PENINGKATAN PEMAHAMAN ASPEK MORAL TOKOH UTAMA WANITA DALAM CERPEN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN INDUKTIF MODEL TABA PADA SISWA KELAS XI BAHASA MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

(1)

PENINGKATAN PEMAHAMAN ASPEK MORAL TOKOH UTAMA WANITA DALAM CERPEN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN

INDUKTIF MODEL TABA PADA SISWA KELAS XI BAHASA MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Oleh Eni Hastuti

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mecapai Gelar MAGISTER PENDIDIKAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

INCREASING THE UNDERSTANDING OF MORAL ASPECT OF THE MAIN FEMALE CHARACTER IN A SHORT STORY THROUGH TABA

INDUCTIVE LEARNING STRATEGY IN CLASS XI LANGUAGE OF MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG 2013/2014

By Eni Hastuti

This research aimed to increase students’ achievement especially to increase the understanding of moral aspect of female character in a short story through Taba model inductive learning strategy in MAN 1 Model Bandar Lampung Academic Year 2013/2014.

The method used in this research was qualitative descriptive through classroom action research. The research procedures conducted in three cycles. The research objects were the students of class XI Language of MAN 1 Model Bandar

Lampung Academic Year 2013/2014 that consisted of 40 students, in which there were 24 female students and 16 male students. The test used in increasing the understanding of moral aspect of female character in the short story was oral through Taba inductive learning strategy model.

The results showed the process of inductive learning could increase students’ understanding in moral aspects of female main character in a short story in each cycle. Likewise, activity students’ increased. The score of understanding the moral aspect of female main character in a short story through Taba inductive learning strategy model in cycle I it was gained mean 71,64 in enough category, cycle II gained mean 78,50 with good category, and in cycle III gained mean 85,50 with very good category. The result of students’ learning accomplishment had a good increase in cycle I 35%, cycle II 92,5%, and cycle III 100%. This result had a good increase from cycle I to cycle III and had reached the expected indicator. From the result of this classroom action research it can be concluded that the increase of moral aspect understanding of female character in a short story through Taba model inductive learning strategy can increase students’ literary appreciation ability.


(3)

ABSTRAK

PENINGKATAN PEMAHAMAN ASPEK MORAL TOKOH UTAMA WANITA DALAM CERPEN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN

INDUKTIF MODEL TABA PADA SISWA KELAS XI BAHASA MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Oleh Eni Hastuti

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar khususnya pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba di MAN 1 Model Bandar Lampung tahun pelajaran 2013/2014.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif melalui penelitian tindakan kelas. Prosedur dalam penelitian dilaksanakan sebanyak tiga siklus. Objek penelitian adalah siswa kelas XI Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 40 siswa, terdiri atas 24 siswa putri dan 16 siswa putra. Tes yang digunakan dalam peningkatan pemahaman aspek moral utama wanita dalam cerpen adalah tes lisan melalui strategi pembelajaran induktif model Taba.

Hasil penelitian menunjukkan proses pembelajaran induktif model Taba dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen pada setiap siklus. Demikian juga, aktivitas siswa mengalami peningkatan. Nilai pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba pada siklus I diperoleh rata-rata 71,64 dengan kategori cukup, siklus II diperoleh rata-rata 78,50 dengan kategori baik, dan pada siklus III diperoleh rata-rata 85,50 dengan kategori sangat baik. Hasil ketuntasan belajar siswa pada siklus I 35%, siklus II 92,5%, dan siklus III 100%. Hasil ini mengalami peningkatan yang cukup baik dari siklus I sampai siklus III dan sudah mencapai indikator yang ditetapkan. Dari hasil penelitian tidakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba dapat

meningkatkan kemampuan apresiasi sastra siswa.


(4)

(5)

(6)

(7)

Halaman

ABSTRACT ……… ii

ABSTRAK ……….….. iii

HALAMAN JUDUL ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ... v

HALAMAN PENGESAHAN ……… vi

HALAMAN PERNYATAAN ……….….. vii

RIWAYAT HIDUP ……….…... viii

MOTO ……….…… ix

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….……... x

SANWACANA ……….. xi

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL .………..……….. …… xviii

DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM ………..……… xxi

DAFTAR LAMPIRAN ………..……….… xxii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang …... 1

1.2Rumusan Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Manfaat Penelitian ……... 8

BAB II LANDASAN TEORI 2.1Konsep Dasar Prosa Fiksi ………... 10

2.1.1 Pengertian Cerpen ... 10

2.1.2 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen ... 11

2.1.2.1Tema ………... 11

2.1.2.2Latar dan Pelataran ..………... 13

2.1.2.3Gaya Bahasa (Style) .……….. 14

2.1.2.4Alur ... 15

2.1.2.5 Sudut Pandang/Point of View ……….… 17

2.1.2.6Tokoh dan Penokohan ... 18


(8)

2.3.2.1Strategi Pembelajaran Deduktif …... 26

2.3.2.2Strategi Pembelajaran Induktif ……... 26

2.3.3 Strategi Pembelajaran Induktif Model Taba…... 27

2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Strategi Pembelajaran Induktif Model Taba ……….……….………… 32

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Rancangan Penelitian …... 35

3.2Subjek Penelitian ... 39

3.3Tempat dan Waktu Penelitian …... 41

3.3.1 Tempat Penelitian ... 41

3.3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian ……... 41

3.4Posedur Tindakan ... 41

3.4.1 Perencanaan Tindakan ……….………. 42

3.4.2 Pelaksanaan Tindakan ……….………. 42

3.4.3 Observasi ………….………. 42

3.4.4 Refleksi ….……… 47

3.5 Teknik Pengumpulan Data ……... 47

3.5.1 Teknik Tes ……...……….…… 48

3.5.1 Teknik Nontes ……….……….……. 48

3.6 Teknik Analisis Data …... 49

3.7Indikator Keberhasilan ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ……...…... 62

4.1.1 Siklus I …….………….………. 64

4.1.1.1Perencanaan Tindakan ………. 64

4.1.1.2Pelaksanaan Tindakan ………. 65

4.1.1.3 Pengamatan/Observas..………. 69

4.1.1.4 Refleks……….………....……. 93

4.1.2 Siklus II ………...……...…. 97

4.1.2.1Perencanaan Tindakan .………...………. 98

4.1.2.2Pelaksanaan Tindakan …..………....………. 99

4.1.2.3 Pengamatan/Observasi ……..……...………. 102

4.1.2.4 Refleksi ……..………..………. 129

4.1.3 Siklus III …...……….………..………. 131

4.1.3.1Perencanaan Tindakan …….……..…..…………. 133

4.1.3.2Pelaksanaan Tindakan ...………. 133

4.1.3.3 Pengamatan/Observasi …….…...……….………. 136

4.1.3.4 Refleksi ………..…..………. 162

4.2 Pembahasan ….……….……. 164

4.2.1 Pembahasan Penelitian ……….……. 165

4.2.1.1Perencanaan Pelaksaan Tindakan ………….……. 165

4.2.1.2 Proses Pelaksanaan Pembelajaran ………. 168

4.2.1.3Proses Evaluasi Pembelajaran …..………. 173

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan ………...…... 179


(9)

….……….……….


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca merupakan

pencerminan dari kehidupan manusia. Karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan manusia

merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra. Karya sastra juga berusaha untuk menyampaikan gagasan, pandangan hidup, tanggapan, tentang kehidupan sekitar secara menarik dan menyenangkan. Dengan kata lain, selain menghibur pengarang bermaksud pula menyampaikan nilai-nilai yang memuat keyakinannya yang bermanfaat bagi penikmat. Oleh karena itu, dalam

penyajian karya sastra hendaknya mengandung penerapan moral.

Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah dirumuskan oleh suatu masyarakat untuk menentukan kebaikan atau keburukan. Moral merupakan suatu norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau kehidupan sebuah masyarakat.

Salah satu karya sastra yang mengandung penerapan moral adalah prosa fiksi.

Pengarang prosa fiksi menyajikan penerapan moral melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Dari situlah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan diamanatkan.

Untuk pembelajaran sastra di sekolah, kaitannya dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, momen digalakkannya kembali pendidikan karakter


(11)

menjadi saat yang tepat untuk diadakannya pembelajaran aspek moral. Cerpen yang merupakan salah satu bentuk prosa fiksi dan di dalamnya mengandung pesan moral, sangatlah tepat sebagai bahan bacaan siswa. Diharapkan dengan membaca cerpen, siswa akan memperoleh pesan moral yang akan berpengaruh baik terhadap karakter mereka.

Pembelajaran cerpen sebenarnya merupakan salah satu materi pembelajaran yang menyenangkan. Siswa MAN 1 Model Bandar Lampung rata-rata kurang menyukai bacaan berat (sastra serius) tetapi lebih meminati cerpen. Hal ini terjadi karena karya jenis ini memang lebih ringan dan mudah dicerna. Bahasa yang digunakan pengarang pun tak berat dan rumit sehingga mereka lebih mudah memahami apa yang

disampaikan pengarang. Ketika guru menugasi siswa untuk mencari contoh cerpen dari berbagai sumber/media, siswa tidak berkeberatan dengan tugas itu. Ironinya, pembelajaran membaca cerpen tersebut belum diimbangi dengan tingkat apresiasi yang baik dari siswa terhadap cerpen itu sendiri. Kemampuan siswa dalam

menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik masih rendah. Hal ini terjadi karena pembelajaran sastra di madrasah ini terlalu banyak didominasi teori sastra, sejarah sastra, istilah-istilah sastra, dan hapalan-hapalan tentang angkatan sastra, tanpa dibarengi upaya kreatif mengapresiasi karya-karya sastra yang bersangkutan atau istilah lainnya hanya dibekali pengetahuan kognitif. Salah satu penyebab terjadinya kondisi seperti itu karena desakan ujian sehingga sekolah beralih fungsi menjadi “mesin” yang mengajarkan pengetahuan teoretis demi dan untuk keperluan Ujian Nasional. Akibatnya, pengajaran apresiasi sastra pun cenderung menjadi pengajaran teori, dan kegiatan seni apresiasi sastra cenderung terabaikan.


(12)

MAN 1 Model Bandar Lampung, selain memiliki program ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial, dan Ilmu-Ilmu-ilmu Agama, terdapat juga Program Bahasa. Program ini terdapat mata pelajaran khusus tentang sastra yaitu Sastra Indonesia dengan alokasi waktu pembelajaran 4 jam pelajaran seminggu. Namun, para siswanya belum memiliki kemampuan bersastra yang menonjol dibandingkan dengan program-program lain.

Pada program Bahasa khususnya kelas XI mata pelajaran Sastra Indonesia diketahui rata-rata kemampuan sastra terutama kemampuan menganalisis prosa fiksi masih rendah. Pemahaman terhadap aspek moral dalam karya fiksi pun masih rendah dan belum mencapai KKM yang telah ditetapkan madrasah .

Pemahaman aspek moral siswa terhadap karya fiksi merupakan hal yang penting karena moral merupakan pengetahuan yang mengajak anak untuk berpikir dan membangun etika dan karakter dirinya dengan baik. Pengarang prosa fiksi dalam menyampaikan cerita selain menghibur juga menerapkan nilai-nilai moral dan pandangan hidup melalui sikap dan tingkah laku para tokohnya.

Selama proses pembelajaran apresiasi sastra pada saat peneliti mengajar, siswa mengalami kesulitan saat menentukan aspek moral tokoh utama dalam prosa fiksi. Siswa masih sulit dalam mengidentifikasi sikap kepribadian moral yang terdapat dalam cerita dan memberikan pembuktian dari argumentasinya. Dalam memberikan argumentasi pun hanya beberapa siswa yang menawarkan diri sehingga guru harus menunjuk ke arah siswa tertentu untuk menjawab pertanyaan. Sementara itu, guru dalam melaksanakan pembelajaran masih menggunakan teknik lama yang kurang efektif seperti ceramah dan evaluasi yang bersifat hapalan yang cenderung


(13)

membosankan. Uraian tersebut menurut peneliti merupakan akar masalah yang ada baik dari siswa maupun guru sehingga perlu ada tindakan untuk memperbaikinya. Untuk mencapai tujuan pengajaran khususnya sastra secara optimal, pengajar harus mengetahui dan memahami jenis-jenis strategi pembelajaran dan menentukan atau memilih dengan tepat strategi mana yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam menentukan strategi pembelajaran diperlukan sudut pendekatan tertentu. Pendekatan merupakan sudut pandang atau titik tolak untuk memahami seluruh persoalan dalam proses pembelajaran. Sudut pandang menggambarkan cara berpikir dan sikap seorang pengajar dalam menjalankan atau melaksanakan profesinya (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011:25).

Permasalahan yang ada pada siswa kelas XI Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung, yaitu rendahnya pemahaman siswa terhadap aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen. Karena siswa masih sulit mengidentifikasi sikap kepribadian moral tokoh yang terdapat dalam cerpen dan belum mampu menunjukkan pembuktian dari argumentasinya. Secara teoretis permasalahan yang ada pada siswa ini dapat diatasi jika pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen

dilaksanakan melalui strategi pembelajaran induktif model Taba. Dikatakan demikian karena strategi pembelajaran induktif adalah pengolahan pesan yang dimulai dari hal-hal khusus, dari peristiwa-peristiwa yang bersifat individual menuju generalisasi, dari pengalaman-pengalaman empiris yang individual menuju kepada konsep yang bersifat umum. Melalui strategi pembelajaran induktif siswa diharapkan dapat menemukan sikap kepribadian moral tokoh utama wanita dalam cerpen dari peristiwa yang dialami tokohnya berdasarkan pengalaman empiris dalam kehidupan sehari-hari siswa.


(14)

utama cerpen untuk menentukan sikap kepribadian moral tokoh utama dalam cerpen, yaitu melalui metode pembelajaran yang membangun kemampuan berpikir mereka. Model pembelajaran induktif ini dipelopori oleh Taba, yaitu model yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berpikir (Joyce dkk, 2011: 127).

Model pembelajaran berpikir induktifditujukan untuk membangun mental kognitif. Strategi ini sangat membutuhkan banyak informasi yang harus digali oleh siswa. Strategi pembelajaran berpikir induktif sangat tepat digunakan untuk pembelajaran sastra. Alasan inilah yang menjadi dasar peneliti untuk memilih pembelajaran induktif sebagai model pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen.

Model pembelajaran induktif dibangun dengan pendekatan yang didasarkan atas tiga asumsi, yaitu (1) proses berpikir dapat dipelajari, (2) proses berpikir adalah suatu transaksi aktif antara individu dan data, dan (3) proses berpikir merupakan suatu urutan tahapan yang beraturan (Ahmadi, 1990: 93).

Saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran induktif, guru telah menyiapkan perangkat-perangkat yang akan membuat siswa beraktivitas dan mengobarkan semangat siswa untuk melakukan observasi terhadap ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Model pembelajaran induktif memerlukan keterampilan bertanya yang bagus dari guru. Selain itu guru juga harus menjaga siswa agar perhatian mereka tetap pada tugas belajar yang diberikan, dan selalu menunjukkan ekspektasi positif terhadap

pencapaian hasil belajar siswa-siswanya. Kesuksesan proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran induktif juga bergantung pada


(15)

contoh-contoh/ilustrasi yang digunakan oleh guru serta kemampuan guru membimbing siswa untuk melakukan analisis terhadap contoh/ilustrasi yang diberikan.

Kelebihan model pembelajaran induktif menurut Restiana (2009) di antaranya (1) guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa sehingga siswa mempunyai parameter dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (2) ketika siswa telah mempunyai gambaran umum tentang materi pembelajaran, guru membimbing siswa untuk

menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tersebut sehingga pemerataan pemahaman siswa lebih luas dengan adanya pertanyaan-pertanyaan antara siswa dengan guru, dan (3) model pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses tanya jawab tersebut.

Kelebihan lain dari model ini, walaupun sangat sesuai untuk social study tapi dapat juga digunakan untuk semua mata pelajaran, seperti sains, bahasa, dan lain-lain. Satu hal lagi yang tak kalah penting, model ini juga secara tidak langsung dapat

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pembelajaran cerpen pada mata pelajaran Sastra di MA untuk program Bahasa kelas XI terdapat Standar Kompetensi (SK): Memahami cerpen, novel, dan hikayat, dengan Kompetensi Dasar (KD): Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita pendek.

Cerita pendek atau sering disebut cerpen merupakan salah satu bentuk prosa fiksi yang digemari oleh kalangan remaja atau siswa SMA. Meskipun bentuknya berupa


(16)

cerita yang pendek atau singkat, cerpen selalu mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman hidup.

Melalui cerpen diharapkan agar peserta didik mengetahui bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dengan cara menggali dan menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Nilai-nilai moral dalam karya sastra khususnya cerpen dapat dijadikan pedoman hidup karena mengandung pandangan tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya.

Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku para tokohnya, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan sehingga siswa mendapatkan pengalaman yang bernilai positif dan menambah wawasan.

Tak dapat dimungkiri, kehadiran sastra remaja yang lebih populer dengan teenlit

memang cukup memengaruhi minat baca para remaja. Mereka yang kurang menyukai bacaan berat (sastra serius) memang lebih banyak meminati bacaan teenlit karena karya jenis ini memang lebih ringan dan mudah dicerna. Bahasa yang digunakan pengarang pun tak berat dan rumit sehingga mereka lebih mudah memahami apa yang disampaikan pengarang. Salah satu karya teenlit yang digemari siswa MA yaitu cerpen karena waktu yang dibutuhkan untuk membaca tidak banyak.

Asma Nadia adalah salah seorang pengarang novel dan cerpen remaja yang karya-karyanya pernah mendapatkan penghargaan dan seorang muslimah yang penuh inspirasi dan prestasi. Ia juga salah satu pengarang dengan karyanya yang inspiratif. Karya-karyanya bukan sekadar bacaan yang menghibur tetapi juga ada nilai-nilai yang ditawarkan serta memberi kontribusi yang kentara pada remaja. Oleh karena itu,


(17)

tak salah sekiranya jika cerpen-cerpennya dijadikan sebagai pembelajaran sastra kelas XI Program Bahasa untuk Kompetensi Dasar (KD): Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita pendek.

Pemilihan cerpen-cerpen karya Asma Nadia dimaksudkan agar peserta didik mengetahui bagaimana nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dengan cara menggali dan menganalisis unsur-unsur intrinsik dan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerpen tersebut sehingga siswa mendapatkan pengalaman yang bernilai positif dan menambah wawasan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui gambaran yang ada di lapangan mengenai penerapan strategi pembelajaran induktif model Taba dalam pembelajaran sastra di kelas XI Program Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. “Bagaimanakah peningkatan proses dan hasil pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran indukti model Taba pada siswa kelas XI Program Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan proses dan hasil pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba pada siswa kelas XI Program Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung.


(18)

1.4Manfaat Penelitian

Melaksanakan penelitian apa pun, termasuk penelitian tindakan kelas, seeorang peneliti mempunyai tujuan agar hasil penelitiannya dapat bermanfaat untuk orang banyak khususnya di dunia pendidikan yang ada di lingkungan terdekatnya, yaitu sekolah. Hal ini juga dialami oleh peneliti. Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dalam penelitian ini sebagai berikut.

1) Strategi pembelajaran induktif dapat dipakai sebagai alternatif dalam mengembangkan keterampilan membaca khususnya dalam apresiasi sastra. 2) Memberi sumbangan pada kajian pendidikan khususnya dalam desain

pembelajaran pada penerapan strategi pembelajaran induktif model Taba untuk meningkatkan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita cerpen. 2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis meliputi tiga komponen sebagai berikut. a. Bagi Guru

1) Guru diharapkan dapat dengan baik menguasai pembelajaran dengan strategi induktif model Taba.

2) Guru juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya yang berpusat pada siswa karena strategi pembelajaran indutif model Taba ini memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses tanya jawab.


(19)

3) Memotivasi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menyususn RPP yang menerapkan pembelajaran dengan strategi induktif model Taba.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan serta memperkaya penambahan ilmu terhadap aspek moral di dalam sebuah cerpen.

c. Manfaat untuk Sekolah

1) Menambah wawasan bagi guru mata pelajaran lain tentang penggunaan strategi induktif model Taba.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1Konsep Dasar Prosa Fiksi

Prosa fiksi biasa juga disebut karangan narasi sugestif atau imajinatif. Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan

pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2011: 66). Sebagai salah satu genre sastra, prosa fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun prosa fiksi itu sendiri sehingga menjadi wacana. Pada sisi lain, dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkan lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan (3) lewat lakon atau action.

2.1.1 Pengertian Cerpen

Prosa fiksi dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan dari beberapa bentuk itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Namun, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk prosa fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu memiliki perbedaan.

Prosa fiksi yang termasuk karya sastra baru adalah novel dan cerpen. Kedua karya sastra tersebut memiliki persamaan, yaitu bisa berupa karangan fiksi (rekaan atau


(21)

imajinasi pengarang) dan nonfiksi (kisah yang ditulis atau diambil pengarang dari kehidupan nyata).

Cerita pendek atau yang lebih dikenal dengan cerpen dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa pendek. Cerpen yang merupakan salah satu bentuk prosa fiksi yang di dalamnya merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan.

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa yang pendek. Cerpen cenderung padat dan langsung pada tujuannya

dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang. Ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk , yakni kira-kira kurang dari satu jam. Ukuran pendek juga dapat didasarkan keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya (Suyanto, 2012: 46). Cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa pendek yang selesai dibaca dalam sekali duduk dan berdasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya serta memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

2.1.2 Unsur-unsur Intrinsik Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur pembangun dari dalam karya sastra itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan dari unsur-unsur intrinsik tersebut.

2.1.2.1Tema

Istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti „tempat meletakkan suatu perangkat‟ (Aminuddin, 2011: 91). Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam


(22)

memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Penulis melukiskan watak para tokoh dalam karyanya dengan dasar tersebut. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tema merupakan hal penting dalam seluruh cerita (Tarigan, 2011:125). Walaupun pengarang tidak menjelaskan apa tema ceritanya secara eksplisit, hal itu harus dirasakan dan disimpulkan oleh para pembaca setelah selesai membacanya.

Tema juga dapat dikatakan sebagai dasar atau makna suatu cerita. Tema merupakan pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (Tarigan, 2011: 125). Dalam menentukan tema suatu cerita, kita harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan

pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal (Aminuddin, 2011: 92). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide, gagasan, atau pikiran keseluruhan dari sebuah cerita baik yang terungkap maupun yang tidak terungkap. Dalam upaya pemahaman tema, Aminuddin (2011: 92) memberikan beberapa langkah sebagai berikut.

1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca

2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.

3) Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.


(23)

5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkan. 7) Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak

dari satuan pokok pikiran yang ditampilkannya.

8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkan dalam satu dua yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan

pengarangnya.

Unsur lain yang diperoleh pembaca sewaktu berusaha memahami tema seperti telah disinggung dalam delapan langkah tersebut adalah unsur pokok pikiran, pokok persoalan, atau biasa juga diistilahkan dengan subject matter.

2.1.2.2Latar dan Pelataran

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar merupakan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Suyanto, 2012: 50).

Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi (1) latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dan lain-lain; (2) latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa cerita, apakah berupa penggalan, penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dan lain-lain; dan (3) latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.


(24)

2.1.2.3Gaya Bahasa (Style)

Gaya bahasa (style) adalah cara mengungkapkan bahasa seorang pengarang untuk mencapai efek estetis dan kekuatan daya ungkap. Untuk mencapai hal tersebut pengarang memberdayakan unsur-unsur style tersebut, yaitu dengan diksi (pemilihan kata), pencitraan (penggambaran sesuatu yang seolah-olah dapat diindera pembaca), majas, dan gaya retoris (Suyanto, 2012: 51). Maksud dari unsur-unsur style tersebut adalah sebagai berikut.

1) Diksi

Dalam penggunaan unsur diksi, pengarang melakukan pemilihan kata (diksi). Kata-kata betul-betul dipilih agar sesuai dengan apa yang ingin diungkapkan dan ekspresi yang ingin dihasilkan. Kata-kata yang dipilih bias dari kosa kata sehari-hari atau formal, dari bahasa Indonesia atau bahasa lain (bahasa daerah), bahasa asing, dan lain-lain), bermakna denotasi (memiliki arti lugas, sebenarnya, atau arti kamus) atau konotasi (memiliki arti tambahan, yakni arti yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi (gambaran, ingatan, dari perasaan) dari kata tersebut.

2) Citra/imaji

Citra/imaji adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan pengarang sehingga apa yang

digambarkan itu dapat ditangkap oleh panca indera kita. Melalui

pencitraan/pengimajian apa yang digambarkan seolah-olah dapat dilihat (citraan penglihatan), didengar (citraan pendengaran), dicium (citraan penciuman), dirasa (citraan taktil) diraba (citraan perabaan), dicecap (citraan pencecap) dan lain-lain.


(25)

3) Gaya bahasa adalah teknik pemilihan unkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan efek yang diharapkan. Teknik pemilihan ungkapan ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan permajasan dan gaya retois (Suyanto, 2012: 52).

2.1.2.4Alur dan Pengaluran

Alur adalah rangkaian peristiwa yang saling berkaitan karena hubungan sebab akibat (Suyanto (2012: 49). Cara menganalis alur adalah dengan mencari dan mengurutkan peristiwa demi peristiwa yang memiliki hubungan kausalitas saja. Alur atau plot juga dapat diartikan sebagai struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama (Tarigan, 2011: 126).

Alur haruslah bergerak dari suatu permulaan (beginning), melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending), yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai

eksposisi, komplikasi, dan resolusi (Tarigan, 2011 :127). a. Eksposisi

Dalam eksposisi diperkenalkan para tokoh pelaku kepada pembaca, mencerminkan situasi para tokoh, merencanakan konflik yang akan terjadi, dan memberi suatu indikasi mengenai resolusi. Dengan kata lain eksposisi adalah proses penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para pembaca.

b. Komplikasi

Bagian tengah atau komplikasi dalam suatu fiksi bertugas mengembangkan konflik. Tokoh utama menemui gangguan-gangguan, halangan-halangan yang


(26)

memisahkan serta menjauhkan dia dari tujuannya. Dengan kata lain komplikasi adalah antarlakon antara tokoh dan kejadian yang membangun atau menumbuhkan suatu ketegangan serta mengembangkan suatu masalah yang muncul dari suatu orisinal yang disajikan dalam cerita.

c. Resolusi

Resolusi adalah bagian akhir suatu fiksi. Di sinilah sang pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi. d. Klimaks

Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut turning point atau klimaks. Justru pada klimaks inilah biasanya terdapat suatu perubahan penting atau cricial shift dalam nasib, sukses atau tidaknya tokoh utama.dengan kata lain klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai intensifikasi yang tertinggi. Pengaluran adalah urutan teks (Suyanto (2012: 50). Dengan menganalis urutan teks ini, pembaca akan tahu bagaimana pengarang menyajikan cerita itu, apakah dengan teknik linier (penceritaan peristiwa-peristiwa yang berjalan saat itu), teknik ingatan (flash back) atau bayangan (menceritakan kejadian yang belum terjadi).

2.1.2.5Sudut Pandang/Point of View

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2011: 90). Sudut pandang atau point of view meliputi (1)

narrator omniscient, (2) narrator observer, (3) narrator observer omniscient dan (4)


(27)

(1) Narrator omniscient adalah narator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena pelaku juga adalah pengisah, akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisikal maupun

psikologis.

(2) Narrator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah para pelaku.

(3) Narrator observer omniscient adalah bila pengarang sebagai pencipta dari pelaku selain berfungsi sebagai pengamat dari pelaku, pengarang juga sebagai

dalang. Dalam hal ini pengarang bukan hanya tahu tentang ciri-ciri fisikal dan psikologi pelaku secara menyeluruh, tetapi juga sewajarnya tahu tentang nasib yang nantinya dialami para pelaku.

(4) Narrator the third person omniscient adalah bila pengarang sebagai pelaku ketiga yang tidak terlibat secara langsung dalam keseluruhan satuan dan jalinan cerita, pengarang dalam hal ini masih merupakan juga penutur serba tahu tentang ciri-ciri fisikal, psikologis, maupun kemungkinan kadar nasib yang nanti dialami pelaku.

2.1.2.6 Tokoh dan Penokohan

Di dalam mengkaji unsur-unsur ini ada beberapa istilah yang mesti dipahami, yakni istilah tokoh, watak/karakter, dan penokohan. Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh tidak selalu berwujud manusia, tetapi bergantung pada siapa atau apa yang

diceritakannya. Watak/karakter adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Adapun penokohan atau perwatakan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan


(28)

watak-wataknya dalam suatu cerita. Ada beberapa metode atau cara yang digunakan pengarang dalam menampilkan tokoh beserta wataknya dalam cerita. Oleh karena itu, seorang penelaah harus mengetahui metode/teknik-teknik penelaahannya agar jeli dalam menangkap maksudnya (Suyanto, 2012: 46).

Ada beberapa metode/teknik/cara yang digunakan pengarang dalam menampilkan watak tokoh-tokoh cerita dalam suatu cerita (Suyanto, 2012: 47), yaitu

1) Metode telling, yaitu suatu pemaparan watak tokoh dengan mengandalkan eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Melalui metode ini

keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh melalui penuturan langsung oleh pengarang.

2) Metode showing, yaitu penggambaran karekteristik tokoh dengan cara tidak langsung (tanpa ada komentar atau penuturan langsung oleh pengarang), tetapi dengan cara disajikan antara lain melalui dialog dan tingkah tokoh.

Dalam kebanyakan leteratur-literatur sastra, istilah kedua metode ini dikenal dengan istilah teknik analitik yang sama artinya dengan metode telling, dan teknik dramatik, yang maknanya sama dengan istilah metode showing.

Tokoh yang terdapat dalam suatu cerita mempunyai peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang mempunyai peranan pimpinan dalam sebuah cerita disebut dengan tokoh utama (Aminuddin, 2011: 79). Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan, dapat diketahui dengan cara melihat keseringan permunculannya dalam suatu cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala


(29)

kadarnya atau seperlunya saja. Tiap tokoh dalam cerita juga memiliki watak-watak tertentu. Protagonis adalah tokoh yang memiliki watak baik, sehingga disenangi oleh pembaca, sedangkan antagonis adalah tokoh yang berwatak jahat atau kurang baik, tidak disenangi oleh pembaca, dan biasanya watak antagonis tidak sesuai dengan apa yang diidamkan pembaca.

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku (Aminuddin, 2011: 80). Dalam upaya memahami watak pelaku dapat ditelusuri pembaca melalui:

(1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;

(2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian;

(3) menunjukan bagaimana perilakunya;

(4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri; (5) memahami bagaimana jalan pikirannya;

(6) melihat bagamana tokoh lain berbicara tentangnya; (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya;

(8) melihat tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya; dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.

Selain metode/teknik di atas, hal yang tidak boleh diabaikan adalah teknik-teknik estetika melalui gaya-gaya (style) tertentu yang digunakan pengarang dalam menampilkan karakter tokoh, misalnya melalui gaya simile, metafor, personifikasi, dan simbol (Suyanto, 2012: 48). Berikut adalah contoh-contoh perwatakan melalui gaya (style) di atas.


(30)

(1) Contoh perwatakan melalui simile. Seperti diketahui simile adalah

perbandingan langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan: seperti, bagai, bagaikan, laksana, mirip, dan sebagainya. Contoh penggunaan simile sebagai teknik karakterisasi yang dipergunakan pengarang, yakni dari cerita karya Nathaniel Hawthorne, “The Minister‟s Black Veil”. Dalam karya tersebut ditemukan penggambaran watak tokoh petugas penjara yang bagaikan bayangan hitam dan perwatakan tokoh Roger Chillingworth yang seperti pemburu jahat yang menghancurkan perasaan Hester selaku istrinya sendiri. Tokoh Roger juga digambarkan seperti

tokoh jahat yang seakan-akan meneror (Suyanto, 2012: 48).

(2) Contoh perwatakan melalui metafor. Metafor adalah perbandingan yang bersifat tidak langsung/implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan kedua hanya bersifat sugesti, tidak ada kata-kata petunjuk perbandingan eksplisit. Contoh perwatakan dengan gaya metafor diambil dari karya Hawthorne di atas (Suyanto, 2012: 48). Dalam karya tersebut

digambarkan watak tokoh Pearl yang mendambakan ayah yang baik—ayah yang diturunkan dari langit. Tokoh Pearl juga sangat nakal dingambarkan dengan metafor peri yang nakal.

(3) Contoh perwatakan melalui personifikasi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang bersifat memberisifat-sifat benda mati dengan sifat seperti dimiliki manusia. Contoh perwatakan dengan gaya personifikasi diketengahkan Hawthorne sebagai berikut: bunga mawar yang legendaris karena

ketabahannya menjadi personifikasi bagi tokoh penghuni penjara (Suyanto, 2012: 48).


(31)

(4) Contoh perwatakan melalui simbol. Simbol adalah salah satu jenis tanda yaitu sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi, kemiripan, dan lain-lain. Di dalam novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne ditemukan kata rosebush yang berarti rumpun kembang mawar. Mawar adalah bunga indah berwarna cerah yang selalu menjadi lambang perempuan cantik. Hawthorne, dalam novelnya tersebut kerap kali menggunakan istilah ini untuk mengacu pada tokoh Hester Prynne. Jadi rosebush di sini adalah simbol Hester yang wataknya berdasarkan

perkembangan tersebut adalah seorang wanita cantik yang selalu dikenang dalam sejarah (Suyanto, 2012: 49).

Selanjutnya tokoh dapat dibedakan menjadi (1) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Dilihat dari segi tingkat pentingnya (peran) tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa

mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

(2) Tokoh protagonis dan antagonis

Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang

mendapat empati pembaca. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.


(32)

Dari kriteria berkembang/tidaknya perwatakan, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sifat dan watak yang tetap, tak berkembang sejak awal hingga akhir cerita, adapun tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan plot yang diceritakan (Suyanto, 2012: 49).

2.2 Aspek Moral dalam Karya Sastra

Aspek adalah pemunculan atau penginterpretasian gagasan, masalah, situasi, dan sebagainya sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Depdiknas, 2008: 97).

Moral berasal dari kata “mores” yang berarti dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan. Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah dirumuskan oleh sebuah masyarakat bagi menentukan kebaikan atau keburukan. Karena itu, moral merupakan suatu norma tentang kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan atau kehidupan sebuah masyarakat (Semi, 1993:71). Lebih lanjut dijelaskan bahwa moral merupakan kaidah, norma, atau

pranata yang mengatur perilaku setiap individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat umumnya. Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek moral adalah segi pandangan terhadap sesuatu hal atau peristiwa yang berhubungan dengan kaidah, norma, atau pranata yang mengatur perilaku setiap individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat umumnya, atau aspek moral bisa juga sebagai segi pandangan terhadap ajaran-ajaran, wejangan-wejangan,


(33)

khotbah-khotbah, patokan- patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas (Suseno, 1987:19). Menurut Suseno, kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam

kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Terdapat tujuh sikap kepribadian moral yang kuat, yang harus dimiliki oleh setiap orang. Ketujuh sikap kepribadian moral tersebut antara lain:

(1) Kejujuran, yaitu bersikap terbuka dan fair (wajar).

(2) Nilai-nilai otentik, yaitu menjadi diri sendiri dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya.

(3) Kesediaan untuk bertanggung jawab, yaitu kesediaan untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sendiri.

(4) Kemandirian moral, yaitu mempunyai pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan hati nurani sendiri, tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral dalam lingkungannya sendiri.

(5) Keberanian moral, yaitu menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan, atau


(34)

kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik.

(6) Kerendahan hati, yaitu kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataan.

(7) Realistik dan kritis, yaitu tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada, supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia.

Dengan memperhatikan ketujuh sikap kepribadian moral tersebut, maka aspek moral tokoh dalam novel dapat dianalisis dan dapat diketahui bagaimana moral tokoh dalam novel tersebut.

2.3 Konsep Dasar Strategi Pembelajaran 2.3.1Pengertian Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran merupakan kegiatan atau pemakaian teknik yang dilakukan oleh pengajar mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai ke tahap evaluasi, serta program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu pengajaran (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 9).

Strategi belajar dapat digolongkan atas beberapa cara. Pertama, strategi belajar digolongkan atas strategi utama dan strategi pendukung, atau strategi langsung dan strategi tidak langsung. Strategi utama dipakai secara langsung dalam mencerna materi pembelajaran, sedangkan strategi pendukung dipakai untuk mengembangkan sikap belajar dan membantu pembelajar dalam mengatasi gangguan, kelelahan, frustrasi, dan sebagainya.


(35)

Kedua, strategi belajar dibedakan atas strategi kognitif dan strategi metakognitif. Strategi kognitif dipakai untuk mengelola materi pembelajaran agar dapat diingat untuk jangka waktu lama. Sedangkan strategi metakognitif adalah langkah yang dipakai untuk mempertimbangkan proses kognitif, seperti monitoring diri sendiri, dan penguatan diri sendiri.

Ketiga, strategi belajar dapat juga digolongkan atas strategi sintaksis dan strategi semantik. Strategi sintaksis menggunakan kata fungsi, awalan, akhiran, dan

penggolongan kata. Sedangkan strategi semantik berhubungan dengan objek nyata, situasi, dan kejadian (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 10).

2.3.2 Jenis Strategi pembelajaran

Dalam interaksi kegiatan pembelajaran di kelas, baik pengajar maupun peserta didik mempunyai peranan yang sama penting. Perbedaannya terletak pada fungsi dan peranannya masing-masing. Pengajar tentu saja harus mempunyai

kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan peserta didiknya, yang akan digunakan untuk membelajarkan peserta didik. Untuk itu, peranan pengajar dalam kegiatan

pembelajaran ialah berusaha secara terus menerus untuk membantu peserta didik membangun potensi-potensi yang dimilikinya. Pengajar harus memilih dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam memilih dan menentukan strategi pembelajaran diperlukan pendekatan tertentu, pendekatan merupakan sudut pandang atau titik tolak yang memahami seluruh persoalan dalam proses pembelajaran. Sudut pandang menggambarkan cara berpikir dan sikap seorang pengajar dalam menjalankan atau melaksanakan


(36)

akan diajarkan dan bagaimana diajarkan, tetapi juga tentang siapa yang menerima pelajaran, apa makna belajar bagi peserta didik, dan kemampuan apa yang ada pada peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Pengajar harus memilih strategi pembelajaran yang tepat agar peserta didik dapat belajar secara efektif dan efisien, serta mencapai tujuan yang diharapkan (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011: 25). Strategi pembelajaran berdasarkan cara pengolahan atau memproses pesan atau materi dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu strategi pembelajaran deduksi dan strategi pembelajaran induktif. Berikut ini akan dijelaskan sekilas tentang pembelajaran deduktif dan selanjutnya akan lebih terfokus pada strategi pembelajaran induktif sesuai dengan strategi yang digunakan dalam penelitian ini.

2.3.2.1Strategi Pembelajaran Deduktif

Dalam strategi pembelajaran deduktif pesan diolah mulai dari hal umum menuju kepada hal yang khusus, dari hal-hal yang abstrak kepada hal-hal yang nyata, dari konsep-konsep yang abstrak kepada contoh-contoh yang konkret, dari sebuah premis menuju ke simpulan yang logis. Teknik penyajian pelajaran paralel dengan strategi pembelajaran deduktif adalah teknik ceramah.

2.3.2.2Strategi Pembelajaran Induktif

Strategi pembelajaran induktif adalah pengolahan pesan yang dimulai dari hal-hal yang khusus, dari peristiwa-peristiwa yang bersifat individual menuju kepada konsep yang bersifat umum. Teknik penyajian yang paralel dengan teknik ini adalah teknik penemuan (discovery), teknik satuan pengajaran (unit teaching), teknik penyajian secara kasus, dan teknik nondirektif.


(37)

Model pembelajaran induktif berisi sejumlah strategi yang setiap strategi memiliki tahapan-tahapan tertentu. Setiap proses berada pada tahapan-tahapan yang berbeda berdasarkan kaitan antara proses dan tahapannya tersebut. Tipe proses yang

digunakan bergantung pada pertanyaan guru. Dalam pembelajaran model induktif ini, guru harus mampu menentukan tugas kognitif tertentu pada saat yang tepat. Melalui proses bertanya, guru mengembangkan fungsi-fungsi kognitif. Dengan demikian, fungsi utama guru dalam model mengajar seperti ini memerlukan sejumlah data mentah yang disusun oleh siswa, sedangkan tugas guru membantu dalam mengolah data ke dalam susunan yang lebih sistematis. Cara-cara yang dapat digunakan oleh guru berkenaan dengan peranannya antara lain bertanya, memberi komentar atau tanggapan, berdiskusi atau mendengarkan.

2.3.3 Strategi Pembelajaran Induktif Model Taba

Dalam strategi belajar mengajar induktif, pesan atau materi pelajaran diolah mulai dari yang khusus, bagian atau atribut, menuju yang umum yaitu generalisasi atau rumusan konsep atau aturan. Model pembelajaran induktif dipelopori oleh Taba, model yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Model pembelajaran ini termasuk dalam the infomation processing family of model (Joyce dkk, 2012:127). Model pembelajaran berpikir induktif merupakan karya besar Hilda Taba seorang tokoh pengembangan kurikulum yang lahir pada 7 Desember 1902 di Kooraste, Estonia (Rusia). Dia adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Ayahnya Robert Taba, seorang guru di sekolah dasarnya. Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Voru for Girls pada tahun 1921, ia yang semula ingin menjadi guru sekolah dasar justru masuk Universitas Tartu dan mulai belajar ekonomi. Namun, akhirnya ia mengubah studi


(38)

utamanya menjadi sejarah dan pendidikan sebelum lulus dari Universitas of Tartu pada tahun 1926.

Hilda kemudian pindah ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan gelar masternya di Bryn Mawr College di Bryn Mawr, Pennsylvania. Selama studi pascasarjananya ia mulai memperhatikan sastra pendidikan Amerika, yang memperkenalkannya kepada karya-karya Bode dan filsafat pendidikan progresif. Setelah menyelesaikan

pascasarjananya dalam satu tahun, Taba melanjutkan ke Universita Columbia pada tahun 1927 untuk studi doktoral di filsafat pendidikan. Setelah menyelesaikan disertasinya pada tahun 1931, Taba kembali ke Estonia dan diangkat menjadi guru besar di Tartu. Karena tidak terpilih untuk jabatan profesionalship, ia memutuskan untuk kembali ke Amerika Serikat. Setelah kembali, ia diangkat menjadi asisten profesor pendidikan di Ohio State dan kemudian University of Chicago sebelum menjadi profesor penuh pada tahun 1951. Ia melanjutkan pendidikan di San Fransisco State University sampai kematiannya pada 1967.

Hilda Taba mengembangkan model atas dasar data induktif. Sebagai model pembelajaran secara induktif, model Taba terdiri atas langkah-langkah terstuktur. Guru menjadi motor penggerak melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada siswa secara sambung menyambung. Tujuan utama model ini adalah untuk

pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa di samping penguasaan secara tuntas topik yang dibicarakan. Model Taba berorientasi pada pendekatan proses.

Strategi pembelajaran induktif merupakan pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis. Pada pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi


(39)

tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tadi.

Strategi pembelajaran induktif dirancang berlandaskan teori konstruktivisme dalam belajar. Pembelajaran ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya

(questioning) dalam penerapannya. Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah guru akan membimbing siswa membangun pemahaman terhadap materi pelajaran dengan cara berpikir dan membangun ide. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, sangat bergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan

pembelajaran, yaitu guru harus menjadi pembimbing untuk membuat siswa berpikir. Pada pendekatan induktif dimulai dengan memberikan bermacam-macam contoh. Dari contoh-contoh tersebut siswa mengerti keteraturan dan kemudian mengambil keputusan yang bersifat umum. Guru biasanya menciptakan suasana aktif belajar dengan mendorong siswa mengadakan pengamatan dan memfokuskan pengamatan melalui pertanyaan-pertanyaan. Pada pendekatan induktif ini seorang siswa harus lebih aktif. Biasanya pembelajaran dilakukan dengan cara eksperimen, diskusi, dan demonstrasi.

Struktur sosial dalam pembelajaran menjadi ciri lingkungan kelas yang sangat dibutuhkan untuk belajar melalui strategi pembelajaran induktif. Pembelajaran induktif mensyaratkan sebuah lingkungan belajar yang di dalamnya siswa merasa bebas dan terlepas dari risiko takut dan malu saat memberikan pendapat, bertanya, membuat konklusi, dan jawaban. Mereka harus bebas dari kritik tajam yang dapat menjatuhkan semangat belajar.


(40)

Model mengajar ini dikembangkan dengan asumsi bahwa dalam mengajar, situasi kelas merupakan kerjasama dari sejumlah kegiatan siswa. Model pembelajaran seperti ini dinilai dapat digunakan sebagai pengenalan pengalaman baru, tentunya dengan pola yang sistematis dan logis.

Hilda Taba juga mengemukakan bahwa berpikir induktif adalah bawaan dan sah menurut hukum. Ini adalah revolusi dalam bekerja, sebab sekolah-sekolah

memutuskan untuk mengajar dengan cara yang tidak patuh pada hukum, meruntuhkan kemampuan yang dibawa sejak lahir.

Ada tiga tahapan dalam mengembangkan pembelajaran induktif yakni pembentukan konsep, interpretasi data dan aplikasi prinsip (Ahmadi, 1990: 94). Rincian masing-masing tahap dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Tahapan Model Pembelajaran Induktif

Tahapan Kegiatan Jenis Pertanyaan

Pembentukan konsep

1. Mengidentifikasi dan

menyebutkan satu demi satu data yang relevan pada suatu topik atau masalah

2. Mengelompokkan item-item ke dalam kategori

3. Mengkategorikan dan memberi nama kategori tersebut

1. Apa yang Anda lihat, Anda dengar, Anda catat?

2. Mana yang dapat dikelompokkan? Berdasarkan apa? 3. Bagaimana Anda

menyebutkan kelompok ini?

Interpretasi data

1. Mengidentifikasi butir-butir informasi.

2. Menjelaskan hubungan butir-butir dan sebab

1. Apa yang Anda ketahui, Anda lihat, Anda

dapatkan? 2. Apa artinya ini?


(41)

akibat.

3. Membuat simpulan dan menemukan implikasinya.

Bayangkan dalam benak Anda, apa yang terjadi? 3. Apa yang dapat Anda

simpulkan? Aplikasi

prinsip

1. Menganalis masalah baru, menjelaskan fenomena, menyusun hipotesis. 2. Menjelaskan dan atau

mendukung perkiraan hipotesis.

3. Menguji prediksi.

1. Apa yang akan terjadi bila…?

2. Mengapa ada mengira itu akan terjadi? 3. Apa yang

memungkinkan ini umumnya benar, atau mungkin benar?

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran induktif adalah suatu kegiatan belajar-mengajar, yang membimbing siswa menemukan simpulan sebagai penerapan hasil belajar melalui tahapan-tahapan di atas. Model pembelajaran induktif ini didesain untuk meningkatkan kemampuan berpikir.

Model ini dikembangkan atas dasar beberapa postulat sebagai berikut.

a. Kemampuan berpikir dapat diajarkan. Dengan demikian mengajar dapat membantu siswa untuk mengembangkan kecakapan untuk berpikirnya.

b. Berpikir merupakan suatu transaksi aktif antara individu dengan data. Artinya, dalam setting kelas, bahan-bahan ajar merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan operasi kognitif tertentu. Dalam setting tersebut, siswa belajar mengorganisasikan fakta ke dalam suatu sistem konsep, yaitu (a) saling menghubungkan data yang diperoleh satu sama lain serta membuat simpulan berdasarkan hubungan-hubungan tersebut, (b) menarik simpulan berdasarkan


(42)

fakta-fakta yang telah diketahuinya dalam rangka membangun hipotesis, dan (c) memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu. Guru, dalam hal ini, dapat membantu proses internalisasi dan konseptualisasi berdasarkan informasi tersebut;

c. Proses berpikir merupakan suatu urutan tahapan yang beraturan (lawful). Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir tertentu, prasyarat tertentu harus dikuasai terlebih dahulu, dan urutan tahapan ini tidak bisa dibalik. Oleh karena itu, konsep tahapan beraturan ini memerlukan strategi mengajar tertentu agar dapat mengendalikan tahapan-tahapan tersebut. Tahap pertama strategi ini memerlukan siswa untuk memprediksi konsekuensi-konsekuensi, menjelaskan data yang tidak familiar atau mengadakan hipotesis. Tahap kedua adalah usaha para siswa untuk menjelaskan hipotesis yang mendukung

prediksinya. Tahap ketiga para siswa memverifikasi prediksi-prediksi atau mengidentifikasi kondisi-kondisi.

2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Strategi Pembelajaran Induktif Model Taba

Beberapa hal yang kontras tetapi perlu diketahui adalah apa pun jenis strategi yang digunakan dalam pembelajaran tentunya akan memiliki kelebihan dan kekukarangan ketika diimplementasikan pada proses pembelajaran yang berlangsung. Restiana (2009) menyatakan kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran induktif ini sebagai berikut.

A. Kelebihan strategi pembelajaran induktif.

1. Pada model pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik


(43)

yang akan dipelajari siswa sehingga siswa mempunyai parameter dalam pencapaian tujuan pembelajaran.

2. Ketika siswa telah memiliki gambaran umum tentang materi pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari

ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tersebut sehingga pemerataan pemahaman siswa lebih luas dengan adanya pertanyaan-pertanyaan antara siswa dan guru.

3. Model pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam proses belajar karena proses tanya jawab tersebut.

B. Kelemahan strategi pembelajaran induktif.

1. Model ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya (questioning) sehingga kesuksesan pembelajaran hamper sepenuhnya ditentukan

kemampuan guru dalam memberikan ilustrasi-ilustrasi.

2. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, sangat bergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran yang akan membuat siswa berpikir.

3. Model pembelajaran ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal, guru harus bias menciptakan kondisi dan situasi belajar yang kondusif agar siswa merasa aman dan tak malu/takut mengeluarkan pendapatnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, tujuan pembelajaran tidak akan tercapai secara sempurna.

4. Saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran induktif, guru harus telah menyiapkan perangkat-perangkat yang membuat siswa beraktivitas dan mengobarkan semangat siswa untuk melakukan


(44)

observasi terhadap ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini kemandirian siswa tidak dapat berkembang optimal.

5. Guru harus menjaga siswa agar perhatian mereka tetap pada tugas belajar yang diberikan, sehingga peran guru sangat vital dalam mengontrol proses belajar siswa.

6. Kesuksesan proses pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran induktif bergantung pada contoh-contoh atau ilustrasi yang digunakan oleh guru.

7. Pembelajaran tidak dapat berjalan bila guru dan muridnya tidak suka membaca, sehingga tidak mempunyai pilihan dalam proses induktif.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research (CAR), dengan ruang lingkup pembelajaran di dalam kelas yang dilaksanakan oleh guru dan siswa. PTK adalah bentuk kajian yang bersifat reflektif, yang dilakukan oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakannya dalam

melaksanakan dan memperdalam terhadap kondisi dalam praktik pembelajaran. PTK merupakan studi yang dilakukan untuk memperbaiki diri sendiri, pengalaman kerja sendiri, meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa pada kemampuan dasar yang dianggap guru belum berhasil, dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan dengan sikap mawas diri. PTK juga dapat dikatakan sebagai bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat

memperbaiki atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara profesional (Muslich, 2011: 9).

Hakikat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri atas tiga kata, yaitu penelitian, tindakan, dan kelas (Arikunto, 2010: 130). Penelitian diartikan sebagai kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara, aturan, dan metodologi tertentu untuk menemukan data akurat tentang hal-hal yang dapat meningkatkan mutu objek yang diamati. Tindakan, merupakan gerakan yang dilakukan secara sengaja dan terencana dengan tujuan tertentu. Sementara kelas, adalah tempat yang terdapat


(46)

sekelompok peserta didik yang dalam waktu bersamaan menerima pelajaran dari guru yang sama.

Ahli yang pertama kali menciptakan model penelitian tindakan kelas adalah Kurt Lewin, tetapi sampai sekarang yang banyak dikenal adalah Kemmis dan Mc Taggart (1988).

Dalam penelitian ini, penelitian tindakan kelas akan dilakukan sebagaimana alur berikut ini.


(47)

Secara utuh, tindakan yang diterapkan dalam penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut.

1) Menyusun rancangan tindakan dan dikenal dengan perencanaan, yang

menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di mana, oleh siapa, dan bagaimana Sampai pada

indikator keberhasilan

SIKLUS III

TINDAKAN

ANALISIS DAN REFLEKSI

OBSERVASI DAN EVALUASI

SIKLUS II

TINDAKAN

ANALISIS DAN REFLEKSI

SIKLUS I

TINDAKAN

OBSERVASI DAN EVALUASI

OBSERVASI DAN EVALUASI PERENCANAAN

PERENCANAAN PERENCANAAN

REKOMENDASI REKOMENDASI

Gambar 3.1 Alur Siklus Tindakan Penelitian (Kemmis,S.& MC.Taggart.R,1990)


(48)

tindakan tersebut dilakukan. Penelitian tindakan yang ideal sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Cara ini dikatakan ideal karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang dilakukan.

Dalam tahapan rancangan, peneliti menentukan titik-titik fokus peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk diamati, kemudian membuat sebuah instrumen pengamatan untuk membantu peneliti merekam fakta yang terjadi selama tindakan berlangsung. Karena guru peneliti adalah pihak yang paling berkepentingan untuk meningkatkan kinerja, maka pemilihan strategi pembelajaran disesuaikan dengan selera guru agar pelaksanaan tindakan dapat terjadi secara wajar.

2) Pelaksanaan tindakan, yaitu implementasi atau penerapan isi rancangan di dalam kancah, yaitu menggunakan tindakan kelas. Pada tahap ini guru peneliti harus ingat dan taat pada apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar. Tentu saja membuat modifikasi tetap diperbolehkan selama tidak mengubah prinsip.

3) Pengamatan/observasi, yaitu pelaksanaan pengamatan oleh pengamat. Sebetulnya sedikit kurang tepat kalau pengamatan ini dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan karena seharusnya pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama.

4) Refleksi, yaitu kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah terjadi. Refleksi dikenakan ketika guru peneliti sudah selesai melakukan tindakan kemudian bersama-sama dengan siswa mendiskusikan implementasi


(49)

rancangan tindakan. Inilah inti dari penelitian tindakan, yaitu ketika guru peneliti mengatakan kepada kolaborator tentang hal-hal yang dirasakan sudah berjalan baik atau bagian mana yang belum. Selain itu, akan sangat baik jika siswa yang dikenai tindakan mengemukakan pendapat tentang apa yang dialami, serta adanya kemungkinan usul penyempurnaan.

Apabila metode yang digunakan telah berhasil, dapat ditarik simpulan, akan tetapi apabila metode yang digunakan masih perlu perbaikan, akan dilakukan rencana selanjutnya, demikian terus secara berulang sampai benar-benar metode yang dipergunakan berhasil.

Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan berulang. Siklus inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama dari penelitian tindakan, yaitu bahwa penelitian tindakan harus dilaksanakan dalam bentuk siklus, bukan hanya satu kali intervensi.

Penelitian tindakan kelas ini bercirikan adanya perubahan yang secara terus menerus. Bila pembelajaran sastra melalui strategi pembelajaran induktif model Taba belum meningkatkan pemahaman siswa terhadap aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen, penulis akan melaksanakan tindakan selanjutnya sampai mencapai hasil yang diharapkan yaitu mencapai KKM. Dengan demikian, jumlah siklus tidak terkait dan tidak dapat ditentukan sampai siklus tertentu.

3.2Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013/2014 dengan jumlah siswa 40 orang yang terdiri dari siswa perempuan 24 orang dan siswa laki-laki 16 orang. Secara keseluruhan kelas yang ada


(50)

di MAN 1 Model Bandar Lampung ada 31 kelas, yaitu kelas XII terdiri dari 11 kelas dan kelas X dan XI terdiri dari masing-masing 10 kelas. Penelitian dilakukan pada siswa kelas XI Bahasa yang memang mempunyai mata pelajaran jurusan, yaitu Sastra Indonesia. Tidak seperti program lainnya, Program Bahasa hanya terdiri dari masing-masing satu kelas pada kelas XI dan XII-nya. Penelitian dilakukan pada siswa kelas Bahasa yang memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kelas XI lainnya, yaitu sebagai berikut.

1. Prestasi akademik khususnya aspek pemahaman atau mengapresiasi cerpen pada pelajaran Sastra Indonesia masih rendah nilai rata-ratanya, yaitu 67,21%. Hasil ini tidak sesuai jika dibandingkan dengan KKM yang telah ditetapkan untuk pelajaran Sastra Indonesia di MAN 1 Model Bandar Lampung, yaitu 74. 2. Kurangnya motivasi siswa untuk membaca karya sastra.

3. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran sastra kurang aktif, hanya

beberapa orang yang aktif. Sebagian siswa yang lainnya hanya mendengar dan mencatat pada saat pembelajaran berlangsung.

4. Dalam bidang nonakademik kelas XI Bahasa memiliki buletin kelas yang diberi nama Language Class Project atau disingkat LC-Pro yang merupakan cikal bakal dari buletin sekolah yang bernama BuleTeen.


(51)

3.3Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat dan waktu penelitian diuraikan sebagai berikut. 3.3.1 Tempat Penelitian

Tempat penelitian adalah di MAN 1 Model Bandar Lampung. Di madrasah inilah penulis mengajar sejak tahun 2000 — sekarang dengan alamat di Jalan Letkol. H. Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil pada tahun pelajaran 2013/2014 di MAN 1 Model Bandar Lampung. Pelaksanaan PTK dilaksanakan sesuai dengan jadwal jam pelajaran dan berlangsung sampai mencapai indikator yang sudah ditentukan.

Penelitian pada siklus I dilakanakan pada Senin, 2 September 2013 yang

membutuhkan waktu 4 jam pelajaran atau 180 menit dengan menggabungkan dua pertemuan yang seharusnya dilaksanakan dua kali dalam setiap pekannya. Namun, untuk pelaksanaan siklus II dan siklus III juga memerlukan waktu 3 jam pelajaran atau 135 menit dengan menggabungkan dua pertemuan yang seharusnya dilaksanakan dua kali dalam sepekannya. Siklus II dilaksanakan pada Senin, 16 September 2013 sedangkan siklus II dilaksanakan pada Senin, 30 September 2013.

3.4Prosedur Tindakan

Sanjaya (2009: 25) menyatakan bahwa pelaksanaan penetilitian tindakan kelas ini dibuat dalam bentuk siklus yang terdiri atas empat tahap, yaitu (a) perencanaan tindakan, (b) tahap pelaksanaan tindakan, (c) evaluasi dan observasi , dan (d) refleksi. Secara lebih rinci keempat tahap ini dijabarkan sebagai berikut.


(52)

3.4.1 Perencanaan Tindakan

Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap perencanaan ini adalah a) menyusun RPP sesuai dengan materi yang direncanakan;

b) menyusun lembar pengamatan untuk pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita cerpen melalui pembelajaran strategi induktif model Taba dan membuat lembar pengamatan aktiivitas siswa dan guru dalam kelas; c) membuat lembar instrument penilaian;

d) menyiapkan lembar wawancara dengan siswa.

3.4.2 Pelaksanaan Tindakan

Proses pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas pada jam pembelajaran Sastra Indonesia. Siswa yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung yang berjumlah 40 orang yang terdiri dari 24 siswa perempuan dan 16 siswa laki-laki. Penelitian ini dilakukan selama 4 X 45 menit atau 180 menit

3.4.3 Observasi

Observasi dilakukan bersama dalam tahap pelaksanaan tindakan, baik terhadap siswa maupun guru dengan menggunakan instrumen yang telah disediakan. Observasi dilakukan secara kolaborasi bersama teman sejawat dengan menggunakan lembar observasi yang telah disiapkan. Pengamatan difokuskan pada proses pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi

pembelajaran induktif model Taba pada siswa kelas XI Bahasa dan penilaian aktivitas guru sebagai peneliti oleh teman sejawat, terakhir peneliti dan kolaborator melihat dan


(53)

menilai aktivitas siswa selama dalam proses pembelajaran. Adapun lembar penilaian dan aktivitas siswa dalam peningkatan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba sebagai berikut. Tabel 2 Lembar Penilaian Tindakan Peningkatan Pemahaman Aspek

Moral Tokoh Utama Wanita dalam Cerpen Melalui Strategi Pembelajaran Induktif Model Taba

Pertanyaan Penelitian Aspek Pemahaman Rencana Tindakan 1. Bagaimanakah meningkatkan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba 1. Kejujuran 2. Nilai-nilai otentik

3. Kesediaan untuk bertanggung jawab 4. Kemandirian moral 5. Keberanian moral

6. Kerendahan hati 7. Realistik dan

kritis

Menggunakan strategi pembelajaran induktif model Taba dalam meningkatkan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen

Cinta Laki-laki Biasa. Para siswa membaca dan

menganalisis aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen Cinta Laki-laki Biasa.

Dalam kegiatan tersebut, peneliti membimbing siswa untuk membangun pemahaman terhadap materi pelajaran dengan cara berpikir dan membangun ide.

Terdapat tujuh sikap

kepribadian moral yang kuat, yang harus dimiliki oleh setiap orang.

Aspek moral yang harus dipahami dan dimiliki oleh siswa setelah membaca cerpen adalah

(1) Kejujuran, yaitu bersikap terbuka dan

fair (wajar).

(2) Nilai-nilai otentik, yaitu menjadi diri sendiri dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya. (3) Kesediaan untuk


(54)

bertanggung jawab, yaitu kesediaan untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya sendiri.

(4) Kemandirian moral, yaitu mempunyai pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengan hati nurani sendiri, tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral dalam lingkungannya sendiri. (5) Keberanian moral,

yaitu menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan, atau kesetiaan terhadap suara hati yang

menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik.

(6) Kerendahan hati, yaitu kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataan. (7) Realistik dan kritis,

yaitu tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada, supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia.

Selain aktivitas siswa, dalam proses pembelajaran ini juga dilihat aktivitas guru dari mulai perencanaan sampai menuangkan rencana dengan mengaktifkan siswa dalam


(55)

pembelajaran secara utuh. Di bawah ini merupakan lebar pengamatan aktivitas penilaian kinerja guru dalam proses pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba sebagai berikut.

Tabel 3 Lembar Pengamatan Aktivitas Kinerja Guru dalam Pemahaman aspek Moral Tokoh Utama Wanita dalam Cerpen melalui Srategi Pembelajaran Induktif Model Taba.

No INDIKATOR/ASPEK YANG DIAMATI

Hasil Penilaian Jumlah 1 2 3 4 5 Skor Skor

Maks I Prapembelajaran

1. Mempersiapkan siswa untuk belajar

0 5 2. Melakukan kegiatan apersepsi 0 5 II Kegiatan Inti Pembelajaran

A. Penguasaan materi pelajaran

3. Menunjukkan penguasaan materi pembelajaran

0 5 4. Mengaitkan materi dengan

pengetahuan lain yang relevan

0 5 5. Menyampaikan materi dengan

jelas, sesuai hierarki belajar dan karakteristik siswa

0 5

6. Mengaitkan materi dengan realitas kehidupan

0 5 B. Pendekatan/strategi pembelajaran

7. Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi (tujuan) yang akan dicapai dan karakteristik siswa


(56)

8. Melaksanakan pembelajaran secara runtut

0 5

9. Menguasai kelas 0 5

10.Melaksanakan pembelajaran yang bersifat kontekstual

0 5 11.Melaksanakan pembelajaran

yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif

0 5

12.Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan

0 5

C. Pemanfaatan sumber belajar/media pembelajaran 13.Menggunakan media secara

efektif

0 5 14.Menghasilkan pesan yang

menarik

0 5 15.Melibatkan siswa dalam

pemanfaatan media

0 5 D. Pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa

16.Menumbuhkan partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran

0 5 17.Menunjukkan sikap terbuka

terhadap respon

0 5 18.Menumbuhkan kerjasama dan

antusiasme siswa dalam belajar

0 5 E. Penilaian proses dan hasil belajar

19.Memantau kemajuan belajar selama proses

0 5

20.Melakukan penilaian akhir 0 5

F. Penggunaan bahasa

21.Menggunakan bahasa lisan dan tulis secara jelas, baik, dan benar


(57)

22.Menyampaikan pesan dengan gaya yang sesuai

0 5 III Penutup

23.Melakukan evaluasi dan refleksi atau membuat rangkuman dengan melibatkan siswa

0 5

24.Melaksanakan tindak lanjut dengan memberikan arahan, kegiatan, atau tugas sebagai bagian remedial/pengayaan

0 5

Skor Total 0 120

Skor Konversi

Borang 2012 (Panduan Instrumen Penilaian Pelaksanaan Pembelajaran PLPG, 2012) 3.4.4 Refleksi

Setelah hasil data sudah didapat, peneliti melakukan diskusi dengan rekan sejawat yang melakukan kolaborasi hasil yang sudah didapatkan. Diskusi akan membahas keberhasilan, kegagalan, dan hambatan yang dijumpai pada saat melakukan tindakan. Data-data yang diperoleh, dipilih yang benar-benar dibutuhkan dan dapat dijadikan acuan dalam menyusun hasil penelitian.

Setelah mendapat gambaran tentang permasalahan dan hambatan yang dijumpai, langkah selajutnya peneliti menyusun kembali rencana kegiatan yang mengacu pada kekurangan yang belum didapat sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik apabila akan dilaksanakan pada siklus berikutnya.

3.5Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data berbentuk tes dan nontes, sedangkan alat pengumpul data disesuaikan dengan teknik yang dipakai. Peneliti


(58)

menumpulkan data berdasarkan temuan sebelum dan selama melakukan tindakan yang dipadukan dengan hasil rekaman pembelajaran peningkatan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba. Pengumpulan data diperoleh melalui langkah-langkah sebagai berikut.

3.5.1 Teknik Tes

Teknik tes merupakan cara dalam melaksanakan kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan hasil dengan berbagai hal yang harus dilaksanakan oleh siswa baik berbentuk ter tertulis maupun tes lisan. Teknik yang dipakai dalam penelitian keterampilan membaca ini adalah tes lisan. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan mengukur kemampuan siswa dalam memahami aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba. Alat pengumpul datanya berupa instrumen penilaian terhadap sikap kepribadian moral yang kuat yang harus dipahami oleh siswa.

3.5.2 Teknik Nontes

Teknik nontes ini dilakukan melalui observasi terhadap siswa selama proses pembelajaran dan wawancara dilakukan sesudah pembelajaran.

3.5.2.1Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan pada proses belajar berlangsung pada siswa kelas XI Bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung. Instrumen yang diamati oleh kolaborator adalah kinerja guru dalam penyampaian pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model


(59)

Taba, sedangkan pengamatan yang dilakukan oleh guru bersama kolaborator adalah mengamati aktivitas siswa serta perilaku siswa selama proses pembelajaran.

3.5.2.2Wawancara

Untuk mendapatkan data yang konkret, setiap akhir pembelajaran atau di luar jam pembelajaran peneliti bersama teman sejawat melakukan wawancara pada perwakilan dari setiap kelompok yang mendapat nilai tertinggi dan yang terendah. Wawancara ini peneliti lakukan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan selama dalam pembelajaran dan nilai-nilai positif dari pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen. Wawancara seperti ini bertujuan untuk mendapatkan informasi secara akurat tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran model Taba, serta kesulitan siswa dalam menerima pembelajaran.

3.5.2.3Dokumentasi

Rencana pelaksanaan pembelajaran, hasil tes lisan, aktivitas siswa, aktivitas guru, dan sebagainya didokumentasikan baik berupa portofopio, foto, dan video. Dokumentasi berupa rekaman dilakukan oleh teman sejawat lain yang mengambil gambar selama pelaksanaan pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba. Hal ini dilakukan sebagai data konkret.

3.6Teknik Analisis Data

Analisis data yang dinilai dalam peningkatan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran model Taba ada tujuh sikap kepribadian, yaitu (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan untuk


(60)

bertanggung jawab, (4) kemandirian moral, (5) keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistik dan kritis.

Pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen yang diamati dan dinilai peneliti dimulai dari survei awal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi awal pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen siswa sebelum tindakan. Setelah kondisi awal pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen siswa diketahui, peneliti merencakan tindakan kelas dalam bentuk siklus untuk memecahkan amasalah yang ditemui sebelum penelitian. Pada setiap akhir siklus dianalisis kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran dan hasil pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen siswa untuk dapat diketahui peningkatan pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen siswa melalui strategi pembelajaran induktif model Taba.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen sebagai berikut.

1. Siswa mempresentasikan pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba.

2. Peneliti mengamati presentasi pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen dari setiap kelompok dan hasil rekaman pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba.

3. Peneliti melakukan penelitian tentang tujuh sikap kepribadian yang ditemukan siswa dari cerpen yang dibaca, yaitu (1) kejujuran, (2) nilai-nilai otentik, (3) kesediaan untuk bertanggung jawab, (4) kemandirian moral, (5) keberanian moral, (6) kerendahan hati, dan (7) realistik dan kritis sesuai dengan tabel 5


(1)

hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur, dan ikhlas di dalam menjalani kehidupan.

Apabila siswa dapat menyebutkan 4 ≤ aspek kerendahan hati dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 5 dengan kategori baik sekali. Apabila siswa dapat menyebutkan 3 aspek kerendahan hati dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 4 dengan kategori baik. Apabila siswa dapat menyebutkan 2 aspek kerendahan hati dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 3 dengan kategori cukup. Apabila siswa dapat menyebutkan 1 aspek kerendahan hati dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 2 dengan kategori kurang. Apabila siswa sama sekali tidak dapat menyebutkan aspek kerendahan hati dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 1 dengan kategori sangat kurang.

7. Indikator Realistis dan Kritis

Realistis dan kritis sesunggugnya proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang rasional mengenai sesuatu yang dapat diyakini kebenarannya. Berpikir kritis dan realistis adalah kemampuan memecahkan masalah yang menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya. Kemampuan berpikir realistis dan kritis adalah kemampuan mengolah informasi yang akurat sehingga mencapai hasil yang dapat dipercaya, logis, dan bertanggung jawab.


(2)

wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 5 dengan kategori baik sekali. Apabila siswa dapat menyebutkan 3 aspek realistis dan kritis dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 4 dengan kategori baik. Apabila siswa dapat menyebutkan 2 aspek realistis dan kritis dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 3 dengan kategori cukup. Apabila siswa dapat menyebutkan 1 aspek realistis dan kritis dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 2 dengan kategori kurang. Apabila siswa sama sekali tidak dapat menyebutkan aspek realistis dan kritis dari tokoh utama wanita dalam cerpen maka siswa mendapatkan skor 1 dengan kategori sangat kurang.


(3)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI bahasa MAN 1 Model Bandar Lampung dapat disimpulkan sebagai beriikut.

1. Proses pembelajaran induktif model Taba dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen. Walaupun pada pembelajaran siklus I belum dapat meningkatkan pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen, yaitu terlihat dari aktivitas siswa masih banyak yang belum aktif, kurangnya pemberian ilustrasi oleh guru, dan kurang terampilnya guru dalam membimbing serta membangun cara

berpikir/menuangkan ide dalam pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen tetapi pada pembelajaran berikutnya dengan rencana

pembelajaran yang dibuat lebih detail memudahkan dalam penerapan.

Selanjutnya pada silklus II dan III proses pembelajaran dan hasil belajar sudah meningkat.

2. Pembelajaran melalui strategi induktif model Taba dengan pemberian ilustrasi/contoh yang lebih konkret dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil belajar dari sikap kepribadian moral pada siklus I diperoleh 71,64 dengan kategori cukup dan belum mencapai indikator yang ditetapkan madrasah dengan ketuntasan belajar 35%; pada siklus II diperoleh rata-rata 78,50 dengan kategori baik dan sudah mencapai indikator dengan ketuntasan 92,5%; dan pada siklus III diperoleh rata-rata 85,50 dengan kategori sangat


(4)

belajar 100%.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh, peneliti memberikan saran sebagai berikut.

1. Guru dalam pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama dalam karya prosa fiksi sebaiknya menggunakan strategi pembelajaran model taba;

2. Guru dalam memberikan pembelajaran pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui strategi pembelajaran induktif model Taba harus lebih sabar dan dapat membimbing serta membangun cara berpikir siswa dalam menuangkan ide dalam bentuk pemahaman aspek moral tokoh utama wanita dalam cerpen melalui pemberian ilustrasi/contoh yang baik.

3. Siswa diberi kesempatan mengembangkan pemahaman aspek moral tokoh dalam karya fiksi dengan sering membaca prosa fiksi selain cerpen melalui pemberian fasilitas pendukung yang menjamin ketersediaan karya fiksi di perpustakaan sekolah.

4. Strategi pembelajaran induktif model Taba tidak akan ada manfaatnya jika kebiasaan membaca siswa dan guru rendah. Salah satu kegiatan, misalnya dengan mengadakan lomba membaca dan menulis cerpen dan diberikan hadiah dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan budaya membaca siswa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3 Malang.

Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Carr,W. and Kemmis, S.1990. Becoming Critical: Education, Knowledge, and Action Research. Basingtoke : Falmer Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Model Kurikulum Satuan Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran SMA/SMK. Jakarta: BP. Cipta Karya. Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa.

Bandung: Rosda.

Joyce, Bruce dkk. 2011. Models of Teaching (Model-model Pengajaran). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muslich, Masnur. 2011. Melaksanakan PTK itu Mudah. Jakarta: Bumi Aksara. Nadia, Asma. 2010. Emak Ingin Naik Haji. Depok: Asma Nadia Publishing House. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE. Sanjaya, Wina. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenada Media Group. Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh dalam Cerpen Indonesia (Kajian Sosio Psikosastra terhadap Cerpen Agus Noor dan Joni Ariadinata). Bandar Lampung: Universitas Lampung.


(6)

http://rifda-aither.blogspot.com/2011/11/pengembangan-kurikulum-model-hilda taba.html?m=1


Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MENARI BEDANA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS ACHIEVMENT DIVISION KELAS XI IPA 1 SMA FRANSISKUS BANDAR LAMPUNG

2 20 64

BAHASA LISAN DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SISWA KELAS XI SMA NEGERI I SEKINCAU KABUPATEN LAMPUNG BARAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

3 23 78

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 12 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2013/2014

0 6 79

INCREASING ENGLISH PASSIVE VOICE MASTERY FOR CLASS XI USING BLENDED LEARNING METHOD IN MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG PENINGKATAN PENGUASAAN KALIMAT PASIF BAHASA INGGRIS KELAS XI MENGGUNAKAN METODE BLENDED LEARNING DI MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG

10 58 111

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MIND MAPPING TERHADAP HASIL PEMBELAJARAN SISWA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH KELAS XI IPS SMA NEGERI 16 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 5 70

PEMBELAJARAN MEMBACA ASPEK KEBAHASAAN PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 13 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

3 99 67

PENINGKATAN PEMAHAMAN ASPEK MORAL TOKOH UTAMA WANITA DALAM CERPEN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN INDUKTIF MODEL TABA PADA SISWA KELAS XI BAHASA MAN 1 MODEL BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

2 32 75

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PENGORGANISASIAN PEMBELAJARAN MODEL ELABORASI TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS VIII MTS NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

0 10 57

ASPEK SOSIAL DALAM WACANA INTERAKSI KELAS PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS X IPA - 1 SMA SUGAR GROUP, LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

3 16 74

PENINGKATAN KETERAMPILAN JURUS TANGAN KOSONG DALAM BELADIRI PENCAK SILAT DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KELOMPOK DAN BERPASANGAN PADA SISWA XI IPA SMA MUHAMMADIYAH BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 11 52