Terlihat  jelas  pada  tabel  4.1.  bahwa  penambahan  FeMn  menyebabkan kenaikan  nilai  true  density.  Hal  ini  dikarenakan  nilai  true  density  FeMn  lebih
besar  dibanding  nilai  true  density  BaFe
12
O
19
,  sehingga  penambahan  aditif  FeMn meningkatkan  nilai  true  density.  Hasil  ini  dikuatkan  oleh  penelitian  yang
dilakukan  oleh  Yola  2014,  dimana  penambahan  unsur  yang  memiliki  true density  yang  lebih  besar  pada  BaFe
12
O
19
akan  meningkatkan  true  density  dari serbuk campuran tersebut.
4.1.2 Pengujian bulk density
Pengujian  bulk  density  sampel  magnet  Barium  Heksaferit  dengan  aditif  3  dan 7wt. FeMn yang disinter pada suhu 1100, 1150, 1200 dan 1250
o
C selama 2 jam, dilakukan  dengan  menggunakan  prinsip  Archimedes  ASTM  C373.  Hasil
pengujian  bulk  density  bahan  magnet  Barium  Heksaferit  dengan  aditif  3  dan 7wt. FeMn diperlihatkan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Hubungan pengujian bulk density terhadap suhu sintering dari bahan magnet BaFe
12
O
19
dengan aditif 3 dan 7  wt. FeMn Dari  gambar  4.1  diperlihatkan  bahwa  bulk  density  dari  bahan  magnet
BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3  dan  7wt.  FeMn  adalah  berkisar  4,22 –  4,81  gcm
3
. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa  densitas tertinggi yaitu pada suhu
sintering 1200
o
C 2 jam dengan penambahan FeMn sebanyak 3wt. dan 7wt.
1000 1100
1200 1300
4.0 4.2
4.4 4.6
4.8 5.0
4.59 4.45
4.81
4.31 4.46
4.22 4.58
4.25
B u
lk D
e n
s it
y g
c m
3
Temperatur Sintering
o
C 3 wt. FeMn
7 wt. FeMn
Universitas Sumatera Utara
memiliki  bulk  density  sebesar  4,81  gcm
3
dan  4,58  gcm
3
.  Ternyata  dari  kedua komposisi tersebut, penambahan FeMn lebih banyak mengakibatkan  bulk density
menurun pada penambahan 3wt. FeMn memiliki nilai bulk density maksimum. Sedangkan  untuk  suhu  1150  dan  1250
o
C  terjadinya  penurunan  nilai  bulk  density diduga  disebabkan  oleh  perbesaran  ukuran  butir  dan  peningkatan  rongga  saat
proses sintering. Hal ini sama seperti yang terjadi pada penelitian Delovita 2014, nilai bulk density  dari BaFe
12
O
19
dengan  penambahan aditif 0,5 wt. B
2
O
3
yang disinter  pada  suhu  1200
o
C  lebih  besar  dibanding  dengan  bulk  density  pada  suhu sintering  1150
o
C,  yang  disebabkan  perbesaran  ukuran  butir  pada  saat  proses sintering. Data hasil pengukuran bulk density terdapat pada Lampiran 2.
4.1.3 Pengujian porositas
Pengujian porositas sampel magnet Barium Heksaferit dengan aditif FeMn 3 dan 7    wt.  yang  disinter  pada  suhu  1100,  1150,  1200  dan  1250
o
C  selama  2  jam, dilakukan  dengan  menggunakan  prinsip  Archimedes  ASTM  C373.  Hasil
pengujian  porositas  bahan magnet  Barium  Heksaferit  dengan  aditif  3  dan  7wt. FeMn  diperlihatkan pada gambar 4.2.
Gambar  4.2  Hubungan  porositas  terhadap  suhu  sintering  dari  bahan  magnet BaFe
12
O
19
dengan aditif 3 dan 7  wt. FeMn. Dari  gambar  4.2  diperlihatkan  bahwa  porositas  dari  bahan  magnet
BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3  dan  7  wt.  FeMn  adalah  berkisar  20,73 –  23,64  .
1000 1100
1200 1300
20 21
22 23
24 25
21.7 22.41
20.73 23.13
22.35 23.64
21.77 23.44
Temperatur Sintering
o
C 3 wt. FeMn
7 wt. FeMn
P o
ro s
it a
s
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa   nilai porositas terkecil yaitu pada suhu sintering 1200
o
C 2 jam dengan penambahan FeMn sebanyak 3 wt. yaitu berkisar  20  .  Pada  penambahan  FeMn  sebanyak  7wt.  memiliki  porositas
sebesar  22.  Ternyata  dari  kedua  komposisi  tersebut  pada  penambahan  3wt. FeMn  memiliki  porositas  terendah.  Sedangkan  untuk  porositas  bernilai  tinggi
pada penambahan FeMn 7 berat pada suhu 1150
o
C senilai 24 , hal ini diduga terjadi  disebabkan  oleh  perbesaran  ukuran  butir  sehingga  ukuran  butir  menjadi
lebih  besar  dan  semakin  banyak  rongga  yang  terbentuk  dan  meningkatkan porositas. Hal ini sama halnya seperti penelitian  yang dilakukan oleh Suciu  et al
2012 yang menyatakan bahwa penambahan konsentrasi Mn pada sampel FeMn yang  kemudian  disinter,  berbanding  lurus  dengan  porositas,  semakin  banyak
konsentrasi Mn yang ditambahkan maka porositasnya bertambah besar.
4.2 Sruktur mikro BaFe
12
O
19
dengan aditif FeMn 4.2.1 Analisis distribusi partikel menggunakan Optical Microscope OM
Hasil  analisis  distribusi  partikel  dari  serbuk  BaFe
12
O
19
yang  diamati  dengan menggunakan  Optical  Microscope  OM  diperlihatkan  pada  Gambar  4.3  dan
Gambar  4.4.  Sedangkan  distribusi  partikel  serbuk  FeMn  diperlihatkan  pada Gambar  4.5  dan  Gambar  4.6.  Pada  Gambar  4.7  dan  Gambar  4.8  diperlihatkan
distribusi partikel serbuk BaFe
12
O
19
dengan penambahan aditif 3wt. FeMn, dan pada  Gambar  4.9  dan  Gambar  4.10  diperlihatkan  distribusi  partikel  serbuk
BaFe
12
O
19
dengan penambahan aditif 7wt. FeMn.
a b
Gambar  4.3  a.  Foto  serbuk  BaFe
12
O
19
menggunakan  OM  dengan  perbesaran 400x.  b.  Gambar  pengambilan  area  untuk  mengukur  diameter
partikel menggunakan software ImageJ.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 Histogram distribusi partikel serbuk BaFe
12
O
19.
a b
Gambar 4.5  a. Foto sebuk FeMn menggunakan OM dengan perbesaran 400x. b.Gambar pengambilan area untuk mengukur diameter partikel
menggunakan software ImageJ.
Gambar 4.6 Histogram distribusi partikel serbuk FeMn
1 10
100 2
4 6
8 10
12
15
155 85
205 245
55 35
15
Serbuk FeMn
Diameter Partikel nm J
u mla
h P
a rt
ik e
l
20 40
60 80
100
K u
mu lati
f
100 10
20 30
40 50
180 160
140 80
100
Diameter Partikel nm J
u mla
h P
a rt
ik e
l Serbuk BaFe
12
O
19
120
20 40
60 80
100
K u
mu lati
f
Universitas Sumatera Utara
a b
Gambar 4.7 a. Foto serbuk BaFe
12
O
19
dengan aditif 3wt. FeMn menggunakan OM perbesaran 400x. b Gambar pengambilan area untuk mengukur
diameter partikel menggunakan software ImageJ.
Gambar  4.8  Histogram  distribusi  partikel  serbuk  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3wt. FeMn.
a b
Gambar 4.9 a. Foto serbuk BaFe
12
O
19
dengan aditif 7wt. FeMn menggunakan OM dengan perbesaran 400x. b. Gambar pengambilan area untuk
mengukur diameter partikel menggunakan software ImageJ.
1 10
100
10 20
30 40
50 60
195 35
75 115
Serbuk 97BaFe
12
O
19
: 3FeMn
Diameter Partikel nm J
u mla
h P
a rt
ik e
l
20 40
60 80
100
K u
mu lati
f
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.10 Histogram distribusi partikel serbuk BaFe
12
O
19
dengan aditif 7wt. FeMn.
Foto  serbuk  yang  diperoleh  dari  mikroskop  optik  diolah  menggunakan software  ImageJ.  Hasil  olahan  berupa  diameter  partikel  rata-rata  yang  disajikan
dalam bentuk histogram, dimana distribusi partikel dapat terlihat pada banyaknya data yang dianalisis dari foto serbuk. Data pengukuran diameter partikel terdapat
pada Lampiran 3. Tabel 4.2 Data hasil pengukuran ukuran diameter rata-rata partikel
Serbuk  wt. Diameter Partikel Rata-rata nm
100  BaFe
12
O
19
126 100  FeMn
93 97 BaFe
12
O
19
+ 3 FeMn 121
93 BaFe
12
O
19
+ 7FeMn 120
Dari  hasil  pengukuran  diameter  partikel  rata-rata  serbuk  di  atas,  dapat dilihat  bahwa  penambahan  FeMn  menghasilkan  ukuran  partikel  serbuk  yang
semakin kecil. Hal ini disebabkan  serbuk BaFe
12
O
19
yang dimilling dengan PBM selama  24  jam,  FeMn  dimilling  menggunakan  HEM  selama  1  jam,  dan
10 100
10 20
30 40
50
140 80
60 120
Serbuk 93BaFe
12
O
19
: 7FeMn
Diameter Partikel nm J
u mla
h P
a rt
ik e
l
20 40
60 80
100
K u
mu lati
f
Universitas Sumatera Utara
dilanjutkan  proses  mixing  dengan  menggunakan  HEM  selama  15  menit  relatif cukup efektif sehingga menghasilkan ukuran serbuk yang lebih kecil. Trend yang
diperoleh bersesuaian dengan  true density, dimana semakin kecil ukuran partikel serbuk maka nilai densitas semakin besar.
4.2.2 Analisis diameter pori sampel BaFe
12
O
19
dengan aditif FeMn
Analisis  diameter  sampel  mikrostruktur  yang  telah  disinter  pada  suhu  1100, 1150,  1200  dan  1250
o
C,  yang  masing-masing  ditahan  selama  2  jam  dilakukan dengan  menggunakan  Optical  Microscope  OM.  Hasil  pengamatan  dengan  OM
ditunjukkan pada Gambar 4.11 - 4.18 dan Tabel 4.3.
a b
c Gambar 4.11  Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3wt  FeMn.  yang  disinter pada  suhu  1100
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
a b
c Gambar 4.12  Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  7wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1100
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
a b
c Gambar 4.13  Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1150
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
Universitas Sumatera Utara
a b
c Gambar 4.14   Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  7wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1150
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
a b
c Gambar  4.15    Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1200
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
a b
c Gambar  4.16    Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  7wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1200
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
a b
c Gambar 4.17   Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1250
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
Universitas Sumatera Utara
a b
c Gambar 4.18  Foto  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  7wt.  FeMn  yang  disinter pada  suhu  1250
o
C  a.  perbesaran  400x.  b.  perbesaran  40x.  c. Hasil gambar outline menggunakan software ImageJ.
Tabel  4.3  Data  hasil  analisis  OM  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  aditif  3  dan  7wt. FeMn yang disinter  selama 2 jam
T sintering
o
C Diameter pori rata-rata µm
97 BaFe
12
O
19
+ 3 wt.FeMn
93 BaFe
12
O
19
+ 7 wt.FeMn
1100 4,01
4,76 1150
4,04 5,54
1200 3,61
4,59 1250
3,89 5,23
Diameter  pori  rata-rata  sampel  atau  disebut  dengan  Equivalent  Circular Diameter ECD merupakan diameter lingkaran yang memiliki luas sama dengan
gambaran  pori-pori.  Data  pengukuran  pori  rata-rata  sampel  terdapat  pada Lampiran 4.
Dari  tabel  4.3,  dapat  dilihat  bahwa    diameter  pori  rata-rata  terkecil  yaitu pada suhu sintering 1200
o
C 2 jam dengan penambahan FeMn sebanyak 3 wt. yaitu  sebesar  3,61  µm.  Pada  penambahan  FeMn  sebanyak  7wt.  memiliki
diameter  pori  rata-rata  sebesar  4,59  µm.  Ternyata  dari  kedua  komposisi  tersebut pada  penambahan  3wt.  FeMn  memiliki  diameter  pori  rata-rata  terkecil.
Sedangkan untuk  diameter pori rata-rata bernilai  besar pada penambahan  7 wt. FeMn  pada  suhu  1150
o
C  senilai  5,54  µm.  Hasil  ini  signifkan  dengan  hasil porositas, semakin besar diamater pori maka porositas semakin besar.
Dari  hasil  uji  densitas  dan  porositas,  didapat  nilai  densitas  yang  paling tinggi  dan  porositas  yang  paling  rendah  hasil  optimum  yaitu  pada  sampel
dengan  suhu  sintering  1200
o
C.  Sampel  tersebut  yang  akan  dianalisis menggunakan XRD dan VSM.
Universitas Sumatera Utara
4.2.3 Analisis X-Ray Diffraction XRD Analisis  struktur  kristal  XRD  dari  a.  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  penambahan aditif  7wt.  FeMn  yang  disintering  pada  suhu  1200
o
C  2  jam,  b.  sampel
BaFe
12
O
19
dengan  penambahan  aditif  3  wt.  FeMn  yang  disintering  pada  suhu 1200
o
C  2  jam,  c.  serbuk  BaFe
12
O
19
dan  d.  serbuk  FeMn,  ditunjukkan  pada
Gambar 4.19. Data hasil pengujian XRD terdapat pada Lampiran 6.
Gambar 4.19   Pola  XRD  dari  a.  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  penambahan  aditif 7wt.  FeMn  yang  disintering  pada  suhu  1200
o
C  2  jam,  b.
sampel  BaFe
12
O
19
dengan  penambahan  aditif  3  wt.  FeMn  yang disintering  pada  suhu  1200
o
C  2  jam,  c.  serbuk  BaFe
12
O
19
dan
d. serbuk FeMn
Berdasarkan  pola  XRD  pada  sampel  a  menunujukkan  pola  XRD  untuk sampel BaFe
12
O
19
dengan penambahan aditif 7wt.  FeMn  yang disintering pada suhu 1200
o
C. dari gambar memperlihatkan bahwa terdapat fasa tunggal yaitu fasa barium heksaferit BaFe
12
O
19
,  yang mempunyai struktur kristal  hexagonal.  Fasa BaFe
12
O
19
ini mempunyai parameter kisi a = b ≠ c dengan nilai a = 5,892 Å, c = 23,183  Å.  Tiga  puncak  tertinggi  dari  fasa  BaFe
12
O
19
terdapat  dengan  sudut  2θ sebesar 32,29; 56,73; dan 34,18;  demikian pula pada pola XRD sampel b yang
menunjukkan  pola  XRD  untuk  sampel  BaFe
12
O
19
dengan  penambahan  aditif 3wt.  FeMn  yang  disintering  pada  suhu  1200
o
C,  fasa  yang  terbentuk  juga  fasa tunggal  yaitu  fasa  barium  heksaferit  BaFe
12
O
19
,  ini  dikarenakan  konsentrasi FeMn  yang  kecil  3  dan  7wt.  sehingga  fasa  dari  FeMn  itu  sendiri  tidak
20 30
40 50
60 70
80
 
 
 
 
 
 
      
 
 
 
 
d c
b a
Fe
0.3
Mn
0.7
BaFe
12
O
19
In te
ns ity
a .u
2 deg
Mn
3
O
4
Universitas Sumatera Utara
terdeteksi.  Pola  XRD  sampel  c  menunujukkan  pola  XRD  untuk  serbuk  awal BaFe
12
O
19
yang  menunjukkan  fasa  tunggal  yaitu  fasa  barium  heksaferit BaFe
12
O
19
dengan  3  puncak  tertinggi terdapat  dengan  sudut  2θ  sebesar  32,39;
34,34;  dan  56,99.  Pada  pola  XRD  sampel  d  yaitu  serbuk  awal  FeMn menunjukkan 2 fasa yang terbentuk yaitu fasa mayor sebesar 81 Fe
0.3
Mn
0.7
dan fasa  minor  sebesar  19  Mn
3
O
4
.  Fasa  Fe
0.3
Mn
0.7
memiliki  struktur  kristal  cubic dengan parameter kisi a = b = c = 3,6680 Å. Fasa Mn
3
O
4
memiliki struktur kristal orthorombic dengan parameter kisi a = 3,0240 Å, b = 9,7996 Å dan c = 9,5564 Å.
4.3 Sifat Magnet BaFe