Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Serta Identifikasi Karagenan Dari Talus Kappaphycus Alvarezii (Doty) Dari Desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Provinsi Bali
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA
IDENTIFIKASI KARAGENAN DARI TALUS Kappaphycus
alvarezii (Doty) DARI DESA KUTUH BANJAR KAJA JATI,
PROVINSI BALI
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkaakultas Farmasi
OLEH:
SUBHAN AHBAR LUBIS
NIM 111524112
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA
IDENTIFIKASI KARAGENAN DARI TALUS Kappaphycus
alvarezii (Doty) DARI DESA KUTUH BANJAR KAJA JATI,
PROVINSI BALI
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
SUBHAN AHBAR LUBIS
NIM 111524112
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA
IDENTIFIKASI KARAGENAN DARI TALUS Kappaphycus
alvarezii (Doty) DARI DESA KUTUH BANJAR KAJA JATI,
PROVINSI BALI
OLEH:
SUBHAN AHBAR LUBIS
NIM 111524112
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal : Oktober 2013
Pembimbing I,
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001 Pembimbing II,
Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. NIP 195008221974121002
Panitia Penguji,
Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195709091985112001
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001
Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt. NIP 195109081985031002
Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002
Medan, Oktober 2013 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat, kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Karakterisasi Simplisia dan Isolasi serta Identifikasi
Karagenan dari Talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dari Desa Kutuh Banjar
Kaja Jati, Provinsi Bali.” Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., Bapak Drs. Suryadi Achmad, M.Sc., Apt., dan Ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan dan Dra. Fat Aminah, M.Si., Apt., selaku penasehat akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis. Ibu kepala Laboratorium Farmakognosi dan Bapak kepala Laboratorium Penelitian yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Drs. H. Syaiful Amri, Lubis, M.Sc., Apt., dan Ibunda Dra. Hj. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., tercinta, yang tiada hentinya berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis, juga kepada Mertuaku Bapak Agustiyono, Ibu Ariastuti Harianti, Abangku Sukroni Aulia Lubis, S.T., dan adikku Saputra Ananda Lubis, S.K.M., yang selalu setia memberi doa, dorongan dan semangat. Kepada rekan-rekan farmasi ekstensi stambuk 2011. Senior dan junior mahasiswa/i Fakultas Farmasi, para asisten laboratorium serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan, dukungan, dan motivasi selama penulis melakukan penelitian.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya. Harapan saya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan kefarmasian.
Medan, Oktober 2013 Penulis
Subhan Ahbar Lubis NIM 111524112
(5)
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA IDENTIFIKASI KARAGENAN DARI TALUS Kappaphycus alvarezii (Doty) DARI DESA
KUTUH BANJAR KAJA JATI, PROVINSI BALI ABSTRAK
Hasil rumput laut menjadi komoditas ekspor bernilai ekonomi tinggi adalah karagenan yang digunakan dalam industri pangan, nonpangan (kertas, cat, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan), farmasi dan kosmetik. Penghasil karagenan antara lain Kappaphycus alvarezii (Doty) yang banyak dibudidayakan pada lokasi perairan Desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Provinsi Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty); rendemen karagenan dengan variasi perlakuan suhu dan waktu ekstraksi, serta karakteristik karagenan yang diperoleh memenuhi persyaratan USP XXX Tahun 2007.
Metode yang digunakan untuk isolasi karagenan dilakukan dengan empat tahap yaitu tahap pra ekstraksi (perendaman dan pemutihan), tahap ekstraksi dengan perlakuan lama ekstraksi 30, 60, 120 menit dan temperatur 80oC, 90oC, dan 100oC, tahap pengendapan dengan Isopropil alkohol, tahap pengeringan dan penggilingan. Identifikasi karagenan hasil isolasi meliputi uji viskositas, susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam, analisis secara spektrofotometri FTIR dan dengan melihat daya kelarutan.
Karakteristik simplisia dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) adalah kadar air 8,64%, kadar sari larut dalam air 22,5%, kadar sari larut dalam etanol 1,10%, kadar abu total 3,20%, dan kadar abu total tidak larut asam 0,13%.Ada pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty). Karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) telah memenuhi persyaratan USP XXX. Identifikasi karagenan menurut kelarutannya menunjukkan karagenan hasil ekstraksi adalah dalam bentuk kappa karagenan. Hasil spektrum FTIR tersebut menunjukkan bahwa tipe karagenan hasil isolasi adalah kappa karagenan. Kata kunci: Kappaphycus alvarezii (Doty), karagenan, isolasi, identifikasi,
(6)
CHARACTERIZATION OF SIMPLEX AND ISOLATION ALSO IDENTIFICATION OF CARRAGEENAN FROM TALUS
Kappaphycus alvarezii (DOTY), VILLAGE OF KUTUH BANJAR KAJA JATI, BALI PROVINCE
ABSTRACT
Results seaweed into high value export commodities is carrageenan used in the food industry, non-food (paper, paint, textile, photography, pasta and fish), pharmaceuticals and cosmetics. Producing carrageenan, among others Kappaphycus alvarezii (Doty), grown on water locations Kutuh Banjar Kaja village Jati, Bali Province. The purpose of this study was to determine the characteristics simplex talus of Kappaphycus alvarezii (Doty); yield carrageenan treatment with variations in temperature and extraction time, as well as the characteristics of carrageenan obtained meets the requirements of USP XXX of 2007.
The method used for the isolation of carrageenan done with four phases: pre-extraction (soaking and bleaching), long treatment phase extraction with extraction of 30, 60, 120 min and temperature of 80oC, 90oC, and 100oC, the deposition phase with isopropyl alcohol, and drying stages milling. Identification of the isolated carrageenan include viscosity test, drying shrinkage, the determination of total ash content, ash content determination is not soluble in acid, spectrophotometric analysis by FTIR and evalute solubility.
Characteristics simplex talus of Kappaphycus alvarezii (Doty) is 8.64% water content, extract content of 22.5% soluble in water, soluble in ethanol extract content 1.10%, total ash content of 3.20%, and total ash content not 0.13% acid soluble. There is the effect of temperature and extraction time on
yield carrageenan isolated from talus Kappaphycus alvarezii (Doty).
Carrageenan isolated from talus Kappaphycus alvarezii (Doty) has met the requirements of USP XXX. Identification of carrageenan according to their solubility shows is extracted in the form of kappa carrageenan. The FTIR spectra results showed that the type of carrageenan is kappa carrageenan isolated.
Keywords: Kappaphycus alvarezii (Doty), carrageenan, isolation, identification, characterization
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 4
1.4 Tujuan ... 4
1.5 Manfaat ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Tanaman ... 6
2.1.1 Habitat dan sebaran rumput laut ... 6
2.1.2 Perkembangbiakan rumput laut ... 6
2.1.3 Sistematika tumbuhan ... 7
2.1.4 Nama daerah ... 8
(8)
Halaman
2.2 Lokasi Budidaya ... 8
2.3 Kandungan kimia ... 11
2.4 Karagenan ... 11
2.4.1 Struktur karagenan ... 12
2.4.2 Sifat-sifat karagenan ... 13
2.4.2.1 Kelarutan ... 13
2.4.2.2 Viskositas ... 15
2.4.2.3 Pembentukan Gelasi ... 16
2.4.3 Kegunaan Karagenan ... 18
2.4.4 Tumbuhan Penghasil Karagenan ... 19
2.5 Ekstraksi ... 20
2.10 Spektrofotometri Inframerah ... 22
2.10.1 Spektrum Inframerah ... 22
2.10.2 Spektroskopi Inframerah Fourier Transform ... 23
BAB III METODE PENELITIAN ... 25
3.1 Alat ... 25
3.2 Bahan ... 26
3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 26
3.3.1 Larutan natrium hidroksida 0,1 N (b/v) ... 26
3.3.2 Larutan asam klorida 2 N (v/v) ... 26
3.3.3 Larutan hidrogen peroksida 1 % (v/v) ... 26
(9)
Halaman
3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 27
3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 27
3.4.3 Pembuatan simplisia rumput laut ... 27
3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 27
3.5.1 Pemeriksaan makroskopik simplisia ... 27
3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 28
3.5.3 Penetapan kadar air ... 28
3.5.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ... 29
3.5.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ... 29
3.5.6 Penetapan kadar abu total ... 30
3.5.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam .. 30
3.6 Isolasi Karagenan ... 30
3.7 Pemeriksaan Karakteristik Karagenan ... 32
3.7.1 Penetapan viskositas ... 32
3.7.2 Penetapan susut pengeringan ... 33
3.7.3 Penetapan kadar abu total ... 33
37.4 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam .. 34
3.8 Penetapan karakteristik karagenan dengan Spektrofotometri FTIR ... 34
3.9 Identifikasi Jenis Karagenan Hasil Isolasi ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 35
(10)
Halaman
4.3 Hasil Isolasi Karagenan ... 37
4.4 Hasil Penetapan Karakteristik Karagenan secara Spektrofotometri FTIR ... 40
4.5 Hasil Identifikasi Jenis Karagenan ... 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
5.1 Kesimpulan ... 42
5.2 Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2 Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut ... 14 3 Identifikasi karagenan menurut kelarutannya ... 35 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia talus Kappaphycus
alvarezii (Doty) ... 36 4.2 Hasil perhitungan rendemen karagenan hasil isolasi dari talus
Kappaphycus alvarezii (Doty) ... 38 4.3 Hasil pemeriksaan karakteristik karagenan hasil isolasi dari
talus Kappaphycus alvarezii (Doty) (USP XXX, 2007) ... 39 4.4 Hasil karakteristik karagenan secara Spektrofotometri FTIR ... 40
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kappa karagenan ... 12
2.2 Iota karagenan ... 13
2.3 Lambda karagenan ... 13
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 47
2 Gambar simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty) ... 48
3 Gambar serbuk simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty) ... 49
4 Gambar mikroskopik serbuk talus Kappaphycus alvarezii (Doty) 10 x 40 ... 50
5 Perhitungan parameter mutu simplisia ... 51
6 Perhitungan identifikasi karagenan ... 56
7 Spektrum karagenan dengan Spektrofotometer FTIR ... 61
8 Hasil pemeriksaan mutu karagenan hasil isolasi ... 62
9 Gambar karagenan hasil isolasi ... 64
(14)
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA IDENTIFIKASI KARAGENAN DARI TALUS Kappaphycus alvarezii (Doty) DARI DESA
KUTUH BANJAR KAJA JATI, PROVINSI BALI ABSTRAK
Hasil rumput laut menjadi komoditas ekspor bernilai ekonomi tinggi adalah karagenan yang digunakan dalam industri pangan, nonpangan (kertas, cat, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan), farmasi dan kosmetik. Penghasil karagenan antara lain Kappaphycus alvarezii (Doty) yang banyak dibudidayakan pada lokasi perairan Desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Provinsi Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty); rendemen karagenan dengan variasi perlakuan suhu dan waktu ekstraksi, serta karakteristik karagenan yang diperoleh memenuhi persyaratan USP XXX Tahun 2007.
Metode yang digunakan untuk isolasi karagenan dilakukan dengan empat tahap yaitu tahap pra ekstraksi (perendaman dan pemutihan), tahap ekstraksi dengan perlakuan lama ekstraksi 30, 60, 120 menit dan temperatur 80oC, 90oC, dan 100oC, tahap pengendapan dengan Isopropil alkohol, tahap pengeringan dan penggilingan. Identifikasi karagenan hasil isolasi meliputi uji viskositas, susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam, analisis secara spektrofotometri FTIR dan dengan melihat daya kelarutan.
Karakteristik simplisia dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) adalah kadar air 8,64%, kadar sari larut dalam air 22,5%, kadar sari larut dalam etanol 1,10%, kadar abu total 3,20%, dan kadar abu total tidak larut asam 0,13%.Ada pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty). Karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) telah memenuhi persyaratan USP XXX. Identifikasi karagenan menurut kelarutannya menunjukkan karagenan hasil ekstraksi adalah dalam bentuk kappa karagenan. Hasil spektrum FTIR tersebut menunjukkan bahwa tipe karagenan hasil isolasi adalah kappa karagenan. Kata kunci: Kappaphycus alvarezii (Doty), karagenan, isolasi, identifikasi,
(15)
CHARACTERIZATION OF SIMPLEX AND ISOLATION ALSO IDENTIFICATION OF CARRAGEENAN FROM TALUS
Kappaphycus alvarezii (DOTY), VILLAGE OF KUTUH BANJAR KAJA JATI, BALI PROVINCE
ABSTRACT
Results seaweed into high value export commodities is carrageenan used in the food industry, non-food (paper, paint, textile, photography, pasta and fish), pharmaceuticals and cosmetics. Producing carrageenan, among others Kappaphycus alvarezii (Doty), grown on water locations Kutuh Banjar Kaja village Jati, Bali Province. The purpose of this study was to determine the characteristics simplex talus of Kappaphycus alvarezii (Doty); yield carrageenan treatment with variations in temperature and extraction time, as well as the characteristics of carrageenan obtained meets the requirements of USP XXX of 2007.
The method used for the isolation of carrageenan done with four phases: pre-extraction (soaking and bleaching), long treatment phase extraction with extraction of 30, 60, 120 min and temperature of 80oC, 90oC, and 100oC, the deposition phase with isopropyl alcohol, and drying stages milling. Identification of the isolated carrageenan include viscosity test, drying shrinkage, the determination of total ash content, ash content determination is not soluble in acid, spectrophotometric analysis by FTIR and evalute solubility.
Characteristics simplex talus of Kappaphycus alvarezii (Doty) is 8.64% water content, extract content of 22.5% soluble in water, soluble in ethanol extract content 1.10%, total ash content of 3.20%, and total ash content not 0.13% acid soluble. There is the effect of temperature and extraction time on
yield carrageenan isolated from talus Kappaphycus alvarezii (Doty).
Carrageenan isolated from talus Kappaphycus alvarezii (Doty) has met the requirements of USP XXX. Identification of carrageenan according to their solubility shows is extracted in the form of kappa carrageenan. The FTIR spectra results showed that the type of carrageenan is kappa carrageenan isolated.
Keywords: Kappaphycus alvarezii (Doty), carrageenan, isolation, identification, characterization
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumber daya hayati sangat besar dan beragam, salah satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004), rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara, sumber pendapatan masyarakat pesisir, dan merupakan komoditi yang potensial dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena dapat dipanen dalam 45 hari masa
tanam (quick yielding). Rumput laut dapat diolah menjadi bahan makanan,
minuman dan obat-obatan. Menurut Dahuri (2000), beberapa hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, alginat dan karagenan merupakan senyawa yang cukup penting dalam industri. Di antara ketiga produk rumput laut tersebut, karagenan merupakan komoditi ekspor yang paling menguntungkan. Besarnya keuntungan yang dapat diperoleh dan potensi alam yang mendukung dalam budidaya rumput laut penghasil karagenan membuat Indonesia menjadi negara terbesar kedua penghasil karagenan, setelah Philipina (Faridah, 2001).
Karagenan merupakan senyawa yang termasuk kelompok polisakarida galaktosa hasil ekstraksi dari rumput laut. Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan polimer 3,6-anhydro-galaktosa (Anonim1, 2010)
(17)
dibudidayakan di Indonesia adalah Eucheuma sp. yaitu Eucheuma cottonii
(Doty) menghasilkan jenis karagenan kappa. Eucheuma spinosum adalah
spesies utama untuk menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan lamda
diproduksi dari spesies Gigartina dan Chondrus crispus (Aslan, 1998; Abbott dan Norris, 1985; Van de Velde, et al., 2002).
Menurut Doty (1985), Euchema cottonii (Weber-van Bosse) berubah
nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karagenan yang dihasilkan
termasuk fraksi kappa-karagenan, maka jenis ini secara taksonomi disebut
Kappaphycus alvarezii (Doty). Nama dagang ‘cottonii’ umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional.
Karagenan digunakan untuk industri makanan yang berfungsi sebagai pensuspensi, penstabil, pembentuk gel, pengental, dan bodying agent. Beberapa produk makanan yang menggunakan karagenan adalah jeli, saus, sirup, dodol, nugget, dan produk susu. Karagenan digunakan juga dalam industri nonpangan yaitu industri kertas, cat, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan (Anggadiredja, dkk., 2008). Pada industri farmasi karagenan digunakan sebagai pengemulsi, larutan granulasi dan pengikat. Pada industri kosmetik karagenan digunakan sebagai stabiliser, suspensi dan pelarut. Produk kosmetik yang sering menggunakan karagenan adalah salep, kream, losion, pasta gigi, tonic rambut, stabilizer sabun, minyak pelindung sinar matahari, dan lain-lain. (Anonim2, 2011).
Rendemen karagenan menurut Basmal, et al., (2009) dalam penelitian
pengolahan Semi Refined Carrageenan (SRC) lebih banyak dipengaruhi oleh
(18)
dan larut jika kontak dengan panas. Rumajar, dkk., (1997), mengemukakan bahwa degradasi panas yang terjadi akibat waktu ekstraksi yang terlalu lama menyebabkan perubahan atau putusnya susunan rantai molekul. Besarnya suhu pada saat ekstraksi juga perlu diperhatikan. Suhu ekstraksi menurut Rasyid (2003) adalah 85-95oC, Setyowati (2000), pada suhu 90oC, Aslan (1998) pada suhu 90-95oC dan Mukti (1987), pada suhu optimum 90-95oC.
Penelitian mengenai potensi karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dari beberapa daerah pesisir di Indonesia telah banyak dilakukan. Munthe (2012), menyebutkan bahwa isolasi karagenan dari
talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dari kelompok pembudidaya rumput laut
Beringin-Berjaya, Dusun III, Desa Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara menghasilkan rendemen karagenan 37,58%. Namun demikian penelitian mengenai karakterisasi simplisia dan isolasi karagenan dari Kappaphycus alvarezii (Doty) yang berasal dari desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Provinsi Bali belum ditemukan.
Berdasarkan uraian di atas dan mengingat potensi Kappaphycus
alvarezii (Doty) sebagai penghasil karagenan dari perairan Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian karakterisasi simplisia dan isolasi karagenan dari Kappaphycus alvarezii (Doty) yang berasal dari tempat tersebut.
1.2 Perumusan masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
(19)
b. Apakah ada pengaruh variasi suhu dan waktu rendemen karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dengan?
c. Apakah karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty)
memenuhi persyaratan United States Pharmauceuticals XXX?
1.3 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
a. Karakteristik simplisia dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) yang berasal dari desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Provinsi Bali dapat dilakukan.
b. Perlakuan suhu dan waktu berpengaruh terhadap rendemen karagenan yang
diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty).
c. Karagenan yang diisolasidari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) memenuhi persyaratan yang terdapat dalam United States Pharmauceuticals XXX.
1.4 Tujuan
Tujuan pada penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) yang berasal dari desa Kutuh Banjar Kaja Jati Provinsi Bali.
b. Untuk mengetahui rendemen karagenan yang diisolasi dari talus
Kappaphycus alvarezii (Doty) dengan variasi suhu dan waktu.
c. Untuk mengetahui karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) memenuhi persyaratan United States Pharmauceuticals XXX.
(20)
1.5Manfaat
Manfaat pada penelitian ini adalah:
Sebagai informasi tentang karakteristik simplisia dan karagenan hasil isolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) sehingga dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai keperluan seperti diformulasi menjadi bahan tambahan obat alami.
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman
Rumput laut atau Algae termasuk tumbuhan bertalus karena mempunyai struktur kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang dan berakar semuanya terdiri dari talus saja (Aslan, 1998).
2.1.1 Habitat dan sebaran rumput laut
Rumput laut umumnya terdapat di daerah tertentu dengan persyaratan
khusus, kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada
daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat didasar
perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska. Umumnya tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu, karena di tempat inilah beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khas adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, lebih menyukai variasi suhu harian yang rendah dan substrat batu karang mati. Rumput laut tumbuh berkelompok dengan jenis rumput laut lainnya (Aslan, 1998).
2.1.2 Perkembangbiakan rumput laut
Perkembangbiakan rumput laut dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan talus dan secara generatif dengan talus diploid yang menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara stek, yaitu potongan talus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru.
(22)
Sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora baik alamiah maupun melalui budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zygot yang selanjutnya berkembang menjadi sporofit, individu inilah yang mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja, dkk., 2010).
Faktor biologi utama yang menjadi pembatas produktivitas rumput laut yaitu faktor persaingan dan pemangsa dari hewan herbivora. Selain itu dapat pula dihambat oleh faktor morbiditas dan mortalitas rumput laut itu sendiri. Morbiditas dapat disebabkan oleh penyakit akibat dari infeksi mikroorganisme, tekanan lingkungan perairan (fisika dan kimia perairan) yang buruk, serta tumbuhnya tanaman penempel (parasit). Sementara itu mortalitas dapat disebabkan oleh pemangsaan hewan-hewan herbivora (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.1.3 Sistematika tumbuhan
Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, taksonomi rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Solieriaceae
Marga : Kappaphycus
(23)
2.1.4 Nama daerah
Nama daerah (dagang) yang lebih dikenal untuk Kappaphycus alvarezii (Doty) yaitu Eucheuma cottonii dan Eucheuma alvarezii (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.1.5 Morfologi tumbuhan
Ciri-ciri Kappaphycus alvarezii (Doty) yaitu talus silindris, permukaan licin, berwarna cokelat kemerahan. Percabangan talus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan) dan duri untuk melindungi gametangia. Percabangan bersifat alternates (berseling), tidak teratur serta dapat
bersifat dichotomus (percabangan dua-dua) atau trichotomus (sistem
percabangan tiga-tiga) (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.2Lokasi Budidaya
Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut.. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, kualitas air, iklim, dan geografis dasar perairan.
Persyaratan lokasi yang dapat dijadikan tempat untuk budidaya Kappaphycus alvarezii (Doty) antara lain sebagai berikut:
a. Kondisi dasar perairan
Dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang. Kondisi substrat dasar seperti ini menunjukkan adanya pergerakan air yang
(24)
baik sehingga cocok untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty).
b. Tingkat kejernihan air
Keadaan perairan untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) sebaiknya relatif jernih dengan tingkat kecerahan tinggi, dan tampakan (jarak pandang kedalaman) dengan alat Sechidisk mencapai 2-5 m. kondisi seperti ini dibutuhkan agar cahaya matahari dapat mencapai tanaman untuk proses fotosintesis.
c. Salinitas
Salinitas (kandungan garam NaCl dalam air) untuk pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) yang optimal berkisar 28-33 per mil. Oleh karena itu, lokasi budidaya diusahakan yang jauh dari sumber air tawar seperti dekat muara sungai karena dapat menurunkan salinitas air.
d. Suhu air
Suhu air berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperature, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya. Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrient seperti karbon (C), nitrogen (N), dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah daerah yang sesuai dengan suhu laut yaitu optimal disekitar tanaman yaitu berkisar 26-30oC.
(25)
e. Pergerakan air (arus dan ombak)
Lokasi untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) harus
terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman. Pergerakan air berkisar 0,2-0,4 m/detik. Dengan kondisi seperti ini akan mempermudah penggantian dan penyerapan hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak sampai merusak tanaman.
f. Pencemaran air
Hindari lokasi yang berdekatan dengan sumber pencemaran air, seperti industri dan tempat bersandarnya kapal-kapal.
g. Kedalaman air
Lokasi budidaya dengan kedalaman air pada saat surut terendah minimal 0,40 m sampai kedalaman dimana sinar matahari masih dapat mencapai tanaman dan petani mampu melakukan kegiatan. Metode budidaya yang akan digunakan akan sangat ditentukan oleh kedalaman air di lokasi budidaya.
h. Aman dari predator
Lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivora lainnya sehingga kerusakan tanaman dapat ditekan juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman.
(26)
i. Bukan merupakan jalur pelayaran
Keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam penentuan lokasi yaitu faktor kemudahan dan konflik kepentingan (parawisata, perhubungan, dan taman laut nasional) (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.3Kandungan kimia
Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas Rhodophyceae (alga
merah) mengandung pigmen antara lain klorofil a, klorofil d, α dan β karoten,
lutein, zeaxanthin, fikosianin dan fikoeritrin. Fikoeritrin merupakan suatu pigmen dominan yang menyebabkan warna merah pada alga merah (Dawes, 1981).
2.4Karagenan
Karagenan yaitu suatu senyawa hidrokoloid yang merupakan polisakarida rantai panjang yang diekstraksi dari rumput laut jenis-jenis karaginofit, seperti Eucheuma sp., Chondrus sp., Hypnea sp., dan Gigartina sp. Polisakarida tersebut disusun dari sejumlah unit galaktosa dengan ikatan α -(1,3)-D-galaktosa dan β-(1,4)-3,6 anhidro-D-galaktosa secara bergantian, baik mengandung ester sulfat atau tanpa sulfat pada karagenan tersebut (Anggadiredja, dkk., 2010).
(27)
2.4.1 Struktur karagenan
Karagenan merupakan polisakarida linier atau lurus, dan merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karagenan merupakan molekul besar yang terdiri dari 1000 residu galaktosa. Karagenan dibagi atas tiga kelompok utama yaitu:
a. Kappa karagenan
Kappa karagenan (Gambar 2.1) terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidro-D- galaktosa. Karagenan juga sering mengandung D-galaktosa-6 sulfat ester dan 3,anhidro-D-galaktosa 2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan transeliminasi gugusan 6-sulfat, sehingga menghasilkan bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah.
Gambar 2.1. Kappa Karagenan b. Iota karagenan
Iota karagenan (Gambar 2.2) ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D- galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa karagenan.
(28)
Gambar 2.2. Iota Karagenan c. Lamda karagenan
Lamda karagenan (Gambar 2.3) berbeda dengan kappa dan iota karagenan, karena memiliki sebuah residu disulphated α-(1,4)-D-galaktosa (Winarno, 1990).
Gambar 2.3. Lamda Karagenan 2.4.2 Sifat-sifat karagenan
Sifat-sifat karagenan meliputi kelarutan, viskositas, dan pembentukan gel.
2.4.2.1 Kelarutan
Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tipe karagenan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion tandingan, dan zat-zat terlarut lainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat
(29)
karagenan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit
3,6-anhidro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karagenan jenis iota
bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karagenan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle 1973).
Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karagenan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lamda karagenan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (cPKelco ApS 2004 diacu dalam Syamsuar 2006).
Suryaningrum (1988) menyatakan bahwa karagenan dapat membentuk gel secara reversibel artinya dapat membentuk gel pada saat pendinginan dan kembali cair pada saat dipanaskan. Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknya struktur heliks rangkap yang tidak terjadi pada suhu tinggi. Daya kelarutan karagenan pada berbagai media dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut.
No Medium Kappa Iota Lamda
1 Air Panas Larut di atas 60oC Larut di atas 60oC Larut 2 Air dingin Garam natrium larut,
garam K, Ca, tidak larut
Garam Na larut Ca memberi dispersi thixotropic
Larut
3 Susu panas Larut Larut Larut
4 Susu dingin Garam Na, Ca, K tidak larut tetapi akan mengembang
Tidak larut Larut
5 Larutan gula pekat Larut (Dipanaskan) Larut, sukar Larut (Dipanaskan)
Larut (dipanaskan)
6 Larutan garam pekat Tidak larut Larut (dipanaskan) Larut (dipanaskan) Sumber: Indriani dan Sumarsih, 1991
(30)
2.4.2.2 Viskositas
Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi karagenan, suhu, jenis karagenan, berat molekul, dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karagenan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu, pada konsentrasi 1,5%, dan suhu 75oC nilai viskositas karagenan berkisar antara 5–800 cP (FAO 1990).
Viskositas larutan karagenan terutama disebabkan oleh sifat karagenan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negative sepanjang rantai polimer, yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karagenan bersifat kental (Guiseley, et al., 1980).
Moirano (1977), mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Adanya garam-garam yang terlarut dalam karagenan akan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan karagenan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan (Towle 1973).
(31)
2.4.2.3 PembentukanGelasi
Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.
Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari dua
molekul masing-masing membentuk double helix yang mengikat rantai molekul
menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel. Lamda karagenan tidak mampu
membentuk double helix tersebut. Sifat ini dapat terlihat bila larutan dipanaskan kemudian diikuti dengan pendinginan sampai di bawah suhu tertentu, kappa dan iota karagenan akan membentuk gel dalam air yang bersifat reversible yaitu akan mencair kembali pada saat larutan dipanaskan (Winarno, 1990). Mekanisme pembentukan gel karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
(32)
Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan menjadi random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yang kuat (Glicksman 1969). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989).
Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karagenan terjadi pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3,6-anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe, dan posisi gugus sulfat
akan mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappa karagenan sensitif
terhadap ion kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan iota karagenan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapi lamda karagenan tidak dapat membentuk gel (Glicksman 1983).
Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun
dengan menurunnya pH, karena ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan
glikosidik pada molekul karagenan (Angka dan Suhartono 2000). Konsistensi gel dipengaruhi beberapa faktor antara lain jenis dan tipe karagenan, konsistensi, adanya ion-ion serta pelarut yang menghambat pembentukan hidrokoloid (Towle 1973).
(33)
2.4.3 Kegunaan Karagenan
Karagenan sangat penting perananya sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi, dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan lain-lain.
Pemanfaatan karagenan dalam bidang industri antara lain: 1. Pada industri makanan
Pada industri makanan, karagenan digunakan pada pembuatan (Indriani dan Sumiarsih, 1991):
- Es krim yaitu sebagai stabilisator, mencegah kristalisasi dari es krim.
- Susu coklat yaitu mencegah pengendapan coklat dan pemisahan krim serta
meningkatkan kekentalan lemak dan pengendapan kalsium.
- Kue dan roti yaitu meningkatkan mutu adonan.
- Daging kalengan yaitu sebagai gel pengikat air atau gel pelapis produk
daging.
- Makanan bayi yaitu sebagai stabilisator lemak dan protein. - Gel susu (pudding, custard) yaitu sebagai pembentuk gel. - Sirup yaitu sebagai pensuspensi.
2. Pada industri farmasi dan kosmetika
Pada industri farmasi dan kosmetika, karagenan digunakan pada pembuatan (Anggadiredja, dkk., 2010):
- Pasta gigi yaitu untuk memperhalus tekstur dan memperbaiki sifat busanya. - Lotion sebagai bodying agent.
(34)
- Krem yaitu sebagai bodying agent. 3. Pada industri kertas dan tekstil
Pada industri kertas dan tekstil karagenan mempunyai banyak peranan (Sadhori, 1998), yaitu: pada industri kertas yaitu untuk memperhalus permukaan
kertas dan pada industri tekstil yaitu sebagai painting silk pada waktu
pencetakan dapat memperbaiki warna yang timbul. 4. Pada industri kulit (leather)
Pada industri kulit (leather) karagenan digunakan untuk memperhalus dan mengkilatkan permukaan kulit serta menjadikan kulit tidak kaku.
5. Pada industri cat
Pada industri cat karagenan digunakan sebagai zat warna, yaitu: zat
warna yaitu sebagai pensuspensi dan water base paint yaitu sebagai bahan
pengental.
6. Pada industri pertanian
Pada industri pertanian karagenan digunakan dalam pembuatan pestisida dan herbisida yaitu sebagai pensuspensi.
2.4.4 Tumbuhan Penghasil Karagenan
Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah dari spesies Kappaphycus alvarezii (Doty) yang menghasilkan karagenan dalam bentuk kappa, Eucheuma spinosum yang menghasilkan karagenan dalam bentuk iota. Kedua jenis rumput laut tersebut banyak terdapat disepanjang pantai Filipina dan Indonesia.
Sebagian besar karagenan diproduksi dari jenis Chondrus crispus yang
(35)
sekitar 3 meter. Jenis ini banyak tumbuh di daerah utama lautan atlantik, yaitu di pantai Kanada, Inggris dan Prancis (Winarno, 1990).
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes, 1995).
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Ada beberapa metode ekstraksi, yaitu:
A.Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1995).
(36)
2. Perkolasi
Perkolasi dilakukan dalam wadah berbenruk silindris atau kerucut (perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi proses maserasi bertahap banyak. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi ekstraksi sempurna dari simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan kosentrasi antara larutan dalam seldengan cairan disekelilingnya, maka pada perkolasi melalui simplisia bahan pelarut segar perbedaan kosentrasi tadi selalu dipertahnkan. Dengan demikian ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai 95%) (Voight,1995).
B. Cara Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).
2. Sokletasi
Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) dibagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (perkulator). Wadah gelas yang mengandung kantung ndiletakkan diantar labu penyulingan dengan
(37)
tersebut berisi bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik melalui pipet yang berkodensasi didalamnya. Menetes ketas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melaui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1995).
2.10 Spektrofotometri Inframerah 2.10.1 Spektrum inframerah
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation). Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi (excited vibrational state); energi yang diserap ini akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar (Supratman, 2010).
Bilangan gelombang dari absorbsi oleh suatu tipe ikatan, bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, C=O, C=C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berlainan. Dengan demikian spektrofotometri inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul. Banyaknya energi yang diserap juga
(38)
beraneka ragam dari ikatan ke ikatan. Ini disebabkan sebagian oleh perubahan dalam momen dipol (µ≠0) pada saat energi diserap. Ikatan nonpolar (seperti C -H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan absorpsi yang lebih kuat (Supratman, 2010).
Bila suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh contoh berkurang. Ini mengakibatkan suatu penurunan dalam %T dan terlihat pada spektrum sebagai
suatu sumur (dip) yang disebut puncak absorpsi atau pita absorpsi. Bagian
spektrum di mana %T menunjukkan angka 100 (atau hampir 100) disebut garis
dasar (base line), yang direkam pada spektrum inframerah pada bagian atas
(Supratman, 2010).
2.10.2 Spektroskopi inframerah fourier transform
Radiasi inframerah dapat dianalisis dengan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) yang bagiannya terdiri dari cermin gerak, cermin statik, dan pembagi berkas radiasi. Radiasi yang berasal dari sumber radiasi inframerah dikolimasikan oleh sebuah cermin cekung ke pembagi berkas radiasi, setengah berkas dilewatkan cermin statik dan setengah berkas lainnya ke cermin gerak. Pergerakan cermin memodulasi semua panjang gelombang (frekuensi) dalam berkas radiasi. Setelah terjadi refleksi pada kedua cermin, kedua berkas tersebut bergabung kembali pada pembagi berkas radiasi (Satiadarma, dkk., 2004).
Meskipun cahaya masuk inkoheren, pemecahan menjadi dua berkas dan penggabungannya kembali pada pembagi menjamin bahwa keduanya dapat
(39)
gelombangnya dapat berinterferensi dengan kadar yang berbeda. Berkas gabungan lewat melalui sel sampel dan sampai ke detektor. Dengan pengkuran tanpa dispersi panjang gelombang, semua panjang gelombang jatuh secara bersamaan pada detektor yang memberikan keuntungan dibandingkan dengan metode dispersi (Satiadarma, dkk., 2004).
Kelebihan-kelebihan dari spektroskopi FT-IR (Fourier Transform Infrared) mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembanagan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum (Stevens, 2001). Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) pada prinsipnya sama dengan prinsip dari spektroskopi inframerah, hanya saja spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) ditambahkan suatu alat optik (Fourier Transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) dapat menghasilkan data-data dimana dengan spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul (Khan, 2002).
(40)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan metode eksperimental yang meliputi penyiapan bahan tumbuhan, pemeriksaan karakteristik simplisia, isolasi karagenan terhadap variasi suhu dan waktu, pemeriksaan karakteristik karagenan meliputi identifikasi kualitatif, penetapan viskositas, susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, Spektrofotometri FTIR (Fourier Transform Infrared) dan analisis data.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, cawan porselin, desikator, lemari pengering, hot plate (Fissons), mikroskop (Olympus), blender (National), termometer, indikator universal, penangas air (Yenaco), spatula, labu bersumbat, botol timbang dangkal bertutup, neraca kasar, neraca listrik (Vibra), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, Spektrofotometri FTIR (Shimadzu), kaca objek, kaca penutup, krus tang, kain blacu, mortir dan stamper dan alumunium foil.
(41)
3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan adalah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty), asam klorida, kloroform, isopropanol, kalsium klorida, natrium hidroksida, hidrogen peroksida, kloralhidrat yang berkualitas pro analisis (E. Merck) dan air suling.
3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi
3.3.1 Larutan natrium hidroksida 0,1 N (b/v)
Sebanyak 4 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh 1000 ml larutan (Depkes, 1978).
3.3.2 Larutan asam klorida 2 N (v/v)
Larutan 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1979).
3.3.3 Larutan hidrogen peroksida 1 % (v/v)
Sebanyak 2 ml hidrogen peroksida 50% diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1979).
3.3.4 Larutan kalsium klorida 1% (b/v)
Sebanyak 1 g kalsium klorida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Depkes, 1978).
3.4 Penyiapan Bahan Tumbuhan
Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, dan pengolahan bahan tumbuhan.
(42)
3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan
Bahan tumbuhan pada penelitian ini adalah bahan tumbuhan yang telah dikumpulkan oleh Milala (Mahasiswi Universitas Tjut Nyak Dien. Medan pada
tahun 2012). Bahan tumbuhan yang digunakan adalah rumput laut Kappaphycus
alvarezii (Doty) yang berasal dari desa Kutuh Banjar Kaja Jati, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Bali, Provinsi Bali
3.4.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI di Jakarta. Hasil identifikasi bahan tumbuhan adalah Kappaphycus alvarezii (Doty) yang sebelumnya diidentifikasi oleh Milala (Mahasiswi Universitas Tjut Nyak Dien. Medan pada tahun 2012). Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 46.
3.4.3 Pembuatan simplisia rumput laut
Bahan tumbuhan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang melekat seperti pasir dan garam dengan cara di cuci dengan air mengalir sampai bersih, ditiriskan dan ditimbang beratnya. Kemudian dikeringkan dengan cara dianginkan terlebih dahulu, lalu dikeringkan dilemari pengering hingga kering, dan ditimbang beratnya. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 48.
3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan makroskopik simplisia
(43)
dan warna talusnya. Gambar makroskopik simplisia dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 47.
3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 58. 3.5.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi
toluen). Alat terdiri dari alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.
1. Penjenuhan toluen
Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, di atas alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.
2. Penetapan kadar air simplisia
Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu yang berisi toluen yang telah dijenuhkan kemudian dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin
(44)
pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dengan persen (WHO, 1992). Hasil perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 59.
3.5.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar sari yang larut dalam air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 60.
3.5.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Selanjutnya disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(45)
(Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 61.
3.5.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan
pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai
diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 62.
3.5.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 63.
3.6 Isolasi Karagenan
Isolasi karagenan dilakukan dengan 4 tahap yaitu: tahap pra ekstraksi, tahap ekstraksi, tahap pengendapan, tahap pengeringan dan tahap penggilingan.
(46)
a. Tahap pra ekstraksi
Tahap pra ekstraksi terdiri dari 2 tahap yaitu: tahap perendaman dan tahap pemucatan.
Tahap perendaman
Cara : Sebanyak 20 g serbuk simplisia direndam dalam kalsium klorida 1% selama 2 jam, kemudian di saring dan residu dicuci dengan air suling.
Tahap pemucatan
Cara : Residu yang telah dicuci kemudian di pucatkan dengan larutan hidrogen peroksida konsentrasi 1% selama 6 jam, lalu disaring dan dicuci dengan air suling.
b. Tahap ekstraksi
Residu yang telah dipucatkan diekstraksi dengan perlakuan sebagai berikut:
1. Perlakuan waktu ekstraksi (T) terdiri dari 3 taraf yaitu: T1= 30 menit; T2= 60 menit; T3 = 120 menit
2. Perlakuan suhu (C) terdiri dari 3 taraf yaitu: C1 = 80oC; C2 = 90oC; C3 =100oC
Cara : Residu yang telah dipucatkan diekstraksi dengan air suling sebanyak 200
ml dalam beaker glass, kemudian ditambahkan natrium hidroksida 0,1 N
sampai dengan diperoleh pH 9, kemudian dipanaskan menggunakan hot plate
pada suhu 80oC selama 30 menit. Dilanjutkan dengan perlakuan waktu ekstraksi 60 menit, dan 120 menit pada suhu yang sama. Percobaan diulangi sebanyak 2 kali pada suhu dan waktu ekstraksi yang sama. Demikian juga ekstraksi
(47)
sama seperti di atas. Hasil dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 64 dan Lampiran 8, halaman 70 dan 71.
c. Tahap pengendapan
Setelah ekstraksi selesai, disaring menggunakan kain blacu. Filtratnya ditampung dalam beaker glass kemudian ditambahkan isopropil alkohol dengan perbandingan 1:2, lalu didiamkan selama 24 jam untuk mengendapkan karagenan.
d. Tahap pengeringan dan penggilingan
Karagenan yang diperoleh lalu disaring dan dikumpulkan, kemudian
dikeringkan di dalam oven pada suhu 50oC, lalu dibuat serbuk. Gambar
karagenan hasil isolasi dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 72.
3.7 Pemeriksaan Karakteristik Karagenan
Pemeriksaan karakteristik karagenan meliputi penetapan viskositas, penetapan susut pengeringan, penetapan kadar abu total, dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 71.
3.7.1 Penetapan viskositas
Alat: Viskometer Thomas Stromer.
Cara: Karagenan dilarutkan dengan konsentrasi 1,5% yang diukur pada suhu 75oC, Viskometer Thomas Stromer diletakkan ditepi meja yang datar sehingga alat penggerak dengan beban 25 g dapat jatuh tanpa gangguan. Kemudian beaker glass yang berisi 100 ml larutan karagenan hasil isolasi diletakkan di atas meja pengukuran, dinaikkan sampai rotor baling-baling terendam di
(48)
tengah-tengah bahan tumbuhan dan mencapai tanda pada tangkai rotor. Selanjutnya rem dilepaskan dan diukur waktu yang diperlukan untuk mencapai
100 kali putaran dengan menggunakan stopwatch. Hasil pemeriksaan dapat
dilihat pada Lampiran 6, halaman 68, Lampiran 8, halaman 70 dan Gambar alat viskometer Thomas Stromer dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 73. 3.7.2 Penetapan susut pengeringan
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap dari suatu zat. Sebanyak 1 g serbuk kering dimasukkan ke dalam cawan dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit. Zat diratakan dalam cawan hingga merupakan lapisan setebal 5-10 mm, dimasukkan ke dalam ruang pengering, dibuka tutupnya, dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Susut pengeringan dihitung terhadap bahan awal (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan susut pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 65.
3.7.3 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan
pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai
diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar abu total karagenan dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 66.
(49)
3.7.4 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil penetapan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 67.
3.8 Pemeriksaan karagenan hasil isolasi dengan Spektrofotometri FTIR Serbuk karagenan dicampur dengan KBr kemudian ditekan hingga diperoleh pelet, kemudian dimasukkan ke dalam alat Spektrofotometri FTIR, diukur serapannya pada frekuensi 4000-400 cm-1. Spektrum FTIR karagenan hasil isolasi dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 69. Gambar alat Spektrofotometer FTIR dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 73.
3.9 Identifikasi Jenis Karagenan Hasil Isolasi
Jenis karagenan hasil isolasi dapat diidentifikasi dengan melihat daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut seperti diukur pada Tabel 3 di bawah ini (Indriani dan Sumarsih, 1991). Hasil dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 67.
(50)
Tabel 3 Identifikasi karagenan menurut kelarutannya
No Medium Kappa Iota Lamda
1 Air Panas Larut di atas
60oC Larut di atas 60
o
C Larut
2 Air dingin Garam natrium
larut, garam K, Ca, tidak larut
Garam Na larut Ca memberi dispersi thixotropic
Larut
3 Susu panas Larut Larut Larut
4 Susu dingin Garam Na, Ca,
K tidak larut tetapi akan mengembang
Tidak larut Larut
5 Larutan gula pekat
Larut
(Dipanaskan)
Larut, sukar Larut (Dipanaskan)
Larut
(dipanaskan) 6 Larutan garam
pekat
Tidak larut Larut
(dipanaskan)
Larut
(51)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan
Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi –
LIPI terhadap rumput laut yang diteliti adalah jenis Kappaphycus alvarezii
(Doty), divisi Rhodophyta, kelas Rhodophyceae, bangsa Gigartinales, suku Solieriaceae, marga Kappaphycus.
Hasil pemeriksaan makroskopik dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) diperoleh talus bentuk gepeng, licin, lunak fleksibel (gelatinous), warna merah kecoklatan. Percabangan berselang-seling tidak teratur pada kedua sisi talus pada bagian bawah melebar dan mengecil ke bagian puncak, pinggir talus bergerigi dan ujung talusnya tajam seperti duri. Hasil identifikasi talus Kappaphycus alvarezii (Doty) sama dengan yang di teliti oleh Munthe (2012). Hasil ini juga sama dengan yang diteliti oleh Milala (2012), karena ada persamaan tersebut bahan tumbuhan masih bisa digunakan oleh peneliti.
4.2 Hasil Karakterisisasi Simplisia
Hasil pemeriksaan mikroskopis serbuk simplisia Kappaphycus alvarezii (Doty) terlihat adanya fragmen sel-sel parenkim berbentuk poligonal tidak beraturan, yang berisi pigmen berwarna merah dan terdapat sel–sel propagule ini merupakan sel yang berperan untuk perkembang biakan atau propagation. Hasil karakteristik simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dibandingkan dengan yang diteliti Munthe 2012 dapat dilihatpada Tabel 4.1 (Polifrone, et al., 2006).
(52)
Tabel 4.1. Hasil karakteristik simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty)
No Parameter
Hasil (%)
Bali Sumatera
Utara *
1 Kadar air 8,64 9,29
2 Kadar sari yang larut dalam air 22,5 25,73
3 Kadar sari yang larut dalam etanol 1,10 1,22
4 Kadar abu total 3,20 3,03
5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,13 0,11
Keterangan : * Hasil yang diteliti oleh Munthe (2012)
Hasil karakteristik simplisia yang di teliti menunjukkan bahwa kadar air telah memenuhi persyaratan karena tidak lebih dari 10%, sedangkan kadar sari yang larut dalam air, kadar sari yang larut dalam etanol, kadar abu total, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak tidak jauh berbeda dengan Munthe (2012).
Persyaratan untuk karakteristik simplisia di atas tidak tercantum dalam Materia Medica Indonesia (MMI) dan Farmakope Herbal Indonesia (FHI), sehingga dapat digunakan sebagai acuan parameter untuk karakterisktik simplisia.
4.3 Hasil Isolasi Karagenan
Isolasi karagenan talus Kappaphycus alvarezii (Doty) mendapatkan hasil yang baik dan berwarna putih dapat untuk dilakukan dengan penambahan kalsium klorida (Sinaga, 2002). Tujuan penambahan hidrogen peroksida dimaksudkan untuk memperoleh serbuk karagenan yang putih. Ekstraksi karagenan dilakukan pada pH 9, karena stabil pada pH tersebut, dan pada suasana asam karagenan akan terdegradasi (USP XXX, 2007). Hasil
(53)
perhitungan rendemen karagenan hasil isolasi dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Munthe (2012).
Tabel 4.2. Hasil perhitungan rendemen karagenan hasil isolasi dari talus
Kappaphycus alvarezii (Doty)
Perlakuan
Berat Sampel (G) Karagenan
hasil isolasi
% Rendemen Rata-Rata%
Karagenan hasil isolasi
Karagenan hasil isolasi
1 2 1 2 1 2 Bali Sumatera
Utara*
T1C1 20,155 20,154 6,068 5,906 30,107 29,304 29,71 24,80 T1C2 20,154 20,155 6,284 6,102 31,180 30,275 30,73 25,81 T1C3 20,153 20,155 6,332 6,243 31,420 30,975 31,20 26,24 T2C1 20,154 20,155 5,508 7,610 27,330 37,757 32,54 37,21 T2C2 20,152 20,153 9,304 9,220 46,169 45,750 45,96 37,58 T2C3 20,155 20,155 8,101 8,460 40,194 41,975 41,08 36,22 T3C1 20,152 20,153 7,642 7,787 37,922 38,639 38,28 33,32 T3C2 20,153 20,155 7,223 7,032 35,841 34,890 35,36 33,95 T3C3 20,155 20,155 6,176 6,101 30,643 30,270 30,45 33,10 Keterangan:
T = Waktu ekstraksi, T1 =30 menit, T2 =60 menit, T3 =120 menit,
C = Suhu, C1 = 80oC, C2 =90oC, C3 = 100oC
* Hasil yang diteliti oleh Munthe (2012)
Hasil perhitungan rendemen karagenan di atas menunjukkan bahwa pada waktu ekstraksi 30 menit dengan suhu 80 – 100oC dan pada waktu ekstraksi 60
menit dengan suhu 80 – 90oC maka hasil % rendemen karagenan semakin
meningkat, sedangkan pada waktu ekstraksi 60 menit dengan suhu 100oC dan
pada waktu ekstraksi 120 menit dengan suhu 80 – 120oC hasil % rendemen
karagenan semakin menurun. Semakin lama waktu ekstraksi dan semakin tinggi suhu maka % rendemen karagenan yang dihasilkan akan semakin menurun karena terjadi degradasi nutrisi terutama polisakarida.
Karagenan dapat terlepas dari dinding sel dan larut jika kontak dengan panas. Rumajar, dkk., (1997) mengemukakan bahwa degradasi panas yang terjadi akibat waktu ekstraksi yang terlalu lama dapat menyebabkan perubahan atau putusnya susunan rantai molekul. Besarnya suhu pada saat ekstraksi juga
(54)
perlu diperhatikan. Suhu ekstraksi menurut Rasyid (2003) adalah 85-95oC, Setyowati (2000), pada suhu 90oC, Aslan (1998) pada suhu 90-95oC dan Mukti (1987), pada suhu optimum 90-95oC.
Tabel 4.3. Hasil pemeriksaan karakteristik karagenan hasil isolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) (USP XXX, 2007)
No Parameter
Hasil
Persyaratan USP XXX
Bali Sumatera
Utara *
1 Penetapan Viskositas 22-24,5 cP 22-24,5 cP >5 2 Penetapan Susut Pengeringan 10,85% 10,56% <12,5 3 Penetapan Kadar Abu Total 16,11% 15,07% <35,0% 4 Penetapan Kadar Abu Tidak
Larut Dalam Asam
1,33% 1,24% <2,0%
Keterangan:
* Hasil yang diteliti oleh Munthe (2012)
Pada Tabel 4.3 terlihat hasil pemeriksaan karakteristik kareganan yang diteliti tidak berbeda jauh dengan yang diteliti Munthe (2012) yaitu viskositas
larutan karagenan dengan konsentrasi 1,5% yang diukur pada suhu 75oC
diperoleh hasilnya berkisar antara 22,5-24 cP. Viskositas karagenan hasil isolasi ini telah memenuhi standar mutu karena sesuai spesifikasi fisik karagenan dari Food and Agricultural Organization yang menetapkan bahwa viskositas larutan
karagenan 1,5% yang diukur pada suhu 75oC adalah tidak kurang dari 5 cP
(Handito, dkk., 2005).
Hasil penetapan susut pengeringan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh United States Pharmauceuticals XXX, 2007 yaitu tidak lebih dari 12,5%. Kadar abu total karagenan hasil isolasi tidak lebih dari 35%, sedangkan kadar abu tidak larut dalam asam tidak lebih dari 2,0%.
(55)
4.4. Hasil Penetapan Karakteristik Karagenan secara Spektrofotometri FTIR
Gugus fungsional karagenan diidentifikasi dengan menggunakan Spektrofotometri inframerah atau Fourier Transform Infrared (FTIR). Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah ini:
Tabel 4.4 Hasil karakteristik karagenan secara Spektrofotometri FTIR
No Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm
-1
)
Bali Sumatera Utara * Standar
1 OH 3325,28 3400,50 3400
2 CH alifatis 2930 2951,09 2954
3 C=O 1697,36 1635,64 1639
4 C-O 1157,29 1155,36 1157
5 Ester sulfat 1260,73 1226,73 1249
6 Ikatan glikosidik 1041,56 1041,56 1029
7 3,6-anhidro-D-galaktosa 933,55 921,97 1080-1010
8 Galaktosa-4-sulfat 848,68 848,68 850-840
Keterangan:
* Hasil yang diteliti oleh Munthe (2012)
Standar = Menurut Sinaga, 2002
Pada Tabel 4.4 hasil analisis dengan spektrofotometri FTIR bahwa spektrum hasil FTIR dari karagenan dibandingkan dengan Munthe, 2012 dan spektrum standar karagenan menunjukkan adanya karagenan yang yang diperoleh adalah tipe kappa. Hal ini karena adanya gugus galaktosa-4-sulfat, dan gugus 3,6-anhidrogalaktosa.
4.5. Hasil Identifikasi Jenis Karagenan
Hasil identifikasi jenis karagenan yang diperoleh terhadap uji kelarutan yaitu karagenan larut dalam air panas di atas suhu 60oC, tidak larut dalam air dingin, larut dalam susu panas, tidak larut dalam susu dingin tetapi mengembang, larut dalam larutan gula pekat panas, tidak larut dalam larutan garam pekat. Hal ini menunjukkan karagenan yang diperoleh adalah bentuk kappa bukan karagenan bentuk iota maupun bentuk lamda (Indriani dan Sumarsih, 1991).
(56)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Karakteristik simplisia dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) adalah kadar air 8,64%, kadar sari larut dalam air 22,5%, kadar sari larut dalam etanol 1,10%, kadar abu total 3,20%, dan kadar abu total tidak larut asam 0,13%.
b. Ada pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen karagenan yang
diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty).
c. Karagenan yang diisolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) telah memenuhi persyaratan United States Pharmaceuticals XXX. Identifikasi karagenan menurut kelarutannya menunjukkan karagenan hasil ekstraksi adalah dalam bentuk kappa karagenan. Hasil spectrum diperoleh tipe karagenan bentuk kappa.
5.2 Saran
Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk memanfaatkan karegenan hasil isolasi dari talus Kappaphycus alvarezii (Doty) dalam bidang formulasi obat sebagai penginduksi hewan percobaan dalam uji antiinflamasi sehingga diperoleh bahan tambahan obat alami.
(57)
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, I.A., dan Norris. J.N. (1985). Taxonomy of Economic Seaweeds; With Reference to some Pacific and Caribbean species. California Sea Grant College Program. Halaman 49.
Anggadiredja, J.T., Achmad Z., Heri P., dan Sri, I. (2010). Rumput Laut.
Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 14-19, 26-39, 52-60, 65. Anggraini. (2004). Karagenan, Apaan Sich?
http://jlcome.blogspot.com/2007/10/karagenan-apaan-sich.html. Diakses tanggal 15 Juni 2013.
Angka S.L., Suhartono T.S. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Halaman 49-56.
Aslan, L.M. (1998). Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Kanisius. Halaman 11-14, 17, 24.
Anonim1. (2011). Karagenan.
Anonim2. (2011). Eucheuma Cottonii Alirkan Rezeki.
Diakses 02 Agustus 2013
Basmal, J., Sedayu, B.B., dan Utomo, B.S.B. (2009). Mutu Semi Refined Carrageenan (SRC) Yang Diproses Menggunakan Air Limbah
Pengolahan SRC Yang Didaur Ulang. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 4(1): 1–11.
Chapman, V., dan Chapman, D.J. (1980). Seaweeds and Their Uses. Edisi ke-3. New York: Chapman and Hall. Halaman 333.
Dahuri, R. (2002). Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Dawes, C.J. (1981). Marine Botany. Florida: A Wiley-Interscience Publication. Halaman 41.
Departemen Perdagangan. (1989). Ekspor Rumput Laut Indonesia. Jakarata. Departemen Perdagangan. Halaman 57.
(58)
Depkes RI. (1978). Materia Medika Indonesia. Jilid II. Jakarta: Depkes RI. Halaman 133-135, 150-156.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Depkes RI. Halaman 33, 649, 682.
Handito, D., Anggarahini, S., dan Marseno, D.W. (2005). Ekstraksi Dan
Identifikasi Karagenan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Pulau
Lombok. http://ilib.ugm.ac.id/download.php?datald=9726
tanggal 15 Juni 2013.
FAO. (1990). Training Manual on Gracilaria Culture and Seaweed Processing in China. Rome. Halaman 37-42.
Faridah, L. (2001). Studi Tentang Pembuatan Tepung Instan Karagenan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezi. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Fardiaz D. (1989). Hidrokoloid. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Halaman 13-175
Guiseley K.B., Stanley N.F., Whitehouse, P.A. 1980. Carrageenan. Dalam:
Davids RL. Hand Book of Water Soluble Gums and Resins. New York, Toronto, London: Mc Graw Hill Book Company. Halaman 125-142. Glicksman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. New York:
Academic Press. Halaman 214-224.
Istini, S., Zatnika, A., dan Suhaimi. (1985). Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut Seafarming Workshop Report November Part II, Bandar Lampung.
Indriani dan Sumarsih. (1991). Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput
Laut. Cetakan pertama. Jakarta: Swadaya. Halaman 1, 8.
Milala, V. (2012). Karakterisasi Simplisia dari Beberapa Jenis Rumput Laut
dan Isolasi Agar Serta Identifikasi Secara Sektrofotometri Infra Merah. Medan. Seminar. Program Studi Sarjana Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Tjut Nyak Dien.
Moirano A.L. (1977). Sulphated Seaweed Polysaccharides. Di dalam Food Colloids. Editor: Graham M.D., The AVI Publishing Company Inc. Westport Connecticut. Halaman 347-381.
Mukti E.D.W. (1987). Ekstraksi dan Analisa Sifat Fisiko-kimia Karagenan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii Masalah Khusus. Bogor: Fakultas
(59)
Munthe, P. (2012). Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Serta Identifikasi Karagenan Dari Talus Kappaphycus Alvarezii (Doty). Skripsi. Medan: Program Ekstensi Sarjana Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Sumatera Utara.
Polifrone, M., De Masi, F., dan Gargiulo, M.G. (2006). Alternative Pathway In The History Of Gracilaria Gracilis (Gracilariales, Rhodophyta) From Nort-Eastren Sicily (Italy). Journal Of Botanical Sciences.
Februari 2013.
Rasyid, A. (2003). Beberapa Catatan Tentang Karagenan. Oseana Volume
XXVII. Nomor 4.
Rumajar, H., Fetty, I., Judith, H., Mandei, F.J., Rompas, O.V.W, dan Kembuan E.F. (1997). Penelitian Pemanfaatan Rumput Laut untuk Pembuatan Karagenan. BPPI. Sulawesi Utara.
Sadhori, S.N. (1998). Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 34-35, 96.
Satiadarma, K., Muhammad, M., Daryono, H.T., dan Rahmana, E.K. (2004). Asas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 111-113.
Setyowati, D., Sasmita, B.B., dan Nursyam, H. (2000). Pengaruh Jenis Rumput Laut dan Lama Ekstraksi tehadap Peningkatan Kualitas Karagenan. Penelitian, Fakultas Perikanan Bogor.
Sinaga, S.M. (2002). Karakterisasi Simplisia, Isolasi dan Identifikasi Karagenan dari Rumput Laut Halymenia durvillaei Bory de saint Vincent. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU.
Supratman, U. (2010). Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung: Widya Padjadjaran. Halaman 66-105.
Suryaningrum TD, Utomo BSB. 2002. Petunjuk Analisis Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan.
Syamsuar. 2006. Karakteristik Karagenan Rumput Laut Eucheuma Cottonii
Pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. Skripsi. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Halaman 86.
Towle GA. 1973. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL. Industrial Gums. Second Edition. New York: Academic Press. Halaman 83-114.
(60)
United States Pharmauceuticals Convention Inc. (2007). USP XXX- NF XXV. New York: Mack Printing Company. Halaman 1091.
World Health Organization. (1992). Quality Control Methods for Medicinal
Plant Materials. Hongkong: Printed in England. Halaman 36.
Winarno, F.G. (1996). Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka
(61)
(62)
(63)
(64)
3 1
Lampiran 4. Gambar mikroskopik serbuk simplisia talus Kappaphycus alvarezii (Doty) (10 x 40)
Keterangan : 1. Propagule
2. Parenkim yang berisi pigmen merah 3. Parenkim bagian pinggir
(65)
Lampiran 5. Perhitungan parameter mutu simplisia
1. Penetapan kadar air simplisia % Kadar air
=
Volume Air (ml)Berat sampel (g)
x
100%1. Berat sampel : 5,015 g
Volume air : 0,4 ml
% Kadar air
=
0,4 ml5,015 g
x
100 %=
7,98 %2. Berat sampel : 5,020 g
Volume air : 0,5 ml
% Kadar air
=
0,5 ml5,020 g
x
100 %=
9,96 %3. Berat sampel : 5,018 g
Volume air : 0,4 ml
% Kadar air
=
0,4 ml5,018 g
x
100 %=
7.97 %% Kadar air rata-rata
=
7,98 % + 9,96 % + 7,97 %(66)
Lampiran 5. (Lanjutan)
2. Penetapan kadar sari yang larut dalam air
% Kadar Sari Larut Dalam Air
=
Berat SariBerat Simplisia
x
100
20
x
100%1. Berat simplisia : 5,000 g
Berat sari : 0,227 g
% Kadar sari larut dalam air
=
0,2275,000
x
100
20
x
100%=
22,7 %2. Berat simplisia : 5,000 g
Berat sari : 0,223 g
% Kadar sari larut dalam air
=
0,2235,000
x
100
20
x
100% = 22,3 %3. Berat simplisia : 5,000 g
Berat sari : 0,225 g
% Kadar sari larut dalam air
=
0,2255,000
x
100
20
x
100% = 22,5 %% Kadar sari larut dalam air rata-rata = 22,7 % + 22,3 % + 22,5 %
(1)
Lampiran 6. (Lanjutan)
4. Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
% Kadar Abu Tidak Larut dalam Asam
=
Berat abu totalBerat simplisia
x
100%Sampel Berat Karagenan Berat Abu
I 2.0001 0.0261
II 2.0002 0.0290
III 2.0004 0.0249
1. Berat simplisia : 2.0002 g
Berat abu : 0.0261 g
% Kadar abu tidak larut dalam asam
=
0.02612.0002
x
100%=
1.30%2. Berat simplisia : 2.0002 g
Berat abu : 0.0290 g
% Kadar abu tidak larut dalam asam
=
0.02902.0002
x
100%=
1,45%3. Berat simplisia : 2.0004
Berat abu : 0.0249
% Kadar abu tidak larut dalam asam
=
0.02492.0004
x
100%=
1.24% % Kadar abu yang tidak larut dalam asam rata-rata=
1,30% + 1,45% + 1,24%(2)
Lampiran 6. (Lanjutan)
5. Pengukuran viskositas larutan karagenan hasil isolasi
Jika t1 = 30 detik, pada viskositas(η1) = 300 cP (dari kurva kalibrasi alat
yang mengkonversikan waktu menjadi viskositas), dan t2 larutan karagenan =
400 detik, maka viskositas( η2) yang diperoleh pada beban 25 g adalah:
Uji viskositas larutan T30, C90oC.
T30, C90oC
η1
η2
=
t1 t2300 cP
η2
=
31 detik 400 detik
=
300 cP x 31 detik400 detik
= 23,5 cP
Cara perhitungan yang sama maka diperoleh viskositas larutan karagenan pada T30;C100, T60;C80, T60;C90, T60;C100, T120;C80, T120;C90, T120;C100
(3)
Lampiran 7. Gambar spektrum karagenan dengan Spektrofotometer FTIR
(4)
Lampiran 8. Pemeriksaan mutu karagenan hasil isolasi
Tabel hasil pemeriksaan karakteristik karagenan hasil isolasi dibandingkan dengan Pustaka (USP XXX, 2007)
No Parameter Hasil Pustaka
1 Penetapan Viskositas 22-24,5 cP >5 2 Penetapan Susut Pengeringan 10,85% <12,5 % 3 Penetapan Kadar Abu Total 16.11% <35,0% 4 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Dalam
Asam
1,33% <2,0%
Tabel hasil penetapan viskositas larutan karagenan hasil isolasi
No Perlakuan
Waktu Yang Diperoleh
(Detik)
Viskositas (cP)
Waktu Suhu (T2) (Η2)
1 30 80 30 22,5
2 30 90 31 23,25
3 30 100 31 23,25
4 60 80 31 23,25
5 60 90 32 24
6 60 100 31 23,25
7 120 80 30 22,5
8 120 90 30 22,5
9 120 100 30 22,5
Tabel rendemen dan warna karagenan pada berbagai suhu dan waktu
No Suhu Waktu
(menit)
Rendemen (%)
Rendemen
(%) Warna
1 80oC 30 29.71 25,86 Putih
Kekuningan
2 90oC 60 45.96 37,58 Putih
Kekuningan
3 100oC 120 30.46 33,99 Kuning
Kecoklatan
(5)
Lampiran 8. (Lanjutan)
Tabel hasil perhitungan rendemen karagenan hasil isolasi
Perlakuan
Berat Sampel (G)
Karagenan Hasil Isolasi
% Rendemen Rata-Rata% Karagenan
Hasil Isolasi Karagenan Hasil Isolasi
1 2 1 2 1 2
T1C1 20.155 20.154 6.068 5.906 30.107 29.304 29.706
T1C2 20.154 20.155 6.284 6.102 31.180 30.275 30.728
T1C3 20.153 20.155 6.332 6.243 31.420 30.975 31.197
T2C1 20.154 20.155 5.508 7.610 27.330 37.757 32.543
T2C2 20.152 20.153 9.304 9.220 46.169 45.750 45.960
T2C3 20.155 20.155 8.101 8.460 40.194 41.975 41.084
T3C1 20.152 20.153 7.642 7.787 37.922 38.639 38.281
T3C2 20.153 20.155 7.223 7.032 35.841 34.890 35.365
T3C3 20.155 20.155 6.176 6.101 30.643 30.270 30.456
Keterangan:
T = Waktu ekstraksi, T1 =30 menit, T2 =60 menit, T3 =120 menit,
C = Suhu, C1 = 80oC, C2 =90oC, C3 = 100oC
Tabel hasil identifikasi karagenan menurut kelarutannya
No Medium Hasil Identifikasi
1 Air Panas Larut
2 Air dingin Tidak larut
3 Susu panas Larut
4 Susu dingin Tidak Larut tetapi mengembang 5 Larutan gula pekat Larut (Dipanaskan)
(6)
Lampiran 9. Gambar karagenan hasil isolasi dari Kappaphycus alvarezii (Doty)
A
B
C Keterangan :
A = Gambar karagenan hasil isolasi pada waktu 30 menit B = Gambar karagenan hasil isolasi pada waktu 60 menit C = Gambar karagenan hasil isolasi pada waktu 120 menit