Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Awal Gerakan Aceh Merdeka

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti masalah sistem politik yang sentralistik dan represif. 93 Dalam menghadapi suasana politik rakyat yang menyebabkan elite penguasa dan serdadu teralienasi terasingkan, maka elite penguasa mengkambing hitamkan setiap organisasi perjuangan sebagai common enemy. Kebijakan politik pada masa Orde Baru sangat militer-politik kekerasan adalah politik menjaga stabilitas keamanan negara. Sebenarnya hal yang paling mendasar di dalam penetapan Aceh sebagai daerah perang, dengan status darurat militer adalah pengambil alihan kekuasaan dari penguasa sipil ke penguasa militer. Hal inilah yang menjadi sumber konflik internal. Hirarki kekuasaan yang militeristik tersebut terkomando dari pemerintahan pusat. Struktur pemerintahan sepenuhnya di dominasi oleh militer. 94

C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Awal Gerakan Aceh Merdeka

Sejak awal proklamasi GAM melakukan secara diam-diam. Gerakan ini mempunyai alasan yang kuat karena ketidaksiapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik lokal maupun pusat seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya. Gerakan ini terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh, yang dikirimi surat berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, akan tetapi perusahaan-perusahaan tersebut 93 Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: UI Press, 1999, h. 1. 94 Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 79. tidak memberikan dana seperti yang di inginkan GAM. Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas gerakan ini mulai tercium oleh pemerintah Indonesia. Namun dalam referensi lain mengatakan bahwa pemerintah telah mencium tentang gerakan keberadaan suatu gerakan tesebut sejak tahun 1974, meski pada waktu itu belum di ketahui nama gerakan ini, Gubernur Aceh pada saat itu memerintahkan kepada Direktorat Sosial Politik Aceh untuk memperhatikan segala gerak-gerik dari Hasan Tiro. Kemudian pada tahun 1975 dalam laporannya, kepolisian Daerah Istimewa Aceh yang sekarang bernama Nanggroe Aceh Darussalam juga memberitahukan tentang adanya gerakan DITII gaya baru Aceh. 95 Aparat setempat pun berusaha memperkecil dan memotong berkembangnya GAM dengan menggelar sebuah operasi pemulihan keamanan dengan sandi Operasional Nanggala. Orang-orang yang terlibat dengan GAM di himbau untuk segera kembali dalam pangkuan ibu pertiwi. Pandangan yang skeptis ini kiranya dapat dinetralkan bila di hadapkan pada kenyataan bahwa Hasan Tiro merupakan pimpinan GAM dan kalaupun pada saat itu belum di ketahui apa nama gerakannya, paling tidak dalam gerakan pemerintah keadaan Hasan Tiro berpeluang besar atau ada kaitannya dengan gerakan anti pemerintah. 96 Dari yang uraikan di atas, kemungkinan besar pemerintah telah mengetahui adanya ancaman terhadap integrasi bangsa dari daerah Aceh, namun hal ini baru di ketahui bahwa gerakan ini di motori oleh GAM pada tahun 1977. Namun pemerintah 95 Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 79-80. 96 Ibid, h. 81 tidak mengetahui tentang adanya deklarasi kemerdekaan yang dilakukan GAM pada tahun 1976, kerena memang kegiatan yang di lakukan oleh gerakan tersebut secara sembunyi-sembunyi. Menurut pandangan pemerintahan pusat, GAM merupakan sebuah gerakan separatis. Oleh karena itu, Gerakan ini harus di tumpas sampai keakar-akarnya. Gencarnya usaha pemerintah untuk menumpas GAM, gerakan ini semakin lama semakin sempit. Dalam upaya menumpas GAM, pemerintah Indonesia menerapkan dua strategi utama. Yaitu, pertama: represif militer, Operasi-operasi militer dilancarkan dengan sangat intensif mulai dari operasi intelijen sampai kepada operasi tempur, dan yang kedua: represif politis, ini di wujudkan dengan mengisolasi gerakan tersebut melalui rekayasa opini publik, bahwa GAM hanya merupakan sekelompok teroris. Salah satu indikatornya, pemerintah termasuk TNI tidak pernah menggunakan nama GAM namun GPLHT Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro. Upaya politis yang kedua adalah melancarkan perang terhadap masyarakat, terutama mereka yang di perkirakan berada di sekitar basis GAM. 97 Operasi militer di lancarkan di empat lokasi, yaitu: Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Fokus utama operasi terkonsentrasi di dua titik yaitu Aceh Pidie dan Aceh Utara. Pidie di jadikan fokus karena disini pusat pergerakan Hasan Tiro sehingga hampir di pastikan di daerah inilah pusat kekuatan dari GAM, 97 Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh : Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 34-35. sedangkan Aceh Utara terdapat kelompok Muchtar Hasbi dan terdapat proyek vital seperti pabrik Liquefied Natural Gas LNG Arun. 98 Dalam operasi, kemudian diterapkan pola blokade berlapis. Lapis pertama, merupakan daerah terkhir. Pasukan yang di kerahkan untuk menumpas GAM, selain dari pasukan organik setempat juga di datangkan pasukan Sandhi Yudha Kopassus, Kostrad dan Siliwangi. Kemudian untuk mencegah terjadinya kejenuhan, pasukan ini di ganti setiap 8 bulan. 99 Dari dua strategi yang di terapkan untuk menghancurkan GAM, pemerintah sebisa mungkin berusaha memobilisir masyarakat untuk berpartisipasi. Cara lainnya adalah dengan melakukan penangkapan ataupun membujuk keluarga GAM untuk menasehati saudara, suami, ataupun anaknya agar menghentikan pemberontakan. Pemerintah juga menyebarkan pamflet yang memuat foto tokoh-tokoh GAM. Cara lain untuk menggentarkan hati musuh adalah dengan memobilisir massa di kampung- kampung untuk melakukan apel bersama dan mengikrarkan kesetiaannya kepada NKRI. 100 Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekalahan GAM dalam perjuangan mewujudkan Negara Aceh Sumatra yaitu: 98 Ibid 99 Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 81. 100 Ibid • Persiapan GAM yang relatif singkat, baik dalam hal persenjataan, latihan kemiliteran, maupun strategi yang di lakukan. • Pimpinan GAM yang tidak popular dan bahkan kurang di kenal oleh banyak kalangan rakyat Aceh, terutama pimpinan gerakan ini yaitu Hasan Tiro. • GAM tidak memiliki dukungan massa yang massiv. • Landasan maupun tujuan perjuangan gerakan ini tidak di kaitkan dengan sentiment keagamaan, yang dalam hal ini Islam dan gerakannya menjadi tidak popular di kalangan masyarakat Aceh. Sehingga walaupun terdapat beberapa ulama yang pernah terlibat dalam perjuangan Darul Islam atau di sebut dengan DITII Aceh, seperti Tengku Ilyas Leube, membuat rakyat tidak menarik padanya. • Hasan Tiro melakukan pemberontakan ketika Orde Baru berada pada titik yang sangat kuat sekali sebagai sebuah pemerintahan. Stabilitas politik dan ekonomi berada pada posisi yang baik. Dari uraian yang sudah di paparkan di atas sudah cukup jelas di kemukakan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap GAM adalah tidak mentolerir adanya gerakan tersebut. Segala tindakan yang sudah di lakukan bertujuan untuk memberantas GAM. Akibat operasi-operasi militer yang cukup represif, GAM mengalami kesulitan untuk mengembangkan diri, mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi dan koordinasi gerakan, mengalami kesulitan bahan makanan akibat terputusnya suplay dari masyrakat sebagai salah satu keberhasilan dari pemblokadean yang di lakukan oleh TNI, gerakan ini kehilangan banyak tokoh utamanya karena tertembus peluru aparat, tertangkap atau terpaksa melarikan diri keluar negri. 101 Tekanan demi tekanan yang datang, pada akhirnya menyebabkan GAM harus hilang dari NKRI selama beberapa waktu, untuk kemudian pada tahun 1989 kembali beraksi. Harus pula diakui bahwa GAM pada fase pertama memang tidak dapat berkembang dengan baik. Gerakan ini belum berhasil mencapai tujuannya dalam arti ingin menjadikan Aceh sebagai sebuah Negara merdeka. Namun GAM berhasil dalam mengubah kesadaran politik masyarakat Aceh untuk bergerak, akar-akar ideologinya tertanam dengan baik. D. Dampak Konflik Vertikal di Aceh Terhadap Kondisi sosialnya Konflik kekerasan yang berkepanjangan selama hampir tiga puluh tahun ini telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh. Yang mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini yang terjadi pada hakikatnya telah menimbulkan luka psikologis yang di derita oleh rakyat Aceh, baik sebagai individu, kelompok, maupun sebagai komunitas dari suatu wilayah yang secara geo-etnopolitik di kenal oleh Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam. 102 101 Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 82. 102 Thung Ju Lan, dkk., penyelesaian konflik di Aceh: Aceh dalam proses rekontruksi dan rekonsiliasi, Jakarta : Riset Kompetitif Pembangunan Iptek Sub Program Ottonomi Daerah Konflik dan Daya Saing LIPI, 2005, h. 181. Pendekatan pada masa Orde Baru masih menyisakan trauma di kalangan masyarakat Aceh. Permusuhan dan rasa sakit pada masa lalu tersebut pada umumnya akan selalu membekas terhadap ingatan rakyat Aceh. Perasaan terancam dan rasa saling curiga juga dirasakan oleh masyarakat. Dimana selama konflik ,mereka tidak aman dalam melakukan segala bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan. 103 Dampak konflik Aceh masih terasa sampai sekarang. Dampak langsung yang dapat kita saksikan pada ratusan bahkan ribuan korban konflik terutama bagi anak- anak, perempuan, dan para janda yang berada di barak-barak pengungsian yang menderita fisik maupun psikis. Dampak langsung juga dapat kita lihat Fenomena aktor konflik yang pernah terlibat perang. Dampak tak langsung dari konflik adalah akibat yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata dalam mewujudkan berbagai bentuk gejala sosial. Tekanan yang dihadapi oleh korban konflik di Aceh bertambah dengan bencana tsunami tahun 2004 lalu. 104 Masalah yang semakin menumpuk dari persoalan kebutuhan dasar, pendidikan hingga psikologis. Jangankan untuk pemulihan psikologis, ekonomi saja mereka tidak mendapatkan apa-apa. Muncul ironi, Musibah tsunami mendatangkan rahmat bagi orang rakyat Aceh. Program rehabilitasi Aceh sekarang tampaknya tidak sungguh-sungguh diarahkan untuk menjamin bahwa para korban tersebut memperoleh prioriotas pemberdayaan dari proyek-proyek rehabilitasi. Banyak 103 Ibid 104 Tsunami dan Bakti Taruna, Jakarta: Akademi TNI Cilangkap, 2005, h. 17. kontraktor yang tidak mau memakai sumber daya lokal dengan alasan di samping harus bayar mahal, juga alasan kualitas kerjanya kurang bagus. 105 Munculnya NGO atau LSM internasional pasca tsunami telah ikut membawa kompleksitas tersendiri bagi proses-proses pembangunan perdamaian berkelanjutan di Aceh. Masyarakat korban konflik ataupun korban tsunami makin terbiasa dengan bantuan dan Charity. Akibatnya, tawaran-tawaran pemberdayaan yang tidak menyertakan bantuan material cenderung diabaikan. Namun, kurangnya konsolidasi antara LSM pendampingan korban pengungsi terhadap konstruk mental ini akan menjadi kendala tersendiri untuk membangun kemandirian korban pengungsi untuk kembali hidup normal di tengah-tengah masyarakat. 106 Dampak konflik ini tentu membawa kerugian besar bagi kehidupan bangsa Indonesia, dan memiliki dampak yang serius terhadap masalah kemanusiaan dan mendapat perhatian internasional. Konflik yang terjadi jelas berdampak pada kerugian yang dialami masyarakat di berbagai bidang kehidupan, oleh karena itu sudah seharusnya konflik harus segera di akhiri dengan berbagai pendekatan tanpa harus dengan tanpa kekerasan. 107 105 Ibid 106 Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 55. 107 Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 56.

BAB IV REKONSILIASI KONFLIK VERTIKAL DI ACEH