TRAINING NEED ANALYSIS. Case Study of F Training Center’s Apprenticeship Participants, Bekasi

(1)

Oleh

NIZAR BURHANNUDDIEN

I34053129

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Oleh

NIZAR BURHANNUDDIEN

I34053129

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Training Center’s Apprenticeship Participants, Bekasi. (Supervised by DWI SADONO)

Cultural shift in agriculture to industrialization encouraged the migration of villagers to the cities. Bekasi district which in 2012 had the highest minimum wage in Indonesia (up to Rp 1.7 million average) to be one choice of destinations. To assist in the absorption and increase the competence of trained manpower, F Training Center and PT X colaborate to conduct an apprenticeship program. The program needs an assessment what competencies had to increased. The first purpose of this research was evaluating the condition of human resources of the company’s apprentice based on the number of Personal Quality of Work and the quality that wants by the company. The second was identifying the training needs of the apprentice that work in line based on the gap of them. The method was using TNA – T (Training Need Assesment – Tools) that compared the Personal Quality of Work and the quality that company wants. The competencies that measured was 1) The Motivation Rate, 2) The Level of Discipline, 3) Team Work, 4) How to Communicate and Make a Coordination, 5) Work Quality 6) Knowledge About The Job”. The results showed that the apprentice have a number of needs in training to increase the level of competencies.


(4)

Kasus Peserta Magang di Lembaga Pelatihan Kerja F, Bekasi. (Di bawah bimbingan DWI SADONO)

Bergesernya budaya pertanian ke arah industrialisasi mendorong berpindahnya masyarakat desa ke kota. Kabupaten Bekasi yang pada tahun 2012 memiliki UMR tertinggi se-Indonesia (mencapai rataan Rp 1.700.000) merupakan salah satu daerah industri menjadi salah satu pilihan daerah tujuan. Untuk membantu penyerapan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja yang terlatih, Lembaga Pelatihan Kerja F mengadakan program pemagangan dengan PT X. Program pemagangan yang dimaksud adalah yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri pasal 1 ayat 1. Peserta program pemagangan adalah lulusan SMA sederajat yang sudah mengikuti proses seleksi dan pelatihan Pra OJT di LPK F. Tujuan utama dari program pemagangan ini ialah untuk mempersiapkan tenaga kerja terlatih yang akan memasuki dunia kerja secara nyata. Pemagang akan ditempatkan ke perusahaan-perusahaan rekanan LPK F yang menjadi tempat belajar pemagang, sekaligus pengguna tenaga kerja pemagang. Untuk menunjang program pemagangan yang juga disebut sebagai OJT (On Job Training), dilaksanakan training penunjang OJT yang diampu oleh LPK F. Sebelum menjalankan training yang dimaksud, perlu diketahui kebutuhan training dengan tujuan agar pelatihan yang akan diberikan nantinya lebih efektif dan efisien.

Tujuan dari penelitian ini ialah: pertama, mengevaluasi kondisi sumberdaya manusia perusahaan khususnya peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi, dilihat dari Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dan Kemampuan Kerja Pribadi (KKP). Kedua, mengidentifikasi kebutuhan pelatihan bagi peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi serta jenis pelatihan yang perlu dilakukan berdasarkan analisis KKJ dan KKP. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode TNA – T. Pada metode ini dilakukan pembandingan antara Kualitas Kerja Pribadi (KKP) Pemagang dan Kualitas Kerja Jabatan (KKJ) yang diinginkan perusahaan. Bidang kemampuan yang diukur dalam penelitian ini ialah


(5)

1) Tingkat Motivasi, 2) Tingkat Kedisiplinan, 3) Team Work, 4) Tingkat Komunikasi dan Koordinasi, 5) Tingkat Kualitas Kerja, 6) Pengetahuan Seputar Pekerjaan.

Hasil analisis kebutuhan pelatihan yang diperoleh pada penelitian terhadap pemagang yang bertugas di Bagian Produksi Shield, diketahui bahwa terdapat satu dari enam bidang kemampuan yang diukur berada pada daerah C (daerah pelatihan cukup), yaitu bidang kemampuan “Tingkat Kedisiplinan”. Sementara itu lima bidang lainnya berada pada daerah B (daerah butuh pelatihan), yaitu “Tingkat Motivasi”, “Team Work”, “Tingkat Komunikasi dan Koordinasi”, “Tingkat Kualitas Kerja” dan “Pengetahuan Seputar Pekerjaan”. Pada pemagang yang bekerja pada Bagian Seretsuky, bidang kemampuan “Tingkat Kedisiplinan”, “Tingkat Kualitas Kerja” dan “Pengetahuan Seputar Pekerjaan” berada pada daerah butuh pelatihan (daerah B). Bidang kemampuan “Team Work” berada pada daerah cukup pelatihan (daerah C). Sedangkan dua kemampuan lainnya, yaitu “Tingkat Motivasi” dan “Tingkat Komunikasi dan Koordinasi” berada pada daerah D, yaitu daerah yang memungkinkan untuk adanya pengembangan karir. Pada pemagang yang bekerja pada Bagian Barel, diketahui bahwa bidang kemampuan “Tingkat Motivasi” dan “Tingkat Komunikasi dan Koordinasi” berada pada daerah butuh pelatihan (daerah B), sedangkan empat bidang kemampuan lainnya berada pada daerah cukup pelatihan. Pada bagian Visual Check juga terdapat dua dari enam bidang kemampuan yang berada pada daerah butuh pelatihan (daerah B), yaitu bidang kemampuan “Tingkat Motivasi” dan “Tingkat Kedisiplinan”. Empat bidang lainnya berada pada daerah C (daerah cukup pelatihan). Sementara itu, pada Bagian Barel, terdapat satu bidang kemampuan yang berada pada daerah kebutuhan pelatihan kritis (daerah A), yaitu bidang “Team Work”. Satu bidang kemampuan, yaitu “Tingkat Kualitas Kerja” berada pada daerah cukup pelatihan (daerah C), sedangkan keempat bidang kemampuan lainnya berada pada daerah B (daerah butuh pelatihan).

Berdasarkan nilai kesenjangan antara KKJ dan KKP didapatkan prioritas pelaksanaan pelatihan untuk tiap-tiap bagian. Secara berturut-turut prioritas kebutuhan pelatihan bagi bagian Produksi Shield adalah pada bidang bahasan: 1)


(6)

“Tingkat Komunikasi dan Koordinasi”, 2) “Pengetahuan Seputar Pekerjaan”, 3) “Tingkat Motivasi”, 4) “Tingkat Kualitas Kerja”, 5) “Team Work”. Prioritas kebutuhan pe;latihan bagian Seretsuky adalah bidang bahasan: 1) “Pengetahuan Seputar Pekerjaan”, 2) “Tingkat Kedisiplinan”, 3) “Tingkat Kualitas Kerja”. Sementara itu, prioritas kebutuhan pelatihan bagian Barel diawali oleh bidang bahasan “Tingkat Komunikasi dan Koordinasi” disusul “Tingkat Motivasi”. Untuk bagian Visual Check secara berurutan adalah “Tingkat Motivasi” dan “Tingkat Kedisiplinan”. Sedangkan untuk bagian Produksi Cage dimulai dengan bahasan “Team Work” dan diikuti oleh “Tingkat Kedisplinan”, “Pengetahuan Seputar Pekerjaan”, “Tingkat Motivasi”, kemudian diakhiri dengan bahasan “Tingkat Komunikasi dan Koordinasi”.


(7)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Judul Skripsi : Kajian Kebutuhan Pelatihan (Studi Kasus Peserta Magang di Lembaga Pelatihan Kerja F, Bekasi)

Nama Mahasiswa : Nizar Burhannuddien Nomor Mahasiswa : I34053129

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Dwi Sadono, M.Si NIP. 19641102 199203 1 003

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus Ujian :


(8)

“KAJIAN KEBUTUHAN PELATIHAN (STUDI KASUS PESERTA MAGANG DI LEMBAGA PELATIHAN KERJA F, BEKASI)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Juli 2012

NIZAR BURHANNUDDIEN I34053129


(9)

Januari 1987. Anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan suami istri Bapak Abdul Khafid dan Ibu Siti Alfiah. Sebagai pelajar, penulis menempuh pendidikan dua tahun di TK Aisyiyah Bustanul Athfal I Tuban, SDN, Kutorejo 1 Tuban selama enam tahun. Kemudian, melanjutkan ke SMPN 5 Tuban dan SMAN 1 Tuban masing-masing selama tiga tahun. Penulis mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) 2005.

Selama di bangku kuliah, penulis aktif dalam kegiatan organisasi dalam dan luar kampus seperti: Komandan Korps Sukarela PMI Unit 1 IPB tahun 2007, staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia, Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia tahun 2007, Ketua Departemen Kebijakan Publik dan Ekologi, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia tahun 2008, staf Divisi Humasikom DPP Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) tahun 2010. Penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan pada tahun 2006 – 2009, sempat pula menjadi asisten dosen PAI tahun 2008.

Sebelum menyelesaikan studi, penulis sempat bekerja sebagai trainer di LPK Fuji Bijak Prestasi pada tahun 2010 - 2012. Lembaga ini bekerja dalam bidang peningkatan kompetensi calon pekerja sebelum calon pekerja memasuki dunia kerja secara riil.


(10)

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi berjudul: Kajian Kebutuhan Pelatihan (Studi Kasus Peserta Magang di Lembaga Pelatihan Kerja F, Bekasi). Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi sumberdaya manusia perusahaan, khususnya peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi, dilihat dari kemampuan kerja jabatan (KKJ) dan kemampuan kerja pribadi (KKP). Tujuan lainnya ialah untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan bagi peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi serta jenis pelatihan yang perlu dilakukan berdasarkan analisis KKJ dan KKP.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juli 2012 Nizar Burhannuddien NIM. I34053129


(11)

Nya, sehingga skripsi dengan judul “Kajian Kebutuhan Pelatihan (Studi Kasus Peserta Magang di Lembaga Pelatihan Kerja F, Bekasi” berhasil diselesaikan. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain:

1. Ir. Dwi Sadono, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya dalam membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta selalu memotivasi yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini.

2. Ayahanda Abdul Khafid, SE dan Ibunda Siti Alfiah, B.A. yang selalu mencurahkan kasih sayang, kesabaran, dukungan dan doa yang tiada henti kepada penulis.

3. Adinda Rani Hean Siska, yang senantiasa menemani, mendengarkan keluh kesah, memberi semangat, perhatian, dan kekuatan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Ananda Raihan Rizqi Abdillah yang selalu mencairkan suasana dan kepenatan yang muncul dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB.

6. Ibu Keni Anggraini, Managing Director PT X yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi terkait teknik pengambilan data dan pemilihan responden.

7. Rekan-rekan pemagang di PT X yang telah membantu terkumpulnya data penelitian


(12)

8. Kakanda M. Rizal Fauqi, Adinda Fikri Amrullah, Adinda Helmi Azhar Farouqi, Adinda M. Syahril Firdaus yang tak hentinya menyemangati dalam hidup.

9. Rekan- rekan seperjuangan di FORSIA dan KSR PMI Unit 1 IPB yang sampai saat ini terus memberi semangat dalam penyelesaian studi.

10.Rekan-rekan sekantor di LPK F, terutama Training Section yang selalu mendorong penulis menyelesaikan studi.

11.Teman-teman KPM 42 yang tetap memberikan dukungan meskipun sudah jarang bertatap muka.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.


(13)

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Kegunaan Pelatihan ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Manajemen... 5

2.2 Manajemen Sumberdaya Manusia ... 5

2.3 Proses Manajemen Sumberdaya Manusia ... 6

2.4 Pelatihan dan Pengembangan ... 7

2.4.1 Tujuan dan Manfaat Pelatihan dan Pengembangan ... 7

2.4.2 Langkah-Langkah Pelatihan dan Pengembangan ... 10

2.4.3 Penentuan Kebutuhan Pelatihan ... 11

2.4.4 Teknik Penentuan Kebutuhan Pelatihan menggunakan Training Need Assesment-Tools (TNA-T) ... 13

2.4.5 Metode Pelatihan ... 14

2.4.6 Penentuan Sasaran Pelatihan ... 14

2.4.7 Pelaksanaan Pelatihan dan Pemantauan Pelatihan ... 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

3.1 Kerangka Pemikiran ... 17

3.1.1 Misi dan Tujuan Organisasi ... 17


(14)

3.1.3 Strategi Sumberdaya Manusia/Personalia Perusahaan ... 19

3.1.4 Program Pemagangan ... 20

3.2 Alur Kerja Penelitian ... 21

IV. METODE PENELITIAN ... 23

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 23

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 23

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29

5.1 Profil Umum Perusahaan ... 29

5.2 Karakteristik Responden PT X. ... 29

5.2.1 Jenis Kelamin ... 29

5.2.2 Umur. ... 30

5.2.3 Tingkat Pendidikan ... 31

5.2.4 Masa Kerja ... 31

5.2.5 Tingkat Pemahaman Tentang Fungsi dan Tujuan Pelatihan. ... 32

5.2.6 Pandangan Diri Pemagang ... 33

VI. KARAKTERISTIK PELATIHAN DI PT X ... 36

6.1 Jenis pelatihan ... 36

6.2 Proporsi Keikutsertaan Pemagang dalam Pelatihan. ... 36

6.3 Penentuan Materi Pelatihan ... 37

6.4 Penentuan Keikutsertaan Pelatihan ... 37

6.5 Evaluasi dan rekaman pelatihan... 38

6.6 Manfaat Pelatihan ... 39

VII. ANALISIS PENENTUAN KEBUTUHAN PELATIHAN DENGAN METODE TNA-T ... 40


(15)

7.2 Bagian Seretsuky ... 42

7.3 Bagian Barel ... 43

7.4 Bagian Visual Check ... 44

7.5 Bagian Produksi Cage ... 45

VIII.KESIMPULAN & SARAN ... 47

Kesimpulan ... 47

Saran ... 48


(16)

Gambar 1. Proses Manajemen Sumberdaya Manusia (Stooner dan

Freeman, 1994) 6

Gambar 2. Langkah-langkah Pelatihan dan Pengembangan (Rivai,

2006) 11

Gambar 3. Proses Pelatihan (Mathis dan Jackson dalam Rivai, 2006) 11 Gambar 4. Model Sistem Pelatihan Tenaga Kerja (Simamora, 1995) 16

Gambar 5. Alur Kerja Penelitian 22

Gambar 6. Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan (Kombinasi KKJ

dan KKP) 27

Gambar 7. Proporsi Jenis Kelamin Responden PT X 30 Gambar 8. Proporsi Kelompok Umur Responden PT X 31 Gambar 9. Proporsi Masa Kerja Responden Selama Bekerja di PT. X 32 Gambar 10. Proporsi Pemahaman mengenai Fungsi dan Tujuan

Pelatihan 33

Gambar 11. Proporsi Tingkat Pemahaman Pemagang Terhadap

Pekerjaan 34

Gambar 12. Proporsi Pemagang yang Mengalami Kesulitan dalam

Pekerjaan 34

Gambar 13. Proporsi Pemagang yang Merasa Membutuhkan Pelatihan 35 Gambar 14. Proporsi Keikutsertaan Pemagang Responden dalam

Pelatihan 37

Gambar 15. Proporsi Penentuan Keikutsertaan Responden dalam


(17)

Nomor Halaman Tabel 1. Matriks Ikhtisar Penafsiran Diagram Peringkat Kebutuhan

Pelatihan (Haris dalam Uswandi, 2001). 28 Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Pendapat Tentang Manfaat

Pelatihan 39

Tabel 3. Hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan Bagian Produksi Shield 41 Tabel 4. Prioritas Kebutuhan Pelatihan untuk Pemagang Bagian

Produksi Shield 41

Tabel 5. Hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan Bagian Seretsuky 42 Tabel 6. Prioritas Kebutuhan Pelatihan untuk Pemagang Bagian

Seretsuky 43

Tabel 7. Hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan Bagian Barel 44 Tabel 8. Prioritas Kebutuhan Pelatihan untuk Pemagang Bagian

Barel 44

Tabel 9. Hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan Bagian Visual Check 45 Tabel 10. Prioritas Kebutuhan Pelatihan untuk Pemagang Bagian

Visual Check 45

Tabel 11. Hasil analisis kebutuhan pelatihan Bagian Produksi Cage 46 Tabel 12. Prioritas Kebutuhan Pelatihan untuk Pemagang Bagian


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1. Kuesioner KKJ PT X 51

Lampiran 2. Skala Indikator Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) 52

Lampiran 3. Kuesioner KKP PT X 53

Lampiran 4. Skala Indikator Kemampuan Kerja Pribadi (KKP) 59

Lampiran 5. Salah Satu QC Flow PT X 60


(19)

Bergesernya budaya pertanian ke arah industrialisasi mendorong berpindahnya masyarakat desa ke kota. Kabupaten Bekasi yang pada tahun 2012 memiliki UMR tertinggi se-Indonesia (mencapai rataan Rp 1.700.000) merupakan salah satu daerah industri menjadi salah satu pilihan daerah tujuan. Untuk membantu penyerapan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja yang terlatih, suatu perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga pelatihan tenaga kerja F.

Menurut UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 9, pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Lembaga Pelatihan Kerja menurut pasal 5 dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 adalah instansi pemerintah, badan hukum, atau perseorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.

Menurut UU No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 11 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER. 22 / MEN / IX / 2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

PT X adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi spare part automotif. Perusahaan ini pun menyadari bahwa kelangsungan dan perkembangan perusahaan tidak bisa dengan memandang sebelah mata peran sumberdaya manusia yang ada di dalamnya. Karenanya, perusahaan perlu memperhatikan aspek pelatihan dan pengembangan khususnya untuk kalangan operator produksi.


(20)

Operator produksi secara kuantitas memiliki andil yang cukup besar di PT X. Per 17 September 2011, jumlah operator PT X adalah 56 orang dan dari jumlah ini, 25 orang adalah operator pemagang dari Lembaga Pelatihan Kerja F.

Untuk menunjang program pemagangan yang juga disebut sebagai OJT (On Job Training), dilaksanakan training penunjang OJT yang diampu oleh LPK F. Sebelum menjalankan training yang dimaksud, perlu diketahui kebutuhan training dengan tujuan agar pelatihan yang akan diberikan nantinya lebih efektif dan efisien.

1.2 Perumusan Masalah

Dengan sumberdaya manusia yang baik, sumberdaya yang lain dalam perusahaan akan dapat dimanfaatkan dengan baik pula (Rivai, 2006). Secanggih apapun teknologi yang digunakan, apabila kualitas sumberdaya manusia yang ada tidak memadai, maka teknologi pun tidak bisa efektif digunakan. Begitu pula sebaliknya. Dengan latar belakang inilah kemudian diperlukannya manajemen sumberdaya manusia.

Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia adalah contoh konkret usaha manajemen sumberdaya manusia. Disadari ataupun tidak, penempatan karyawan dalam suatu bidang kerja tidak dapat menjamin bahwa mereka akan otomatis sukses dalam pekerjaannya. Karyawan baru sering tidak tahu pasti apa peranan dan tanggung jawab mereka. Begitu pula dengan karyawan lama, perkembangan informasi dan teknologi memaksa diri mereka untuk meningkatkan kompetensi sesuai dengan perkembangan yang berlaku.

Sebagai perusahaan yang menggunakan program pemagangan dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga operator, PT X bekerja sama dengan LPK F sebagai penyedia tenaga operator sekaligus sebagai pelaksana pelatihan peserta magang. Dalam rangka menjamin bahwa kompetensi tenaga operator yang akan dimagangkan sesuai dengan harapan PT X, LPK F telah melaksanakan pelatihan Pra OJT. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan informasi, serta menjaga kompetensi peserta magang, diperlukan pelatihan kembali. Dengan pelatihan ini diharapkan kesenjangan antara kemampuan kerja yang diharapkan perusahaan dan kompetensi kerja yang dimiliki peserta magang dapat dikurangi, bahkan dihilangkan.


(21)

Dapat dipastikan bahwa anggaran yang harus disediakan untuk membiayai kegiatan pelatihan adalah beban bagi organisasi. Oleh karena itu, agar penganggaran biaya dapat dibenarkan, perlu dipastikan bahwa kegiatan pelatihan dan pengembangan tersebut benar dibutuhkan. Dengan dasar inilah diperlukan sebuah penentuan kebutuhan pelatihan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan suatu permasalahan yang diteliti, yaitu:

1. Bagaimana kondisi sumberdaya manusia perusahaan khususnya peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi, dilihat dari Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dan Kemampuan Kerja Pribadi (KKP)?

2. Bagaimana kebutuhan pelatihan bagi peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi serta jenis pelatihan yang perlu dilakukan berdasarkan analisis KKJ dan KKP?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ditentukan sebagai berikut:

1. Mengevaluasi kondisi sumberdaya manusia perusahaan khususnya peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi, dilihat dari Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dan Kemampuan Kerja Pribadi (KKP)

2. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan bagi peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi serta jenis pelatihan yang perlu dilakukan berdasarkan analisis KKJ dan KKP.


(22)

1.4 Kegunaan Pelatihan

Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan informasi bagi perusahaan dan LPK untuk melaksanakan pelatihan dan program pengembangan sumberdaya manusia, khususnya peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi PT X. Selain itu, diharapkan pula, penelitian ini menambah bahan kajian untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini ditekankan pada aspek pengembangan sumberdaya manusia yaitu pada program pelatihan sumberdaya manusia PT X, khususnya peserta magang LPK F yang ditempatkan sebagai operator di PT X. Kajian kebutuhan pelatihan dengan metode TNA-T (Training Need Assesment Tool) ini sengaja dilakukan untuk melihat seberapa perlu diadakannya pelatihan bagi karyawan tersebut.


(23)

Manajemen menurut Hasibuan (1993) yaitu ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan suatu alat dalam pencapaian tujuan karena dengan manajemen daya guna dan hasil guna unsur-unsur manjemen akan dapat ditingkatkan. Handoko (1995) mendefinisikan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian semua unsur sumberdaya yang dimiliki suatu organisasi untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

2.2 Manajemen Sumberdaya Manusia

Umar (1999) menyatakan, manajemen sumberdaya manusia adalah bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumberdaya manusia untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Fungsi manajemen sumberdaya manusia dapat dikategorikan ke dalam tiga fungsi, yakni:

1) Fungsi Manajerial; perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian.

2) Fungsi Operasional; pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja.

3) Fungsi Pencapaian Tujuan Organisasi.

Filippo (1996) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia terbagi menjadi fungsi manajemen dan fungsi operasional. Fungsi manajemen mencakup; perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarah (directing) dan pengendalian (controlling). Adapun yang menjadi fungsi operasional diantaranya; pengadaan tenaga kerja (procurement), pengembangan (development) kompensasi, integrasi, pemeliharaan (maintenance) dan pemutusan hubungan kerja dengan sumberdaya manusia (separation).

Rivai (2006) menyebutkan bahwa manajemen sumberdaya manusia merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian sumberdaya


(24)

manusia. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa manajemen SDM memiliki arti sebagai kumpulan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mengelola sumberdaya manusia.

2.3 Proses Manajemen Sumberdaya Manusia

Menurut Stooner dan Freeman (1994), tujuh kegiatan dasar manajemen sumberdaya manusia adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proses Manajemen Sumberdaya Manusia (Stooner dan Freeman, 1994) 1) Perencanaan sumberdaya manusia, dilakukan untuk menjamin bahwa kebutuhan organisasi akan pegawai akan dapat dipenuhi secara tetap dan tepat.

2) Rekruitmen, penarikan calon pegawai.

3) Seleksi, menyangkut pengevaluasian dan pemilihan di antara para calon pegawai.

4) Sosialisasi, dirancang untuk membantu orang-orang terpilih agar dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam organisasi.

5) Pelatihan dan Pengembangan, untuk meningkatkan kemampuan para individu dan kelompok agar dapat memberikan sumbangan kepada efektifitas pegawai.

6) Penilaian prestasi kerja, membandingkan prestasi kerja seorang individu dengan standar atau sasaran yang dikembangkan untuk posisi individu tersebut.

Perencanaan Sumberdaya

Manusia Rekrutmen Seleksi

Sosialisasi Pelatihan dan

Pengembangan

Penilaian Prestasi Promosi, Demosi, Pemindahan, PHK


(25)

7) Promosi, pemindahan, demosi, dan pemutusan hubungan kerja, mengalihkan seseorang ke posisi yang lebih tinggi karena berprestasi, atau ke posisi yang kurang penting, dan bahkan memberhentikannya karena kurang berprestasi. 2.4 Pelatihan dan Pengembangan

Pengertian dari pelatihan dan pengembangan sering disamakan, padahal berbeda. Rivai (2006) secara singkat mengartikan pelatihan sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan kinerja saat ini dan kinerja di masa mendatang. Ada beberapa hal yang penting diketahui untuk memahami konsep pelatihan lebih lanjut, yaitu:  Pelatihan adalah proses secara sistematis mengubah tingkah laku pegawai

untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan pegawai untuk melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya.  Program pelatihan formal adalah usaha pemberi kerja untuk memberikan

kesempatan kepada pegawai untuk memperoleh pekerjaan atau bidang tugas yang sesuai dengan kemampuan, sikap dan pengetahuannya.

Pengembangan diartikan sebagai proses bagaimana pegawai mendapatkan pengalaman, keahlian, dan sikap untuk menjadi atau meraih sukses di masa mendatang dalam organisasi. Hasibuan (1993) menyatakan pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoretis, konseptual dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan karyawan dengan kebutuhan pekerjaan/ jabatan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan meningkatkan keahlian teoretis, konseptual dan moral karyawan sedangkan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis pelaksanaan pekerjaan karyawan.

2.4.1 Tujuan dan Manfaat Pelatihan dan Pengembangan

Siagian (2008) menyebutkan bahwa, bagi organisasi terdapat paling sedikit tujuh manfaat yang dapat dipetik melalui penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan, yaitu:

1. Peningkatan produktivitas kerja organisasi sebagai keseluruhan antara lain karena tidak terjadinya pemborosan, karena kecermatan melaksanakan tugas, tumbuh suburnya kerja sama antara berbagai satuan kerja yang melaksanakan


(26)

kegiatan yang berbeda dan bahkan spesialistik, meningkatnya tekad mencapai sasaran yang telah ditetapkan serta lancarnya koordinasi sehingga organisasi bergerak sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh,

2. Terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan antara lain karena adanya pendelegasian wewenang, interaksi yang didasarkan pada sikap dewasa baik secara teknikal maupun intelektual, saling menghargai, dan adanya kesempatan bagi bawahan untuk berpikir dan bertindak secara inovatif,

3. Terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat karena melibatkan pegawai yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan-kegiatan operasional dan tidak sekedar diperintahkan oleh para manajer, 4. Meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan

komitmen organisasional yang lebih tinggi,

5. Mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui penerapan gaya manajerial yang partisipatif,

6. Memperlancar jalannya komunikasi yang efektif yang pada gilirannya memperlancar proses perumusan kebijaksanaan organisasi dan operasionalisasinya,

7. Penyelesaian konflik secara fungsional yang dampaknya adalah tumbuh suburnya rasa persatuan dan suasana kekeluargaan di kalangan para anggota organisasi.

Siagian (2008) selanjutnya menjelaskan bahwa, terdapat sedikitnya sepuluh manfaat bagi para karyawan, yaitu sebagai berikut:

1. Membantu para pegawai membuat keputusan dengan lebih baik,

2. Meningkatkan kemampuan para pekerja menyelesaikan pelbagai masalah yang dihadapinya,

3. Terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional, 4. Timbulnya dorongan dalam diri para pekerja untuk terus meningkatkan

kemampuan kerjanya,

5. Peningkatan kemampuan pegawai untuk mengatasi stress, frustasi dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa percaya pada diri sendiri,


(27)

6. Tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat dimanfaatkan oleh para pegawai dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara teknikal dan intelektual,

7. Meningkatnya kepuasan kerja,

8. Semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang, 9. Makin besarnya tekad pekerja untuk lebih mandiri,

10.Mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan.

Proctor dan Thorton dalam Manulang (1981) menyatakan bahwa ada beberapa manfaat nyata dari pelatihan yaitu sebagai berikut: (1) Menaikkan rasa puas pegawai, (2) Mengurangi pemborosan, (3) Mengurangi ketidakhadiran dan turn over pegawai, (4) Memperbaiki metode dan sistem bekerja, (5) Meningkatkan tingkat penghasilan, (6) Mengurangi biaya-biaya lembur, (7) Mengurangi biaya-biaya pemeliharaan mesin, (8) Mengurangi kecelakaan-kecelakaan, (9) Memperbaiki komunikasi, (10) Meningkatkan pengetahuan serbaguna pegawai, (11) Memperbaiki moral pegawai, (12) Menimbulkan kerjasama yang lebih baik.

Menurut Simamora (1995) tujuan pelatihan ialah sebagai berikut: (1) Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi, (2) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan, (3) Membantu memecahkan permasalahan operasional, (4) Mempersiapkan karyawan untuk promosi, (5) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.

Manfaat pelatihan menurut Simamora (1995) adalah: (1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas produktifitas, (2) Mengurangi waktu belajar yang diperlukan untuk mencapai standar kerja yang dapat diterima, (3) Menciptakan sikap, loyalitas dan kerjasama yang lebih menguntungkan, (4) Memenuhi persyaratan perencanaan sumberdaya manusia, (5) Mengurangi jumlah dan biaya kecelakaan kerja, (6) Membantu karyawan dalam peningkatan dan pengembangan pribadi.


(28)

Rivai (2006), menyebutkan ada dua belas manfaat pelatihan bagi karyawan, yaitu:

1. Membantu karyawan dalam membuat keputusan dan pemecahan masalah yang lebih efektif;

2. Melalui pelatihan dan pengembangan, variabel pengenalan, pencapaian prestasi, pertumbuhan, tanggung jawab, dan kemajuan dapat diinternalisasi dan dilaksanakan;

3. Membantu mendorong dan mencapai pengembangan diri dan rasa percaya diri;

4. Membantu karyawan mengatasi stress, tekanan, frustasi, dan konflik;

5. Memberikan informasi tentang meningkatnya pengetahuan kepemimpinan, ketrampilan komunikasi, dan sikap;

6. Meningkatkan kepuasan kerja dan pengakuan;

7. Membantu karyawan mendekati tujuan pribadi sementara meningkatkan keterampilan interaksi;

8. Memenuhi kebutuhan personal peserta dan pelatih;

9. Memberikan nasihat dan jalan untuk pertumbuhan masa depan; 10.Membangun rasa pertumbuhan dalam pelatihan;

11.Membantu pengembangan keterampilan mendengar, bicara, dan menulis dengan latihan;

12.Membantu menghilangkan rasa takut melaksanakan tugas baru. 2.4.2 Langkah-Langkah Pelatihan dan Pengembangan

Rivai (2006) menjelaskan, agar pelatihan dan pengembangan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan mencapai tujuan yang diinginkan, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah seperti yang dijelaskan oleh Gambar 2.


(29)

Gambar 2. Langkah-langkah Pelatihan dan Pengembangan (Rivai, 2006)

Selain hal di atas, Mathis dan Jackson dalam Rivai (2006) memberikan langkah lain yang bisa diambil dalam melaksanakan pelatihan dan pengembangan, seperti yang dijelaskan oleh Gambar 3.

Gambar 3. Proses Pelatihan (Mathis dan Jackson dalam Rivai, 2006) 2.4.3 Penentuan Kebutuhan Pelatihan

Simamora (1995), menyebutkan bahwa penentuan kebutuhan pelatihan dapat dilakukan dengan penilaian/pengamatan kinerja oleh atasan serta menanyakan langsung kepada karyawan yang bersangkutan, dimana mereka merasa/mengalami

Penilaian Kebutuhan Tujuan Pelatihan & Pengembangan Kriteria Evaluasi Evaluasi dan Umpan Balik Materi Program Prinsip Pembelajaran Program Aktual - Keahlian - Pengetahuan - Keterampilan Pekerja Assesmen

- Analisa kebutuhan pelatihan

- Identifikasi kebutuhan dan kriteria pelatihan

Evaluasi

- Mengukur hasil pelatihan

- Membandingkan hasil dengan tujuan/kriteria pelatihan

Penyampaian

- Membuat skedul pelatihan

- Melaksanakan pelatihan

- Mengawasi jalannya pelatihan Disain

- Melaksanakan pre-test kepada peserta pelatihan

- Menetapkan metode pelatihan


(30)

kekurangan. Secara umum analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan mencakup tiga tahap (Notoatmodjo, 1998), yaitu (1) analisis organisasi, (2) analisis pekerjaan, (3) analisis pribadi. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut. 1. Analisis organisasi.

Analisis organisasi pada hakekatnya menyangkut pernyataan, dimana atau bagaimana terdapat pegawai yang memerlukan pelatihan. Setelah itu dipertimbangkan biaya, alat, dan perlengkapan yang dipergunakan. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program pelatihan. Sebagai hasil dari analisis iklim organisasi, dapat diketahui kebutuhan pelatihan. Aspek lain dari analisis organisasi adalah menentukan jumlah pegawai yang perlu dilatih untuk tiap klasifikasi pekerjaan. Cara untuk memperoleh informasi ini ialah melalui, angket, wawancara, atau pengamatan.

2. Analisis pekerjaan

Analisis pekerjaan antara lain menjawab pertanyaan, apa yang harus diajarkan atau diberikan dalam pendidikan dan pelatihan, agar para pegawai mampu melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Tujuan utama analisis pekerjaan ialah untuk memperoleh informasi mengenai:

a. Tugas yang harus dilakukan pegawai, b. Tugas yang telah dilakukan pada saat ini,

c. Tugas yang seharusnya dilakukan, tetapi belum atau tidak dilakukan pegawai,

d. Sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan baik.

Untuk mendapatkan tiap butir informasi, dapat dilakukan tes pegawai, wawancara, rekomendasi, evaluasi rekan sekerja, dan sebagainya.

3. Analisis pribadi

Analisis pribadi dilakukan untuk menjawab pernyataan: siapa membutuhkan pendidikan dan pelatihan serta apa macamnya. Untuk ini diperlukan waktu, guna mengadakan diagnosa yang lengkap tentang masing-masing kemampuan pegawai.


(31)

2.4.4 Teknik Penentuan Kebutuhan Pelatihan menggunakan Training Need Assesment-Tools (TNA-T)

Cann dan Tashima dalam Moeljadi (1992) menyatakan salah satu cara untuk menganalisis kebutuhan pelatihan adalah dengan menggunakan metode TNA-T (Training Need Assesment Tool). Analisis kebutuhan ini memerlukan beberapa langkah, yaitu mulai dari pengukuran peringkat kemampuan sasaran yang telah ditentukan, mengolah data, hingga menafsirkan dan menentukan Peringkat Kebutuhan Pelatihan dengan menggunakan instrumen penelaahan kebutuhan pelatihan, yaitu :

1. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan kerja dari sasaran yang akan ditelaah kebutuhan pelatihannya,

2. Instrumen yang digunakan untuk menafsirkan data kemampuan kerja yang telah dikumpulkan dan telah diolah.

Langkah- langkah penentuan kebutuhan pelatihan adalah sebagai berikut : 1. Menyusun jenis kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan uraian tugas 2. Membuat instrumen untuk mengukur Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dan

Kemampuan Kerja Pribadi (KKP). Pengukuran peringkat dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan nilai skala dari satu sampai sembilan. Skala ini dibagi menjadi tiga peringkat, yaitu : rendah, sedang, tinggi,

3. Melaksanakan pengukuran peringkat kemampuan kerja,

4. Mengolah data hasil pengukuran dan menafsirkan data hasil pengolahan, 5. Menetapkan peringkat kebutuhan pelatihan dengan memplotkan rata-rata KKJ

dan KKP untuk masing-masing jenis kemampuan ke dalam Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan (DPKP).

Teknik penentuan kebutuhan pelatihan menggunakan metode TNA-T ini memiliki keunggulan, utamanya untuk memperkecil penilaian yang bersifat subjektif dari pihak yang memberi penilaian maupun pihak yang dinilai, sedangkan kelemahan teknik ini adalah apabila pihak yang memberi penilaian atau yang dinilai tidak memberikan informasi yang jujur (sebenarnya), sehingga hasil penilaian bersifat bias (Uswandi, 2001).


(32)

2.4.5 Metode Pelatihan

Dalam melaksanakan pelatihan dibutuhkan adanya metode yang sesuai agar pelatihan yang dimaksud menjadi efektif dan efisien bagi karyawan dan perusahaan. Notoatmodjo (1998) menyatakan, metode atau teknik yang digunakan dalam diklat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Metode di dalam pekerjaan (on the job site)

Metode ini melibatkan para trainee ke dalam situasi pekerjaan nyata, dimana karyawan atau penyelia yang berpengalaman memperlihatkan atau membimbing para pegawai baru yang diharapkan memberikan contoh-contoh pekerjaan yang baik dan memperlihatkan penanganan suatu pekerjaan yang jelas dan konkrit. Meliputi latihan orientasi, magang, pelatihan pada pekerjaan, penugasan penelitian dan penilaian kinerja. Adapun keuntungan dari metode ini adalah sebagai berikut.

 Karyawan melakukan pekerjaan yang sesungguhnya, bukan tugas-tugas yang disimulasikan

 Karyawan mendapatkan instruksi-instruksi dari karyawan senior atau penyelia yang berpengalaman yang telah melaksanakan tugas dengan baik  Program ini sangat relevan dengan pekerjaan, membutuhkan biaya yang

relatif rendah dan membantu motivasi kinerja yang kuat 2. Metode di luar pekerjaan (off the job site)

Pada umumnya metode ini mempunyai dua macam teknik yaitu teknik presentasi dan teknik simulasi. Teknik presentasi adalah menyajikan informasi yang tujuannya mengintroduksikan pengetahuan, sikap dan keterampilan baru kepada para peserta. Teknik-teknik ini yang termasuk dalam teknik presentasi antara lain adalah ceramah, teknik diskusi, teknik permodelan perilaku dan teknik magang. Teknik simulasi adalah suatu peniruan karakteristik atau perilaku tertentu dari dunia riil sedemikian rupa sehingga para peserta dapat merealisasikan seperti keadaan sebenarnya. Metode-metode simulasi ini mencakup simulator alat-alat, studi kasus, permainan peran, dan teknik di dalam keranjang (in basket).

2.4.6 Penentuan Sasaran Pelatihan

Berdasarkan analisis kebutuhan pelatihan dapat diketahui sasaran yang ingin dicapai dalam pelatihan. Sasaran yang ingin dicapai dalam pelatihan dan


(33)

pengembangan dapat bersifat teknikal dan perilaku. Katz dalam Uswandi (2001) menyatakan, sasaran yang ingin dicapai dalam pelatihan biasanya mencakup tiga jenis keterampilan yang dimiliki karyawan, yaitu:

a. Keterampilan teknis: meliputi kemampuan untuk menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik suatu bidang khusus,

b. Keterampilan manusiawi: meliputi kemampuan memotivasi dan memahami orang lain,

c. Kemampuan konseptual: mencakup kemampuan untuk memadukan semua kepentingan dalam organisasi.

Sasaran pelatihan perlu diketahui, karena bermanfaat sebagai tolok ukur untuk menentukan berhasil tidaknya program pelatihan dan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pelatihan yang digunakan (Siagian dalam Uswandi, 2001).

2.4.7 Pelaksanaan Pelatihan dan Pemantauan Pelatihan

Penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan sangat bersifat situasional. Dengan penekanan pada perhitungan kepentingan organisasi dapat berbeda dalam aksentuasinya dan implementasinya yang pada gilirannya tercermin pada penggunaan teknik-teknik tertentu dalam proses belajar-mengajar (Siregar, 1999).

Pelaksanaan sebuah program pelatihan dan pengembangan dapat disebut berhasil apabila dalam diri para peserta terjadi suatu proses transformasi. Proses transformasi ini dapat dinyatakan berlangsung dengan baik apabila paling sedikit terdapat dua hal, yaitu:

1. Peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas,

2. Perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, disiplin, dan etos kerja.

Pengembangan sumberdaya manusia melalui pelatihan pada prinsipnya adalah bertujuan untuk merubah perilaku seseorang dalam menjalankan tugas. Menurut Silalahi dalam Siregar (1999), ada tiga macam perubahan perilaku yang ingin didapatkan dari penyelenggara pelatihan, yaitu perubahan psikomotorik (keterampilan), kognitif (pengetahuan), dan afektif (sikap mental). Dalam pengembangan sumberdaya manusia, pendekatan yang dilakukan harus


(34)

seutuhnya, karena sumberdaya manusia bukan sekedar alat produksi melainkan merupakan aset perusahaan yang dapat membuahkan hasil.

Agar pelaksanaan pelatihan dapat berjalan dengan baik, perlu adanya suatu model yang dapat dijadikan sebagai pedoman penerapan program pelatihan. Suatu model pelatihan yang memperlihatkan tiga tahap yang harus diterapkan dalam pelaksanaan pelatihan ditunjukkan pada Gambar 4 (Simamora, 1995). Tiga tahap tersebut terdiri atas: (1) Tahap penilaian kebutuhan pelatihan, (2) Tahap pelatihan dan pengembangan, (3) Tahap evaluasi.

Ketiga tahap ini saling terkait satu sama lain, tetapi tahap penilaian merupakan tahap yang paling penting dalam proses pelatihan, karena dari tahap inilah seluruh proses mengalir. Jika organisasi tidak secara akurat menentukan kebutuhannya, maka proses pelatihan akan diarahkan secara tidak tepat. Tahap penilaian juga berfungsi sebagai fondasi bagi keseluruhan upaya-upaya pelatihan. Bagi tahap pelatihan dan tahap evaluasi, keduanya sangat tergantung pada masukan-masukan dari tahap penilaian.

Gambar 4. Model Sistem Pelatihan Tenaga Kerja (Simamora, 1995) Tahap Penilaian Tahap Penilaian Kebutuhan-kebutuhan dan Sumberdaya Untuk Pelatihan Mengidentifika si Sasaran-sasaran Pelatihan Mengembangka n Kriteria Pre-Test terhadap trainee Memilih Teknik pelatihan dan prinsip proses belajar

Melaksanakan

pelatihan Memonitor pelatihan

Tahap penilaian kebutuhan-kebutuhan dan sumberdaya untuk pelatihan

Tahap Pelatihan dan Pengembangan


(35)

3.1.1 Misi dan Tujuan Organisasi

Misi organisasi biasanya merupakan pernyataan dari manajemen puncak perusahaan, atau gambaran dari keseluruhan maksud organisasi. Menurut Stoner dan Freeman (1992), pernyataan misi adalah suatu tujuan luas yang didasarkan pada alasan perencanaan, asumsi dasar tentang manfaat organisasi, nilai-nilainya, kompetensi khususnya, serta tempatnya di dunia. Pernyataan misi merupakan bagian yang relatif permanen dari suatu identitas organisasi dan dapat berbuat banyak untuk menyatukan dan memotivasi anggotanya (Stoner dan Freeman, 1992).

Menurut Simamora (1995) tujuan adalah pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan standar produksi, pasar, dan finansial apa yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan. Ada empat alasan yang membuat suatu tujuan bersifat penting dalam organisasi (Stoner dan Freeman, 1992), yaitu:

1. Tujuan memberikan suatu kepekaan akan arah (sense of direction).

Tanpa suatu tujuan, individu atau organisasi cenderung selalu kacau beraksi terhadap perubahan-perubahan lingkungan tanpa mengetahui secara jelas apa yang sesungguhnya ingin dicapai. Dengan menetapkan tujuan, individu dan organisasi mendorong motivasi mereka dan memperoleh suatu sumber inspirasi yang membantu mereka mengatasi hambatan-hambatan tak terelakkan yang mereka hadapi.

2. Tujuan memfokuskan usaha-usaha.

Setiap orang dan setiap organisasi memiliki sumberdaya terbatas, yang dapat digunakan untuk mencapai berbagai tujuan. Dengan memilih satu dari seperangkat tujuan terkait, perusahaan membuat suatu komitmen tentang caranya menggunakan sumberdaya yang langka dan mulai menetapkan prioritas.

3. Tujuan memandu rencana-rencana dan keputusan perusahaan.

Tujuan memungkinkan perusahaan untuk menentukan baik rencana jangka pendek maupun jangka panjang dan membantu perusahaan dalam mengambil banyak keputusan penting.


(36)

4. Tujuan membantu nilai kemajuan

Suatu tujuan yang dapat diukur dan ditetapkan secara jelas dengan suatu batas waktu tertentu menjadi suatu kinerja yang memungkinkan individu dan manajer menilai kemajuan mereka.

3.1.2 Strategi Organisasi (Perusahaan)

Strategi adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Ia merupakan sebuah rencana permanen untuk sebuah kegiatan. Di dalamnya biasanya termasuk formulasi tujuan dan kumpulan rencana kegiatan. Hal ini mengindikasikan adanya upaya memperkuat daya saing pekerjaan bisnis dalam mengelola organisasi dan mencegah pengaruh luar yang negatif pada kegiatan organisasi (Mangkuprawira, 2002).

Stoner dan Freeman (1992) menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan strategi yang terdiri dari: strategi tingkat perusahaan, strategi unit usaha, strategi tingkat fungsional. Strategi tingkat perusahaan dirumuskan oleh manajemen puncak untuk mengatur kepentingan dan kegiatan organisasi yang mencakup lebih banyak daripada satu bidang usaha. Strategi unit usaha menyangkut pengelolaan kepentingan dan operasi unit usaha tertentu. Strategi ini berupaya menentukan pendekatan apa yang sebaiknya diambil unit usaha untuk pasarnya dan bagaimana sebaiknya unit usaha menjalankan usaha sendiri, berdasarkan sumberdaya dan kondisi pasarnya. Strategi tingkat fungsional menciptakan kerangka untuk manajemen fungsi seperti: keuangan, riset dan pengembangan, serta pemasaran, sehinga sesuai dengan strategi tingkat unit usaha.

Dijelaskan pula oleh Stoner dan Freeman (1992) bahwa strategi fungsional harus dikoordinasikan satu sama lain untuk mengurangi konflik yang tak terelakkan dan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa tujuan organisasi akan dicapai. Tiap-tiap bidang fungsional memiliki tanggung jawab berbeda dan, oleh karena itu, memiliki prioritas yang berbeda. Strategi untuk beberapa contoh unit fungsional khusus dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Strategi Pemasaran

Strategi pemasaran mencocokkan produk dan jasa dengan kebutuhan pelanggan, memutuskan di mana dan kapan menjual dan mempromosikan produk serta menetapkan harga. Pendekatan ini tergantung pada apakah


(37)

perusahaan menghadapi para pelanggan yang ada atau berusaha menarik para pelanggan baru, dan pada apakah produk itu baru atau sudah mapan.

2. Strategi Keuangan

Strategi keuangan berkaitan dengan perolehan (akuisisi) dan alokasi modal serta manajemen modal kerja dan deviden. Tidak seperti strategi fungsional lainnya, strategi keuangan harus memiliki unsur-unsur jangka pendek dan jangka panjang.

3. Strategi Sumberdaya Manusia/Personalia

Manajemen sumberdaya manusia mencakup perekrutan, pelatihan dan penyuluhan karyawan, penentuan kompensasi, dan pemeliharaan hubungan dengan serikat pekerja dan pemerintah. Sasarannya adalah untuk menarik, memotivasi, dan mempertahankan karyawan yang dibutuhkan oleh organisasi.

4. Strategi Produksi/Operasi

Bidang fungsi ini berkaitan dengan transformasi masukan-masukan bahan, tenaga kerja, dan modal menjadi produk atau jasa. Keputusan-keputusan mencakup ukuran dan lokasi pabrik, pemilihan peralatan, ukuran dan pengendalian persediaan, upah dan penyeliaan serta desain dan rekayasa produk.

5. Strategi Riset dan Pengembangan

Organisasi-organisasi terlibat dalam riset dab pengembangan atau penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menjamin agar produk, jasa, dan metode produksi tidak ketinggalan jaman. Perusahaan dapat memilih melakukan riset dasar untuk meningkatkan suatu aplikasi komersial atau riset pengembangan untuk mengembangkan suatu produk atau proses baru untuk meningkatkannya.

3.1.3 Strategi Sumberdaya Manusia/Personalia Perusahaan

Bila postur strategis sebuah organisasi telah diidentifikasi, langkah berikutnya adalah menentukan strategi sumberdaya manusia yang akan memungkinkan organisasi untuk mencapai misi, tujuan, dan sasarannya (Simamora, 1995). Strategi-strategi sumberdaya manusia tersebut adalah sebagai berikut.


(38)

1. Strategi Rekrutmen dan Seleksi

Contohnya meliputi: 1) sumber interval versus eksternal, 2) rintangan berturut-turut vesus prosedur seleksi kompensatori, 3) seleksi formal versus informal.

2. Strategi Perencanaan Sumberdaya Manusia

Contohnya meliputi: 1) perencanaan formal dan informal, 2) perencanaan jangka pendek versus perencanaan jangka panjang, 3) perencanaan terpusat versus desentralisasi, 4) perencanaan integratif versus perencanaan terpisah-pisah.

3. Strategi Pengembangan dan Pelatihan

Contohnya meliputi: 1) pelatihan keahlian versus pelatihan yang bersifat pengembangan (developmental), 2) pelatihan individu versus pelatihan kelompok, 3) pelatihan on the job versus pelatihan off the job, 4) jalur karir sempit versus jalur karir luas.

4. Strategi Penilaian Kinerja

Contohnya meliputi: 1) penilaian formal versus informal, 2) penilaian umum versus spesifik pekerjaan, 3) penilaian berorientasi balas jasa versus berorientasi pengembangan, 4) bauran kriteria karakter, perilaku dan kinerja produktifitas, 5) penilaian yang sering versus yang jarang-jarang, 5) penilaian global versus penilaian kejadian kritis.

3.1.4 Program Pemagangan

Menurut UU No 13 Tahun 20003 pasal 1 ayat 11 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.


(39)

3.2 Alur Kerja Penelitian

LPK F dan PT X sebagai penyelenggara program pemagangan memiliki tujuan untuk meningkatkan kompetensi peserta pemagangan. Dalam mencapai tujuan ini banyak strategi yang dilakukan, salah satunya adalah dengan melakukan berbagai program pengembangan dan pelatihan. Melalui pengembangan dan pelatihan ini perusahaan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki, yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan dalam hal peningkatan produktifitas kerja.

Pelatihan bertujuan untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi antara KKJ dan KKP, dengan melihat pada aspek: (1) motivasi, (2) tingkat kedisiplinan, (3) team work, (4) tingkat komunikasi dan koordinasi, (5) tingkat kualitas kerja dan (6) seputar pekerjaan. Kondisi tersebut dianalisis dengan cara membandingkan nilai hasil kuesioner Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) dan nilai hasil kuesioner Kemampuan Kerja Pribadi (KKP) yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi kesenjangan atau tidak. Apabila KKJ – KKP > 1, maka perusahaan dapat mengambil keputusan untuk mengadakan perbaikan kualitas sumberdaya manusia perusahaan dengan mengadakan pelatihan untuk karyawan tersebut.

Tahap berikutnya adalah menentukan pelatihan apa yang dibutuhkan oleh karyawan, penentuan kebutuhan tersebut dilakukan sesuai dengan hasil dari analisis kesenjangan KKJ dan KKP, yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner. Berdasarkan hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan maka dapat ditentukan dan disusun bentuk pelatihan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan karyawan, yang hasilnya direkomendasikan kepada PT X dan LPK F sebagai dua pihak penyelenggara pemagangan. Alur kerja ini dapat dilihat pada Gambar 5.


(40)

Gambar 5. Alur Kerja Penelitian.

Identifikasi Kebutuhan Pelatihan

Pengukuran KKJ dan KKP bidang kemampuan:  Tingkat Motivasi

 Tingkat Kedisiplinan  Team Work

 Tingkat Komunikasi dan Koordinasi  Tingkat Kualitas Kerja

 Pengetahuan Seputar Pekerjaan

Analisis Kesenjangan KKJ dan KKP


(41)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini adalah studi kasus yang dilaksanakan di PT X. dengan lokasi di Kawasan Industri MM 2100, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PT X mengadakan kerjasama program pemagangan dengan LPK F, tanpa adanya asesmen mengenai kebutuhan pelatihan pemagang.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer mengenai Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ) diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh pihak atasan langsung pemagang yang disertai wawancara tidak mendalam. Data primer mengenai Kemampuan Kerja Pribadi (KKP) diperoleh dari 19 orang responden peserta magang yang bertugas sebagai operator produksi. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, baik berupa buku yang memuat teori-teori, hasil penelitian terdahulu, BPS, serta pencatatan data-data perusahaan, tujuan perusahaan, pengelolaan pelatihan sebelumnya, deskripsi kerja, dan lain-lain.

4.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang didukung dengan data-data kualitatif. Pengumpulan data yang relevan dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara wawancara yang dibantu dengan instrumen penelitian yaitu kuesioner yang diberikan kepada responden, pengamatan langsung, serta studi kepustakaan. Oleh karena jumlah populasi yang kecil maka jumlah responden dalam rangka mengetahui KKP dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan teknik sensus. Dengan demikian, seluruh peserta magang LPK F yang bertugas di PT X secara keseluruhan menjadi responden dalam penelitian ini. Sedangkan untuk mengetahui KKJ, data didapatkan dari para atasan sebagai petugas pengawas pemagang

Materi wawancara dan kuesioner meliputi pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan keadaan perusahaan yang berkaitan dengan program pelatihan dan pengembangan peserta magang, Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ),


(42)

Kemampuan Kerja Pribadi (KKP), serta kondisi peserta magang di tingkat operator. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dan dilakukan pula wawancara tak terstruktur untuk melengkapi informasi-informasi terkini. Studi kepustakaan diperoleh dan dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari, dan mengutip pendapat dari berbagai sumber buku, skripsi, laporan, atau dokumen perusahaan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari kuesioner selanjutnya diklasifikasikan dan kemudian diolah berdasarkan metode TNA – T (Training Need Assesment Tool). Hasil pengisian kuesioner yang disebut sebelumnya dipergunakan sebagai alat untuk menilai Kemampuan Kerja Pribadi dan Kemampuan Kerja Jabatan. Secara keseluruhan terdapat beberapa langkah penelaahan kebutuhan pelatihan (Haris dalam Uswandi, 2001), yang terdiri dari:

1. Mengumpulkan bahan-bahan untuk menentukan lingkup kerja.

Bahan-bahan yang dikumpulkan untuk menentukan lingkup kerja, diperoleh dari uraian pekerjaan peserta magang.

2. Menyusun uraian tugas menjadi pekerjaan / kegiatan dari sasaran yang ditentukan.

Setelah lingkup kerja ditentukan maka tahap selanjutnya adalah menguraikan pekerjaan pemagang tersebut menjadi beberapa subjek pengamatan yang diperoleh dari job description pemagang bersangkutan.

3. Menyusun instrumen untuk mengukur kemampuan kerja

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kemampuan kerja adalah kuesioner yang terdiri atas dua jenis, yaitu kuesioner yang mengukur KKJ dan kuesioner yang mengukur KKP. Kuesioner ini disusun berdasarkan job description dan teknik penyusunannya diperoleh dari beberapa referensi (Umar & Didu dalam Uswandi, 2001).

4. Melaksanakan Pengukuran Peringkat Kemampuan Kerja.

Pengukuran peringkat kemampuan kerja dilakukan atas pengukuran Kemampuan Kerja Jabatan yang hasilnya diperoleh dari formulir KKJ.


(43)

Penilaian dilakukan terhadap subjek pengamatan dengan menggunakan skala KKJ, dengan ketentuan sebagai berikut:

 Rendah dengan skor 1 – 3  Sedang dengan skor 4 – 6  Tinggi dengan skor 7 – 9

Sementara pengukuran Kemampuan Kerja Pribadi (KKP), dilakukan dengan pembobotan terhadap variabel yang ditanyakan dalam kuesioner, menggunakan skala Likert dengan ketentuan:

Sangat setuju = 5 Setuju = 4 Rata-rata = 3 Kurang setuju = 2 Tidak setuju = 1

Pembobotan dengan menggunakan skala likert ini dilakukan untuk setiap subjek pengamatan, kemudian nilai bobot dari setiap variabel dalam satu subjek pengamatan dikonversikan ke dalam skala penilaian KKP dengan nilai tertinggi 25 dan terendah 5 yang dikelompokkan ke dalam skala rendah dengan nilai 5 – 11, sedang dengan nilai 12 18, dan tinggi dengan nilai 19 -25, yang dibagi kembali menjadi:

Rendah 1 (nilai 5 – 6) Rendah 2 (nilai 7 – 8) Rendah 3 nilai (9 – 11) Sedang 4 (nilai 12 – 13) Sedang 5 (nilai 14 – 15) Sedang 6 (nilai 16 – 18) Tinggi 7 (nilai 19 – 20) Tinggi 8 (nilai 21 – 22) Tinggi 9 (nilai 23 – 25) Pola distribusi ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan skala penilaian KKP yang berskala 1 – 9. Hasil yang diperoleh kemudian dikonversi ke dalam pola skala penilaian KKP dan dibandingkan dengan penilaian KKJ dari atasan (manajer).

5. Mengolah data hasil pengukuran dan menafsirkan data hasil pengolahan. Hasil pengolahan kuesioner digunakan sebagai alat untuk menilai kebutuhan program pelatihan, disajikan dalam bentuk hasil penilaian dengan menggunakan KKJ dan KKP.

a. Penentuan nilai KKJ rata-rata diambil dari penilaian oleh responden tingkat leader terhadap kemampuan kerja yang harus dipenuhi oleh seorang pemagang dalam jabatannya dengan menggunakan rumus:


(44)

Keterangan :

KKJ : Kemampuan Kerja Jabatan I : Nilai skala

nix : Jumlah responden yang menilai skala i pada skala dan indikator KKJ

N : Jumlah responden keseluruhan

b. Penentuan nilai KKP rata-rata didapatkan dari penilaian oleh responden peserta magang terhadap Kemampuan Kerja Pribadi (KKP)-nya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

KKP : Kemampuan Kerja Pribadi I : Nilai skala

niy : Jumlah responden yang menilai skala i pada skala dan indikator KKP

N : jumlah responden keseluruhan

c. Kebutuhan pelatihan ditentukan dengan menghitung selisih antara KKJ dengan KKP, apabila KKJ – KKP > 1 maka diperlukan adanya pelatihan. d. Peringkat kebutuhan ditentukan dengan menggunakan Diagram Peringkat

Kebutuhan Pelatihan (PKP). Peringkat kebutuhan ditentukan dengan cara menentukan titik potong antara KKJ dan KKP. Titik perpotongan dua nilai ini akan terletak pada bidang A, B, C, atau D. berdasarkan lokasi titik potong ini, maka dapat ditentukan Peringkat Kebutuhan Pelatihan sesuai dengan spesifikasi masing-masing bidang, seperti yang ditunjukkan oleh

N n i KKP i iy

  9 0 . N n i KKJ i ix

  9 0 .


(45)

gambar di bawah ini. hasil plot tersebut menunjukkan tingkat kebutuhan pelatihan berdasarkan prioritas.

Gambar 6. Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan (Kombinasi KKJ dan KKP) Keterangan:

A = Daerah kebutuhan pelatihan kritis B = Daerah perlu pelatihan

C = Daerah pelatihan cukup

D = Daerah tidak perlu pelatihan (kemungkinan pengembangan karir)

6. Menetapkan peringkat kebutuhan pelatihan.

Setelah mengolah data yang diperoleh dengan menggunakan metode TNA – T, dapat diketahui subjek pengamatan manakah yang perlu mendapatkan pelatihan. Setelah hasil pengamatan diplotkan ke dalam Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan (Gambar 6), selanjutnya dilakukan penafsiran dengan memakai Matriks Ikhtisar Penafsiran Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan (Tabel 1).


(46)

Tabel 1. Matriks Ikhtisar Penafsiran Diagram Peringkat Kebutuhan Pelatihan Letak Titik potong KKJ –

KKP dalam Diagram PKP

Imbangan antara KKJ dan KKP

Peringkat Kebutuhan Pelatihan Daerah A KKJ jauh di bawah KKP Sangat

perlu/mendesak Daerah B KKJ dan KKP tidak jauh

berbeda

Perlu (tidak mendesak sekali)

Daerah C KKP dan KKJ seimbang tidak jauh

Tidak perlu (mencukupi persyaratan) Daerah D KKP menyamai atau

melebihi KKJ

Tidak perlu (kemungkinan pengembangan karir) (Haris dalam Uswandi, 2001).


(47)

5.1 Profil Umum Perusahaan

PT X berlokasi di Kawasan Industri MM 2100, Cikarang Barat, Bekasi. PT X didirikan pada tahun 1954 di Jepang dan mulai membuka plant di Indonesia pada awal tahun 1992. PT X berkonsentrasi pada industri manufaktur spare part otomotif yaitu bearing. PT X didirikan di Indonesia untuk memenuhi permintaan klien utama PT X, yaitu PT N yang juga bergerak dalam bidang otomotif, juga untuk kepentingan ekspor ke kawasan Asia Tenggara.

Dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, PT X menggandeng beberapa yayasan penyedia tenaga kerja. Selain itu, PT X juga bekerja sama dengan LPK F untuk menempatkan pemagang dalam perusahaan. Bagi PT X kerja sama ini menguntungkan. PT X tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya penyediaan tenaga kerja juga pemeliharaan dan peningkatan soft skill, yang notabene diampu oelh LPK F. Bagi LPK F, kerjasama ini juga menguntungkan. LPK F tidak perlu menyediakan laboratorium khusus bagi pemagang yang ingin belajar sebelum memasuki dunia kerja. Selain itu, LPK F juga mendapatkan management fee sebagai imbalan telah menyediakan tenaga kerja bagi PT X.

5.2 Karakteristik Responden PT X.

Sebagai objek dalam penelitian ini pemagang LPK F di PT X dikelompokkan ke dalam beberapa kategori seperti; jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dan masa kerja.

5.2.1 Jenis Kelamin

Pemagang yang menjadi responden terdiri dari pria dan wanita (Gambar 7). Berdasarkan hasil pendataan responden, maka diketahui pemagang pria sebanyak 13 orang (61,90%) dan sisanya adalah wanita. Kecenderungan dominasi pria pada perusahaan ini disebabkan oleh dominannya pekerjaan yang berhubungan mesin yang membutuhkan tenaga lebih besar, yang sampai saat ini dipercaya lebih dimiliki pria daripada wanita


(48)

Gambar 7. Proporsi Jenis Kelamin Responden PT X 5.2.2 Umur.

Berdasarkan persyaratan yang ditentukan dan berlaku di LPK F, untuk mengikuti program pemagangan setidaknya calon pemagang berada pada rentang usia 18-23 tahun. Jangka waktu maksimal mengikuti program pemagangan adalah tiga tahun untuk satu perusahaan. Dalam penelitian ini responden dibagi dalam tiga kelompok umur, yaitu di bawah dua puluh tahun, dua puluh tahun sampai dua puluh tiga tahun, di atas dua puluh tiga tahun. Kelompok umur pertama dianggap sebagai usia dimana pemagang masih baru dalam dunia kerja dengan sedikit pengalaman. Kelompok umur kedua dianggap sebagai usia dimana pemagang cukup berpengalaman dalam dunia kerja. Kelompok umur ketiga dianggap sebagai usia dimana pemagang berpengalaman di bidangnya dan pada beberapa kasus sudah diangkat menjadi karyawan kontrak perusahaan tempat pemagang berada.

Dari hasil survey lapangan (Gambar 8) responden kelompok umur di bawah 20 tahun sebanyak 4 orang (19,05%), kelompok umur 20-23 tahun sebanyak 16 orang (76,19%) dan kelompok umur di atas 23 tahun sebanyak 1 orang (4,76%).

61,90 % 38,10 %


(49)

Gambar 8. Proporsi Kelompok Umur Responden PT X 5.2.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan formal terakhir yang dilalui dan berhasil ditamatkan oleh responden. Pendidikan formal yang dimaksud mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Atas atau sederajat serta Program Diploma dan Sarjana. Dalam penelitian ini keseluruhan responden yang diambil memiliki pendidikan formal terakhir SMU/SMK. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan SMU/SMK sederajat adalah tingkat pendidikan minimal yang disyaratkan oleh LPK F untuk mengikuti program pemagangan. Dalam prakteknya, ketika diketahui terdapat calon pemagang yang berpendidikan Diploma/ Strata 1 akan diarahkan ke induk perusahaan dari LPK F yang menyalurkan tenaga kerja dengan kualifikasi Diploma/ Strata 1.

5.2.4 Masa Kerja

Dalam pelaksanaan program pemagangan, LPK F memberlakukan program sertifikasi berjenjang yang diberikan kepada peserta program pemagangan. Jenjang yang dimaksud adalah tingkat Muda untuk tahun pertama, tingkat Madya

19,05 %

76,19 % 4,76 %


(50)

untuk tahun kedua, dan tingkat Utama untuk tahun ketiga. Setelah genap tiga tahun, ada beberapa kondisi yang biasanya dialami pemagang, yaitu 1) diangkat menjadi karyawan kontrak perusahaan yang bersangkutan, 2) selesai mengikuti program pemagangan dan kembali ke LPK F untuk mendapatkan penempatan kembali di perusahaan rekanan LPK F yang lain, 3) selesai mengikuti program pemagangan dan mencari pekerjaan di perusahaan lain. Terkait dengan adanya sertifikat tersebut di atas, pemagang yang lebih lama bekerja dianggap lebih mumpuni dalam bekerja. Pengalaman kerja dalam bidang pekerjaan yang sama selama kurun waktu tertentu akan memberikan efek terhadap peningkatan terhadap penguasaan bidang pekerjaan sehingga dapat meningkatkan kemampuan kerja.

Gambar 9. Proporsi Masa Kerja Responden Selama Bekerja di PT. X

Berdasarkan data pada Gambar 9 dapat dijelaskan bahwa jumlah responden yang bekerja dalam masa kerja kurang dari satu tahun sebanyak lima orang (23,81%), masa kerja lebih dari setahun tapi kurang dari dua tahun sebanyak enam orang (28,57%), masa kerja lebih dari dua tahun tapi kurang dari tiga tahun sebanyak sembilan orang (42,86%).

5.2.5 Tingkat Pemahaman Tentang Fungsi dan Tujuan Pelatihan.

Dalam suatu program terdapat fungsi dan tujuan yang harus dimengerti oleh seluruh stakeholder, baik pelaksana ataupun peserta program. Tanpa adanya pemahaman terhadap fungsi dan tujuan program, tingkat keberhasilan sebuah program akan tidak sempurna. Begitu pula bagi para pemagang yang akan

28,57 % 23,81 %

42,86 %


(51)

mengikuti pelatihan seharusnya sadar dan paham betul akan fungsi dan tujuan pelatihan. Ketidakpahaman pemagang akan fungsi dan tujuan pelatihan akan menjadi penghambat dalam pencapaian sasaran yang diinginkan dari pelatihan. Proporsi tingkat pemahaman responden mengenai fungsi dan tujuan pelatihan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Proporsi Pemahaman mengenai Fungsi dan Tujuan Pelatihan.

Hasil pengambilan data di lapangan menunjukkan tingginya jumlah pemagang yang cukup mengerti fungsi dan tujuan pelatihan. Hal ini mungkin disebabkan oleh seringnya pemagang mengikuti pelatihan yang dalam pelaksanaannya selalu ditekankan dan dijelaskan kembali fungsi dan tujuan dari setiap pelaksanaan yang sedang dilaksanakan.

5.2.6 Pandangan Diri Pemagang

Dalam menjalankan pekerjaannya, seorang pemagang harus memahami fungsi dirinya dalam perusahaan, menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Dari 21 responden, 14 orang (66,67%) mengaku cukup paham dengan apa yang menjadi tugasnya. Sisanya, sebanyak tujuh orang (33,33%) mengaku sangat paham dengan apa yang harus dilakukannya (Gambar 11). Dari wawancara dengan atasan didapatkan keterangan bahwa ketika ada ketidakpahaman pemagang terhadap


(52)

pekerjaan, atasan ataupun pemagang yang sudah lebih lama bekerja akan memberikan pengarahan mengenai tugas yang dimaksud.

Gambar 11. Proporsi Tingkat Pemahaman Pemagang Terhadap Pekerjaan

Pemberian pengarahan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta mengurangi kesulitan pemagang secara teknis. 17 orang (80,95%) menyebutkan bahwa kadang-kadang pemagang mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan. Sisanya menyebutkan tidak pernah mengalami kesulitan (Gambar 12).

Gambar 12. Proporsi Pemagang yang Mengalami Kesulitan dalam Pekerjaan Berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi, 15 orang (71,43%) menyebutkan bahwa mereka masih memerlukan pelatihan untuk meningkatkan kualitas


(53)

kerjanya (Gambar 13). Diharapkan dengan kesadaran pemagang akan kebutuhan pelatihan ini dapat meningkatkan antusiasme pemagang dalam mengikuti pelatihan.


(54)

Jenis pelatihan yang dilaksanakan di PT X terbagi menjadi dua, yaitu On Job Training (OJT) dan pelatihan penunjang OJT. OJT yang disebut juga pemagangan adalah pelatihan dimana pemagang langsung berada pada line produksi mengerjakan tugas selayaknya karyawan dengan diawasi oleh pembimbing atau karyawan yang sudah berpengalaman. OJT lebih ditekankan pada sisi teknis untuk meningkatkan ketrampilan bekerja. OJT dilaksanakan setiap hari kerja mulai dari pemagang menanda tangani kontrak pemagangan hingga kontrak berakhir.

Pelatihan penunjang OJT adalah pelatihan yang disusun dan diampu oleh LPK F untuk menjaga dan meningkatkan kompetensi dari sisi pengetahuan dan sikap pemagang. Pelatihan penunjang OJT dilaksanakan setiap bulan selama pemagang mengikuti program pemagangan.

6.2 Proporsi Keikutsertaan Pemagang dalam Pelatihan.

Dalam pelaksanaan program pemagangan terdapat beberapa kewajiban yang harus diikuti peserta program pemagangan. Salah satu dari kewajiban tersebut ialah mengikuti setiap pelatihan yang diadakan LPK F untuk pemagang. Setelah mengikuti pelatihan, diharapkan adanya dampak terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan serta tingkah laku pemagang yang akhirnya berdampak pula pada peningkatan kualitas kerja pemagang. Pelaksanaan pelatihan di PT X dilaksanakan secara rutin setiap bulan. Setiap pemagang mengikuti pelatihan pada jadwal yang telah ditentukan kecuali bila pada hari pelaksanaan pelatihan yang bersangkutan bekerja pada shift lain. Adapun rincian mengenai frekuensi pemagang mengikuti pelatihan yaitu; satu kali sebanyak dua orang (9,52%), tiga kali sebanyak tiga orang (14,29%) dan yang mengikuti pelatihan sebanyak lebih dari tiga kali sebesar 16 orang (76,19%) (lihat Gambar 14).


(55)

Gambar 14. Proporsi Keikutsertaan Pemagang Responden dalam Pelatihan. 6.3 Penentuan Materi Pelatihan

Dari hasil wawancara kepada pihak penanggung jawab pelaksanaan program pemagangan dari pihak PT X dan pihak LPK F didapatkan informasi bahwa selama ini penentuan pelatihan ditentukan oleh pihak PT X dan/atau LPK F. penentuan ini dilakukan secara acak tanpa melakukan analisis kebutuhan pelatihan terlebih dahulu. Penentuan materi seperti ini dilakukan dengan alasan untuk mengejar target jumlah pelatihan setiap klien LPK F yang sekaligus menjadi tempat dilaksanakannya program pemagangan. Dilihat dari sudut pandang efisiensi dan kepentingan bisnis, penentuan materi semacam ini berdampak sangat positif karena menghemat waktu. Sedangkan bila ditilik dari sudut efektifitas, penentuan materi seperti ini sangat tidak efektif. Pelaksana pelatihan tidak bisa memastikan apakah materi pelatihan yang akan diberikan dibutuhkan atau tidak oleh peserta pelatihan.

6.4 Penentuan Keikutsertaan Pelatihan

Dari hasil pengambilan data di lapangan didapatkan informasi tata cara penunjukan pemagang yang akan diikutkan dalam pelatihan. Dua orang (9,52%) menyebutkan bahwa peserta pelatihan adalah mereka yang ditunjuk oleh atasan secara langsung, dua orang (9,52%) menyebutkan bahwa peserta adalah mereka yang lulus seleksi, dan 17 orang (80,95%) menyebutkan bahwa pelatihan adalah kewajiban bersama. Jumlah terbanyak dalam data tersebut sejalan dengan


(56)

keterangan dari Manajer HRD PT X dan pihak LPK F yang menyebutkan bahwa mengikuti pelatihan adalah salah satu kegiatan wajib pemagang yang sudah disepakati sebelum pemagang mengikuti program pemagangan. Poporsi Metode Penentuan Keikutsertaan Pemagang dalam Pelatihan di PT X ditampilkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Proporsi Penentuan Keikutsertaan Responden dalam Pelatihan 6.5 Evaluasi dan rekaman pelatihan

Setiap berakhirnya pelaksanaan pelatihan penunjang OJT, dilaksanakan evaluasi tertulis berkaitan dengan materi pelatihan yang disampaikan. Hasil evaluasi ini digunakan untuk menilai pemahaman pemagang dalam angka. Setelah diakumulasikan dengan keseluruhan nilai pelatihan, nilai akhir menjadi salah satu indikator layak atau tidaknya pemberian sertifikat pemagang.

Selain evaluasi sesaat setelah pelatihan, dilaksanakan juga evaluasi tahunan pemagang untuk memutuskan kelanjutan program pemagangan yang diikuti pemagang. Evaluasi ini dilakukan secara observasi oleh atasan langsung pemagang. Hasil evaluasi akan disampaikan kepada LPK F untuk diproses lebih lanjut.

Rekaman pelatihan dibuat oleh kedua belah pihak, LPK F dan PT X. Rekaman pelatihan ini berfungsi sebagai catatan pelatihan apa saja yang sudah diikuti pemagang, kemudian dibandingkan dengan performa kinerja saat ini.


(57)

6.6 Manfaat Pelatihan

Program pelatihan diharapkan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, serta perubahan sikap individu pemagang. Dalam perancangan pelatihan sudah selayaknya manajemen memperhatikan program-program pelatihan yang akan dilaksanakan agar dapat memberikan kontribusi positif terhadap bidang pekerjaan pemagang yang mengikuti pelatihan. Selain itu, metode pelatihan yang akan diberikan juga harus benar-benar dapat dipahami para peserta pelatihan sehingga tujuan pelatihan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Pelatihan akan dikatakan berhasil jika manfaat pelatihan tersebut dirasakan sendiri oleh peserta pelatihan dengan adanya transformasi pengetahuan, keterampilan dan aspek-aspek lainnya terhadap pemagang peserta pelatihan. Pendapat responden tentang manfaat pelatihan yang pernah diberikan tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Responden Menurut Pendapat Tentang Manfaat Pelatihan

Manfaat Jumlah (Orang)

Wawasan dan Pengetahuan 16

Ketrampilan Kerja 11

Sikap dan kepribadian 11

Lain-lain 1

Catatan: satu orang responden bisa memilih lebih dari satu jawaban.

Dari hasil pengambilan data di lapangan didapatkan informasi bahwa empat orang (19,05%) menyebutkan setelah pelatihan mendapatkan wawasan dan pengetahuan, satu orang (4,76%) mendapatkan tambahan keterampilan kerja, tiga orang ((14,29%) mendapatkan informasi mengenai sikap dan kepribadian. Selain itu, lima orang (23,81%) mengaku mendapatkan wawasan dan pengetahuan serta keterampilan kerja, dua orang (9,52%) mendapatkan wawasan dan pengetahuan serta sikap dan kepribadian, lima orang (23,81%) mendapat ketiganya, serta satu orang (4,76%) mengaku mendapat sikap dan kepribadian serta hal yang termasuk lain-lain.


(58)

Sangat penting untuk melakukan analisis penentuan kebutuhan pelatihan sebelum melaksanakan pelatihan. Pelatihan dilakukan hanya jika pemagang memiliki keadaan dimana kemampuan kerja aktual belum mencapai tingkat kemampuan kerja jabatan dalam perusahaan. Akan sangat merugikan perusahaan apabila pelatihan diberikan pada peserta yang tidak tepat sasaran. Kerugian perusahaan yang dimaksud ialah kerugian akan biaya pelatihan serta sumberdaya lainnya yang dialokasikan dalam pelaksanaan pelatihan.

Metode TNA-T (Training Needs Assesment Tools) adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam analisis kebutuhan pelatihan pemagang. Pada intinya metode ini mengkomparasikan tingkat Kemampuan Kerja Pribadi (KKP) pemagang dengan Kemampuan Kerja Jabatan (KKJ). Pemagang yang memiliki nilai selisih KKJ dan KKP lebih besar dari satu, KKJ-KKP>1 adalah mereka yang akan direkomendasikan untuk mengikuti pelatihan.

Pada Diagram Kebutuhan Pelatihan dalam metode TNA-T terdapat empat daerah yaitu daerah A, B, C, dan D. Daerah A dan B mengambarkan kondisi bahwa nilai KKJ yang ditargetkan perusahaan terhadap pemagang lebih tinggi dari nilai KKP pemagang (KKP-KKJ > 1). Ini berarti, pemagang membutuhkan pelatihan demi peningkatan kemampuan kerja.

7.1 Bagian Produksi Shield

Bagian produksi shield yang bertugas untuk memproduksi shield dengan cara pengepresan menggunakan mesin. Uraian kerja operator produksi shield adalah: (1) Melaksankan penalian dan packing produk shield sesuai dengan SOP yang sudah ditentukan., (2) Melaksanakan program 5 R diarea mesin, (3) Melapor ke atasan jika terjadi masalah.

Analisis kebutuhan pelatihan dengan metode TNA-T pada Bagian Produksi Shield menghasilkan pasangan nilai KKJ dan rata-rata KKP yang hampir keseluruhannya, kecuali bidang kemampuan “Tingkat Kedisiplinan”, berada di bawah standar yang diinginkan oleh perusahaan ataupun oleh atasannya. Hal ini dimungkinkan karena tingginya tingkat ekspektasi/harapan perusahaan atau


(1)

3. Selama ini saya bekerja selalu terpaku mengikuti standar dan prosedur kerja?

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidak setuju

4. Selama ini saya mengerjakan pekerjaan dengan baik dan benar sesuai dengan waktu dan target yang ditetapkan

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidak setuju

5. Tingkat kedisiplinan merupakan cerminan keadaan, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi produktivitas.

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju Bagian V. Pertanyaan Team Work Beri tanda silang pada pilihan jawaban anda! 1. Saya lebih suka bekerja sendiri dibanding kerja dengan kelompok.

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

2. Saya mengenal baik sifat atau karakter rekan juga atasan saya.

a.Ya,semuanya b.Sebagian besar c.Setengahnya d.Sebagian kecil e.Tidak ada

3. Setiap anggota dalam suatu kelompok kerja tidak harus memiliki kerja dan tanggung jawab masing-masing karena hal tersebut nantinya akan

dilaksanakan secara bersama-sama

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

4. Saya mau berbagi beban kerja dengan rekan lain atau membantu kerjanya meskipun telah mempunyai tanggung jawab masing-masing.

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

5. Bila ada keputusan tim yang tidak sesuai dengan sikap dan persepsi saya maka saya akan menetapkan langkah sendiri dan tidak mengikuti keputusan tim tersebut

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

Bagian VI. Pertanyaan Tingkat Komunikasi dan Koordinasi Beri tanda silang pada pilihan jawaban anda!

1. Anda dapat paham dan mengerti keinginan dan persepsi atasan anda terhadap pekerjaan

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju


(2)

2. Atasan anda dapat paham dan mengerti keinginan dan persepsi anda terhadap pekerjaan

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

3. Rekan pemagang lain dapat mengerti keinginan dan persepsi anda terhadap pekerjaan

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

4. Anda mengalami kesulitan melakukan komunikasi kepada atasan

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

5. Anda berhubungan dengan rekan pemagang lainnya dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan anda

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

Bagian VII. Pertanyaan Tingkat Kualitas Kerja Beri tanda silang pada pilihan jawaban anda!

1. Pekerjaan dikatakan bermutu apabila pekerjaan tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki dan dibutuhkan perusahaan

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

2. Pemantauan produksi pabrik diutamakan pada bagian produksi saja

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

3. Penerapan pada pemantauan kualitas kerja tidak penting dilakukan karena kualitas pekerjaan sebenarnya tidak memacu produktivitas kerja

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

4. Perbaikan secara kontinu dilakukan untuk membuat proses kerja lebih efektif dan efisien

a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju

5. Kualitas kerja perlu dijadikan target kerja oleh setiap bagian/ departemen a. Sangat setuju b. Setuju c. Ragu-ragu d. Kurang setuju e. Tidak Setuju


(3)

Bagian VIII. Pertanyaan Seputar Pekerjaan Beri tanda silang pada pilihan jawaban anda! 1. Saya mengetahui dengan baik dan detail WI bidang pekerjaan saya.

a.Ya,semuanya b.Sebagian besar c.Setengahnya d.Sebagian kecil d.Tak ada

2. Selama ini, saya turut memberikan ide dan pemikiran tentang perbaikan sistem kerja dan organisasi perusahaan agar lebih produktif.

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang

d. Jarang e. Tidak pernah

3. Saya mengalami kesulitan dalam menjalankan perangkat yang berkaitan dengan pekerjaan anda saat ini.

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

4. Saya mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan anda sesuai WI.

a.Sangat setuju b.Setuju c.Ragu-ragu

d.Kurang setuju e.Tidaksetuju

5. Saya ditugaskan mengikuti pelatihan untuk peningkatan kompetensi kerja.

a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang


(4)

Lampiran 4. Skala Indikator Kemampuan Kerja Pribadi (KKP)

SKALA INDIKATOR KEMAMPUAN KERJA PRIBADI (KKP)

Skala Peringkat Indikator

0-3

Rendah

 Oleh orang lain dianggap sebagai orang yang masih  belajar.

 Merasa cemas, sangat tidak puas, kecewa terhadap  dirinya.

 Masih senantiasa membutuhkan bimbingan, selalu  meminta bantuan orang lain.

 Hasil pekerjaannya sering dikembalikan untuk  dibetulkan karena banyak kesalahan

4-6 Sedang

 Oleh orang lain Keterampilannya dianggap cukup.  Memerlukan bimbingan tetapi lambat laun mampu

bekerja sendiri.

 Merasa dirinya cukup tetapi tidak berlebihan.  Hasil pekerjaannya memerlukan sedikit perbaikan.

7-9 Tinggi

 Oleh orang lain dianggap sebagai ahli.  Tidak memerlukan bimbingan.

 Sangat puas terhadap dirinya.

 Hasil pekerjaannya tidak perlu perbaikan.

Sumber. Training Needs Assesment Tool (TNAT). Mc Cann dan Tashima dalam Moelyadi, 1995.


(5)

Lampiran 5. Salah Satu QC Flow PT X .


(6)