Gambar 4.3.2 Hubungan rata-rata berat basah kalus dengan kombinasi ZPT
Keterangan : Konsentrasi Atonik A 0 mll, A
1
1 mll, A
2
2 mll, A
3
Konsentrasi BAP B 3 mll
0 mgl, B
1
1 mgl, B
2
2 mgl, B
3
3 mgl
Menurut Hutami Ragapadmi 2003, selain hara makro dan mikro dalam kultur in vitro zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin berperan dalam pertumbuhan
dan morfogenesis. Keseimbangan zat pengatur tumbuh tersebut sangat berperan dalam pembentukan kalus. Sudarmaji 2003 melakukan penelitian terhadap tanaman kapas,
dari penelitian dihasilkan bahwa penggunaan BAP 2 mgl menghasilkan berat basah kalus tertinggi. Sedangkan Saptarini et al. 2001, atonik biasanya digunakan untuk
merangsang pertumbuhan akar tanaman, meningkatkan daya serap daun, keluarnya bunga, pembentukan buah, dan meningkatkan jumlah dan bobot buah.
Menurut Pierik 1987, zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin mampu menginduksi kalus apabila digunakan pada konsentrasi tinggi yaitu berkisar 2-10
mgl, tetapi pada penggunaan konsentrasi tinggi mampu menghambat pembentukan akar. Golongan Sitokinin yang umum digunakan adalah BAP karena telah diketahui
lebih tahan terhadap kerusakan. Dan pada perbanyakan buah naga penggunaan atonik 4 mll mampu memacu pertumbuhan tunas.
4.4 Warna Kalus
Warna kalus pada setiap perlakuan bervariasi yaitu putih, kuning dan coklat Gambar 4.4.1. Kalus yang berwarna kuning merupakan kalus yang paling banyak tumbuh
Universitas Sumatera Utara
yaitu persentase sebesar 44,58, sedangkan untuk warna kalus coklat sebesar 38,55 dan untuk warna kalus putih sebesar 16,87 Lampiran D halaman 38.
a b
c Gambar 4.4.1 Warna kalus pada kombinasi perlakuan Atonik dan BAP:
a putih; b kuning; c coklat
Menurut Keese et al. 1991, kalus yang paling baik adalah kalus yang berwarna kuning karena kalus ini memiliki ciri-ciri kalus yang kompak dan bernodul
serta bersifat embriogenik. Sedangkan kalus yang kurang baik adalah kalus yang berwarna coklat. Kalus yang berwarna putih dan kuning merupakan kalus yang
berpotensi membentuk tunas. Untuk kalus yang berwarna coklat terjadi karena kalus mengalami penuaan dimana kalus tersebut cenderung mengeluarkan senyawa fenolat.
Menurut Fitriani 2003, bahwa warna kalus kekuningan dan kehijauan merupakan warna kalus yang bagus, dimana banyak kalus yang mengalami
defferensiasi menjadi planlet, sedangkan warna coklat pada kalus menandakan sel mengalami cekaman karena luka pada jaringan selain cekaman dari medium itu
sendiri, sehingga terjadi sintesis senyawa fenolat sebagai pertahanan sel tanaman tersebut.
Menurut Soegihardjo 1993, bahwa apabila kalus mengalami penuaan dengan ciri-ciri kalus berubah warna menjadi coklat, pertumbuhan terhenti dan akhirnya
terjadi pengeringan akibat nutrisi habis, sehingga menghambat difusi nutrien, penguapan air yang mengakibatkan naiknya konsentrasi nutrien tertentu dalam media,
dan penimbunan metabolit yang bersifat racun bagi kalus.
Universitas Sumatera Utara
4.5 Persentase Kultur Terkontaminasi
Kultur yang bebas dari kontaminasi adalah salah satu yang penting dalam menentukan keberhasilan kultur in vitro. Data pengamatan persentase kultur yang terkontaminasi
dapat dilihat pada Lampiran E halaman 39. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa persentase kultur terkontaminasi sebesar 8,33 yaitu sebanyak 8 botol dari 96 botol
perlakuan.
Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa dalam proses kerja teknik kultur jaringan harus dilakukan secara aseptik, baik dari awal pembuaatan media, sterilisasi
bahan tanaman yang akan digunakan sampai tahap pemeliharaannya. Dalam penelitian ini penyebab kontaminasi berasal dari eksplan yang digunakan. Dan kontaminasi lebih
banyak disebabkan oleh jamur. Menurut Katuuk 1989, kontaminasi yang sering terjadi disebabkan oleh spora jamur yang ada di mana-mana, karena massa jamur yang
ringan dan ukuran yang sangat kecil memungkinkan spora untuk berpindah hanya dengan gerakan udara yang lambat. Kontaminasi juga dapat berasal dari eksplan,
organisme kecil yang masuk ke dalam media, botol-botol kultur serta alat-alat yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor, serta kecerobohan dalam
pelaksanaan kultur jaringan.
Menurut Gunawan 1995, bahwa salah satu pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, botol
kultur, alat penanam yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor serta kecerobohan dalam pelaksanaan.
Menurut Hendaryono Wijayani 1994, bahwa kondisi laboratorium kultur jaringan harus mengutamakan dan memperhatikan tingkat sterilisasi dari ruangan
sehingga terbebas dari kontaminasi mikroba. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, mikroba lingkunan kerja serta kecerobohan dalam pelaksanaan kultur jaringan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan