 76
26 0 26 128 29 157
15 DI Yogyakarta 0 0 0
0 0 0 0 0 0
16 Jawa Timur 3
3 18 6
24 21 7 28
42 13 55
17 Kalimantan Barat 19
2
21 12 12 24
8 0 8 39 14 53
18 Kalimantan Tengah 17
5
22 28 14 42
10 2 12 55 21 76
19 Kalimantan Selatan 29
8 37
22 4 26
16 5 21 67 17 84
20 Kalimantan Timur 36 10
46 6 3 9
17 2 19 59 15 74
21 Sulawesi Utara 6
1
7
8 6
14 0 0 0
14 7 21
22 Gorontalo 25
3
28 0 0 0
3 0 3 28 3 31
23 Sulawesi Tengah 0 0 0
0 0 0 0 0 0
24 Sulawesi Selatan 16
6 22
8 4 12
4 0 4 28 10 38
25 Sulawesi Barat 9
4
13 2 1 3
0 0 0 11 5 16
26 Sulawesi Tengggara 0 0 0
0 0 0 0 0 0
27 Bali 16
3 19
20 4 24
7 0 7 43 7 50
28 NTB 1
1 0 0 0
0 0 0 0 1 1
29 NTT 5 0 5
5 1 6 10 1 11
30 Maluku 9
9 0 0 0
0 0 0 9 0 9
31 Maluku Utara 0 0 0
0 0 0 0 0 0
32 Papua 4 0 4
0 0 0 4 0 4
33 Irian Jaya Barat 0 0 0
0 0 0 0 0 0
Total 382 90 472 397 113 510 192 25 217 971 228 1199
Sumber : Departemen Keuangan Keterangan:
R : Revisi T
: Tolak
Σ : Jumlah
Bagi sebagian daerah, keinginan untuk mencari sumber pendapatan baru selain yang ditetapkan undang-undang sangat dipengaruhi oleh dorongan untuk
meningkatkan PAD. Seringkali usaha dari peningkatan PAD ini malah memberi dampak negatif dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dengan
memburuknya iklim investasi di daerah. Salah satu studi yang mengungkapkan hal ini adalah kajian yang dilakukan oleh LPEM FEUI 2001 tentang cost of
doing business. Studi tersebut mensinyalir bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah meningkatkan biaya pungutan yang harus ditanggung oleh sektor swasta
yang besarnya dapat mencapai 9-11 dari biaya perusahaan. Studi lain yang dilakukan KPPOD 2003 mengindikasikan hal yang sama.
Beberapa contoh yang menunjukkan bagaimana keinginan daerah untuk meningkatkan PAD berujung pada timbulnya berbagai retribusi daerah, yang
sebagian diantaranya cenderung tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Pertama, Pemda Provinsi Lampung mengeluarkan Perda tentang retribusi izin
komoditi keluar Lampung. Pungutan ini dikenakan terhadap 180 jenis komoditas yang diperdagangkan diekspor keluar lampung, dengan tarif mulai Rp. 2.000kg
hingga mencapai Rp.180.000kg. Bahkan didalam prakteknya barang yang asal muasalnya bukan dari Lampungpun akan dikenakan pungutan juga sejauh tidak
ada dokumen yang menunjukkan asal muasal barang sebenarnya. Kedua, masalah jembatan timbang di Sulawesi Selatan serta beberapa
daerah lainnya. Setelah pemberlakuan UU No.18 Tahun 1997, seluruh jembatan timbang di Indonesia dihapuskan. Namun beberapa waktu setelah tuntutan
otonomi marak, praktek jembatan timbang mulai berjalan kembali. Tujuan jembatan timbang ini adalah untuk menjaga jalan dari kerusakan akibat truk-truk
yang kelebihan muatan. Namun dalam prakteknya, ini menjadi ajang korupsi dan kolusi antara petugas, polisi, sopir dan pengusaha. Seperti di Sulawesi Selatan
yang tidak begitu padat penduduknya, jumlah jembatan timbangnya relatif banyak. Pungutan yang harus dibayar oleh setiap truk berkisar Rp. 5.000 hingga
Rp. 20.000 belum lagi pungutan lain-lain yang tidak resmi. Ketiga beberapa daerah menerapkan pembatasan atau kuota dari
komoditas yang diperdagangkan. Sebagai contoh, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menerapkan batasan jumlah dan juga daerah sasaran dari ternak yang akan
dikapalkan dari daerah-daerah produksi mereka. Tujuannya adalah untuk mempertahankanmenjaga jumlah hewan ternak didaerah-daerah di NTB pada
tingkat yang memadai. Namun secara ekonomi pembatasan demikian agak aneh mengingat hukum pasar akan bekerja mengatur keseimbangan itu sendiri apabila
permintaannya lebih dari pasokan yang disediakan. Dalam prakteknya ternyata pembatasan ini tidak efektif karena yang terjadi justru kolusi, terjadinya kenaikan
ongkos pengurusan dan adanya rent seeking. Variabel fiskal yang cukup signifikan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi adalah komponen laba badan usaha milik daerah LD. Nilai elastisitas variabel ini sebesar 0,01 yang memberi arti bahwa apabila terjadi kenaikan input
dari laba usaha milik daerah sebesar 1, maka akan mampu meningkatkan output ekonomi sebesar 0,01 ceteris paribus. Seiring dengan semangat demokrasi
dewasa ini mendorong pengelolaan BUMD untuk menjadi lebih efisien dan transparan. Banyak BUMD yang telah dikelola dengan baik dan berhasil meraih
pengakuan dari pelaku ekonomi sebagai sebuah perusahaan yang profesional. Temuan yang cukup mengejutkan juga diperoleh dari hasil analisis
ekonometrika ini, bahwa variabel fiskal DAU yang merupakan variabel fiskal utama didalam era desentralisasi ternyata tidak signifikan berpengaruh terhadap
kinerja ekonomi daerah. Beberapa daerah sangat tergantung dengan DAU dan hanya DKI, Kaltim dan Riau yang tidak tergantung. Namun pemanfaatannya oleh
sebagian besar daerah digunakan untuk belanja rutin dan porsi terbesar 60- 80 adalah untuk gaji pegawai Astuti, 2007 dan Media Otonomi, 2009.
Kendati dengan alokasi ini bisa meningkatkan konsumsi dari pegawai yang diharapkan turut menggerakkan perekonomian, namun karena yang menikmatinya
jumlah pegawai relatif sedikit, sehingga kurang begitu signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tujuan dari pemberian DAU memang
didesain bukan untuk memperkuatmempercepat produktifitas, tetapi lebih cenderung sebagai dana penyeimbang, dan memperkecil celah fiskal. Sehingga
daerah yang miskin dengan PDRB yang rendah atau dapat diartikan dengan produktifitas yang rendah akan mendapatkan DAU yang besar, begitu juga
sebaliknya. Hal inilah yang menyebabkan DAU tidak serta merta berkorelasi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi
Variabel fiskal lain-lain pendapatan asli daerah yang sah PS juga diperoleh hasil tidak signifikan dengan koefisien positif. Variabel fiskal lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah ini terdiri dari hasil penjualan barang milik daerah, penjualan barang bekas, cicilan kendaraan bermotor, cicilan rumah dinas,
jasa giro, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, sumbangan pihak ketiga, denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan daerah dan lain-lain yang sejenis.
Variabel fiskal lain-lain pendapatan asli daerah yang sah ini sebenarnya tidak menunjukkan kinerja pemerintah daerah, karena seperti variabel hasil penjualan
barang milik daerah dan denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan daerah justru menunjukkan lemahnya kinerja pemerintah daerah sehingga kurang begitu
berpengaruh terhadap perekonomian daerah Peranan tenaga kerja L dalam pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia
juga sangat signifikan. Bahkan dalam penelitian ini elastisitas peranan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan yang terbesar
dibanding dengan faktor input yang lain. Nilai koefisien dari tenaga kerja sebesar 0,58 yang berarti bahwa apabila terjadi kenaikan jumlah pekerja sebesar 1,
maka akan mampu meningkatkan output ekonomi sebesar 0,58 ceteris paribus.
Nurridzki 2002, dalam penelitiannya juga menemukan bahwa peranan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat besar. Bahkan
setelah tahun 1990-an dia menemukan bahwa yang memberi dampak pertumbuhan ekonomi di kawasan Sumatera adalah faktor tenaga kerja.
Sementara untuk pulau Jawa faktor tenaga kerja telah memberikan dampak terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi sejak dari tahun 1985.
Variabel keterbukaan daerah yang diwakili dengan penjumlahan ekspor dan impor juga signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah di
Indonesia. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa peningkatan ekspor dan impor sebesar 1 disuatu wilayah akan mampu meningkatkan output perekonomian
sebesar 0,15. Dalam teori export base mengemukakan pentingnya peranan sektor
ekspor. Merujuk ide dasar dari teori export base ini, maka cakupannya tidak hanya dilihat dari besarnya volume ekspor dari suatu daerah, akan tetapi juga
diperhitungkan berapa besarnya volume impor ke daerah tersebut. Ini berarti bila kegiatan ekspor memperlihatkan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan
suatu produk yang diekspor, maka impor akan memperlihatkan teknologi baru dari negaradaerah lain yang akan mengefisienkan proses produksi. Beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Barro 1991, Edward 1992 dan Harrison 1996 dalam Jin 2000 juga memperlihatkan bahwa tingkat keterbukaan daerah
memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara
itu peubah
dummy desentralisasi fiskal D1 menunjukkan signifikan tetapi pada level 10, serta koefisiennya relatif kecil. Hal ini
mengindikasikan bahwa walaupun penerapan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal sebagai tulang punggungnya telah diterapkan di Indonesia
sejak tahun 2001, namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat kecil. Sebagian ekonom mensinyalir bahwa kecilnya pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi ini disebabkan karena moment pelaksanaan desentralisasi fiskal yang bersamaan dengan masa
pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi 1998. Karena pada permulaan desentralisasi fiskal perekonomian Indonesia baru pada tahap recovery sehingga
imbas dari krisis masih terasa ketika diterapkannya otonomi daerah. Selain itu sebagian lain mengemukakan bahwa di era desentralisasi, banyak daerah yang
kurang siap baik SDM dan kapabilitas pemerintahnya dalam pengelolaan keuangan dan pembangunan hal ini terlihat dari opini Badan Pemeriksa Keuangan
BPK atas laporan keuangan daerah sejak 2004 hingga 2007 yang menunjukkan temuan yang mengecewakan Media Otonomi, 2009. Faktor lainnya adalah tidak
efisiennya pengelolaan keuangan sebagai imbas dari besarnya dana transfer yang berlebihan.
Lain dari pada itu, tingkat penyerapan anggaran baik ditingkat nasional maupun daerah lamban. Trend dari tahun-ketahun di triwulan pertama,
penyerapan anggaran rata-rata baru mencapai sekitar 6. Dalam beberapa hal, mekanisme penggunaan anggaran malah bersifat kontraproduktif alias ”melawan”
tujuan utamanya. Akibat proyek belum berjalan, pemegang kuasa anggaran didaerah dan pusat menyimpan dananya di Sertifikat Bank Indonesia SBI
dengan dalih agar aman dan juga mendapat bunga Media Otonomi, 2009. Ratusan triliun ”dana-dana pemerintah menganggur” ini bukan saja menyebabkan
sirkulasi uang tidak lancar tapi juga membawa implikasi serius, likuiditas jadi seret. Perbankan harus menawarkan suku bunga tinggi diatas SBI untuk
menghimpun dana masyarakat dan akibatnya dunia usaha menjerit karena
kesulitan cari modal dengan suku bunga wajar. Efek domino seperti ini selalu berulangkali terjadi dan menjadi lingkaran setan vicious circle yang tak kunjung
selesai. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari suntikan dana pemerintah menjadi lamban. Beberapa faktor inilah yang antara lain menyebabkan
peranan desentralisasi relatif kecil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
5.3 Analisis Model Ketenagakerjaan