Laut 155 Laut 255 ha Laut 255 ha

119 Tabel 44 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama P1. Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya ha Variabel Optimalisasi Intensif 117 ha Semi- Intensif 350 ha Tradisional Plus 525 ha Polikultur banding+

R. Laut 155

Silvo- fishery 99,89 Total Limbah organik TSS kg 245.700 400,750 165,639 - - 812,089 Produksi udang tonMT 468 700 210 502 55 1,378 Tenaga Kerja HOK 449,280 672,000 504,806 148,800 95,846 1,870,733 Penggantian air m 3 hr 175,500 350,000 113,645 33,498 21,577 694,221 Pengisian air tambak m 3 5 hr 234,000 700,000 1,051,680 33,498 21,577 2,040,756 Nilai Produksi RpMT x 000 21,060,000 31,500,000 9,465,120 1,760,412, 1,914,9 31 65,700,464 PAD Rpthn x 000 526,500 787,500 236,628 44,010, 47,873 1,642,512 Tabel 45 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek sosial sebagai prioritas utama P1. Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya ha Variabel Optimalisasi Intensif 117 ha Semi- Intensif 370 ha Tradisional Plus 426 ha Polikultur banding+

R. Laut 255 ha

Silvo- fishery 0 ha Total Limbah organik TSS kg 245.700 423,650 134,190 - 803,540 Produksi udang tonMT 468 740 170. 828 2,206 Tenaga Kerja HOK 449,280 710,400 408,960 244,800 1,813,440 Penggantian air m 3 hr 175,500 370,000 408,960 55,111 1,009,571 Pengisian air tambak m 3 5 hr 234,000 740,000 852,000 55,111 1,881,111 Nilai Produksi RpMT x 000 21,060,000 33,300,000 7,668,000 2,896,163 64,924,163 PAD Rpthn x 000 526,500 832,500 191,700 72,404 1,623,105 Tabel 46 Model optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekonomi sebagai P1, sosial P2 dan ekologi P3 Luas Pemanfaatan Lahan Budidaya ha Variabel Optimalisasi Intensif 117 ha Semi- Intensif 449 ha Tradisional Plus 426 ha Polikultur banding+

R. Laut 255 ha

Silvo- fishery 0 ha Total Limbah organik TSS kg 245,700 514,105 134,190 - 893,995 Produksi udang tonMT 468 898 170 828 2,364 Tenaga Kerja HOK 449,280 862,080 408,960 244.800 1,965,120 Penggantian air m 3 hr 175,500 449,000 92,067 55.111 771,678 Pengisian air tambak m 3 5 hr 234,000 898,000 852,000 55.111 2,039,111 Nilai Produksi RpMT x 000 21,060,000 40,410,000 7,668,000 2.896.161 72,034,163 PAD Rpthn x 000 526,500 1,010,250 191,700 72.404 1,800,854 120 Ketiga skenario model alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak di atas semuanya dalam kondisi optimal, sehingga untuk skanario yang terbaik adalah dengan memilih yang terbaik dengan berdasar pada : 1 kesiapan sumberdaya manusia yang tersedia untuk mendukung pengembangan budidaya tambak, 2 pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat yang pating tinggi, dan 3 penyerapan tenaga kerja yang paling banyak. Gabungan ketiga model tersebut disajikan pada Gambar 33. 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 Limbah kg x 000 P ro duksi kg x 000 Tenaga Kerja HOK x 000 P enggantian air m3hr x 000 P engisian air m3 5 hr x 000 Nilai P ro duksi Rp x 000000 P A D Rpthn x 000000 Skenario I Skenario II Skenario III Gambar 33 Skenario alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak berdasarkan variabel optimalisasi. Berdasarkan hasil analisis dari tiga skenario alokasi pemanfaatan lahan berdasarkan variable optimal, maka model pemanfaatan lahan budidaya yang terbaik adalah skenario III ketiga yaitu alokasi pemanfaatan lahan tambak dengan prioritas aspek ekonomi P1, sosial P2, dan ekologi 3, dengan alokasi budidaya intensif 117 ha, budidaya semi-intensif 449 ha, budidaya tradisional 426 ha, dan polikultur banding + rumput laut 255 ha, serta konservasi mangrove 371,93 ha, karena skenario ini variabel daya dukung produksi, penyerapan tenaga kerja, nilai produksi dan PAD yang dihasilkan lebih tinggi dari Skenariao I dan Skenario II. Kemudian model pemanfaatan lahan budidaya tambak dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama P1 sebagai alternative kedua adalah skenario I dan yang ketiga adalah Skenario II. 121 PENGELOLAAN BERKELANJUTAN KAWASAN PESISIR BERBASIS KESESUAIAN LAHAN DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN Segala aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya lahan tertentu dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya upaya untuk memakmurkan diri dan lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya dan daya dukung lingkungan untuk memenuhi segenap kegiatan dalam memenuhi tujuan tersebut Bengen, 2005. Dengan demikian perlu optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir melalui pengelolaan yang terpadu, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya lahan dan kebutuhan manusia adalah menentukan jenis komoditi, teknologi dan besaran aktivitas manusia dengan daya dukung lingkungan untuk menampungnya. Dengan demikian, setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Alokasi pemanfaatan kawasan untuk budidaya tambak dan konservasi mangrove ditentukan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa skenario pemanfaatan lahan dengan parameter penentu yaitu a kesesuaian lahan, b daya dukung lingkungan, c produktivitas lahan, d kelayakan ekonomi, e pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, dan f dapat diterima oleh stakeholders atau menyerap tenaga kerja. Pengembangan budidaya tambak di Sinjai dilakukan berdasarkan kaidah- kaidah keberlanjutan, dengan mempertimbangkan seperti aspek ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat. Dasar penentuan alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal ditentukan berdasarkan pada : 1 kesesuaian peruntukan lahan; dan 2 daya dukung lingkungan, sebagai informasi ilmiah dalam memformulasi kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Hasil penelitian ini memberikan sejumlah data dan informasi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pemanfaatan kawasan Pesisir Sinjai untuk budidaya tambak berkelanjuran berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan, disajikan pada Tabel 47. 122 Tabel 47 Kondisi bioekologi dan lingkungan pesisir Sinjai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan. Parameter Nilai Keterangan Luas penutupan lahan mangrove ha 346,05 Citra tahun 2002 Luas lahan yang sesuai untuk konservasi mangrove ha 326,36 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk konservasi Luas lahan yang sesuai untuk budidaya tambak ha 1.324,76 Hasil analisis Citra, tahun 2002 Luas lahan budidaya tambah Existing ha 1.033 Data tahun 2004 luas tutupan lahan tambak ha 1.077,39 Citra tahun 2002 Luas lahan yang optimal dimanfaatkan untuk tambak seluas 1.217 ha. 35 440 742 Intensif Semi-intensif Tradisional Tipe pasang surut Formzahl-F 0,71 Pasut campuran dominan semidiurnal Tunggang pasang surut cm 126 74 • Spring tide • Neap tide Kecepatan arus pasang m dt -1 0,32 0,20 • Spring tide • Neap tide Volume total air yang tersedia di pantai m 3 hr -1 68.934.266,17 2 kali siklus pasut per hari Lama tinggal air di pantai jam 2,00114 1 kali siklus pasut Kapasitas oksigen yang tersedia di pantai kg 100.875,42 - Daya dukung lingkungan menguraikan limbah organik yang ditampung kg 515.570,87 Daya dukung limbah TSS Jumlah buangan limbah organik dari sisa pakan kg ha -1 2.100 1.145 350 Intensif Semi-intensif Tradisional Luas tambak lestari yang diperbolehkan berdasarkan daya dukung limbah pakan ha 245,5 449,9 1.473,1 Intensif Semi-intensif Tradisional Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Ekologi Ekonomi Sosial. Perbandingan Tambak : mangrove 1208 ha : 471 ha 525,85 350,08 117,00 155,15 99,85 471,78 Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur bandeng + RL Silvofishery Konservasi Mangrove Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Sosial Ekonomi Ekologi. Perbandingan Tambak : mangrove 1.168 ha : 451 ha 426,00 370,05 117,00 255,00 0,00 451,78 Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur bandeng + RL Silvofishery Konservasi Mangrove Optimalisasi Pemanfaatan lahan dengan prioritas yaitu : Ekonomi Sosial Ekologi Perbandingan Tambak : mangrove 992 ha : 371,93 ha 426,00 449,93 117,00 255,15 0,00 371,93 Tradisional udang Semi-Intensif Intensif Polikultur bandeng + RL Silvofishery Konservasi Mangrove 123 Daya Dukung Fisik. Hasil perhitungan volume air yang tersedia di pantai Vt Kabupaten Sinjai untuk pengembangan budidaya tambak sebesar 68.934.266,17 m 3 , kecepatan arus pasang ketika spring tide 0,32 m dt -1 . Berdasarkan volume tersebut, dapat mengaliri tambak seluas 6.893,43 ha, namun tidak semua luas lahan tersebut layak dikembangkan untuk budidaya tambak, karena kelayakan secara boteknis ditentukan oleh beberapa kriteria kesesuaian peruntukan lahan budidaya, yaitu : 1 kemiringan lereng; 2 jarak dari pantai; 3 jarak dari sungai; 4 jenis tanah; 5 ketinggian elevasi lahan; 6 drainase; 7 salinitas dan 8 geologi. Berdasarkan kriteria kesesuaian peruntukan lahan budidaya, diperoleh lahan yang tergolong sesuai dan sangat sesuai untuk budidaya tambak seluas 1.324,76 ha. Daya Dukung Produksi. Faktor pembatas daya dukung produksi budidaya tambah udang adalah kemampuan perairan untuk mengasimilasi limbah organik dari hasil kegiatan budidaya tambak udang. Ketersediaan oksigen terlarut bagi proses respirasi udang, ikan dan organisme perairan lainnya merupakan penentu utama daya dukung produksi mampu menghasilkan produksi udang secara berkelanjutan sebesar 829,79 ton per musim tanam MT, maka daya dukung perairan dalam mengasimilasi limbah organik sebesar 504.377,08 kg. Berdasarkan uji coba budidaya tambak seluas 10.000 m 2 dengan padat tebar 30 ekor m -2 atau 300.000 ekor ha -1 dengan periode pemeliharaan 120 hari MT -1 dibutuhkan pakan sebesar 6.557,5 kg dengan sintasan 57 . Penebaran benur dapat dilakukan dua kali setahun dengan musim tanam pertama MT I dilakukan pada bulan Februari – Mei dan musim tanam kedua MT II pada bulan Agustus – November. Daya Dukung Sosial Ekonomi. Penentuan luas lahan budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten Sinjai telah mempertimbangkan status pemanfaatan lahan budidaya tambak saat ini. Pengembangan budidaya tambak diharapkan dapat menghindari munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan di wilayah pesisir, seperti keberadaan budidaya tambak tanpa menghambat atau mengurangi produksi padi di sawah dan terjadi konservasi mangrove, tetapi diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah produk dan pendapatan masyarakat pesisir Sinjai. 124 Biaya produksi budidaya udang dan bandeng di lokasi studi sebesar Rp 2.841.881,8 ha -1 th -1 dengan total nilai produksi sebesar Rp 9.652.277,4 ha -1 th -1 , maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 5.788.836,3 ha -1 th -1 , dengan nilai R-C ratio sebesar 3,65. Daya Dukung Ekologi. Usaha budidaya tambak udang secara intensif merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan perairan akibat beban limbah organik akibat pengkayaan nutrien, eutrifikasi, hypoxia dan sedimentasi, sehingga pengembangan budidaya tambak udang harus sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan budidaya tambak udang harus dalam batas daya dukung lingkungan, jumlah limbah organik dari kegiatan budidaya tambak berdasarkan kemampuan daya dukung dan asimilasi lingkungan tidak boleh melebihi 515.570,87 kg. Hasil perhitungan jumlah limbah yang terbuang ke perairan pantai sebesar 2.100 kg TSS ha -1 MT -1 untuk tambak intensif, kemudian sekitar 1.145,9 kg TSS ha -1 MT -1 untuk tambak semi-intensif dan 350 kg TSS ha -1 untuk tambak tradisional. Luas lahan budidaya intensif yang mampu didukung berdasarkan daya dukung lingkungan seluas 245,5 ha, untuk budidaya semi-intensif mampu mendukung seluas 449,93 ha dan untuk budidaya tradisional plus mempu mendukung seluas 1.473,06 ha. Arahan Pengelolaan Kawasan Pesisir Sinjai Alternatif pengelolaan yang perlu dilakukan agar pengembangan budidaya tambak yang berkelanjutan di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai adalah : 1. Arahan pengelolaan yang berhubungan dengan akumulasi limbah organik dari budidaya tambak yang dinilai terbaik dan lebih efektif adalah dengan cara : 1 memperbaiki performen pakan dan metoda pemberian pakan untuk menurunkan nilai RCF, 2 mengembangkan budidaya terpadu, dan 3 mengalokasikan sumberdaya dan akuainput pada lahan tambak yang dinilai layak dan tidak melebihi daya dukung lingkungan perairan, sehingga diharapkan akan memberikan peluang bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak.. Karena itu, daya dukung fisik, ekologi, produksi, dan sosial harus diperhitungkan dalam pengembangan budidaya tambak berkelanjutan. 125 2. Arahan pengembangan budidaya tambak di pesisir Sinjai, seyogyanya mempertimbangkan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologi sumberdaya yang ada. Upaya pemanfaatan lahan budidaya tambak dan hutan mangrove hendaknya tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata, tetapi juga aspek sosial dan ekologi agar keberlanjutan pemanfaatan lahan dapat tercapai. Kecenderungan pemanfaatan lahan pesisir Sinjai saat ini, selain pembukaan lahan tambak kearah darat, juga sudah mulai membuka tambak di lahan mangrove, sehingga perlu penerapan kaidah-kaidan pembangunan keberlanjutan. Namun demikian, bila kawasan mangrove di daerah studi akan dikonversi sebagai lahan tambak, maka petak-petak tambak sebaiknya ditempatkan di belakang kawasan mangrove, atau pada jarak 163,8 meter dari garis pantai sebagaimana yang telah digariskan dalam Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Gambar 34. Gambar 34 Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery. 3. Arahan pengelolaan berdasarkan hasil analisis daya dukung lingkungan, agar pemanfaatan lahan tambak tetap lertasi. Jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk teknologi budidaya tradisional, maka luas lahan yang diperbolehkan Ke arah Ke arah laut mangrov e dike Tambak Zone pemanfaatan Daerah konservasi Integrasi budidaya - konservasi mangrove 126 seluas 1.473,06 ha; kemudian jika semuanya dimanfaatakan untuk budidaya semi-intensif seluas 449,93 ha; sedangkan jika seluruh lahan dimanfaatkan untuk budidaya intensif seluas 245,51 ha. Perlu mencari model pengelolaan dengan pertimbangan pemerataan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja dan daya dukung lingkungan agar dapat menggambarkan suatu alternatif model pemanfaatan sumberdaya yang lebih rasional. Pemanfaatan lahan budidaya tambak secara optimal petimbangan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial, dengan alokasi budidaya tambak tradisional plus seluas 525,85 ha; budidaya semi-intensif seluas 350,08 ha; budidaya intensif seluas 117; budidaya polikultur bandeng dan rumput laut seluas 155 ha; dan budidaya tambak silvofishery dan sea faming seluas 99,85 ha Gambar 35. 4. M embuat Regional Economic Development Plan Based on Aquaculture REDPA kawasan Pesisir Sinjai sebagai petunjuk pengembangan budidaya yang secara bio- tekno-sosio-ekonomi layak serta membantu meminimasi konflik kepentingan. Sebagai arahan pendorong pemanfaatan kawasan pesisir Sinjai yang berkelanjutan. REDPA harus diarahkan sebagai suatu komponen yang komperensif dalam sistem perencanaan wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Sistem ini pada akhirnya bermanfaat sebagai acuan perizinan dan lisensi serta akses kompromi antara stekeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk perikanan budidaya, transfortasi laut dan pelabuhan, pengelolaan sumberdaya perairan, pertanian dan pemukiman yang dibangun dalam kontek strategi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. REDPA pesisir Kabupaten Sinjai disajikan pada Gambar 33 dan pembagian kawasan pesisir dan peruntukannya disajikan pada Tabel 48. 5. Sisa pakan, feses dan eskresi dari sistem budidaya yang terbuang ke lingkungan perairan merupakan bahan pencemar organik, N dan P yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan organisme budidaya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan beban limbah organik dari kegiatan budidaya tambak adalah 1 perbaikan keseimbangan protein dan energi pakan, 2 efisiensi pakan melalui teknik pemberian pakan yang baik frekuensi dan dosis pakan yang tepat untuk menguragi sisa pakan yang tidak termakan, dan 3 penggunaan dan pemilihan bahan baku pakan yang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi. I D A B E C F G H J A K K Gambar 35 Alternatif peruntukan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai untuk pengembangan ekonomi regional berbasis budidaya tambak Tabel 48 Arahan peruntukan kawasan pesisir Kabupaten Sinjai Zone Karakteristik Lahan Peruntukan A Tambak Lahan ini memiliki elevasiketinggian antara 0 – 2 meter dari MSL, dengan luas lahan sekitar 417 ha. Tekstur tanah dasar pasir berlempung. Pengisian air ke dalam tambak 100 dilakukan dengan sistem gravitasi. Lahan ini berbatasan langsung dengan hutan mangrove. Dapat dikembangkan untuk budidaya tambak tradisional plus dengan rasionalisasi luasan hamparan tambak dengan kawasan mangrove. Komoditas kepiting dapat dikembangkan dengan sistem kurungan. B,C,D Tambak Lahan ini dengan elevasi 2 – 9 meter dari MSL seluas 891 ha. Untuk pengisian air kedalam tambak dilakukan dengan pemompaan. Tekstur tanah dasar pasir berlempung. Lahan ini berbatasan dengan daerah persawahan dan pemukiman Dapat dikembangkan untuk budidaya intensif dan semi- intensif, budidaya polikultur bandeng dan rumpul laut. E Mangrove Lahan ini berbatasan langsung dengan budidaya tambak, sebagian telah dikonversi menjadi tambak. Luas lahan sekitar 99 ha. Dapat dikembangkan untuk budidaya ikan, rumput laut dan kepiting bakau dengan sistem silvofishery. F Mangrove Lahan konservasi mangrove, lahan ini sebagian sudah dikonversi menjadi tambak, luas mangrove yang ada sekarang sekitar 310 ha. Upaya perluasan lahan tambak menjadi kendala utama konservasi mangrove Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi mangrove dan ditunjang oleh kegiatan reboisasi mangrove. Rasionalisasi antara luas konservasi mangrove dangan luas tambak menjadi prioritas. G Perairan Pantai Daerah ini berdekatan dengan hutan mangrove, perairannya dangkal dan masih dipengaruhi pasang surut. Kawasan ini cocok dikembangkan untuk daerah penangkapan sero waring dan bagan tancap. H Pelabuhan Perairannya cukup tenang dari pengaruh ombak dan digunakan untuk pelabuhan antara pulau. Kawasan ini ditetapkan sebagai pelabuhan antara pulau I Pangkalan Pendaratan Ikan Daerah ini cukup terlindung dari pengaruh gelombang dan digunakan sebagai pelabuhan pendaran ikan. Kawasan ini ditetapkan sebagai daerah pendaratan ikan J Daerah Pemukiman Kawasan pengembangan pemukiman. Perlu penataan lahan pemukiman. K Sawah Kawasan ini sesuai untuk pengembangan persawahan 6. Budidaya tambak udang di tambak merupakan sistem produksi pangan yang potensial, tetapi juga sebagai sumber pencemar yang potensial. Dengan memasukkan biaya lingkungan ke dalam biaya produksi merupakan salah satu alternatif instrumen pengelolaan. Insentif finansial harus dibuat oleh pemerintah untuk mendorong beberapa alih teknologi yang memungkinkan untuk di adopsi. Keuntungan utama menggunakan instrumen ekonomi dan memasukkan biaya lingkungan ke dalam sistem budidaya tambak sebagai insentif untuk mengembangkan teknologi budidaya tambak ramah lingkungan, seperti perbaikan formulasi pakan yang low polluted, pengembangan bioprosessing bahan baku pakan yang memiliki kualitas dan kecernaan, dan lain-lain. Keputusan untuk memasukkan biaya lingkungan akan menjadi signal pemicu yang kuat bagi produksi budidaya dan akan mendorong seleksi teknologi yang ramah lingkungan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakteristik biofisik perairan seperti kualitas air, tunggang pasang surut, kecepatan arus, dan elevasi lahan, kelayakan bioteknis perairan dan sosial ekonomi masyarakat, menunjukkan bahwa kawasan pesisir Kabupaten Sinjai secara umum layak dan mendukung untuk pengembangan budidaya tambak. 2. Kawasan budidaya tambak yang ada sekarang di daerah studi sesuai untuk pengembangan budidaya tambak. Lahan yang sesuai untuk kegiatan budidaya tambak seluas 1.308,95 ha, dari lahan yang sesuai tersebut 891,73 ha sesuai untuk budidaya semi-intensif dan intensif, dan hanya 417,22 ha lahan yang sesesuai untuk budidaya tradisional. Sedangkan lahan yang sesuai untuk konservasi mangrove seluas 310,90 ha. 3. Kegiatan budidaya tambak intensi di daera studi menghasilkan limbah organik sekitar 2.100 kg ha -1 , budidaya semi-intensif sekitar 1.145,9 kg ha -1 dan budidaya tradisional menghasilkan limbah organik selitar 350,kg ha -1 . Sedangkan kapasitas asimilasi perairan untuk menguraikan limbah organik dari kegiatan budidaya tambak sebesar 515.570,87 kg. 4. Daya dukung lingkungan perairan tergolong rendah, jika lahan yang sesuai untuk budidaya tambak seluruhnya dikembangkan untuk budidaya udang intensif, maka daya dukung lingkungan perairan hanya mampu mendukung seluas 245,51 ha dengan produksi udang optimal sebesar 829,79 ton MT -1 . Jika lahan tambak yang sesuai seluruhnya dikembangkan untuk budidaya udang semi-intensif, maka daya dukung perairan mampu mendukung 449,93 ha dengan produksi udang optimal sebesar 880,08 ton MT -1 . Kemudian, jika seluruh lahan tambak dikembangkan untuk budidaya udang tradisional plus, maka daya dukung perairan mampu mendukung seluas 1.473,06 ha dengan produksi udang optimal sebesar 1.031,14 ton MT -1 . 5. Model alokasi pemanfaatan lahan budidaya tambak yang optimal dan sesuai dengan kondisi biogeofisik kawasan pesisir Sinjai, dengan aspek ekologi sebagai prioritas utama P1, Ekonomi P2 dan Sosial P3, maka alokasi pemanfaatan lahan yang optimal adalah untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 350 ha untuk 131 budidaya semi-intensif, 525 ha untuk tradisional plus, 155 untuk polikultur bandeng dan rumput laut, dan 99,89 ha untuk silvofishery, serta 471,78 ha untuk konservasi mangrove. Saran 1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dalam pemanfaatan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan, menjadi model pengembangan ekonomi regional berbasis budidaya tambak di kawasan pesisir Kabupaten Sinjai secara terpadu aspek ekologi, ekonomi dan sosial, maka model alokasi pemanfaatan lahan yang direkomendasikan yaitu : untuk budidaya intensif seluas 117 ha, 350 ha untuk budidaya semi-intensif, 525 ha, untuk budidaya tradisional plus, 155 ha untuk budidaya polikultur bandeng dan rumput laut, dan 99,89 ha untuk silvofishery kepiting dan ikan, serta 471,78 ha untuk konservasi mangrove. 2. Alokasi pemanfaatan lahan budidaya dan akuainput harus disesuaikan dengan kemampuan daya dukung dan kapasitas asimilasi lingkungan perairan terhadap beban limbah, agar degradasi kualitas lingkungan dapat dihindari dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dapat berkelanjutan. 3. Mengingat karakteristik perairan pantai Kabupaten Sinjai yang berbentuk teluk, topografi dasar pantai yang landai, substrat dasarnya berlumpur dengan tunggang pasang surut yang rendah, merupakan suatu indikasi kemampuan asimilasi perairan pantai Kabupaten Sinjai tergolong rendah. Oleh karena itu, pemanfaatan kawasan pesisir harus sesuai dengan daya dukung lingkungan dengan pendekatan kapasitas asimilasi limbah organik dari budidaya tambak. Agar kelestarian lingkungan pesisir Sinjai tetap terjaga, maka jumlah limbah organik dari kegiatan budidaya tambak yang dibuang ke perairan pantai tidak boleh lebih dari 515.570,87 kg. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang daya dukung ekosistem mangrove dalam mengasimilasi limbah organik untuk menentukan perbandingan antara luas budidaya tambak udang intensif dan semi-intensif dengan luas hutan mangrove agar pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan tercapai. 5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya tambak secara berkelanjutan dalam kondisi dinamis dengan memperdiksi perubahan yang terjadi dimasa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Agardy, T.S., 1997. Marine Protected Areas and Ocean Concervation. Academic Press. Inc., San Diego, California. Anonimous, 1994. Laporan tahunan Perikanan Sulawesi Selatan. Dinas Perikanan Provinsi Tk.I Sulawesi Selatan. Anwar, A., 2001. Usaha Membangun Aset-aset Alami dan Lingkungan Hidup pada umumnya Diharapkan Dapat Memperbaiki Kehidupan Ekonomi Masyarakat Kearah Berkelanjutan. Makalah Disampaikan pada Diskusi Serial di LATIN, Bogor, 15 Agustus 2001, Tidak Dipublikasikan. Balio, D.D., E.M. Rodrigues, and D.D. Georochi, 1981. Culture of mud Crab Scylla serrata Forskal at different stocking densities in brackishwater pound SEAFDEC quar. Res. Report, 5 ; 10–14. BAKOSURTANAL Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang Nusatenggara Timur. Puslitbang-Inderasig, Bakosurtanal, Cibinong. BAPEDAL WILAYAH III, 2000. Pilot proyek rehabilitasi wilayah pesisir dan laut di Siwa Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi Selatan. Prosiding. Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makassar 15-17 Mei 2000. 10 p. Barg, U.C., 1992. Guidelines for the Promotion of Environmental Management Coastal Aquaculture Development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122 p. Barr, J.B. Henwood and K. Lewis, 1997. A Marine Protected Areas Strategy fot the Pacific Coast of Canada. In : Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison Eds. Linking Protected Areas With Working Landscapes Conserving Biodiversity. Proceding of the International Conference on Science and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997. Barton, D.N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR Report 1494. Center for Studies of Environment and Resources. University of Bergen. Norway Bengen, D.G., 1998. Sinopsis: Analisis Statistik MultivariabelMultidimensi. Program Pascasarjana IPB, Bogor. 95 p. 133 Bengen, D. G., 2000. Sinopsis: Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor. Indonesia. 86 p. Bengen, D. G., 2001. Pedoman teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor. Indonesia. 61 p. Bengen, D. G., 2002a. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor. Indonesia. 66 p. Bengen, D. G., 2002b. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Bengen, D.G., 2003. Studi Valuasi Ekonomi dan Konservasi Mangrove di Wilayah Pesisi Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Bengen, D.G., 2005. Pentingnya Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Kesesuaian Lingkungan Bagi Keberlanjutan Pembangunan Kelautan. Perspektif Keterpaduan Dalam Penataan Ruang Darat-Laut. Merajut Inisiatif Lokal Menuju Kebijakan Nasional. Mitra Pesisir CRMP II. Jakarta. Boers, J., 2001. Sustainable Coastal Aquacultur. The Economic and Enviromental Rehabilitation of Traditional Aquaculture Ponds at Sinjai, South Sulawesi, Indonesia. Collaborative Enviromental Project in Indonesia, Jakarta Indonesi. 64 pp. Boyd, C.E., 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. 482 p. Boyd, C.E., 1999. Management of shrimp ponds to reduce the eutrophication potential of effluents, The Advocate, December 1999: 12-13. Boyd, C.E. and Y. Musig, 1992. Shrimp pond effluents: Observations of the nature of the problem on commercial farms. Proceeding of the special session on shrimp farming. Edited by J. Wyban. World aquaculture society, Baton rouge, LA. USA 195 – 197. Boonruang, P., 1984. The rate of degradation of mangrove leaves, Rhiziphora apiculata BL and Avicenia marina FORSK VIERH at Phuket Island, Western Paninsula of Thailad. Proceeding of Asian Symposium on Mangrove Enviroment Research and Management Ed. E. Soepadmo; A.N. Rao and D.J. Macibthos Kualalumpur, June, 1984. pp. 200-208. Budiharsono, S., 2001. Teknik Analisis. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 159 hal. 134 Buschman, A.H., Lopez, D.A. and Medina, A., 1996. A review of the enviromental effects and alternative production strategies of marine aquaculture in Chile, Aquacultural Enggineering, Vol.156:397-421. Charles, A. T., 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Sciences. London. UK. Cholik F, Rachmansyah, Tonnek S., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah, Oreochromis niloticus dalam keramba jaring apung di laut. Jur. Penelitian Budidaya Pantai. Vol. VI2:87-96. Clough, B.F., 1986. Factors Regulating Mangrove Ecosystem Primary Produktivity. Workshop on Mangrove Ecosystems Dynamics. UNDPENESCO. P. 79-85. Cornel, G.E. and Whoriskey, F.G., 1993. The efects of rainbow trout Oncorhynchus mykiss cage culture on the water quality, zooplankton, benthos and sediment of Lac du Passage, Quebec, Aquaculture, 109:101-117. Cwodhury. M.A.K, Sihivappa and J. Hambrey. 2000 www.nutilus-consultats, coukpdfschodhury20dhvappa20hambrey.pdf Dahuri, R., 1998. Pengaruh Pencemaran Limbah Industri Terhadap Potensi Sumberdaya Laut. Makalah pada Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah Industri dan Pencemaran Laut. BPPT, Jakarta. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 328p. Darovec, J.E., 1975. Techniques for Coastal Restoration and Fisheries Enhancemen in Florida. F1. Mar. Fish. Pub. No. 15. Florida Dept. of Natural resources. FAO, 1995. Code of conduct for responsible fisheries, FAO, Rome, 41pp. Folke C, Kaustky N, Troell M., 1994. The coasts of eutrophication from salmon farming: Implications for policy. Journal of Enviromental Management, 40:173-182. Gillibrand PA, Gubbinset MJ, Greathesd C, Davies IM, 2002. Scottish Executive Locational Guidelines for Fish Farming: Predicted Levels of Nutrient Enhancement and Benthic Impact. Scottish Fisheries Research Report 632002. Aberdeen: Fisheriees Research Services. 52 pp. 135 Goldburg RJ, Elliot MS, Naylor RL, 2001. Marine Aquaculture in the United States, Enviromental Impacts and Policy Options. Pew Oceans Commission 2101 Wilson Boulevard, Suite 550, Arlington, Virginia 22201. 33 p. Gubbay, S., 1995. Marine Protected Areas. Chapman and Hal. London-Glasgow- Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Gunarto, 1998. Produktivitas alat tangkap tradisional “Sero” terhadap kepiting bakau Scylla sp betina matang gonad. Torani, Edisi Khusus, p : 41-46. Halidah dan Sumedi, N., 1997. Produksi serasah bakau Rhizophora apiculata pada hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Prosiding. Hasil- hasil Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang. 68 -72. Hambrey, J., M. Phillips, M.A.K. Chowdhury and R.B. Shivappa, 1999. Composite guideline for the enfiromental assessment of coastal aquaculture development. Aquaculture and Aquatic Resources Management Program, Asian Institute of Technology, Thailand. http:www.nautilus-consultants.co. ukpdfsseacam1.pdf. Heald, E.J., 1971. The production of organic detritus in a South Florida Estuary. Unpublished Ph. D. University Miami, Florida USA. Heald, E.J. and W.E. Odum, 1972. The contribution of mangrove community Cilacap Jawa tengah. Hutchings, P. and P. Saenger, 1987. Ecology of Mangroves. University Of Queensland Press. St. Luis. London. New York. 388 p. Jones, E.G., Davis, B., and Hussain Salman., 2000. Ecological Economics : An Introduction Areas. IUCN Publications. Uberreicht Von Der Deutschen. Forschung-sgemeinscharft. Bon-Bad Godesberg. Johnsen, R.I, O. Grahl-Nielson dan B.T. Lunesttad, 1993. Environmental Distribution on Organic Waste from Marine Fist Farm. Aquaculture, 118: 219-224. Kaswaji. R.F., Widjaja, F. and Wardianto, Y., 1993. Produktivitas primer dan laju pertumbuhan fitoplankton di perairan pantai Bekasi. J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 12:1-15. Kelleher, G. and R. Kenchington, 1992 Guidelines for Establishing Marine Protected Areas. IUCN Marine Concervation and Development Report, Gland, Switzerland. 136 Khairijon, 1991. Produksi dan laju dekomposisi serasah di hutan bakau hasil reboisasi yang berbeda kelas umurnya. Prosiding. Seminar IV Ekosistem Mangrove, MAB-LIPI, Jakarta. Kibria, G., Nugegoda, D., Lam, P. and Fairclough. R., 1996. Aspects of phosphorus pollation from aquaculture. Naga, The ICLARM Quarterly, July 1996.P:20-24. Krom, M.D., 1986. An eavaluasi of the concept of assimilative capacity as aplied to marine water. Ambio. XV 4 : 208-214. Kusumastanto, T., 1995. Penilaian ekonomi sumberdaya wilayah pesisir. Bahan Pelatihan Coastal Zone Management. Kerjasama AWB-PHPA dan Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Lugo, A.E. and S.C. Snedaker, 1974. The ecology of mangroves. Ann. Rev. Ecology and Systematics. 5 : 39 – 64. Martosubroto, P. dan N. Naamin, 1977. Relationship between tidal forests and commercial shrimp production in Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18: 81-86. McDonald, M.E. Tikkanen, C.A. Axler, R.P. Larsen, C.P and G. Host, 1996. Fish simulation culture model FIS-C: a Bioenergetics Based Model for Aquacultural Wasteload Aplication. Aquaculture Enginering, 15 4:243-259. McLean, W.E., Jensen, J.O.T. and Alderdice, D.F., 1993. Oxygen consumption rates and water flow requirements of Pacific salmon Oncorhynchus spp. in the fish culture enviroment. Aquaculture, 109:281-313. Meade, J.W., 1989. Aquacilture management. An Avi Book, Van Nostrand Reinhold, 175 p. MENKLH, 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Nomor, Kep02MENKLH1995. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan untuk Budidaya Tambak. Jakarta. Mustafa, A., A. Hanafi, dan B. Pantjara, 1998. Pendayagunaan tanah gambut payau untuk budidaya tambak. Prosiding Perkembangan Terakhir Teknologi Budidaya Pantai untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional. Pus. Pen. dan Peng. Perikanan Pantai Gondol-Bali Bekerja sama dengan JICA ATA- 397. p 227-233. Munasinghe, M., 1992. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper No. 3. The World Bank. Washington 137 Munasinghe, M., 2003. Interaction between climate change and sustainable development and introduction. Int. J. Global Environmental Isues, Vol 1, No 2. Munasinghe, M., 2004. Sustainomics: A Transdiciplinary Framework for making Development More Sustainable. Minasinghe Institute For Development. Colombo. Montoya R, and Velasco M, 2000. Role of bacteria on nutritional and management strategies in aquaculture systems. Advocate, 32:35-36. Naamin, N., 1991. Penggunaan hutan mangrove untuk budidaya tambak : Keuntungan dan kerugiannya. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan Mangrove. MAB Indonesia-LIPI. Bandarlampung. Najamuddin, 1998. Produksi dan laju dekomposisi serasah pada dua model wanamina di hutan bakau rakyat Tongke Tongke Kabupaten Sinjai. Skripsi. Progran Studi Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS. Ujung Pandang. 74 p. Nautilus Consultants, 2000. Planning for Coastal Aquaculture Development, A Training Course Handbook. www.nautilus-consultants.co.uk ., Oktober 2000. Niartiningsih, A., 1996. Studi tentang komunitas ikan pada musim hujan dan kemarau di hutan bakau rakyat Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. 134 p. Ong, J.E., W.K. Gong and C.H. Wong, 1982. Productivity and Nutrient Status of Litter in Managed Mangrove Forest in Malaysia. Symposium on Mangrove Forest Ecosistem Productivity in South East Asia. Biotrop. Palunsu, Jenny P, M. Messmer, 1997. Kependudukan, Vocational Education Development Center PPGTVEDC, Malang. Pangsapan D.S, Rachmansyah, Magawe A.G., 2001. Pemanfaatan bahan baku lokal untuk formulasi pakan bandeng yang dipelihara dalam karamba jaring apung di laut. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros. Poernomo, A., 1992. Pemilihan lokasi tambak udang berwawasan lingkungan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian No.PHPKANPATEK0041992. Poernomo, A., 1997. Petunjuk pelaksanaan pengembangan budidaya udang ramah lingkungan. Ditjen Perikanan. Primavera, J.H. and F.F. Apud,. 1994. Pond Culture of Sugpo Penaeus monodon, Fabricius. Philipp.J.Fish., 18 5 : 142-176. 138 Quano, 1993. Training Manual on Assesment of the quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge Into the Marine and Coastal Enviromental UNEF. Bangkok. Rachmansyah, 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Karamba Jaring Apung. Disertasi. Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Rakocy, J.E. and R. Allison. 1981. Evaluation of Closed Resirculation System for Culture of Tilapia and Aquatic Macrophytes. Bioengineering Symposium for Fish Culture. FCS Publication. Ruitenbeek, H.J. 1992. Mangrove Management : An Economic Analysis of Management Option with A focus on Bintuny Bay. Irian Jaya. Enviromental Management Development in Indonesia Project EMDI. EMDI Enviromental Report No.8. Jakarta . Rustam, 2005. Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan Terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir Studi Kasus Tambak Udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan Salm, R.V and J. R. Clark, 1989. Marine and coastal protected area: A Guide For Planners and Managers. International Union For Conservation of Nature and Natural Resources. Columbia. USA. Salm, R.V., J.R. Clark E. Siirila, 2000. Marine and coastal protected area : A Guide For Planners and Managers. Third Edition. International Union For Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland. SE Scottish Executive, 2002. Review and synthesis of the enviromental impacts of aquaculture. Scottish Executive Central Research Unit. Edinburgh. 71p. www.scotland.gov.ukcrukd01greenreis-10,asp[21 Februari 2003]. Serageldin, I., 1993. Making Development Sustainable : From Concept to Action. The International Bank for Reconstruktion and Development The World Bank Washington D.C. USA. Shpigel, M., Neori, A., Popper, D.M. and Gordin, H., 1993. A proposed model for “enviromentally clean” land-based culture of fish, bivalves and seaweed. Aquaculture 117:115-128. Silvert, W., 1992. Assessing enviromental impacts of finfishaquaculture in marine water. Aquaculture, 107:67-79. 139 Silvert W. and Swoles JW., 1996. Modelling enviromental impacts of marine finfish aquaculture. J.Appl.Ichthyol.12:75-81. Sitorus, H., 2005. Estimasi Daya Dukung Lingkungan Pesisir untuk Pengembangan Areal Tambak Berdasarkan Laju Biodegradasi Limbah Tambak di Perairan Kabupaten Serang, Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 110 hal. Souwito, 1982. Status ekosistem hutan mangrove bagi perikanan di Indonesia dan langkah pembinaannya. Prosiding. Pertemuan Teknis Evaluasi Hasil survei Hutan Bakau, Jakarta. 1 – 3 Juni 1982. Subandar, A. 2000. Site Selection of Suitable Shrimp Culture the Within An Integrated Coastal Zone Management Framework : Case Stady of Sowth Sulawesi Province, Indonesia Center for Coastal Management, Scool of Resource Science and Management Southern Cross University, Australia PhD Desertation. 367 p. Soewardi, K., 2002. Pengelolaan Kualitas Air Tambak, Makalah Dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Limbah, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7 – 9 Agustus 2002. Soewardi, K., 2007a. Pengelolaan Budidaya tambak Berkelanjutan. Materi Kuliah PS-SPL, IPB. Tidak dipublikasikan. Sukardjo, S., 1987. Tanah dan status hara di hutan mangrove Tiris, Indramayu, Jawa Barat. Rimba Indonesia, Vol. XXI. No. 2-4 Desember 1987. Tayeb, 2000. Hutan bakau swadaya masyarakat Tongke-Tongke Sinjai. Prosiding. Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Indonesia. Makassar 15 – 17 Mei 2000. 7 p. Troell, M., Kaustsky, N., and Folke, C., 1999. Applicability of integrated coastal aquaculture. Syatems. Marine Pollution Bulletin, Vol.283:170-177. Turner, G.E., 1988. Codes of marine and manual of procedures for consideration on introductions and transfer of marine and freshwater organisms, EIFACECPI, Occasional Paper No.23,44p. United National Environment Programme UNEP, 1993. Taraining Manual on Assessment of the Wuantity and Type of Land-Based Pollutiont Discharges Into the Marine and Coastal Evironment. RUCEAS Technical Reports Series No.1. 140 WCED, 1987. World Commission on Enviroment and Development ed Our Common Furture. Oxford University Press. Oxford. Wedemeyer. G.A., 1996. Physiologi of Fish in Intensive Cultur System. Chapman Hall. New York. 232p. Widigdo, B., dan K.Soewardi., l999. Kelayakan lahan tambak di Proyek Pandu TIR- Karawang untuk budidaya udang windu:Dalam hubungannya dengan kadar lgam berat dan pestisida. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 2, No.3:17-26. Widigdo, B., 2000. Diperlukan pembakuan kriteria eko-biologis untuk menentukan “Potensi Alami” kawasan pesisir untuk budidaya udang. Prosiding. Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB. Bogor, 21- 26 Februari 2000. Widigdo, B., 2001. Perencanaan Dan Pengelolaan Budidaya Perairan Wilayah Pesisir. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Scara Terpadu ICZPM; Hotel Bidakara, Jakarta 8 – 16 Oktober 2001. Widigdo, B., 2002. Perkembangan dan Peranan Perikanan Budidaya dalam Pembangunan, Makalah Dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7 – 9 Agustus 2002. Widigdo, B., dan J. Pariwono, 2003. Daya Dukung Perairan Pantai Utara Jawa Barat untuk Budidaya Udang Studi Kasus di Kabupaten Subang, Teluk Jakarta, dan Serang, Jurnal Ilmu-Ilmu Parairan dan Perikanan Indonesia, 10 – 17. Widigdo, B., 2003. Permasalahan dalam Budidaya Udang dan alternatif solusinya, Jurnal Ilmu-Ilmu Parairan dan Perikanan Indonesia, 18 – 23. 141 Lampiran 1 Data klimatologi rara-rata balanan dari tahun 1996 – 2005. Bulan Suhu o C Kelembaban Penguapan mm hr -1 Kec. Angin Km hr -1 Lama Penyinaran jam hr -1 Januari 29,92 96,27 5,67 55,27 7,44 Februari 29,85 97,00 5,36 50,22 5,65 Maret 29,88 96,85 5,71 47,35 5,85 April 29,98 96,78 5,94 57,87 6,18 Mei 29,88 97,00 5,58 85,42 6,94 Juni 29,33 97,51 4,94 92,90 6,41 Juli 28,68 97,26 4,88 70,70 7,05 Agustus 27,93 96,96 6,05 104,98 7,52 September 29,89 96,43 7,44 106,33 8,88 Oktober 30,32 96,32 7,23 97,59 8,65 Nopember 30,79 96,76 6,27 72,05 7,66 Desember 30,72 97,30 4,64 65,24 5,52 Rataan 29,76 96,87 5,81 75,49 6,98 Sdv 0,805 0,3891 0,8652 21,3211 1,1084 min-max 27,93-30,79 96,27-97,51 4,64-7,44 47,35-106,33 5,52-8,88 Keterangan : Stasiun Awangpone; Posisi : 4 o 33 LS dan 120 o 22 BT Lampiran 2 Data pengamatan pasang surut satu bulan tgl 1 - 28 Februari 2005 di perairan pantai Kabupaten Sinjai Hari ke- Waktu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 00:00 157 180 201 217 223 221 212 199 182 162 139 114 95 89 101 133 178 221 250 255 237 202 163 130 109 100 101 108 01:00 128 145 166 186 203 211 210 201 187 168 146 123 99 82 78 92 124 167 209 235 239 218 183 144 112 94 88 91 02:00 106 118 134 152 171 188 197 197 188 171 150 127 103 82 68 67 83 116 158 197 221 221 198 161 123 93 77 75 03:00 85 96 108 122 140 158 175 185 186 175 156 132 106 82 64 54 57 76 110 151 187 208 205 181 143 104 75 62 04:00 65 75 87 99 113 129 148 166 178 178 167 145 117 89 65 48 42 50 72 107 146 181 199 194 169 130 91 63 05:00 54 57 67 80 92 105 121 141 161 174 176 164 140 109 78 53 38 35 46 71 106 145 178 194 189 163 125 87 06:00 61 51 54 64 76 87 99 115 136 158 175 179 168 142 108 75 49 35 34 48 74 109 146 177 192 187 164 128 07:00 92 66 56 59 67 77 86 96 111 133 157 177 185 175 150 115 80 53 39 40 54 81 114 148 177 191 188 167 08:00 133 100 77 67 69 76 82 87 95 108 129 156 179 190 183 160 125 90 63 49 51 65 90 120 150 175 189 187 09:00 165 137 109 90 82 83 87 91 92 95 106 126 153 178 193 190 169 136 102 76 63 65 79 101 126 151 171 183 10:00 176 161 140 118 103 97 98 100 100 98 97 104 121 148 175 192 193 175 145 113 89 78 80 93 112 132 150 165 11:00 166 165 155 139 124 114 111 111 112 110 103 99 102 116 141 168 188 191 176 149 120 99 90 94 106 121 135 147 12:00 148 153 153 146 137 128 122 121 122 121 116 108 100 100 112 134 161 180 185 173 150 124 105 99 105 116 129 137 13:00 135 139 141 141 139 135 130 128 128 128 126 120 109 100 98 108 128 153 173 179 169 147 124 108 104 111 123 133 14:00 130 132 132 132 133 134 135 134 134 134 133 129 120 109 99 96 105 124 148 167 174 166 146 125 110 108 115 126 15:00 128 132 130 127 126 129 134 139 142 143 141 137 130 119 107 98 95 104 123 146 166 173 166 148 128 114 111 118 16:00 124 132 133 128 123 123 129 140 150 156 157 152 144 132 119 106 97 95 105 124 148 169 178 172 156 136 122 118 17:00 121 131 135 133 126 121 123 134 150 166 175 176 168 154 138 120 106 96 96 107 127 153 175 186 184 170 151 136 18:00 131 134 139 140 134 125 120 124 140 163 185 198 199 189 169 147 125 108 98 99 110 132 158 183 197 198 187 170 19:00 158 151 150 149 145 135 123 118 126 146 176 204 222 224 211 187 158 132 112 102 102 114 136 163 190 208 213 206 20:00 195 181 171 166 160 150 135 121 116 125 151 186 220 243 246 231 203 170 140 118 106 106 117 138 165 193 214 224 21:00 226 214 200 189 179 169 154 135 118 112 123 151 192 231 257 262 246 215 179 146 122 109 108 118 138 164 191 214 22:00 233 233 224 213 200 188 173 154 132 113 106 118 148 192 234 263 269 252 220 181 147 123 110 109 118 134 158 184 23:00 214 228 231 227 217 204 189 171 149 125 105 98 110 142 186 230 260 266 249 215 176 142 119 107 107 114 128 148 Jumlah Bacaan 3332 3310 3294 3284 3282 3286 3295 3310 3333 3362 3394 3420 3430 3417 3380 3329 3277 3241 3230 3247 3284 3329 3369 3396 3408 3407 3397 3380 Rarata harian 139 138 137 137 137 137 137 138 139 140 141 143 143 142 141 139 137 135 135 135 137 139 140 141 142 142 142 141 Lampiran 3. Konstanta harmoni pasang surut dan tipe pasang surut di perairan pantai Kabupaten Sinjai SO M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Amplitudo cm 139 50 13 19 4 25 20 8 8 7 g der - 105 289 77 289 345 20 345 222 356 Sumber : Hasil analisis data pasut bulan Februari 2005 PASANG SURUT PESISIR SINJAI Tangga 1 - 28 Fe bruari 2005 50 100 150 200 250 300 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 Jam T in ggi M u k a A ir c m 144 Lampiran 4. Pengukuran kecepatan arus pasang surut di muara dan hulu sungai Sinjai pada waktu spring tide dan neep tide Waktu Tgl Rata-rata Kecepatan m dt -1 Jarak tempuh m jam -1 Luas Penampang basah m2 Debit m 3 dt -1 Lokasi Pengukuran Niep Tide 07,30 11-2-2005 0,18 648 36,83 6,71 muara surut 12,00 11-2-2005 0,20 720 116,39 23,21 muara pasang 09,00 11-2-2005 0,19 684 78,08 15,16 hulu surut 14,00 11-2-2005 0,20 720 111,97 22,33 hulu pasang Spring Tide 14,00 19-2-2005 0,19 684 53,77 10,01 muara surut 09,00 19-2-2005 0,32 1.152 154,69 50,08 muara pasang 15,00 19-2-2005 0,22 792 97,23 20,95 hulu surut 10,00 19-2-2005 0,30 1.080 152,48 45,49 hulu pasang Keterangan : 1. Nomor alat Type : 2,94200 dan C3110001. 2. Propeller : Dia 125 mm