Konsep Keadilan dalam Islam

36

BAB IV PEMIKIRAN DAN ANALISA ASGHAR ALI ENGINEER

A. Konsep Keadilan dalam Islam

Islam pada awalnya lebih dari sekedar gerakan religius, Islam juga merupakan gerakan ekonomi. 1 Islam dengan kitab sucinya, Al- Qur’an, sangat menentang stuktur sosial yang tidak adil dan menindas yang secara umum melingkupi kota mekah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam, dan juga kota- kota lainnya diseluruh dunia. Bagi orang yang memperhatikan Al- Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok. Al- Qur’an mengajarkan kepada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan, “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan,” 2 . Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orang- orang beriman Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada taqwa…” 3 Dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Asghar Ali Engineer menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi hendaknya melahirkan keuntungan bagi 1 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2000, hal. 57 2 Al- Qur’an 16:91 3 Al- Qur’an 5:8 37 semua pihak bukan hanya orang-orang yang memiliki kuasa terhadap harta.Sehingga tidak ada lagi bentuk penyimpangan seperti penimbunan harta maupun eksploitasi. Solusi terhadap masalah ini adalah adanya keadilan distribusi. 4 Kita lihat bahwa Allah menyuruh berbuat adil dan kebaikan, juga disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun terhadap musuhnya, dan agar tetap memegang keadilan, serta lebih dari itu Al- Qur’an menyatakan bahwa keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa Al- qur’an menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari taqwa. Dengan kata lain, taqwa di dalam Islam bukan hanya konsep ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Sangat disayangkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggalan nabi, yakni pemerinahan dinastik, menghancurkan stuktur sosial yang adil yang sangat ditekankan dalam Islam dan kemudian segera membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, namun sekarang yang tinggal hanyalah sebuah kerangka yang kosong empty shell. 5 Pemerintahan Umayyah dan Abbasiah yang menindas benar-benar mencampakkan konsep keadilan Islam dan mereduksi taqwa menjadi sekedar konsep ritualistik. Orang yang dianggap sholeh adalah mereka yang mengerjakan sholat, membayar zakat, dan menunaikan haji, namun kesholehannya dijauhkan 4 Santoso, listiyono, epistemologi kiri, penerbit ar-ruzz media:Jogjakarta, 2003.hal.297 5 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 58 38 dari masalah keadilan sosio-politik dan sosio-ekonomi. Dalam sejarah Islam, berkuasanya pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang disuarakan dengan keras, dan protesnya itu didasarkan pada ayat-ayat Al- Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan. Selama kekhalifahan Ustman, khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi pada segelintir orang, dan seiring dengan itu Islam mulai kehilangan semanga, karena para pemimpinnya terlelap oleh kemakmuran. Melihat hal ini seorang sahabat Nabi yang sangat jujur dan terhormat, Abu Dharr, memprotes kebijakan Ustman tersebut. Protesnya itu didasarkan pada ayat Al- Qur’an yang secara tegas mengancam orang-orang yang menumpuk- numpuk kekayaan. Disebutkan, “Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya dijalan Allah, beritahulah mereka tentang siksaan yang pedih menyakitkan. Pada hari itu, emas dan perak mereka dipanaskan dalam api neraka, dibakar dengan dahi-dahi mereka, sisi-sisi dan punggungnya. Dikatakan kepad a mereka, „inilah harta yang kamu timbun bagi dirimu. Maka rasakan olehmu harta yang kamu simpan itu.’” 6 Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al- Qur’an adalah ‘adl dan qist’. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengetian yang identik dengan sawiyyat. 7 Kata itu juga mengandung makna penyamarataan equalizing dan kesamaan leveling. Penyamarataan dan 6 Al- Qur’an 9: 34-35 7 Lihat Al-Munjid yang disusun oleh Lawis Ma’luf Beirut,1937 dalam kata adl halaman 491, dan juga A Diictionary of Modern Written Arabic, diedit oleh J. Million Cowan New York, 1976: 506. 39 kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur kejahatan dan penindasan. Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga keadilan, kejujuran dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan lainnya berarti keseimbangan berat. Sehingga kedua kata di dalam Al- Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan adalah ‘adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata termasuk distribusi materi dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial. Ayat tersebut diatas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian sama.                                          Artinya: “apa saja harta rampasan fai-i yang diberikan Allah kepada RasulNya dari harta benda yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya .” 8 8 Al- Qur’an, 59: 7 40                                Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 9 dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. 10 `Al- Qur’an juga mengecam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti iniakan membawa kepada kehancuran. “Dan bila Kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang- orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, 11 namun mereka melanggar perintah itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu kamipun membinasakannya.” 12 Al- Qur’an bukan saja menentang penimbunan harta dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim, namun juga menentang kemewahan dan tindakan yang menghambur-hamburkan uang untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak orang miskin yang membutuhkannya. Keduanya merupakan tindakan jahat, dan mereka 9 Segala minuman yang memabukkan. 10 Al- Qur’an, 2: 219 11 Kata yang digunakan dalam Al- Qur’an adalah mitrib yang berarti orang yang hidup dalam kemudahan dan kemewahan dalam segala hal. Juga digunakan kata mutrifin bahwa mereka melampaui batas dan memperturutkan nafsunya dalam perbuatan yang amoral. 12 Al- Qur’an, 17: 16 41 mengganggu keseimbangan sosial sosial balance, sehingga terjadi bencana. Maka keadilan di dalam Al- Qur’an bukan hanya berarti norma hokum rule of law, namun juga berarti keadilan yang distributif karena hukum, kata Socrates, seringkali hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial sosial wealth dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah kepada kehancuran masyarakat secara total. Jika orang mengkaji Al- Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, maka pasti akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek berbeda. Menurut Al- Qur’an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya.” 13 Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertahanan dalam Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al- Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomi yang bersifat kesukuan, feudal atau kapitalistik. Al- Qur’an berisikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai value-oriented declarations. Al- Qur’an tidak menetapkan satu dogma ekonomi. Sehingga Al- Qur’an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, 13 Al- Qur’an, 23: 84 42 manusia diperingati agar jangan sampai memperkuat suatu stuktur yang menindas dan mengeksploitasi. 14 Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek perdagangan dan perniagaan. Malpraktek ini satu demi satu dihapuskan oleh Nabi melalui dakwah kepada sahabat-sahabatnya. Satu prinsip utama yang jelas adalah penolakan yang tegas terhadap spekulasi. Sebenarnya, sangat banyak masalah dalam masyarakat industrial atau niaga yang berasal dari praktek-prektek spekulatif yang membuka jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek spekulatif telah dilarang dengan tegas didalam Islam. Dilarang menjual buah yang belum masak yang belum dipetik, karena belum diketahui berapa jumlahnya. Sama juga orang tidak boleh menjual bayi hewan yang masih dalam kandungan, karena kesehatan kondisinya tidak diketahui, demikian juga induknya. 15 Islam juga melarang jual beli yang takarannya dikurangi atau dilebihkan. 16 Nabi juga melarang penimbunan barang untuk menaikan harga. Nabi pernah berkata kepada Hazrat „Umar bahwa siapa saja yang menimbun barang, Allah mengutuknya dan barangnya itu berhak diambil darinya dan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga biasa. 17 Kemudian menurut Ibn Taymiyya berkata, “Nabi melarang orang kota yang mengetahui harga pasar untuk menjadi 14 Asghar Ali Engineer, ”Islam and Liberation Theology”, terj. Agung Prihantoro, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, hlm. 59-60. 15 Bulugh al-Muram yang disusun oleh Aamah Hajar Asqatani Banaras, 1982 hal, 223 16 Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ Delhi, 1975 hal, 536 17 Dalam buku Imam Malik, Muwatta’ , hal, 551 43 agen dari orang luar kota yang ingin membeli barang-berang, karena dia mengetahui bahwa diperlukannya barang tersebut sehingga memungkinkan dia menaikan harga seenaknya. Nabi juga melarang penjualan barang yang belum diketahui oleh pembelinya karena akan menimbulkan eksploitasi, termasuk barter antara hasil pertanian atau logam dalam ukuran sama, misalnya dengan emas atau perak. Hanya emas yang bisa ditukar dalam ukuran yang sama dengan emas, dan perak dengan perak, atau gandum dengan gandum, dan sebagainya. Barter barang yang tidak sejenis dinamakan riba, karena mengarah pada eksploitasi. 18 Larangan untuk semua praktek ini sangat dikenal dalam Islam, dan riba betul-betul dikecam dalam kitab suci Al- Qur’an. 19 Banyak pemikir Islam yang menganggap riba bukan hanya berarti bunga, namun secara umum juga bermakna eksploitasi. Semua praktek yang mengarah kepada eksploitasi sesama manusia, termasuk industri dan perniagaan yang tidak adil, dianggap riba. Sesungguhnya dalam masyarakat industrial modern, semua praktek monopoli, kartel dan pengawasan multinasional terhadap pasar harus diperlakukan sebagai riba. Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi industrial, bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi persoalan monopoli atau ekonomi yang dikontrol oleh multi Negara. Sistem ekonomi seperti ini hanya akan mengakibatkan kerugian. 18 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68 19 Al- Qur’an, 2: 275-276, 278. 44 Namun demikian, sayangnya para ulama tradisional dengan bodohnya terantuk pada konsep riba yang masih tradisional dan tidak mau tahu dengan istilah-istilah mekanis ekonomi industrial modern yang mencengkram berjuta-juta orang dan praktek-prektek multinasional yang eksploitatif betul-betul merampok negara- negara dunia ketiga. Sebenarnya sekarang ini seluruh sistem perekonomian dunia Islam berada dalam cengkeraman perusahaan multinasional Amerika, mungkin kecuali Iran. Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari perekonomian modern, mewarisi system ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi tradisional. Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ketiga. Hanya pemikir yang demikian inilah yang dapat menangkap semangat dan tujuan Islam yang sebenarnya untuk menciptakan system ekonomi yang tidak eksploitatif. Sekali lagi agar tidak salah tangkap terhadap dimensi religius dari masalah ini, Ibn Taymiyya menjelaskan bahwa keadilan dan suatu bentuk kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada apa yang disebutnya tirani yang saleh pious tyranny. Kehidupan manusia di duniayang diatur dengan keadilan dan kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada tirani yang saleh. Inilah mengapa dikatakan bahwa Allah menghargai Negara yang adil meskipun kafir ma’al kufr, namun tidak demikian dengan Negara yang tidak adil meskipun 45 muslim. Juga disebutkan bahwa dunia dapat bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namu tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Nabi Muhammad SAW mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapatkan balasan kecuali menindas orang lain dan memutuskan tali persaudaraan.” Bagi para penindas, hukuman langsung ditimpakan di dunia, dan mungkin akan dimaafkan dan mendap[atkan ampunan kelak di akhirat. 20 Berikut ini argumentasi Ibn Taymiyya, “Keadilan itu adalah suatu tatanan yang universal. Anehnya, kehidupan di dunia yang berlangsung adil, pemimpinnya justru tidak mendapatkan pahala di akhirat kelak.” Namun, sebagian besar ulama yang mendapatkan keuntungan dari kemapanan justru sebaliknya , memperoleh pahala di akhirat. Mereka mengikuti pemerintahan yang tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi mereka, taqwa itu dipahami secara konvensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada keadilan, padahal nabi sendiri memberikan penekanan yang lebih pada keadilan. Ironisnya, justru prinsip keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah Islam mengatakan kepada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu pihak dengan kemapanan yang menindas atas nama Islam. Hal ini tidak baik, suatu semangat Islam yang buruk. Allah memberikan keputusan jelas kepada mereka, “Dan mereka yang memutuskan perkara tidk menurut kehendak Allah, merekalah orang-orang 20 Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, hal, 68-69 46 kafir…merekalah durjana…merkalah orang yang membangkang”. 21 Allah juga memerintahkan kepada nabi u ntuk “memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka. Dan hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu…” 22 Al- Qur’an secara jelas memerintahkan kepada nabi untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka. Sesungguhnya, syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindas. Al- Qur’an mensyaratkan ketundukan untuk berlaku adil meskipun bertentangan dengan kepentingannya sendiri, orang tuanya, kerabatnya, orang kaya yang berpengaruh dan untuk tidak menurutkan hawa nafsunya. 23 Al- Qur’an juga memperingatkan mereka yang merusak keadilan akan diberi balasan yang mengerikan. 24 Keadilan bukanlah peraturan yang didasarkan pada kepentingan orang yang kaya dan berpengaruh. Keadilan, sesuai dengan Al- Qur’an tidak dapat diperoleh dengan mengikuti aturan mereka. Dan dalam menghadapi tirani yang kuat, kaum muslim dibenarkan untuk melakukan jihad. Keadilan lebih diutamakan daripada Islam formal, tidak ada orang yang benar-benar tunduk kepada Allah tanpa benar-benar 21 Al- Qur’an 5: 44-47. 22 Al- Qur’an, 5: 49. 23 Al- Qur’an, 4: 135. 24 Al- Qur’an, 3: 21. 47 memperdulikan keadilan. Sebenarnya di dalam Islam, ada penekanan yang lebih pada keadilan, bahkan daripada pada cinta, karena peduli pada keadilan sebenarnya adalah peduli pada kemanusiaan. 25

B. Islam dan Tantangan Kemiskinan