Media Kultur Jaringan Glutamin

proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk Hendaryono Wijayani, 1994. Dalam budidaya in vitro atau budidaya kultur jaringan, menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah penting. Setelah itu diusahakan rangsangan agar terjadi diferensiasi, terjadi akar dan tunas Suryowinoto, 1996. Sebagai contoh dalam rangka kegiatan produksi metabolit sekunder dengan teknik kultur suspensi atau kalus maka sebagai langkah pertama untuk membuat inokulum perlu dibuat kalus sebagai starting material. Membuat kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu. Biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon yang banyak digunakan untuk induksi kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Menyangkut macam eksplan, Santoso Nursandi 1995 memperoleh hasil bahwa macam eksplan sangat mempengaruhi kecepatan membentuk kalus. Eksplan daun mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dibandingkan eksplan batang utama, atau tangkai bunga Santoso Nursandi, 1995.

2.4 Media Kultur Jaringan

Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan media tanam. Dalam media tanam diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, vitamin zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan perkembangan, dan kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol warna coklat hitam yang keluar akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu. Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup secara autotrof melainkan secara heterotrof atau mendapat suplai organik Gunawan, 1995. Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan. Media tanam ini harus berisi semua zat yang dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam dan macam tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok Universitas Sumatera Utara untuk jenis-jenis tanaman Rahardja, 1994. Komponen media kultur antara lain air, hara makro dan mikro, gula, vitamin, asam amino, bahan organik lain, agar-agar sebagai pemadat media serta zat pengatur tumbuh Yusnita, 2003. Jenis medium pada komposisi unsur kimia yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang berbeda. Untuk tanaman andaliman ini menggunakan media MS Murashige dan Skoog, dimana media ini digunakan untuk hampir semua tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO 3 - dan NH 4 + Hendaryono Wijayani, 1994.

2.5 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologis tanaman Hendaryono Wijayani, 1994. Menurut Heddy 1983, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan yang penting terhadap pembelahan sel, dan diferensiasi sel mulai perkembangan endosperm sampai perkecambahan biji pada fase vegetatif dan reproduktif. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang sesuai adalah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dengan harapan agar diperoleh hasil yang lebih cepat dan mungkin lebih besar Kusumo, 1990. Hormon tanaman itu sendiri terbagi dalam beberapa kelompok diantaranya: auksin, giberelin, sitokinin, etilen dan retardan Tjionger, 2006. Pada kultur embrio, keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperm Kosmiatin Mariska, 2005. Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Faktor yang Universitas Sumatera Utara perlu diperhatikan dalam penggunaan zat pengatur tumbuh adalah jenis zat pengatur tumbuh, konsentrasi, periode masa induksi dalam kultur tertentu Gunawan, 1995.

2.5.1 Auksin

Auksin adalah suatu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa terdapat indikasi yaitu auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel Abidin, 1983. Irvine et al. 1983 dalam Katuuk 1989, melakukan percobaan kultur jaringan pada tanaman tebu, menemukan bahwa 2,4-D paling banyak berpengaruh untuk inisiasi kalus. Untuk induksi kalus tanaman berdaun lebar 2,4-D banyak digunakan dengan konsentrasi 1-3 mgl.

2.5.2 Sitokinin

Sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin ada yang alamiah dan sintetis. Sitokinin yang pertama kali ditemukan adalah kinetin, yang diisolasi dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam oleh Skoog di Laboratorium Botany University of Wisconsin. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau dapat memacu pembelahan sel atau sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi proses fisiologi dalam tanaman. Sitokinin juga berpengaruh di dalam perkembangan embrio Wattimena, 1988. Menurut Gunawan, 1995, menyatakan bahwa sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah:  Kinetin 6-furfuryl amino purine  Zeatin 4-hydroxil-3-methyl-trans-2-butenyl aminopurine  Zip N 6 -2-isopentanyli adenine, atau 6-t,t-dimetylallyi amino purine. Universitas Sumatera Utara  BAPBA 6-benzyl amino purine6-benzyl adenine  PBA  ZCl-4  2,6- Cl-4 PU ; N 2,6-dicloro-4 pyridyl-N-phenylurea.  Thidiazuron N-phenyl-N-1,2,3-thiadiazol-5-tl-urea. Menurut Wetter Constabel 1991, sitokinin dibutuhkan bersama 2,4-D untuk mendapatkan pembentukan kalus yang baik. Golongan sitokinin yang umumnya digunakan adalah BAP karena telah diketahui lebih tahan terhadap kerusakan. BAP dan Thidiazuron adalah golongan sitokinin yang aktif.

2.5.3 Zat pengatur tumbuh atonik

Atonik adalah suatu zat pengatur tumbuh sintetik berbentuk larutan dalam air, berwarna cokelat dan berbau khas Wuryaningsih, 1993. Atonik adalah gabungan garam-garam natrium dari S-nitroquiocol dan garam natrium dari paranitrophenol Kusumo, 1990. Atonik mengandung zat aktif natrium orto nitrofenol, natrium paranitrofenol, natrium 2,4 di nitrofenol, dan natrium 5 nitroguaiakol Saptarini et al., 2001. Atonik bukan merupakan hormon tanaman fitohormon atau pestisida tetapi suatu zat kimia yang dapat merangsang proses biokimia dan fisiologis tanaman, sehingga atonik termasuk zat pengatur tumbuh Kusumo, 1990. Atonik biasanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman terhadap unsur hara, meningkatkan daya serap daun, keluarnya bunga, pembentukan buah, meningkatkan jumlah dan bobot buah Saptarini et al., 2001

2.6 Glutamin

Asam amino sebagai sumber nitrogen organil relatif jarang diperlukan, karena sumber nitrogen utama dalam media biasanya NO3 - dan NH4 + . Namun, jika diperlukan sebagai sumber nitrogen organik, asam amino yang sering digunakan adalah glutamin Universitas Sumatera Utara Yusnita, 2003. Karena glutamin merupakan penyimpan nitrogen yang utama pada tumbuhan dan juga mudah di sintesis oleh tumbuhan Salisbury Ross, 1991. Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino karena dapat menjadi pembawa amonia untuk sintesis asam-asam amino baru dalam jaringan Hendaryono Wijayani, 1994. Keberadaan asam amino dalam bentuk D-asam glutamat mempunyai berbagai pengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tumbuhan. Robinson, 1991. Glutamin juga sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadi-nya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiselular Salisbury Ross, 1991.

2.7 Induksi Kalus

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

2 11 57

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

0 0 13

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Atonik Dan Bap (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ Ms Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum Acanthopodium Dc.)

0 0 5

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 1 13

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 2

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 5

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 1 10

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 4

Pengaruh Penambahan Atonik dan BAP (Benzil Amino Purin) Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Primordial Daun Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.)

0 0 9