Gerakan Perlawanan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka

(1)

GERAKAN PERLAWANAN PEDAGANG BUKU BEKAS

LAPANGAN MERDEKA

SKRIPSI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015

ADITYA FRITAMA (100901092)


(2)

ABSTRAK

Pembangunan City Check In , Sky Bridge dan lahan parkir yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemko) Medan dilakukan untuk mendukung sarana transportasi ke Bandara Internasional Kuala Namu. Lokasi pembangunan tersebut tepat berada di sisi timur Lapangan Merdeka tempat pedagang buku berjualan. Pedagang buku bekas sendiri menempati sisi Timur Lapangan Merdeka dimulai pada tahun 2003 dengan beralaskan hukum Surat Keputusan Walikota Medan mengenai surat perjanjian pemakaian kios tempat berjualan buku di Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan No 511.3/5750.B tertanggal 22 Juli 2003. Pedagang buku yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) menolak kebijakan relokasi tesebut dan melakukan perlawanan terhadap kebijakan Pemko Medan yang tidak mengakomodir keinginan pedagang buku bekas. Pedagang buku menuntut kepada Pemko Medan untuk melakukan revitalisasi sisi timur Lapangan Merdeka, karena pedagang buku adalah cagar budaya dan ikon Kota Medan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam dan mengetahui bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku P2BLM yang berlokasi di Jl. Pegadaian, Keluarahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melakukan observasi dan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari, pihak Lembaga Swadaya Masyarakat, Pedagang Buku P2BLM, dan Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan. Untuk memperkaya data dan informasi mengenai pedagang buku P2BLM, maka juga digunakan teknik pengumpulan data melalui kuesioner dengan sampel berjumlah 56 orang pedagang.

Berdasarkan hasil penelitian, gerakan perlawanan pedagang buku dilakukan dengan bentuk perlawanan secara terang-terangan dan perlawanan secara tersembunyi. Pedagang buku melakukan gerakan perlawanan secara terang-terangan dengan cara melakukan aksi demonstrasi, menerobos masuk gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Medan, dan menolak relokasi dengan perjuangan politis non-litigasi. Perlawanan secara tersembunyi dilakukan dengan menolak relokasi dengan tidak memperdulikan surat peringatan pengosongan kios dan tetap berjualan di sisi Timur Lapangan Merdeka. Menggelar kegiatan peringatan hari Sumpah Pemuda sebagai momentum mengingat sejarah dan menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai alat perlawanan. Ini dilakukan untuk membentuk koalisi kepada masyarakat yang homogen dan koalisi antar organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan, civitas akademika dan media massa. Perlawanan pedagang buku memberikan dampak nyata dengan dibangunnya revitalisasi kios di sisi timur Lapangan Merdeka yaitu 244 kios. Pedagang yang tergabung dalam P2BLM memperoleh kios mereka sebagai hasil dari perjuangan melakukan perlawanan yang ditandai dengan kesepakatan bersama antara Pemko Medan dan P2BLM.


(3)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Tabel ... v

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

1.5. Definisi Konsep ... 9

1.5.1. Gerakan Perlawanan ... 9

1.5.2. Relokasi ... 9

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Gerakan Sosial ... 10

2.2. Perlawanan ... 19

BAB III Metodologi Penelitian 3.1. Jenis Penelitian ... 28

3.2. Lokasi Penelitian ... 28

3.3. Unit Analisis Dan Informan 3.3.1 Unit Analisis ... 28

3.3.2 Informan ... 29


(4)

3.4.1 Populasi ... 30

3.4.2 Sampel ... 30

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.5.1 Data Primer ... 31

3.5.2 Data Sekunder ... 33

3.6. Interpretasi Data ... 33

3.7. Teknik Analisis Data ... 34

3.8. Jadwal Kegiatan ... 35

BAB IV Deskripsi Dan Interpretasi Data Penelitian 4.1. Gambaran Umum Pedagang Buku Bekas ... 36

4.1.1 Sejarah Pedagang Buku Bekas ... 36

4.1.2 Pedagang Buku Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38

4.1.3 Suku ... 39

4.1.4 Tingkat Pendidikan Pedagang Buku ... 40

4.1.5 Tingkat Pendapatan Pedagang Buku ... 41

4.1.6 Lama Usaha Berjualan Buku ... 42

4.1.7 Sumber Pedagang Mendapatkan Buku ... 43

4.1.8 Kondisi Paska Relokasi ... 43

4.1.8.1 Komunikasi Pedagang Buku ... 46

4.2. Profil Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka ... 50

4.2.1.Susunan Kepengurusan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka ... 52


(5)

4.4.Proses Terbentuknya Organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan

Merdeka ... 57

4.5.Tindakan Diskriminasi Penghancuran Kios Terhadap Pedagang Buku ... 63

4.6. Awal Membangun Gerakan ... 66

4.7. Perlawanan Secara Terang-Terangan ... 69

4.7.1 Menolak Relokasi ... 70

4.7.2 Menerobos Masuk Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan ... 86

4.7.3 Demonstrasi ... 88

4.8. Perlawanan Secara Tersembunyi ... 95

4.8.1 Membangun Koalisi ... 95

4.8.1.1 Koalisi Antar Organisasi Civil Society ... 96

4.8.2 Menggelar Gebyar Sumpah Pemuda ... 99

4.9. Hasil Kesepakatan Mediasi Pemko Medan dan P2BLM ... 101

BAB V Kesimpulan Dan Saran 5.1 Kesimpulan ... 107

5.2 Saran ... 108


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1Jenis Kelamin ... 38

Tabel 4.2 Komposisi Pedagang Buku Berdasarkan Suku ... 39

Tabel 4.3Tingkat Pendidikan ... 40

Tabel 4.4 Pendapatan Per Bulan ... 41

Tabel 4.5 Lama Usaha Berjualan Buku ... 42

Tabel 4.6 sumber Buku- Buku ... 43

Tabel 4.7 Pengaruh Lokasi Usaha Mempengaruhi Tingkat Pendapatan ... 44

Tabel 4.8 Kondisi Lokasi Berjualan Di Jl. Pegadaian ... 44

Tabel 4.9 Kondisi Sarana dan Prasarana ... 45

Tabel 4.10 Pendapatan Setelah Di Relokasi ... 46

Tabel 4.11 Komunikasi Antar Organisasi Pedagang Buku ... 46

Tabel 4.12 Komunikasi Dengan Pemerintah ... 47

Tabel 4.13 Kinerja Pemerintah Dalam Relokasi ... 48


(7)

ABSTRAK

Pembangunan City Check In , Sky Bridge dan lahan parkir yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemko) Medan dilakukan untuk mendukung sarana transportasi ke Bandara Internasional Kuala Namu. Lokasi pembangunan tersebut tepat berada di sisi timur Lapangan Merdeka tempat pedagang buku berjualan. Pedagang buku bekas sendiri menempati sisi Timur Lapangan Merdeka dimulai pada tahun 2003 dengan beralaskan hukum Surat Keputusan Walikota Medan mengenai surat perjanjian pemakaian kios tempat berjualan buku di Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan No 511.3/5750.B tertanggal 22 Juli 2003. Pedagang buku yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) menolak kebijakan relokasi tesebut dan melakukan perlawanan terhadap kebijakan Pemko Medan yang tidak mengakomodir keinginan pedagang buku bekas. Pedagang buku menuntut kepada Pemko Medan untuk melakukan revitalisasi sisi timur Lapangan Merdeka, karena pedagang buku adalah cagar budaya dan ikon Kota Medan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam dan mengetahui bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku P2BLM yang berlokasi di Jl. Pegadaian, Keluarahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melakukan observasi dan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang yang terdiri dari, pihak Lembaga Swadaya Masyarakat, Pedagang Buku P2BLM, dan Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan. Untuk memperkaya data dan informasi mengenai pedagang buku P2BLM, maka juga digunakan teknik pengumpulan data melalui kuesioner dengan sampel berjumlah 56 orang pedagang.

Berdasarkan hasil penelitian, gerakan perlawanan pedagang buku dilakukan dengan bentuk perlawanan secara terang-terangan dan perlawanan secara tersembunyi. Pedagang buku melakukan gerakan perlawanan secara terang-terangan dengan cara melakukan aksi demonstrasi, menerobos masuk gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Medan, dan menolak relokasi dengan perjuangan politis non-litigasi. Perlawanan secara tersembunyi dilakukan dengan menolak relokasi dengan tidak memperdulikan surat peringatan pengosongan kios dan tetap berjualan di sisi Timur Lapangan Merdeka. Menggelar kegiatan peringatan hari Sumpah Pemuda sebagai momentum mengingat sejarah dan menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai alat perlawanan. Ini dilakukan untuk membentuk koalisi kepada masyarakat yang homogen dan koalisi antar organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan, civitas akademika dan media massa. Perlawanan pedagang buku memberikan dampak nyata dengan dibangunnya revitalisasi kios di sisi timur Lapangan Merdeka yaitu 244 kios. Pedagang yang tergabung dalam P2BLM memperoleh kios mereka sebagai hasil dari perjuangan melakukan perlawanan yang ditandai dengan kesepakatan bersama antara Pemko Medan dan P2BLM.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemerintah Kota (Pemko) Medan merelokasi pedagang buku yang masih bertahan di sisi Timur Lapangan Merdeka. Hal ini dilakukan untuk melanjutkan pembangunan nasional Sky Bridge yang sudah terlantar hampir satu tahun lamanya. Pembangunan nasional yang dimaksud adalah pembangunan Sky Bridge, dimana Sky Bridge akan menjadi penghubung antara lokasi parkir dengan City Check In yang teletak di Stasiun Kereta Api. City Check In sebagai layanan kepada penumpang Bandara Kuala Namu yang dapat melakukan Check In

keberangkatan di Kota Medan tanpa harus ke Bandara.

Dalam penelitian Andri (2011) penggusuran paksa terhadap hunian masyarakat oleh negara merupakan fenomena umum yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia saat sekarang. Secara umum, praktik penggusuran paksa oleh negara memiliki kecenderungan dengan cara-cara seperti, penggunaan hukum (berupa peraturan-peraturan daerah) sebagai legitimasi untuk melakukan pengusiran. Dengan dasar ini negara mengeluarkan surat formal ataupun pernyataan yang menyuruh penduduk meninggalkan lokasi. Dalam praktik penggusuran, aparat gabungan (Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia) menggunakan cara-cara kekerasan dengan tujuan melakukan pengusiran secara paksa..


(9)

Pembangunan tersebut menggusur pedagang buku yang berdagang di Lapangan Merdeka Medan dengan alasan pembangunan nasional. Bentuk penolakan dari masyarakat yang mendapat ancaman penggusuran oleh negara dapat berupa perlawanan. Scott (2000:40) mengatakan perlawanan kecil setiap hari dengan penuh kesabaran, organisasi anonim yang informal dengan koordinasi tahu sama tahu, berhati-hati, mencuri sedikit demi sedikit, memperlambar kerja, pura-pura sakit, menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif.

Praktik penggusuran terhadap keberadaan pedagang buku bekas sisi timur Lapangan Merdeka Kota Medan dilatarbelakangi dengan kebijakan Pemerintah Kota (Pemko) Medan yang ingin membangun City Check In , Sky Bridge dan lahan parkir. Dengan alasan pembangunan, para pedagang buku dipaksa direlokasi menuju Jl. Pegadaian. Pembangunan ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya proyek pembangunan jalur Kereta Api ke Bandara Kuala Namu termasuk adanya proyek jalan tol. Program pembangunan ini tepat berada pada lokasi berjualan pedagang buku bekas di sisi Timur Lapangan Merdeka. Lokasi sisi Timur Lapangan Merdeka tersebut dekat dengan lokasi stasiun Kereta Api Medan, maka sudah dipastikan dibutuhkan lahan parkir yang luas.

Kawasan Lapangan Merdeka Kota Medan (dulu bernama Medan Esplanade) ini sesuai fungsinya merupakan ruang terbuka publik yang memiliki sejarah yang menyertai permulaan Kota Medan dari awal hingga saat sekarang ini. Lapangan Merdeka Medan ini seiring dengan perkembangan zaman berfungsi sebagai tempat hiburan dan objek tempat masyarakat Kota Medan berkumpul. Sisi


(10)

timur Lapangan Merdeka merupakan lokasi yang disediakan pemerintah yang pada mulanya diperuntukkan untuk kawasan sepatu roda yang kemudian beralih fungsi menjadi tempat berjualan pedagang buku bekas. Pusat buku bekas di kawasan sisi timur Lapangan Merdeka merupakan cagar budaya Kota Medan sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Medan Tahun 2003 berdasarkan surat perjanjian pemakaian kios tempat berjualan buku di Sisi Timur Lapangan Merdeka Medan No 511.3/5750.B tertanggal 22 Juli 2003.

Pedagang buku menolak relokasi dengan alasan pasar buku bekas yang berada di sisi timur Lapangan Merdeka tepat berada di pusat Kota Medan. Hal ini menjadi satu keuntungan bagi pedagang buku bekas, karena lokasi mereka berjualan berada di pusat kota dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat luas. Pasar buku bekas ini merupakan salah satu ikon Kota Medan sekaligus tempat favorit masyarakat dalam membeli buku bekas dan murah, yang tidak dapat ditemukan di gerai-gerai toku buku modern. Pasar buku bekas bukan hanya sebagai tempat transaksi jual-beli, tetapi sebagai mata rantai dan sirkulasi ilmu pengetahuan agar tetap terjaga pengetahuan serta kebudayaan.

Penggusuran ini menyebabkan para pedagang khawatir akan kehilangan sumber mata pencahariannya. Para pedagang memberikan tuntutan kepada Pemko Medan seperti :

1. Menolak penggusuran pedagang buku Lapangan Merdeka secara semena-mena karena keberadaan pedagang adalah sah/legal dengan landasan SK Walikota No.510/ 1034/k/2003 dan telah disetujui oleh DPRD Kota Medan melalui surat No. 646/624 tertanggal 11 Juli Tahun 2003 perihal persetujuan


(11)

Revitalisasi Cagar Budaya Titi Gantung Medan dan pemindahan pedagang buku di Lapangan Merdeka.

2. Meminta kepastian alas hukum tempat relokasi kepada Pemerintah Kota Medan. Tempat relokasi pedagang buku bekas yaitu, Jl.Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun Milik P.T. Kereta Api Indonesia melanggar peraturan daerah No: 13 Tahun 2011 pasal 37 ayat 5 (jalur sepadan yang di maksud pada ayat (2) di tetapkan pada kawasan di sisi kiri dan kanan rel kereta api dengan jarak sekurang-kurangnya 18 meter), peraturan walikota No 09 tahun 2009 (penetapan larangan pembangunan di sepanjang jalur hijau) serta bertentangan dengan undang-undang perkeretaapian.

3. Pembangunan City Check In, Sky Bridge, dan City Car seharusnya berlokasi di Kecamatan Medan Timur, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 angka (4) huruf e Peraturan Daerah Kota Medan No : 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilyah Kota Medan Tahun 2011-2031, berbunyi :

Angka (4) Stasiun kerata api sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi :…huruf (e) Stasiun Kereta Api City Check in di Kecamatan Medan Timur”

Pedagang juga menolak relokasi dikarenakan tepat pada lokasi tersebut di Jalan Jawa Kecamatan Medan Timur telah berdiri pusat perbelanjaan dan mall yaitu kompleks Centre Point . Pembangunan seluruh bangunan di areal kompleks Medan Centre Point itu belum memiliki SIMB (Surat Izin Mendirikan Bangunan), sebagaimana dinyatakan surat Kepala Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Nomor 640/0933 tanggal 5 Februari 2013.


(12)

Relokasi dalam penelitian Musthofa (2011) mengatakan seharusnya pemerintah melakukan beberapa langkah sebagai berikut sebelum melakukan tindakan relokasi 1) Perlunya koordinasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi 2) Pemilihan Areal Relokasi 3) Hak masyarakat yang akan dipindahkan 4) Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali 5) Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan 6) Status hak atas tanah

Rencana relokasi tersebut membuat pedagang buku terpecah menjadi dua kubu yakni Asosiasi Pedagang Buku Lapangan Merdeka (Aspeblam) yang sudah direlokasi ke Jalan Pegadaian dan Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM) yang masih bertahan di sisi Timur Lapangan Merdeka. Pedagang yang sudah pindah adalah yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Buku Lapangan Merdeka (Aspeblam), dan yang bertahan adalah tergabung dalam Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM).

Hal ini menimbulkan penolakan dan gerakan perlawanan oleh pedagang buku bekas yang tergabung di dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM) terhadap pemerintah Kota Medan yang dianggap diskriminatif karena tidak melindungi hak-hak mereka. Menurut Mustain (2007:339) gerakan dilakukan oleh sekelompok tertentu dengan tujuan untuk mengubah tatanan yang dianggap tidak tepat atau merugikan. Tatanan tersebut termasuk kebijakan atau keputusan pemerintah, atau the rule of the game yang berlaku, atau tatanan sosial tertentu.

Astra dan Arsana (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Resistensi Perempuan Bali Pada Sektor Industri Kreatif Di Desa Paksebali, Kecamatanan


(13)

Dawan, Kabupaten Klungkung” menjelaskan bahwa perlawanan dilakukan kaum perempuan untuk menuntut kesetaraan gender. Dalam jurnal ini di jelaskan resistensi perempuan di Bali merupakan cerminan dari ketidakpuasan terhadap pembedaan antara laki-laki dan perempuan terhadap pekerjaan. Perlawanan yang dimaksud adalah yang dilakukan oleh perempuan Bali yang beragama Hindu dalam mendobrak idealisme budaya patriarki.

Perlawanan juga dilakukan oleh kelompok petani seperti dalam jurnal Kamaruddin (2012) dengan judul “Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus: Mengenai Gerakan Sosial di Sulawasi Selatan Pada Masa Kependudukan Jepang)” . Perlawanan petani di sini disebabkan karena dua faktor yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Ideologi milliniarisme melatarbelakangi perlawanan di mana tokoh agama sebagai pemimpin pemberontakan mampu memberikan sugesti kepada rakyat. Jurnal ini lebih kepada mendeskripsikan faktor-faktor serta peran tokoh petani dalam pemberontakan.

Dalam jurnal “Festival Jogokali : Resistensi Terhadap Penggusuran Dan Gerakan Sosial-Kebudayaan Masyarakat Urban” perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pinggir sungai dalam menghadapi penggusuran adalah dari diskusi dengar pendapat hinga aksi turun ke jalan, perlawanan kolektif yang dibangun dengan menggunakan media kesenian. Masyarakat yang tinggal di dekat sungai menggelar sebuah festival Jogo (menjaga) Kali (sungai) sebagai salah satu bentuk gerakan mereka. Festival Jogokali sebagai bentuk perjuangan anti penggusuran masyarakat miskin urban. Penggunaan media kesenian dan kebudayaan mendefinisikan dirinya untuk berbicara atas nama atau menyuarakan, suara-suara terbungkam yang benar-benar tertindas sebagai resistensi simbolik.


(14)

Maliki (2010) dalam jurnalnya yang berjudul “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia” menjelaskan, mereka melakukan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni negara dengan cara menggunakan kelompok intelektual sebagai representasi mereka. Menciptakan ruang (sphere) yang cenderung bebas dari hegemoni kelompok manapun serta independen. Membangun jaringan dengan berbagai kelompok dan menjalin kerja sama dengan pihak Universitas serta memanfaatkan media dalam perlawanan mereka.

Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti tertarik untuk menggambarkan gerakan perlawanan pedagang buku yang merupakan gerakan untuk memblokir atau mengeliminasi perubahan yang sudah dilembagakan sebelumnya. Pedagang buku bertahan berjualan di sisi timur Lapangan Merdeka untuk bertahan hidup. Lokasi tempat pemindahan yaitu Jl. Pegadaian juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat Medan atau pun masyarakat luar kota. Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi menjadi musuh bagi pedagang buku yang dikerahkan oleh pihak Pemerintah Kota Medan untuk menggusur pedagang buku bekas. Untuk masalah penelitian difokuskan terhadap bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku bekas dalam menghadapi kebijakan relokasi Pemerintah Kota Medan.

1.2. Rumusan Masalah

. Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku bekas lapangan merdeka dalam menghadapi kebijakan relokasi oleh Pemerintah Kota Medan?


(15)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana gerakan perlawanan pedagang buku bekas lapangan merdeka dalam menghadapi kebijakan relokasi oleh Pemerintah Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang gerakan perlawanan pedagang buku bekas Lapangan Merdeka terhadap kebijakan relokasi Pemerintah Kota Medan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian sebagai berikut :

a) Menghasilkan karya ilmiah mengenai upaya perlawanan pedagang buku bekas Lapangan Merdeka terkait kebijakan relokasi Pemerintah Kota Medan sehingga penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam mengetahui kajian gerakan perlawanan.

b) Hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai referensi dalam memahami kehidupan para pedagang buku yang cenderung termarjinalkan dengan kebijakan Pemerintah Kota Medan.


(16)

2) Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk bahan pijakan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan yang menangani para pedagang buku bekas yang ada di alun-alun Kota Medan, serta dapat meningkatkan kepedulian terhadap fenomena pedagang buku bekas dan perlunya rasa kebersamaan agar tercipta rasa keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang buku bekas sebagai bagian dari anggota masyarakat.

1.5. Definisi Konsep 1.5.1. Gerakan perlawanan

Gerakan perlawanan adalah tindakan anggota kelas masyarakat dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan atau kebijakan pemerintah. Pada dasarnya gerakan perlawanan ini timbul akibat adanya keresahan pedagang buku akan kondisi relokasi yang tidak diinginkan, untuk menuju perubahan yang diinginkan yaitu revitalisasi. Perlawanan pedagang buku bekas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perlawanan pedagang buku yang termasuk dalam perlawanan secara terang-terangan (dengan cara-cara seperti demonstrasi) dan perlawanan tersembunyi (seperti,gosip atau fitnah dan simbolik)

1.5.2. Relokasi

Relokasi adalah membangun kembali atau pemindahan tempat, perumahan, harta kekayaan, termasuk tanah produktif dan prasarana umum di lokasi atau lahan lain. Dalam relokasi adanya obyek dan subjek yang terkena dampak dalam perencanaan dan pembangunan relokasi. Relokasi di dalam penelitian ini adalah pemindahan tempat berjualan pedagang buku bekas sisi timur lapangan merdeka ke Jl. Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gerakan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Turner dan Killian dalam Suryadi (2007) mendefinisikan gerakan sosial secara luas sebagai suatu usaha bersama untuk meningkatkan suatu penentangan perubahan dalam masyarakat di mana usaha tersebut memainkan peran. Kartodirdjo dalam Kamaruddin (2012) mengatakan gerakan sosial adalah gerakan perjuangan yang dilakukan oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa ataupun negara.

Gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap suatu kondisi atau keadaan. Kelompok itu semula tidak terorganisasi dan tidak terarah, serta tidak memiliki perencanaan yang matang. Orang-orang saling membagi duka, dan mengeluh. Pemimpin dan organisasi dari kebanyakan gerakan, biasanya muncul tidak lama setelah situasi keresahan sosial tercipta. Setelah mengalami tahapan penurunan kegiatan, kadang kala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen, dan seringkali pula gerakan itu hilang


(18)

begitu saja tanpa bekas yang berarti, Horton dan Kartodirjo dalam Kamaruddin (2012).

Zenden dan Heberle dalam Wahyudi (2005:23) memberikan kriteria gerakan sosial sebagai berikut :

1. Bertujuan untuk membawa perubahan fundamental terhadap tatanan sosial, khususnya dalam institusi dasar properti dan hubungan ketenagakerjaan

2. Suatu kesadaran tentang identitas dan solidaritas kelompok adalah diperlukan bersamaan dengan kesadaran common sense dan tujuan

3. Gerakan sosial selalu terintegrasi dengan serangkaian ide atau suatu ideologi

4. Gerakan sosial berisi anggota-anggota kelompok yang secara formal diorganisasikan, tetapi gerakan sosialnya itu sendiri adalah bukan kelompok yang terorganisir

5. Memiliki aturan yang cukup kuat untuk meneruskan eksistensinya, meski mereka harus merubah komposisi keanggotaannya

6. Gerakan sosial bukan suatu produk, tetapi memiliki durasi

Dalam realitasnya, gerakan sosial yang terjadi di negara-negara mengalami perubahan, di mana perubahan gerakan sosial itu dikategorikan dengan istilah gerakan sosial lama dan gerakan sosial baru. Gerakan sosial lama dianggap sebagai perlawanan atau perjuangan kelas buruh dalam menuntut keadilan mereka. Gerakan sosial baru dianggap sebagai perluasan makna gerakan sosial


(19)

lama ke arah perjuangan mengimbangi dominasi kekuasaan negara dan perwujudan demokratisasi, Suryadi (2007:119).

Lofland (2003:50) mengatakan dua aspek empiris gelombang yang perlu diperhatikan adalah pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas. Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial atau jika organisasinya berbeda maka mereka akan dengan sabar menunggu pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan.

Gerakan sosial terbentuk melalui serangkaian proses. Ada beberapa tahap terbentuknya gerakan sosial ini. Tahap-tahap tersebut yaitu,

1. Tahap ketidaktentraman karena ketidakpastian dan ketidakpuasan yang semakin meningkat.

2. Tahap perangsangan, yaitu sebuah tahap yang terjadi ketika perasaan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebabnya sudah teridentifikasi dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan.


(20)

3. Tahap formalisasi, sebuah tahap ketika sosok pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan

4. Tahap institusionalisasi atau tahap pelembagaan, tahap ketika organisasi telah diambil alih dari pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat dan ideologi serta program elah diwujudkan, Horton dan Hunt dalam Martono (2012 : 227).

Zande dan James dalam Suryadi (2007:120) menyederhanakan tipe gerakan sosial yang berdasarkan basis ideologi:

1. Gerakan-gerakan revolusioner, yaitu gerakan yang mengubah masyarakat dengan menentang nilai-nilai fundamental. Gerakan revolusioner mendukung penggantian kerangka nilai yang ada. Sebagai contoh kelompok nasionalis hitam yang muncul pada akhir tahun 1960-an

2. Gerakan-gerakan reformasi yaitu, gerakan yang berusaha untuk memodifikasi kerangka kerja dari skema nilai yang ada. Gerakan reformasi mengupayakan perubahan-perubahan yang akan mengimplementasikan kerangka nilai yang ada secara lebih memadai. Sebagai contoh gerakan hak sipil di Amerika Serikat oleh Martin Luther King

3. Gerakan-gerakan perlawanan, yaitu gerakan utuk memblokir atau mengeliminasi perubahan yang sudah dilembagakan sebelumnya. Gerakan perlawanan merupakan suatu gerakan balasan. Sebagai contoh gerakan perlawanan kaum kulit putih terhadap hak-hak sipil kaum kulit hitam di Amerika Serikat


(21)

4. Gerakan-gerakan ekspresif, yaitu gerakan yang kurang konsen dengan perubahan institusional. Gerakan ini berusaha merenovasi atau memperbaharui orang-orang dari dalam, seringkali dengan menjanjikan suatu pembebasan di masa depan. Sebagai contoh adalah gerakan ratu adil.

Gerakan sosial yang beragam dapat disederhanakan dan ditipologikan dilihat dari “Besarnya perubahan sosial yang dikehendaki” (skala) dan “ tipe perubahan yang dikehendaki” seperti yang terlihat dalam tipologi Aberle dalam Triwibowo (2006: xvii-xx) berikut :

BESARAN

TIPE

Perubahan Perorangan Perubahan Sosial

Sebagian Alternative Movements Reformative Movements

Menyeluruh Redemptive Movements Transformative Movements

Alternative Movements berupaya untuk mengubah sebagian perilaku orang, seperti tidak merokok. Sementara Redemptive Movements mencoba mengubah perilaku perorangan secara menyeluruh, seperti dalam bidang keagamaan. Tipe berikutnya yakni Reformative Movements mencoba mengubah masyarakat namun dengan ruang lingkup yang terbatas, seperti gerakan persamaan hak kaum perempuan. Transfromative Movements adalah gerakan


(22)

yang mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan komunis di Kamboja. Gerakan di jelaskan dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu;

1) Pendekatan Moral Ekonomi

Aspek pokok yang memicu gerakan pada pendekatan ini adalah :

a) Reaksi terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup komunitasnya yang berada dalam kondisi subsistensi

b) Faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci gerakan dan umumnya berasasl dari kalangant elit desa atau patron.

2) Pendekatan Ekonomi Politik

Gerakan pada dasarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual terhadap perubahan yang dikalkulasikan merugikan dan mengancam mereka. Keputusan melakukan gerakan terletak pada individu yang menganggapnya sebagai pilihan yang efektif dan efisien. Mendasarkan diri pada konsep manusia sebagai makhluk yang mempunyai kesadaran pribadi individual dan selalu menggunakan perhitungan rasional (kalkulasi untung rugi) dalam bertindak. Atas dasar asumsi ini terdapat perbedaan antara rasionalitas individu dan kelompok, Mustain (2007:335). Hasil penelitian Popkin yang ditemukan tentang hasil studi gerakan reklaiming di Vietnam menjelaskan bahwa ada sebagian kelompok petani yang tidak mau melakukan gerakan perlawanan walaupun mereka tengah mengalami krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang dihasilkan oleh penetrasi kapitalis. Sebaliknya, beberapa kelompok petani


(23)

melakukan perlawanan walaupun mereka tidak mengalami krisis jangka pendek atau jangka panjang. Alasannya, selain perlawanan yang diperhitungkan tidak akan menyelesaikan masalah, juga dipertimbangkan masih ada jalan kompromistis yang dinilai lebih diuntungkan. Faktor lain yang menjadikan tidak melakukan perlawanan adalah karena tidak tercapainya kesepakatan antara para individu untuk melakukan gerakan perlawanan bersama. Kelompok yang melakukan perlawanan yang didasari atas hasil kesepakatan bersama dan berdasarkan perhitungan rasional dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien untuk keluar dari kondisi subsisten yang membelenggu mereka, Popkin dalam Mustain (2007: 336).

3) Pendekatan Historis

Gerakan ini dipahami sebagai akibat dari terjadinya penyimpangan dan ancaman terhadap nilai, norma, tradisi, dan kepercayaan yang dimiliki. Harapan-harapan yang sering timbul dalam gerakan itu antara lain adalah harapan akan datangnya masyarakat atau negara yang adil dan tentram dan makmur. Biasanya negara utopis yang dijadikan itu diikuti dengan harapan akan hadirnya seorang Juru Selamat di lingkungan masyarakat, Mustain (2007:349).

Haynes dalam Alisjahbana (2005:150) mengatakan untuk melakukan gerakan perlu kelompok aksi yang terdiri atas jumlah populasi yang relatif besar, yang berpotensi melakukan perubahan. Hal ini dapat dipahami mengingat faktor


(24)

organisasi merupakan wadah bertemunya pemimpin dengan anggota. Gerakan resistensi diasumsikan tidak dapat terjadi bila tidak ada organisasi dan pemimpin yang menggerakkannya. Ledakan gerakan kolektif sektor informal di perkotaan terjadi karena ada organisasi yang mewadahi dan pemimpin kelompok aksi yang berusaha menyuarakan dan mendengar apa yang menjadi tujuan mereka.

Dahrendorf (2004:34-35) menyebutkan terdapat tiga kondisi yang mendukung kemunculan sebuah struggle group, yang sering kali menjadi pendorong penyebab terjadinya konflik, yaitu:

1. Komunikasi terus menerus diantara orang-orang senasib

2. Adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok

3. Legitimasi kelompok di mata komunitas yang lebih luas atau setidaknya tidak ada tekanan komunitas yang efektif terhadap kelompok

Tujuan pergerakan adalah mendidik dan memenangkan mayoritas publik yang lebih besar yang terus meningkat dan untuk menggerakkan mayoritas publik menuju kekuatan yang efektif yang membawa masalah sosial. Hanya dengan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pergerakan menegakkan nilai-nilai dan pemegang kekuasaan melanggarnya, dapatkah masyarakat dipengaruhi dan dan digerakkan ke tingkat kebutuhan yang diperlukan mereka untuk bertindak. Moyer (2004:17).


(25)

Gerakan sosial atau “civil society” ini menunjukkan pentingnya aktor organisasi civil society seperti Ormas, Ornop, Organisasi Komunitas; Media dan Universitas.

1. Koalisi antar Organisasi Civil Society.

Dalam hal ini, masih terdapat potensi yang dapat dikembangkan. Sebagai contoh, Universitas merupakan sumber yang sangat besar dimana para mahasiswa dapat menjadi relawan dalam berbagai kegiatan sehingga menjamin keberlanjutan sumberdaya manusia. Perlu diaktifkan media cetak dan elektronik untuk mendukung agenda gerakan sosial secara sistematik dan terukur. Pembuatan opini publik yang rutin dan tidak sporadis akan dapat menekan berbagai pihak yang menentang atau mendukung suatu isu.

2. Dukungan dana dari pemerintah.

Gerakan sosial dan organisasi civil society sering sekali mengalami kekurangan di pemerintahan untuk operasional baik rutin maupn program. Uang dari pemerintah yang sebenarnya dari rakyat ini dikembalikan ke rakyat yang berada di civil society . Selama ini subsidi pada organisasi kemasyarakatan juga telah dilakukan (misalnya melalui APBD) namun sifatnya lebih berupa bantuan “sogokan” agar mereka tidak kritis terhadap pemerintah.


(26)

3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik (partai politik) dan ekonomi (perusahaan).

Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya organisasi civil society dalam mengupayakan atau menentang perubahan sosial yang seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Beragamnya organisasi dan kelompok yang berada di ranah politik dan ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk keja sama.

4. Penekanan pada ranah politik.

Masalah yang dibahas dalam gerakan sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini, organisasi civil society dapat mencapai tujuan gerakan sosial dengan melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif (DPR/D). Penekanan dapat berupa petisi atau “class actions” sehungga para aktor yang mempunyai otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu kebijakan baru yang sesuai dengan aspirasi civil society yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Sujatmiko dalam Triwibowo (2006: xxiv)

2.2. Perlawanan (Resistensi)

Scott (2000:381) menjelaskan tidak mudah untuk menentukan di mana kerelaan berakhir dan perlawanan di mulai, karena keadaan menjadikan banyak orang miskin menyelubungi perlawanan mereka dalam bahasa konformitas


(27)

publik. Arti kata kerja ‘melawan’ (to resist) sebagaimana tertera di kamus adalah ‘mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek dari’. Perlawanan kelas memuat tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya: sewa, pajak, gengsi ) yang dibuat oleh kelas atas ( tuan tanah, petani kaya, negara) berhadapan dengan kaum yang kalah itu. Perlawanan berfokus pada basis materi hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, berlaku baik sebagai tindakan perlawanan perorangan maupun kolektif, juga bentuk-bentuk perlawanan ideologi yang menentang definisi situasi yang dominan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Akhirnya, perlawanan berfokus pada maksud ketimbang pada konsekuensi, sehingga di mana ada bukti kuat untuk maksud di balik aksi, maka perlawanannya, sesuai dengan itu, diperkuat.

Perlawanan menurut Zubir (2002) dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai gerakan sosial atau

social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Timbulnya perlawanan menurut Alisjahbana (2005:167-169) terurai ketika menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa, antara mereka yang memiliki aksesbilitas dengan mereka yang tidak memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil, terus terjadi dalam setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota. Pada dasarnya sektor informal lebih suka berdialog dibandingkan harus


(28)

melakukan perlawanan (resistensi). Resistensi dilakukan ketika mereka harus dihadapkan pada sebuah perlakuan yang menurut mereka keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Keberanian kelompok ini melakukan perlawanan (resistensi) adalah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara lain:

1. Adanya model penataan sektor informal yang selalu menggunakan pendekatan represif, bukan persuasif.

2. Adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan sektor informal sehingga selalu dimarginalkan.

3. Terbungkamnya suara sektor informal. Budaya top down dalam setiap pembuatan kebijakan yang mengatur sektor informal menyebabkan terjadinya resistensi terhadap kebijakan pemerintah kota.

4. Adanya kesan negatif yang ditempelkan pemerintah terhadap keberadaan sektor informal.

5. Berhembusnya era reformasi, era reformasi memberikan ruang kepada sektor informal untuk mengadakan resistensi.

Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.


(29)

Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.

Alisjahbana (2005:130) mengatakan perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal berdasarkan perlawanannya dapat ditipologikan menjadi dua :

a) Resistensi (perlawanan) secara terang-terangan.

Ini identik dengan perlawanan secara terbuka dalam artian sektor informal siap untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pemerintah, resistensi ini bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan membakar alat peraga, mengintimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan kekerasan, kemudian dengan sengaja berjualan ditempat-tempat terlarang, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi camat dan meminta izin secara paksa

b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi,

Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi main kucing-kucingan dengan aparat penertiban, kongkalikong

dengan “orang dalam”, menebus barang dagangan untuk berjualan lagi, mencari tempat yang agak tersembunyi, membatasi jumlah sektor informal oleh sektor informal “senior”, membetuk paguyuban sektor informal dan mengumpulkan iuran untuk ‘keamanan’, mencari dukungan Lembaga


(30)

Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa, dan melawan kekuatan modal.

Scott dalam Alisjahbana (2005:130) menjelaskan resistensi secara terang-terangan tersebut dikategorikan sebagai resistensi yang sungguh-sungguh karena : (1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, (2) berprinsip atau tanpa pamrih, (3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, (4) mengandung gagasan atau tujuan untuk meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Bentuk resistensi lainnya adalah resistensi sehari-hari, yaitu melahirkan bentuk resistensi yang khas dan digunakan dengan cara yang paling praktis demi mengatasi permasalahan secara seketika, cepat, dan bisa selamat. Resistensi sehari-hari bersifat insidental atau epifenomenal bercirikan : (1) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (2) bersifat untung-untungan dan berpamrih (nafsu akan kemudahan, (3) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner dan (4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada. Contoh perlawanan bersifat insidental adalah petani Asia Tenggara yang menyembunyikan padi dan harta miliknya dari pandangan mata sang kolektor pajak, memprotes pengenaan pajak yang tinggi, tetapi ia juga berupaya untuk memastikan bahwa untuk keluarganya ada cukup banyak padi.

Scott (2000:51-52) mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol. Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang mereka berikan pada tindak tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan


(31)

latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka. Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan” (unmoved movers). Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, sebagaimana adanya untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi selanjutnya. Aksi perlawanan dan pemikiran tentang (atau makna dari) perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Akhirnya bagaimana kita dapat memahami bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari itu tanpa merujuk pada itikad (intensi), gagasan, dan bahasa manusia-manusia yang mempraktekkannya.

Gerakan perlawanan wong cilik atau pedagang berbeda dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ataupun buruh. Banyak perlawanan yang diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pedagang memang tidak jarang menimbulkan kekerasan. Semakin represif model penataan yang dilakukan oleh pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang diberikan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebaliknya, semakin keras sikap PKL terhadap pemerintah, semakin keras pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori:


(32)

1) Perlawanan yang dikembangkan utuk menolak lahirnya peraturan daerah, dilakukan dengan cara demonstrasi, memimta izin secara paksa kepada camat dan lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan dan mahasiswa.

2) Perlawanan terhadap program relokasi berupa melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.

3) Perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat dan melakukan

demonstrasi.

Untuk kejadian sektor informal, kasus di Kodya Malang sebagian menunjukkan hal tersebut. Di mana sektor informal bekerja sama dengan mahasiswa, lewat ormas kemahasiswaan seperti: HMI, PMII, PEMKRI dan GMKI, (yang tergabung dalam kelompok Cipayung) memeperjuangkan nasibnya kepada walikota Malang, bahkan LSM pun turut bekerja sama dengan mereka. Destabilistas sosial tersebut bisa terjadi apabila bentuk kerja sama tersebut telah mencapai tahap dimana masing-masing pihak tersebut merasa bahwa artikulasi-artikulasi keinginan dan kepentingan mereka tidak pernah didengar dan diwadahi secara proporsional oleh pengambil kebijakan, Yustika (2000 : 203).


(33)

Balridge dalam Alisjahbana (2005:54-57) mengklasifikasikan gerakan perlawanan akan mengalami serangkaian kondisi atau fase-fase tertentu yaitu :

1. Fase Pragerakan (Premovement Stage )

Fase ini muncul karena ada tekanan dan diskriminasi sosial. Kondisi ini bersinergi dengan meningkatnya harapan. Fase pragerakan adalah suatu fase merasakan adanya tekanan struktur atau kondisi sosial yang tidak memuaskan yang dialami oleh individu.

2. Fase Membangun Kesadaran (Awakening Stage)

Pada fase ini sedikitnya ada dua faktor yang mampu membantu membangunkan kesadaran untuk melakukan mobilisasi, yaitu para pemimpin yang kharismatik dan proses resosialisasi. Resosialisasi diperlukan sebab kelompok terhimpit sering menerima begitu saja dan benar-benar percaya bahwa mereka lebih rendah dan tidak berharga. Usaha ini untuk membawa kelompok tertindas menghargai kekuatan sendiri dan dengan begitu, mereka tergugah serta mampu melakukan gerakan resistensi

3. Fase Membangun Gerakan (Movement Building Stage)

Fase ini meliputi pengorganisasian gerakan, perumusan tujuan, dan strategi mobilisasi aksi. Dalam proses pengorganisasian diusahakan terwujud perilaku yang terstruktur, kepemimpinan semakin jelas, tujuan semakin konkret, serta kegiatan terencana secara rutin.


(34)

4. Fase Mempengaruhi Kelompok Sasaran (Influence Stage)

Pada fase ini diharapkan terbentuk semacam ideologi atau cita-cita perubahan. Pada fase ini tugas gerakan adalah mengubah “publik lawan” menjadi partisipan dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif serta melakukan proses perekrutan dan anggota simpatisan tambahan

5. Fase Capaian/ Keluaran (Outcome Stage)

Fase ini dilakukan pengkonsolidasian atau pelestarian hasil capaian. Fase ini akan muncul apabila gerakan yang dilakukan berhasil dan mampu diintegrasikan ke dalam sejumlah struktur sosial masyarakat.

Hobshawn dalam Alsijahbana (2005:139) menjelaskan tujuan resistensi adalah untuk menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi dirinya. Resistensi dengan tujuan bisa memukul balik, kemudian bisa menghasilkan negoisasi tentang Pemerintah Kota dan dalam waktu tertentu dapat mempengaruhi kebijakan sistem yang berjalan.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam dan menggali informasi tentang permasalahan gerakan perlawanan pedagang buku P2BLM.. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, Bungin (2007:68).

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun. Adapun yang menjadi alasan peneliti untuk memilih lokasi penelitian ini adalah dikarenakan pedagang buku bekas merupakan cagar budaya Kota Medan dan merupakan pedagang buku bekas yang terpusat di sisi timur lapangan merdeka yang sekarang berada di Jalan Pegadaian Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian dalam unit analisis dapat berupa kelompok ataupun individu. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah pedagang


(36)

buku bekas di Jl. Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun yang tergabung di dalam kelompok pedagang buku bekas P2BLM, Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang kemudian dianalisis sesuai hasil data lapangan.

3.3.2. Informan

Informan adalah subjek atau sumber informasi yang mengerti tentang permasalahan penelitian. Di dalam pemilihan informan dalam penelitian ini digunakan metode snowball. Informan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 yaitu informan kunci dan informan pendukung.

1) Informan Kunci

Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah

a) Ketua organisasi pedagang buku bekas pedagang buku bekas yaitu, ketua Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM).

b) Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara sebagai pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengadvokasi pedagang buku bekas.

c) Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan, bagian dari dinas terkait yang menangani masalah relokasi pedagang buku bekas sisi timur lapangan merdeka ke Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan, Medan Maimun.


(37)

2) Informan Biasa

a) Pedagang buku bekas yang berjualan di Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun dan menjadi anggota kelompok pedagang buku bekas (P2BLM)

3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan gejala atau satuan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah pedagang buku bekas yang yang tergabung dalam kelompok pedagang buku bekas Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) yang berjualan di tempat relokasi yaitu, Jl. Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun berjumlah 125 pedagang buku.

3.4.2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Penentuan sample ini dilakukan karena sulit dalam penelitian untuk meneliti semua populasi. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dimaksudkan sebagai representase dari seluruh populasi sehingga kesimpulan berlaku bagi keseluruhan populasi. Sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri, Bailey dalam Prasetyo dan Lina (2005:119). Sampel dalam penelitian dipilih melalui teknik sampling snowball . Bungin (2001) mengatakan Sampling

Snowball (teknik bola salju) didefinisikan sebagai teknik untuk memperoleh beberapa individu dalam organisasi atau kelompok yang terbatas dan yang dikenal


(38)

sebagai teman dekat atau kerabat lainnya, kemudian teman tersebut menunjukkan teman-teman atau kerabat lainnya, sampai peneliti menemukan konstelasi persahabatan yang berubah menjadi suatu pola-pola sosial yang lengkap. Teknik penarikan sampel berdasarkan rumus adalah

�= N

n (d)2 + 1

Keterangan:

n : Jumlah sampel yang dicari N: Jumlah populasi

d : Nilai presisi (ditentukan α = 0,1 ) � = 125

125 (0,1)2 + 1 � = 125

2,25

n = 55,56

Jadi, sampel dalam penelitian ini yaitu 56 orang.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:

3.5.1 Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber informan yang ditemukan di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer ini adalah dengan cara:


(39)

a) Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian artinya disini peniliti ikut terjun ke lapangan untuk memahami fenomena yang ada di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti langsung mengamati ke sisi timur lapangan merdeka dan Jl. Pegadaian tempat mereka berdagang sekarang. Data yang diperoleh melalui observasi ini terdiri dari rincian tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang secara keseluruhan. Hasil observasi ini kemudian dituangkan dalam catatan lapangan.

b) Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Wawancara merupakan salah satu metode yang penting dalam memperoleh data di lapangan. Wawancara merupakan proses tanya jawab antara peneliti dengan informan yang ada di lapangan. Dimana tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dari lapangan. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in-depth interview). wawancara lebih terarah maka digunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan.


(40)

3.5.2 Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian atau sumber data lain:

a) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa laporan, buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan internet yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan rumusan masalah yang diteliti.

b) Kuesioner

Kuesioner ini dilakukan untuk mengetahui strategi bertahan pedagang buku P2BLM dan kondisi pasca di relokasi oleh Pemko Medan ke Jl. Pegadaian, Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun.

3.6. Interprestasi Data

Menganalisis data menunjuk pada kegiatan mengorganisasikan data ke dalam susunan-susunan tertentu dalam rangka penginterpretasian data (Faisal 2007:34). Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang kemudian ditelaah dan dipelajari. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan diinterpretasikan secara kualitatif.


(41)

Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi di lapangan.

3.7. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan (Singarimbun, 1995 : 263). Dalam penelitian ini peneliti menganalisis data sebagai berikut:

1) Analisis Tabel Tunggal

Merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa data yang terdiri dari kolom, sejumlah frekuensi dan presentase untuk setiap kategori, Singarimbun (1995:266)


(42)

3.8. Jadwal Kegiatan

Jadwal Kegiatan dan Laporan Penelitian:

No Jenis Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √ 2 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ 3 Seminar Penelitian √ 4 Revisi Proposal Penelitian √

5

Penyerahan Hasil Seminar

Proposal √

6 Operasional Penelitian √

7 Bimbingan √ √ √ √

8 Penulisan Laporan Akhir √ 9 Sidang Meja Hijau √


(43)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Pedagang Buku Bekas 4.1.1. Sejarah Pedagang Buku Bekas

Pedagang buku bekas bermula berjualan dari tahun 1960-an, dari sekelompok masyarakat yang tinggal di Gg. Buntu yang lokasinya dekat dengan Titi Gantung. Para pedagang memanfaatkan lokasi Titi Gantung Medan untuk berjualan buku bekas yang pada awalnya berfungsi untuk menghubungkan kawasan perumahan penduduk dengan Lapangan Merdeka dan sebagai sarana penghubung untuk menuju ke stasiun kereta api. Seiring dengan bertambahnya jumlah pedagang buku bekas yang berjualan maka pedagang buku bekas pun berjualan sampai ke Jl. Irian Barat, Jl. Jawa, Jl. Veteran,dan Jl.Sutomo.

Lokasi Titi Gantung pun menjadi titik pusat buku bekas di Kota Medan. Jumlah pedagang buku yang tercatat oleh Pemko Medan adalah sebanyak 180 pedagang pada tahun 2003. Titi Gantung adalah bangunan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1885 yang merupakan cagar budaya kota Medan sebenarnya dibangun ketika dibukanya Perusahaan Kereta Api Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) yang kini menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Titi Gantung bergaya khas Klasik Viktoria ini dari dahulu sampai kini tetap berdiri dengan tembok yang kokoh, unik dan memiliki lebar 40-50 meter dengan tinggi bangunan 7-8 meter dari permukaan jalan. Lebar Titi Gantung dengan lantai


(44)

berlapis aspal sepanjang 40-50 meter berada di atas jalur rel kereta api atau di bawahnya melintas kereta api.

Alih fungsi jembatan Titi Gantung menjadi tempat penjualan buku bekas dapat terjadi dikarenakan pada tahun tersebut buku termasuk barang mewah yang sulit untuk didapat. Fungsi sebenarnya dibangun Titi gantung adalah untuk penyeberangan dan lokasi ini yang dipilih untuk bertransaksi jual buku bekas. Pada tahun 2003, semasa kepemimpinan Walikota Medan yaitu Drs. Abdillah, pedagang buku akan di relokasi dengan alasan bahwa Titi Gantung merupakan cagar budaya. Seperti yang diungkapkan Didi Siswanto sebagai berikut :

Kami dulu awalnya berjualan di Titi Gantung di relokasi ke Lapangan Merdeka dengan alasan cagar budaya. Itupun kami gak langsung pindah, Waktu dipindahi masi bertahan lah kami disini, setelah mediasi setujulah kami untuk pindah ke lapangan merdeka, itupun dengan catatan kami seluruh pedagang dihadapkan langsung oleh Pemko Medan yang diwakili oleh sekda nya (sekretaris daerah) tahun 2003 ketemunya pun di Hotel Dharma Deli”. (Wawancara, 17 Januari 2015). Pemindahan pedagang buku Titi Gantung ke sisi timur Lapangan merdeka adalah sesuai dengan SK: No. 511.3/5750. B tertanggal 22 Juli 2003. Surat tersebut menyatakan bahwa pedagang buku akan di relokasi ke sisi timur Lapangan Merdeka yang menjadi cagar budaya Kota Medan dan hak kepemilikan kios untuk pedagang buku. Pedagang buku akhirnya sepakat untuk di relokasi ke sisi timur Lapangan Merdeka. Pedagang sepakat untuk pindah karena lokasi berjualan di sisi timur Lapangan Merdeka merupakan inti pusat Kota Medan dan diyakini akan menambah omset penjualan buku bekas. Lokasi tersebut telah lama


(45)

tidak digunakan sebagaimana peruntukkannya yaitu untuk kegiatan olahraga sepatu roda. Kegiatan pedagang buku di lokasi ini juga merupakan peran serta dalam membantu penyediaan buku murah bagi para pelajar dan mahasiswa serta warga Medan, di tengah-tengah harga buku–buku yang sangat tinggi. Wilayah Ini kemudian dikenal sebagai pusat buku bekas dan buku murah di Medan. Pedagang pindah ke Jl. Pegadaian dengan berbagai syarat dan tuntutan. Jl. Pegadaian ini sendiri notabene adalah lahan dari milik PT. KAI. Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun merupakan kawasan jalur hijau.

4.1.2. Pedagang Buku Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.1. Jenis Kelamin

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 38 orang 67.9

Perempuan 18 orang 32.1

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari tabel 4.1, dapat dilihat bahwa responden pedagang buku berjenis kelamin laki-laki lebih berjumlah 38 orang (67.9%). Pedagang buku berjenis kelamin perempuan lebih sedikit dibandingkan berjenis kelamin laki-laki, yaitu berjumlah 18 orang (32.1%).


(46)

4.1.3. Suku

Responden dalam penelitian terdiri dari beberapa suku yang berbeda yaitu, Batak. Jawa, Melayu, Minang dan suku lainnya. Jumlah persentase (%) suku responden dapat dilihat berdasarkan tabel 4.2.

Tabel 4.2 Komposisi Pedagang Buku Berdasarkan Suku

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Batak 16 orang 28.6

Jawa 23 orang 41.1

Lainnya 6 orang 10.6

Melayu 1 orang 1.8

Minang 10 orang 17.9

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.2, dapat dilihat bahwa mayoritas responden adalah bersuku Jawa sebanyak 23 orang (41.1%). Melayu menjadi suku minoritas dengan jumlah 1 orang (1.8 %). Dapat dikatakan bahwa mayoritas pedagang buku adalah bersuku Jawa yang tinggal di Gang. Buntu pada saat awal berjualan di Titi Gantung hingga sekarang berjualan di Jl. Pegadaian


(47)

4.1.4. Tingkat Pendidikan Pedagang Buku

Responden dalam pnelitian ini mememiliki beberapa jenjang pendidikan yaitu, Perguruan Tinggi, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tidak bersekolah. Hal ini dapat diilihat berdasarkan tabel 4.3.

Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Perguruan Tinggi 4 orang 7.1

SD 2 orang 3.6

SMA 43 orang 76.8

SMP 6 orang 10.7

Tidak Sekolah 1 orang 1.8

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari tabel 4.3, dapat dilihat bahwa pedagang buku yang tergabung dalam P2BLM tingkat pendidikannya kebanyakan adalah sampai tingkat SMA yaitu, 43 orang (76.8%). Untuk tingkatan yang tidak bersekolah terdapat 1 orang (1.8%) pedagang yang tidak bersekolah.


(48)

4.1.5. Tingkat Pendapatan Pedagang Buku

Tingkat pendapatan responden per bulan dapat dilihat berdasarkan tabel 4.4 sebagai berikut.

Tabel 4.4 Pendapatan Per Bulan

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Rp 500.000 - Rp 1.000.000 5 orang 8.9 Rp 1.100.000 - Rp 1.500.000 14 orang 25.0 Rp 1.600.000 - Rp 2.000.000 11 orang 19.6 Rp 2.100.000- Rp 2.500.000 12 orang 21.4

> Rp 2.600.000 14 orang 25.0

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa pedagang buku memiliki pendapatan yang bervariasi. Pedagang buku berjumlah 14 orang (25.0%) memiliki pendapatan per bulan sebesar > Rp 2.600.000. Pedagang berjumlah 5 orang (8.9%) memiliki pendapatan yang rendah yaitu, Rp 500-000 – Rp 1.000.000.


(49)

4.1.6. Lama Usaha Berjualan Buku

Mata pencaharian dengan berjualan buku bekas adalah mata pencaharian turun temurun. Usaha berjualan buku dilatarbelakangi dengan usaha sendiri ataupun dengan melanjutkan usaha orang tua. Lamanya pedagang buku berjualan secara representatif diuraikan pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Lama Berjualan di Lapangan Merdeka

Uraian Frekuensi Persentase (%)

> 8 tahun 39 orang 69.6

1-2 tahun 3 orang 5.4

3-4 tahun 1 orang 1.8

4-5 tahun 4 orang 7.1

6-7 tahun 9 orang 16.1

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari tabel 4.5, dapat dilihat bahwa lamanya pedagang buku berjualan buku yaitu, > 8 tahun sebanyak 39 orang (69.6%). Banyak pedagang buku yang sudah berjualan pada saat masih berada di Titi Gantung dan di relokasi ke sisi timur Lapangan Merdeka yaitu, pada tahun 2003.


(50)

4.1.7. Sumber Pedagang Mendapatkan Buku

Pedagang memperoleh buku bekas dan buku baru didapatkan dari berbagai sumber. Sumber buku bekas pedagang diuraikan pada tabel 4.6 .

Tabel 4.6 Sumber Buku-Buku

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Lainnya 3 orang 5.4

Botot 12 orang 21.4

Sesama Pedagang Buku 21 orang 37.5

Mahasiswa atau anak sekolahan 10 orang 17.9

Penerbit 10 orang 17.9

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa, pedagang buku sebanyak 37.5% memperoleh buku dari sesama pedagang buku dan 21.4% diperoleh dari bototters. Buku yang diperoleh pedagang sedikit yang berasal dari penerbit yaitu hanya sebesar 17.9 % karena membutuhkan modal yang relatif besar untuk mengambil buku-buku dari pihak penerbit.

4.1.8. Kondisi Pasca Relokasi

Penolakan relokasi oleh pedagang buku diantaranya adalah lokasi usaha yang tidak strategis dan tidak berada di pusat kota. Pedagang menyatakan lokasi usaha berpengaruh terhadap tingkat pendapatan pedagang buku. Kondisi ini dapat dilihat pada tabel 4.7.


(51)

Tabel 4.7 Pengaruh Lokasi Usaha Terhadap Tingkat Pendapatan

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Sangat tidak setuju 1 orang 1.8

Tidak setuju 2 orang 3.6

Setuju 26 orang 46.4

Sangat setuju 27 orang 48.2

Total 56 orang 100.0

Sumber: Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.7 dapat dilihat sebanyak 48.2% pedagang buku menyatakan sangat setuju dengan lokasi usaha mempengaruhi tingkat pendapatan. Pedagang buku yang setuju sebanyak 46.4%, kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mazumdar dalam Alisjahbana (2005:74) yaitu, faktor lokasi usaha mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lamanya usaha. Lokasi yang strategis mempunyai andil yang sangat besar bagi pendapatan sektor informal.

Relokasi menurut pedagang adalah memindahkan dari satu tempat berjualan ke lokasi berjualan yang lebih baik, tetapi relokasi ini tidak ke tempat yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari uraian tabel 4.8

Tabel 4.8 Kondisi Lokasi Berjualan Di Jl. Pegadaian

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Tidak layak sama sekali 34 orang 60.7

Kurang layak 20 orang 35.7

Cukup layak 2 orang 3.6

Total 56 orang 100.0


(52)

Dari Tabel 4.8 dapat diliihat bahwa pedagang buku yang tergabung dalam organisasi P2BLM sebanyak 60.7% menyatakan kondisi di Jl. Pegadaian tidak layak sama sekali digunakan untuk berjualan dan 35.7% pedagang menyatakan kurang layak.

Tabel 4.9 Kondisi Sarana dan Prasarana

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Sangat tidak baik 21 orang 37.5

Tidak baik 27 orang 48.2

Kurang baik 8 orang 14.3

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa salah satu alasan pedagang untuk menolak relokasi dikarenakan sebanyak 27 orang (48.2%) pedagang menganggap sarana dan prasarana yang di sediakan Pemko Medan tidak baik dan sebanyak 37.5% pedagang menganggap sangat tidak baik. Tidak adanya fasilitas musholla, toilet umum, taman bacaan, ukuran kios yang kecil serta kios yang harus diperbaiki sendiri karena kondisinya tidak memungkinkan untuk menampung buku-buku pedagang, sebagai alasan pedagang menilai sarana dan prasarana yang disediakan oleh Pemko Medan mayoritas responden mengatakan tidak baik.

Lokasi yang tidak nyaman, kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah tentang relokasi sementara pedagang buku pindah ke Jl. Pegadaian, menyebabkan pedagang menurunya pendapatan pedagang buku. Kondisi ini dapat dilihat pada tabel 4.10


(53)

Tabel 4.10 Pendapatan Setelah Di Relokasi

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Pendapatan menurun 48 orang 85.7

Tidak ada peningkatan 3 orang 5.4

Kurang meningkat 5 orang 8.9

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.10, dapat dilihat bahwa setelah di relokasi ke Jl. Pegadaian, sebanyak 85.7% pendapatan pedagang buku menurun dan 5.4% pedagang menyatakan tidak ada peningkatan sama sekali. Berdasarkan pengamatan peneliti, karena kurangnya sosialisasi dari pihak Pemko Medan mengenai relokasi sementara pedagang buku dan tidak strategisnya lokasi usaha pedagang buku.

4.1.8.1. Komunikasi Pedagang Buku

Adanya 2 organisasi pedagang buku di lokasi yang sama, menimbulkan komunikasi antar organisasi pedagang menjadi kurang baik. Tingkatan komunikasi antar organisasi pedagang dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11 Komunikasi Antar Organisasi Pedagang Buku

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Tidak baik 8 orang 14.3

Kurang baik 26 orang 46.4

Baik 21 orang 37.5

Sangat baik 1 orang 1.8

Total 56 orang 100.0


(54)

Dari tabel 4.11, dapat dilihat dengan adanya 2 organisasi pedagang buku, komunikasi yang terjalin antara sesama organisasi pedagang sebanyak 26 orang (46.4%) menyatakan komunikasi berjalan dengan kurang baik. Pedagang buku lainnya berjumlah 21 orang (37.5%) menilai bahwa komunikasi mereka baik dengan pedagang yang berbeda organisasi. Kondisi ini disebabkan perbedaan pendapat dan pemikiran tentang perjuangan untuk tetap bertahan di sisi timur Lapangan Merdeka yang menyebabkan komunikasi antar organisasi kurang baik.

Selama proses relokasi berlangsung, pemerintah yang seakan menempuh jalur penggusuran secara paksa menimbulkan keresahan dan hubungan komunikasi dengan pemerintah yang dapat diuraikan pada tabel 4.12

Tabel 4.12 Komunikasi Dengan Pemerintah

Uraian Frekuensi Persentase (%)

sangat tidak baik 8 orang 14.3

Tidak baik 18 orang 32.1

Kurang baik 22 orang 39.3

Baik 8 orang 14.3

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari tabel 4.12, dapat dilihat bahwa komunikasi dengan pemerintah berjalan dengan kurang baik. Komunikasi yang kurang baik ini berdasarkan jawaban 22 orang responden (39.3%). 18 orang (32.3%) responden mengatakan komunikasi yang terjalin dengan pemerintah berjalan dengan tidak baik. Kondisi


(55)

ini dikarenakan Pemerintah banyak menjanjikan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam proses relokasi, pedagang buku menilai pihak pemerintah tidak bisa mengakomodasi tuntutan pedagang buku dengan baik. Kondisi ini dapat dilihat pada tabel 4.13

Tabel 4.13 Kinerja Pemerintah Dalam Relokasi

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Sangat tidak baik 7 orang 12.5

Tidak baik 30 orang 53.6

Kurang baik 18 orang 32.1

Baik 1 orang 1.8

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (kuesioner) 2015

Dari tabel 4.13, dapat diliihat bahwa dalam proses relokasi, sebanyak 30 orang (53.6%) pedagang menilai pemerintah tidak melakukan tugasnya dengan baik. Kinerja pemerintah dalam proses relokasi dinilai kurang baik oleh 18 orang (32.1%) responden. Kondisi ini dilatarbelakangi dengan tidak adanya ganti rugi dalam proses relokasi oleh pemerintah.


(56)

Tuntutan revitalisasi karena pedagang buku sebagai cagar budaya Kota Medan dan pedagang buku meminta seharusnya mereka di bina oleh Pemko Medan untuk mengembangkan usaha kecil.. Hal Ini berdasarkan uraian Tabel 4.14.

Tabel 4.14 Membutuhkan Mengembangkan Usaha Oleh Pemerintah

Uraian Frekuensi Persentase (%)

Sangat tidak perlu 1 orang 1.8

Tidak perlu 1 orang 1.8

Perlu 32 orang 57.1

Sangat perlu 22 orang 39.3

Total 56 orang 100.0

Sumber : Data Sekunder (Kuesioner) 2015

Dari Tabel 4.14, dpat dilihat bahwa dapat dilihat bahwa pedagang buku berjumlah 32 orang (57.1%) mengatakan merasa perlu di bina oleh Pemerintah untuk mengembangkan usaha menjual buku bekas. Pedagang yang lain yaitu berjumlah 22 orang (39.3%) mengatakan pengembangan usaha berjualan buku dinyatakan sebagai hal yang sangat perlu. Hal ini untuk meningkatkan pendapatan mereka dan promosi untuk pedagang buku, karena mereka menganggap bahwa mereka adalah jenis usaha skala kecil yang harus dikembangkan.


(57)

4.2 Profil Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)

P2BLM didirikan pada 01 Maret 2013, merupakan organisasi pedagang buku bekas yang menolak untuk di relokasi ke Jl. Pegadaian. Pendirian organisasi ini merupakan bentuk kekecewaan pedagang buku terhadap organisasi pedagang buku bekas sebelumnya yaitu, ASPEBLAM yang memilih sepakat untuk direlokasi ke Jl. Pegadaian oleh Pemko Medan.

Organisasi ini bersekretariat di sisi timur Lapangan Merdeka Medan sebagai wadah bagi pedagang yang menolak untuk direlokasi. Akta pendirian organisasi yaitu Nomor: 48, tanggal 29 Juni 2013.

I. ANGGARAN DASAR BAB I

NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN NAMA

Pasal 1

Organisasi ini bernama “ Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Medan “ (P2BLM).

WAKTU Pasal 2

Organisasi ini telah didirikan sejak tanggal 01-03-2013 (satu Maret dua ribu tiga belas) dan dijalankan untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya.


(58)

TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 3

Organisasi ini berkedudukan dan berkantor pusat di Kota Medan dengan cabang- cabang dan atau perwakilan- perwakilan di tempat-tempat lain menurut anggota inti (pengurus)

CIRI Pasal 5

Organisasi ini dibentuk dari kesadaran berkumpul / berorganisasi dari pedagang buku bekas, sehingga yang menjadi ciri setiap anggota adalah pedagang buku bekas Lapangan Merdeka Kota Medan

SIFAT Pasal 7

Organisasi ini dibentuk berawal dari persamaan rasa dan jiwa memiliki patriotik pada saat terjadinya rencana perelokasian pedagang buku sisi timur Lapangan Merdeka Medan oleh pemerintah khususnya pemerintah Kota Medan, sehingga organisasi ini bersifat kekeluargaan, bahu-membahu dalam menghadapi tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan kepada pedagang buku sehingga nantinya seluruh anggota akan lebih aktif berkarya, mengembangkan potensi diri masing-masing anggota dalam naungan organisasi ini dan tidak mencari keuntungan financial pribadi


(59)

BAB IV

MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 8

Maksud dan tujuan organisasi ini adalah :

I. Mempererat tali silahturahmi sesama pedagang buku bekas di sisi timur Lapangan Merdeka Medan dengan memberikan sumbangan bail materiil atau immateriil dalam organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka yang kemudian berkembang sebagai bagian organisasi untuk kesehjahteraan anggota khususnya dan masyarakat umumnya sehingga bermanfaat bagi bangsa dan negara

4.2.1. Susunan Kepengurusan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Medan (P2BLM)

Berikut ini adalah daftar nama pengurus organisasi P2BLM periode 2013-2016.

Penasihat : Nelson Nicolas Marpaung

H.Syamsul Bahri Lubis H.Rujaya

Lunik Pasaribu Aliman Batubara Lilik S. Lubis

Ketua : Sainan


(60)

Wakil Ketua : Yuan Pasaribu Wakil Ketua : Dedi Syahputra

Sekretaris : M. Hasrah Siregar

Wakil Sekretaris : M. Lindon Simatupang Wakil Sekretaris : Lina Br. Ginting Wakil Sekretaris : Sandy Sardi

Bendahara : Arningsih

Wakil Bendahara : Didi Siswanto

Sub Bidang :

I. Bidang Diklat , Keanggotaan dan Kaderisasi

1. Manarsar Panjaitan 2. Indra Sakti Lubis

II. Bidang Ekonomi dan Koperasi

1. Agus Eko Muchtarian Lubis 2. Ilham Malagandi Batubara

III. Bidang Sosial , Politik dan Budaya

1. Alizardi 2. Erwin Effendi


(61)

IV. Bidang Hubungan Kemasyarakatan dan Lingkungan Hidup

1. Ramot Lubis 2. Fadli Syahputra

V. Bidang Keagamaan

1. M. Yusnan 2. Lisbet Tohang

4.3 Kepentingan Dinas Perumahan dan Permukiman

Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Perkim sebagai pelaksana teknis berencana merelokasi kembali pedagang buku bekas dan buku murah di sisi Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan menjelaskan kepada pedagang bahwa pada kawasan tersebut akan dibangun proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir yang akan terintegrasi dengan Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini menggunakan lahan dengan panjang 244 meter dan lebar 39 meter yang saat itu masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini seperti yang dikatakan Pak Chairul Abidin dari Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan :

“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu salah satu alternatif roda transportasi itu kan di kereta api. Ada pihak dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check in itu kita mau ke bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama. Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau berangkat ke kuala namu atau untuk menurunkan penumpang jadi integrasinya itu disitu”.


(62)

Pihak dari Kementrian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar dengan segera menyelesaikan proyek Sky bridge, city check in dan lahan parkir di karenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan. Pedagang berjualan berdasarkan aset Pemko berdasarkan pemerintahan Walikota sebelumnya yaitu, Bapak Drs. Abdillah. Program pembangunan tersebut merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi semua sarana transportasi untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas transportasi pembangunan nasional menjadi dasar bagi pihak pemerintah Kota Medan wajib melaksanakan program tersebut di sisi timur Lapangan Merdeka. Lokasi tersebut merupakan tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah memiliki design lokasi relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang buku awalnya ke Jl. Mandala dan merupakan tanah dari PT.KAI. Program pembangunan tersebut terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk pindah ke lokasi tersebut. Terdapat beberapa allternatif lokasi yang juga ditawarkan kepada pedagang buku seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jl. Pegadaian.

Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jl. Mandala dikarenakan lokasi tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang merupakan pusat kota dan lokasi di Jl. Mandala sulit untuk dijangkau masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua ada aturan dan landasan. RTRWK bisa dirubah dengan persetujuan anggota dewan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Mukhyar :


(63)

Sky bridge udah dibuat di perda kita dibangun disitu masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini, kereta apai disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia, siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca” (Wawancara, Januari 2015)

Dinas Perkim tidak ingin menjawab pertanyaan secara detail landasan hukum pembangunan sky bridge yang seharusnya di Jl. Jawa, Kecamatan Medan Timur karena bukan merupakan bagian tugas dari mereka, Dinas Perkim ditegaskan hanya sebagai pelaksana teknis. Pemerintah melakukan pendekatan dengan cara sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan pertemuan untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah ke Jl. Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui organisasi Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM). ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan mengikuti kemauan pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi diberikan label negatif oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk mendiskreditkan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) terisolasi secara sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah streotipe mengenai gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM hanya ingin mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Pak Muhkyar:

“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu, semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama Sainan” (Wawancara, Januari 2015)


(64)

Penggusuran secara paksa dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan tersebut. Dinas Perkim menyatakan tidak bisa lagi melakukan penggusuran secara paksa karena melanggar Hak Asasi Manusia. Batalnya penggusuran secara paksa untuk menjadi kekondusifan masyarakat karena berkaitan dengan Pemilu Legislatif untuk menjaga keamanan masyarakat Kota Medan dan dipilih dengan cara negoisasi. Pada saat proses pembangunan pekerja proyek pembangunan dipukul oleh pedagang buku. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Pejabat Pembuat Komitmen Pak Mukhyar :

Kita ajaklah berembuk, kan jamannya pemilu legislatif suasana politik kan memanas, jadi lurah camat dinas perkim satpol pp kan menjaga suasana tetap kondusif. Berapa kali kita mau menggusur gak jadi. Pedagang yang mukuli pekerja yang disitu dipukulin perempuan yang mukul diadu ke polisi asin ceritanya. Indonesia kan ini boleh petugas dipukuli tapi coba masyarakat dipukuli, ini orang gak tau hak dan kewajiban pada saat sedang dibangun. pakar-pakar hukum kita membela itu. Datang satpol pp digusur disorot media dibilang Pemerintah kejam kan jadi dilema kita antara hak dan kewajiban”.(Wawancara, januari 2015)

4.4 Proses Terbentuknya Organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)

Pedagang buku pada saat berjualan di Titi Gantung memiliki paguyuban sesama pedagang buku bekas. Paguyuban tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan perlawanan menolak relokasi dari Titi Gantung ke sisi timur lapangan merdeka. Pedagang buku direlokasi dikarenakan Titi Gantung merupakan cagar budaya Kota Medan yang harus dijaga dan dilestarikan keindahannya.

Mendengar adanya rencana Pemko Medan akan kembali merelokasi, pedagang buku bekas akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi pedagang


(1)

untuk melakukan konfrontasi langsung kepada Pemko Medan. Melakukan taktik loby kepada Kontras Sumut, OMBUDSMAN, agar Pemko Medan bersedia mengakomodir keinginan pedagang buku bekas.

Perlawanan secara sembunyi pedagang buku ditandai dengan adanya membangun jaringan bersama aliansi petani Front Rakyat Bersatu (FRB), buruh, nelayan, media massa dan civitas akademika. Koalisi ini diperlukan untuk menjadi perhatian dan konsumsi publik agar bersatu mempertahankan pedagang buku bekas sebagai cagar budaya. Menggelar kesenian dan kebudayaan sebagai alat perlawanan tersembunyi, menjadikan kegiatan tersebut membungkam stigma tentang pedagang buku, bahwa pedagang buku bisa memberikan dampak positif kepada masyarakat memanfaatkan Lapangan Merdeka dengan pembacaan puisi, bedah buku dan diskusi publik.

Pedagang buku yang ikut berpartisipasi dalam proses perjuangan mendapatkan nilai lebih dikarenakan pedagang P2BLM akan mendapatkan 125 kios revitalisasi sisi timur Lapangan Merdeka. Hasil capaian ini untuk melestarikan hasil perjuangan diadakan acara syukuran dan konsolidasi sesama pedagang buku bekas P2BLM.

5.2 Saran

Peneliti memiliki beberapa saran terhadap gerakan perlawanan pedagang buku bekas P2BLM terhadap permasalahan relokasi yaitu;

1. Kepada pihak pemerintah seharusnya melakukan pendekatan secara persuasif untuk mengakomodasi keinginan pedagang buku yaitu,


(2)

2. Pihak pemerintah diharapkan dengan segera memindahkan kembali pedagang buku bekas ke sisi timur Lapangan Merdeka sesuai dengan kesepakatan.

3. Sesama pedagang buku bekas diharapkan mampu kembali bersatu dalam satu wadah organisasi pedagang buku.

4. Pedagang buku tidak boleh terjebak dalam euforia hasil kesepakatan mediasi, karena perjuangan belum selesai hingga sampai akhirnya pedagang buku bekas kembali menempati kios revitalisasi Lapangan Merdeka.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group

Faisal, Sanafiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Lofland, John. 2003. Protes : Studi Tentang Perilaku Kelompok dan Gerakan Sosial. Yogyakarta. Insists Press

Martono, Bambang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Moyer, Bill. 2004. Merencanakan Pergerakan. Yogyakarta.Pustaka Kendi

Mustain. 20 Jakarta. Arr-Ruzz Media

Prasetyo, Bambang dan Lina, Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif. 2005. Jakarta. PT. Raja Grafindo Press

Pruitt, G & Jeffrey Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial . Yogyakarta. Pustaka Belajar

Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah : Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial, Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta. Pustaka Belajar


(4)

Suryadi, Budi. 2007. Sosiologi Politik : Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep. Yogyakarta. IRCISOD

Triwibowo, Darmawan. 2006. Gerakan Sosial. Wahana Civil Society Bagi Demokrasi. Jakarta. LP3ES

Wahyudi. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. Malang. UMM Press

Yustika, Ahmad Erani. 2000. Industrialisasi Pinggiran. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Zubir, Zaiyardam. 2002. Radikalisme Kaum Pinggiran

Yogyakarta.Insist Press dan Insist

Fellowship Program

Sumber Lain:

Andri. 2011. Festival Jogokali : Resistensi Terhadap Penggusuran dan Gerakan Sosial-Kebudayaan Masyarakat Urban. Jurnal Sosiologi Islam, Vol, 1. No, 2. Oktober. Surabaya. Universitas Wijaya Kesuma.

Astra, I Gde Semadi dan Arsana, I Gusti Ketut Gde. 2012. Resistensi Perempuan Bali Pada Sektor Industri Kreatif Di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Jurnal, Vol. 1. No, 1, Desember. Bali. Universitas Udayana.


(5)

Kamaruddin, Syamsu A. 2012. Pemberontakan Petani UNRA 1943 (Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Sulawesi Selatan pada Masa Pendudukan Jepang). Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No, 1, Juli. Makasar. Universitas Veteran Republik Indonesia.

Maliki, Dewi Nurrul. 2010. Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 14, No, 1, Juli. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada.

Zaini, Musthofa. 2011. Evaluasi Program Relokasi Pelaksanaan Pemukiman Kumuh (Studi Kasus : Program Relokasi Pemukiman Kumuh di Kelurahan Pucangsawit Kecamatan Jebres Kota Surakarta). Skripsi. Surakarta. Universitas Sebelas Maret .

(diakses pada tanggal 24

Desember 2014)


(6)

(diakses pada tanggal 12 Desember 2014)