Uji model bresing pada dinding bambu Sandwich panel untuk rumah tahan gempa

(1)

DEVI ARDIANSYAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Bambu Sandwich Panel Untuk Rumah Tahan Gempa” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen dan belum pernah dilakukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan cantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Devi Ardiansyah


(3)

Sandwich Panel Untuk Rumah Tahan Gempa. Dibimbing oleh Dr. Ir. NARESWORO NUGROHO, MS dan Ir. MARYOKO HADI, Dipl.E.Eng., MT

Posisi geografis Indonesia yang rentan akan bencana alam khususnya gempa bumi, maka diperlukan tempat tinggal yang dirancang khusus agar tahan terhadap guncangan gempa. Bangunan tahan gempa memiliki tiga kaidah, yaitu bangunan tidak mengalami kerusakan baik pada elemen struktur maupun elemen non-struktur, pada guncangan gempa sedang bangunan bisa mengalami kerusakan pada elemen non-struktur sedangkan pada elemen struktur tidak boleh rusak serta pada guncangan gempa besar, bangunan bisa mengalami kerusakan baik pada elemen struktur maupun non-struktur, namun tidak membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan tersebut.

Pada penelitian ini, menggunakan bahan baku kayu jenis Meranti, kayu lapis dari pasaran dan bambu Tali. Model bresing yang digunakan adalah model diagonal yang terdiri dari diagonal 1, diagonal 2, dan diagonal 3 serta kontrol yang tidak menggunakan model bresing. Pengujian modulus of elasticity dan modulus of rupture kayu frame dan bresing, mengahasilkan pengelompokan kayu untuk struktur (frame) dan untuk non-struktur (bresing). Hasil pengujian sifat fisis bahan baku, bambu Tali memiliki kerapatan rata-rata sebesar 0,619 gr/cm3, berat jenis rata-rata 0,537 gr/cm3 (5,37 kg/m3) dan kadar air rata-rata 15,272 %. Nilai kadar air bambu tidak sesuai dengan syarat kadar air dalam bangunan yaitu sebesar 12 %. Dari hasil pengujian kerapatan kayu lapis, diketahui bahwa kerapatannya rata-rata 0,359 g/cm3. Besarnya kadar air kayu lapis (15,058%) lebih besar dari syarat kadar air dalam JAS 2003 (12%). Kayu jenis Meranti memiliki rata-rata kerapatan 0,62 gr/cm3, rata berat jenis sebesar 0,54, kadar air rata-rata sebesar 14,14%.

Dinding bambu sandwich panel berukuran 1200 mm x 2400 mm x 55 mm. Pengujian kekuatan mekanis dinding bambu sandwich panel (BSP) diketahui bahwa BSP kontrol (tanpa bresing) memiliki racking stiffness 2929,34 N/mm


(4)

1708,61 N/mm (174,23 kg/mm), racking strength 4844,49 N (494 kg) dan displacement maksimal 61,44 mm. BSP dengan model diagonal bresing 2 memiliki racking stiffness 3503,43 N/mm (357,25 kg/mm), racking strength 5913,41 N (603 kg) dan displacement maksimal 69,62 mm. BSP dengan model diagonal bresing 3 memiliki racking stiffness 1291,24 N/mm (131,67 kg/mm), racking strength 6501,81 N (663 kg) dan displacement maksimal 49,46 mm.

Berdasarkan perhitungan gaya gempa dengan SNI 03-1762-2002, dinding bambu sandwich panel (BSP) kontrol (tanpa bresing) dan BSP diagonal bresing 1 cocok diaplikasikan pada zona gempa 5 (besar). BSP diagonal bresing 2 dan BSP diagonal bresing 3 cocok untuk diaplikasikan pada zona gempa 6 (besar).

Kata kunci : Bangunan Tahan Gempa, Dinding Bambu Sandwich Panel, Bresing, Racking Stiffness, Racking Strength, Displacement, Zona Gempa.


(5)

DEVI ARDIANSYAH

E24063047

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Uji Model Bresing Pada Dinding Bambu Sandwich Panel Untuk Rumah Tahan Gempa

Nama Mahasiswa : Devi Ardiansyah

NIM : E24063047

Program Studi : Hasil Hutan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. I Wayan Darmawan, M. Sc NIP. 1966 0212 199103 1 002

Tanggal Lulus :

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS NIP. 1965 0122 198903 1 002

Dosen Pembimbing II

Ir. Maryoko Hadi, Dipl.E.Eng., MT NIP. 1962 0706 199703 1 002


(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan kemudahan-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir jaman.

Judul yang dipilih dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah Uji Model Bresing Pada Dinding Bambu Sandwich Panel Untuk Rumah Tahan Gempa, yang dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Fakultas Kehutanan dan Balai Struktur Bangunan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Cileunyi Wetan, Bandung. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik bambu sandwich panel dengan beberapa model bresing yang cocok diaplikasikan di daerah zona gempa Indonesia. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat meningkatkan aplikasi penggunaan bambu sandwich panel sebagai komponen rumah pra-pabrikasi tahan gempa. Sehingga dapat mengurangi kerugian akibat bencana alam khususnya gempa bumi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap hasil-hasil yang dituangkan dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya.

Bogor, Juni 2011 Penulis


(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir jaman.

Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku yang selalu setia menyertai dengan do’a, dukungan baik moral maupun moril, semangat dan kasih sayang.

2. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Ir. Maryoko Hadi, Dipl.E.Eng., MT yang telah memberikan bimbingan, arahan, bantuan dan masukan selama penelitian hingga penulisan skripsi selesai.

3. Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc selaku penguji sidang dan Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS selaku ketua sidang.

4. Dewi Sartika yang selalu setia mendo’akan, mendukung, mengajarkan cara mengolah data, menyemangati dan kasih sayangnya untuk penulis.

5. Bapak Nana, Bapak Tedi, Bapak Jono, dan semua Staf Balai Kontruksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Cileunyi Wetan Bandung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

6. Imam S.P dan Zulhijah yang telah membantu selama penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai, serta rekan-rekan hasil hutan 43 dan Mas Irfan yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penelitian hingga selesai.

7. Keluarga besar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sebagai penyempurna skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2011


(9)

bersaudara dari pasangan Karno Sopian dan Komala. Pada tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Galuh XXVIII, tahun 2003 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ciamis dan pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Ciamis. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB). Satu tahun berikutnya, penulis masuk jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan melalui sistem Mayor Minor. Kemudian pada tahun 2009, penulis memilih bidang keahlian Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu dan selama kuliah penulis mengambil Supporting Course sebagai kuliah penunjang.

Pada masa kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya pada tahun 2006 sampai sekarang, penulis masih terdaftar dalam anggota Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis (PMGC) dan Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman, anggota Komisi Advokasi Kemahasiswaan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Kehutanan IPB (2008-2009), Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) Fakultas Kehutanan IPB (2007-2009). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian selama masa kuliah, diantaranya pada tahun 2009 sebagai anggota divisi konsumsi acara Bina Desa Situ Gede, anggota panitia pelatihan manajemen organisasi, administrasi dan keuangan (2008), panitia acara MIMITRAN dan PAMITRAN Lises Gentra Kaheman (2008). Pada tahun yang sama, penulis menjadi panitia KOMPAK HH 2008. Penulis melakanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Baturraden – Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis juga melaksanakan Peraktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di CV. Rakabu Furniture Solo, Jawa Tengah pada tahun 2010.

Untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penilitian sesuai bidang keahlian yang dipilih dengan judul “UJI MODEL BRESING PADA DINDING BAMBU SANDWICH PANEL UNTUK RUMAH TAHAN GEMPA” dibawah bimbingan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Ir. Maryoko Hadi, Dipl.E.Eng., MT.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

1.4 Hipotesis ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mekanisme Gempa Bumi ... 4

2.2 Bresing ... 5

2.3 Prinsip-Prinsip Rumah Tahan Gempa ... 6

2.4 Panel Sandwich ... 7

2.5 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz) ... 8

2.6 Kayu Meranti ... 12

2.7 Kayu Lapis ... 13

2.8 Perekat Isocyanate ... 14

BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 15

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 15

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan Baku ... 16

3.3.2 Modulus of Elasticity dan Modulus of Rupture Kayu Frame dan Bresing ... 17

3.3.3 Pembuatan Spesimen ... 19

3.3.4 Pengujian Sifat Fisis Bambu, Kayu Lapis dan Kayu Frame (rangka) serta Bresing 3.3.4.1 Kadar Air ... 20

3.3.4.2 Kerapatan (ρ) dan Berat Jenis (BJ) ... 21

3.3.5 Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Modulus of Elasticity dan Modulus of Rupture Kayu Frame dan Bresing ... 24

4.2 Sifat Fisis Bambu, Kayu Lapis dan Kayu Frame (rangka) serta Bresing 4.2.1 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz)... 25

4.2.2 Kayu Lapis ... 25


(11)

4.3 Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel ... 27

4.3.1 Perhitungan Gaya Gempa ... 27

4.3.2 Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel ... 29

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka

Tanah Untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia ... 4

2. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Tali ... 11

3. Tegangan Kerja Dasar Kayu Struktural Berdasarkan Pemutusan Secara Masial ... 19

4. Perhitungan Beban Mati Efektif Pada Bangunan Rumah Pra-Pabrikasi Tipe 21 ... 22

5. Perhitungan Beban Mati Efektif Pada Bangunan Tipe 36 ... 28

6. Koefisien Gempa dari Spektrum Respon ... 28

7. Faktor Reduksi Gempa ... 29

8. Nilai Gempa Geser Horizontal Gempa ... 29

9. Hasil Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel ... 30


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Peta tektonik kepulauan Indonesia dan pembagian zona gempa

wilayah Indonesia ... 4

2. Urutan Kerja Penelitian ... 16

3. Proses Persiapan Bambu ... 17

4. Proses Persiapan Kayu ... 17

5. Penampang Bambu Sandwich Panel ... 19

6. (a) Model Kontrol, (b) Model Diagonal Bresing 1, (c) Model Diagonal Bresing 2, dan (d) Model Diagonal Bresing 3 ... 20

7. Skema Pembuatan Contoh Uji ... 20

8. Hasil Uji Racking Untuk Menentukan Besarnya Fmax,est. ... 23

9. Grafik Tahapan Pembebanan. ... 23

10. Kelas Mutu Kayu Frame dan Bresing. ... 24

11. Histogram Hasil Pengujian Kerapatan dan Berat Jenis Kayu ... 26

12. Histogram Hasil Pengujian Kadar Air Kayu ... 27

13. Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Kontrol ... 30

14. Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Diagonal Bresing 1 30

15. Respon Beban-Displacement Pada Bambu Sandwich Panel Kontrol (Tanpa Bresing) ... 31

16. Respon Beban- Displacement Pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 1 ... 31

17. Respon Beban- Displacement Pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 2 ... 32

18. Respon Beban- Displacement Pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 3 ... 32

19. Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Diagonal Bresing 2 32


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Hasil Kalibrasi Panter MPK-5 ... 39 2. Pengujian Kekuatan Kayu dengan Panter MPK-5 ... 39 3. Hasil Pengujian Untuk Menentukan Pmax Bambu Sandwich Panel ... 42 4. Hasil Pengujian Racking Pada Bambu Sandwich Panel Kontrol

(Tanpa Bresing) ... 54 5. Hasil Pengujian Racking Pada Bambu Sandwich Panel Dengan

Diagonal Bresing 1 ... 56 6. Hasil Pengujian Racking Pada Bambu Sandwich Panel Dengan

Diagonal Bresing 2 ... 58 7. Hasil Pengujian Racking Pada Bambu Sandwich Panel Dengan

Diagonal Bresing 3 ... 60 8. Hasil Pengujian Sifat Fisis Bahan ... 62


(15)

1.1 Latar Belakang

Dilihat dari posisi geografisnya, Indonesia rentan akan bencana alam. Sebagai contohnya adalah kejadian bencana alam gempa bumi yang terjadi 26 Mei 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akibat kejadian tersebut, tercatat kerugian sebesar 29,2 triliun rupiah dan 400 ribu unit rumah hancur total (Yunita 2006). Oleh sebab itu, untuk mengurangi besarnya kerugian yang diderita, bangunan hunian haruslah dirancang agar tahan terhadap guncangan gempa bumi. Dan diperlukan suatu bahan yang ringan namun kuat sebagai bahan konstruksi tahan gempa.

Kayu merupakan bahan alternatif untuk pembuatan rumah tahan gempa, karena selain ringan juga mudah dikerjakan dan jumlahnya cukup banyak. Bahan baku kayu saat ini sebagian besar dipasok oleh hutan tanaman yang karakteristik kayunya berkerapatan rendah. Selain kayu, pada saat ini telah ada alternatif dalam penggunaan kayu olahan yang diantaranya adalah kayu lapis. Kayu lapis yang pertama kali dikenal adalah tripleks yang terdiri atas tiga lembar venir yang disusun bersilangan tegak lurus. Pada perkembangannya kini, kayu lapis telah diproduksi dengan berbagai ketebalan.

Bambu merupakan tanaman yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terutama bagi masyarakat pedesaan, bambu menjadi tanaman yang serbaguna dan mampu mengasilkan uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Masyarakat memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan ataupun bahan kerajinan. Karena bambu memiliki sifat kuat, ulet, lurus, keras, juga mudah dikerjakan dan mudah untuk diangkut.

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), dari kurang lebih 1.000 spesies bambu di 80 negara, sekitar 200 spesies ditemukan di Asia Tenggara yang tersebar di 20 negara. Sedangkan jenis bambu yang ada di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Tanaman bambu ini banyak ditemukan di daerah dataran rendah sampai penggunungan dengan ketinggian sekitar 300 m diatas permukaan laut. Tanaman bambu Indonesia pada umumnya hidup merumpun, ditemukan di daerah terbuka dan bebas dari genangan air.

Saat ini, panel sandwich banyak digunakan dan diaplikasikan pada bangunan gedung seperti sekat ruangan, lantai rumah, dan dinding rumah. Dengan menggunakan teknik


(16)

dibentuk menjadi berbagai macam produk dalam kontruksi bangunan (Ikhsan 2009).

Struktur dari bangunan kayu memiliki stabilitas dan integritas struktur yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan kayu memiliki perbandingan antara kekuatan dan bobot yang jauh lebih baik dari bahan bangunan lain, misalnya baja dan beton bertulang, sehingga bangunan kayu umumnya lebih ringan. Sambungan-sambungan komponen bangunan kayu bersifat daktil dan tidak mudah lepas. Pada saat terjadi kerusakan pada salah satu komponen bangunan kayu dapat diatasi, karena kayu dapat mengambil ke posisi keseimbangan baru. Hal ini terjadi karena bangunan kayu relatif berbobot ringan, sehingga gaya inersia yang timbul karena gempa menjadi kecil dan tidak terlalu membebani bangunannya (Karlinasari dan Nugroho 2006).

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbang permukiman 2004) yang diacu dalam Karlinasari (2006), bangunan tahan gempa memiliki tiga kaidah yaitu sebagai berikut :

1. Bila terjadi gempa ringan bangunan tidak akan mengalami kerusakan baik pada elemen struktur (kolom, balok, atap, dinding, dan pondasi) maupun pada elemen non-struktur (genteng dan kaca).

2. Bila terjadi gempa berkekuatan sedang, bangunan bisa mengalami kerusakan hanya pada elemen non-struktur. Sedangkan elemen strukturnya tidak boleh rusak.

3. Bila terjadi gempa berkekuatan besar, bangunan bisa mengalami kerusakan, baik pada elemen struktur maupun elemen non-strukturnya. Namun, kedua elemen tersebut tidak boleh membahayakan penghuni yang ada di dalam bangunan. Penghuni harus mempunyai waktu untuk menyelamatkan diri sebelum bangunannya runtuh.

Hal ini juga disampaikan dalam SNI 03-1726-2002 yaitu tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung. Dimana struktur bangunan gedung tidak boleh mengalami kerusakan struktural namun dapat mengalami kerusakan non-struktural ringan ketika terjadi gempa sedang. Dan akibat gempa kuat, struktur bangunan gedung dapat mengalami kerusakan struktural yang berat namun harus tetap dapat berdiri sehingga korban jiwa dapat dihindarkan.


(17)

1. Mengukur kekuatan racking stiffness dan racking strength bambu sandwich panel dengan beberapa model bresing.

2. Pembagian model bresing kedalam tipe zona gempa berdasarkan nilai racking stiffness dan racking strength yang dihasilkan.

1.3 Manfaat

1. Menjadi informasi rujukan berkaitan dengan kekuatan bambu sandwich sebagai elemen rumah tahan gempa.

2. Memberi alternatif pilihan dalam membangun rumah dengan dinding bambu sandwich.

1.4 Hipotesis

Penggunaan model-model rangka pengaku (bresing) diduga akan meningkatkan kemampuan bambu sandwich panel untuk menahan racking stiffness dan racking strength.


(18)

2. 1 Mekanisme Gempa Bumi

Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif aktivitas gunung api atau runtuhan batuan (ESDM 2011). Menurut SNI 03-1762-2002, Indonesia terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan Wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah Gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa Rencana dengan perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah Gempa ditetapkan dalam Gambar 1 dan Tabel 1.

Gambar 1 Peta tektonik kepulauan Indonesia dan pembagian zona gempa wilayah Indonesia.

Tabel 1 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah Untuk Masing-Masing Wilayah Gempa Indonesia

Wilayah Gempa Percepatan puncak batuan dasar (‘g’)

Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’) Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus 1 2 3 4 5 6 0,03 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,04 0,12 0,18 0,24 0,28 0,33 0,05 0,15 0,23 0,28 0,32 0,36 0,08 0,20 0,30 0,34 0,36 0,38 Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung (SNI 03– 1726 – 2002)


(19)

Terjadinya gempa bumi dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan yang berada di muka tanah. Secara analogi, bangunan dalam keadan diam (stabil), tidak bergerak dan berat bangunan tersebut langsung ditopang oleh bumi searah gravitasi. Berdasarkan hukum Newton, berat bangunan tersebut merupakan sebuah gaya searah gravitasi yang besarnya :

� � � = � � �� � � � � � ( )

Dari persamaan diatas, gravitasi merupakan sebuah satuan percepatan yang arahnya menuju pusat bumi. Ketika terjadi gempa, timbul percepatan permukaan tanah sebesar pergerakan gempa. Timbulnya percepatan ini mengakibatkan adanya gaya inersia pada bangunan berupa gaya dengan arah horisontal yang berlawan dengan datangnya gempa. Besarnya gaya horisontal sesuai dengan persamaan :

���� � � = � � �� × � � � � ( )

Semakin besar massa suatu bangunan maka semakin besar pula gaya inersia yang ditimbulkannya. Dampak dari gaya inersia yang timbul akibat gempa pada bangunan yang tidak cukup kuat akan berakibat kerusakkan pada bangunan. (Irsyam dan Hoedajanto 2010).

2.2 Bresing

Bresing merupakan suatu tindakan atau proses untuk membuat suatu kontruksi jadi lebih kuat atau kokoh (rigid) (Dictionary of engineering 2nd edition 2003). Dalam SNI 03-1729-2000 tentang tata cara perencanaan struktur baja untuk bangunan gedung (beta version), ada beberapa sistem bresing diantaranya sistem rangka bresing konsentrik khusus (SRBKK), sistem rangka bresing konsentrik biasa (SRBKB) dan sistem rangka bresing eksentrik (SRBE). Persyaratan untuk sistem rangka bresing konsentrik khusus (SRBKK) adalah diharapkan dapat mengalami inelastisitas yang cukup besar akibat beban gempa rencana. Sedangkan SRBKB diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis secara terbatas apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban gempa rencana. Serta SRBE diharapkan dapat mengalami deformasi inelastis yang cukup besar pada link disaat memikul gaya-gaya akibat beban gempa rencana. Dalam


(20)

SRBE, link adalah bagian dari balok yang direncanakan untuk mendisipasi energi pada saat terjadi gempa kuat.

Setiap bresing lateral pada ujung dan di dalam segmen khusus harus direncanakan mempunyai ketahanan rencana paling tidak 5% dari tahanan tekan aksial nominal pada segmen khusus Batang bresing harus mampu mendistribusikan beban lateral. Pada bidang bresing, batang-batang bresing harus dipasang dengan arah selang-seling. Sehingga pada masing-masing arah gaya lateral yang sejajar dengan bidang bresing, minimal 30% tapi tidak lebih dari 70% gaya horizontal total harus dipikul oleh batang bresing tarik, kecuali jika tahan nominal untuk setiap bresing lebih besar dari pada terfaktor sesuai dengan kombinasi pembebanan. Bidang bresing adalah suatu bidang yang mengandung batang bresing atau bidang-bidang paralel yang mengandung batang-batang bresing dengan jarak antara bidang-bidang tersebut tidak lebih dari 10% dimensi tapak bangunan tegak lurus bidang tersebut (SNI 03-1729-2002).

Bresing tipe V dan tipe V tebalik harus memiliki syarat sebagai berikut (SNI 03-1729-2000) :

1) Balok yang bersilang dengan batang bresing harus menerus dari kolom ke kolom;

2) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh semua beban mati dan hidup berdasarkan kombinasi pembebanan dengan menganggap bahwa batang bresing tidak ada;

3) Balok yang bersilangan dengan batang bresing harus direncanakan untuk memikul pengaruh kombinasi pembebanan kecuali beban pengaruh dari beban vertikal maksimum yang disebabkan oleh bertemunya batang bresing dengan balok.

2. 3 Prinsip-Prinsip Rumah Tahan Gempa

Pembangunan rumah tahan gempa, menurut Yuskar (2009), perlu mengacu pada konsep bahwa struktur bangunan tersebut harus menyatu dalam lingkup tiga dimensi, cukup kaku, kuat dan liat atau tidak getas diguncang gempa. Bangunan harus berbentuk simentris seperti bentuk kotak dan lingkaran. Kekuatan bangunan


(21)

tahan gempa dibagi dalam lima hierarki, mulai dari tanah hingga ke atap, semakin ke atas haruslah semakin ringan.

Menurut SNI 03-1726-2002 yaitu tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung. Dimana struktur bangunan gedung tidak boleh mengalami kerusakan struktural namun dapat mengalami kerusakan non-struktural ringan ketika terjadi gempa sedang. Dan akibat gempa kuat, struktur bangunan gedung dapat mengalami kerusakan struktural yang berat namun harus tetap dapat berdiri sehingga korban jiwa dapat dihindarkan.

2. 4 Panel Sandwich

Menurut Haris (1975), panel sandwich merupakan salah satu produk komposit yang terdiri dari lapisan-lapisan tipis sebuah material (yang memiliki kekuatan tinggi) yang kemudian direkatkan dengan lapisan inti pada bagian tengah yang lebih tebal, lemah, dan ringan. Sehingga menghasilkan produk dengan rasio kekuatan dan kekakuan dibandingkan berat yang tinggi. Kontruksi sandwich adalah kontruksi berlapis yang didapatkan dengan merekatkan dua lapisan tipis (face-back) pada suatu teras (core) tebal. Bahan yang digunakan sebagai face-back dalam panel sandwich antara lain plywood, hardwood, asbestos board, single veneer, material logam (alumunium, kertas magnesium, baja, enameled steel), wallboard, fiber-reinforced plastict or laminates dan veneer bonded to metal. Kekakuan, stabilitas, dan sebagian besar kekuatan dari panel sandwich ditentukan oleh karakteristik dari lapisan-lapisannya (Yap 1964).

Menurut Yap (1964), keuntungan dari panel sandwich adalah bahan lapisan yang digunakan relatif murah dan kemungkinan luas dalam pemilihan bahan sebagai face-back maupun core. Panel sandwich ini digunakan atau diaplikasikan untuk dinding bangunan, meja, pintu, plafon serta lantai kayu. Secara ekonomi, pembuatan panel sandwich dengan berbagai core mempunyai harapan besar di pasar luar negeri.

Menurut Ikhsan (2009), panel sandwich yang menggunakan inti bambu tali tebal 3 cm dengan perekat epoxy menghasilkan nilai sifat mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan panel sandwich yang menggunakan inti bambu tali tebal 4 cm dan 5 cm dengan perekat poliuretan dan isosianat. Hal ini dikarenakan perekat


(22)

epoxy memiliki keunggulan yaitu merupakan tipe perekat eksterior yang tahan panas, cuaca dingin, serta daya rekat yang permanen. Sehingga dapat diaplikasikan untuk dinding, sekat ruangan ataupun lantai dimana sangat membutuhkan kekuatan dalam menahan beban. Hasil penelitian Febriyani (2008), menunjukan bahwa panel sandwich dengan pola peletakan bambu bulat utuh memiliki kualitas yang lebih baik daripada panel dengan pola peletakan bambu belah dan campuran. Hal ini dinilai dari besarnya hasil pengujian MOE dan MOR dari ketiga pola peletakan bambu.

2. 5 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz)

Bambu merupakan hasil hutan bukan kayu yang tergolong kedalam suku Gramineae (rumput-rumputan), famili Bambuseae dari sub-famili Bambusoideae yang disebut juga giant grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap dari mulai rebung, batang muda, dan umur dewasa yaitu umur 4-5 tahun. Bambu memiliki perkembangan yang cepat, tingkat pertumbuhannya dapat mencapai 60 cm (24 in) per hari. Pertumbuhan yang cepat ini disebabkan oleh bentuk sistem perakarannya yang rimpang (rhizoma), tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim di daerah tersebut (Anonim 2010). Batang bambu berbentuk silindris, berbuku, beruas, berdinding keras, pada setiap bukunya terdapat tunas atau cabang. Akar bambu terdiri atas rimpang (rhizoma) berbuku dan beruas, pada buku akan ditumbuhi oleh serabut dan tunas yang dapat tumbuh menjadi batang.

Kurang dari 1.000 spesies bambu dalam 80 genus, sekitar 200 spesies dari 20 genus ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja 1995) sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Tanaman bambu di Indonesia umumnya ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 mdpl dan umumnya terdapat pada tempat-tempat terbuka serta bebas dari genangan air. Bambu merupakan salah satu sumber daya alam yang berasal dari daerah tropis yang penyebarannya luas, mudah didapat, cepat tumbuh, mudah diolah, dan mempunyai sifat yang bermanfaat. Oleh karenanya bambu dapat dimanfaatkan secara terus-menerus untuk kehidupan sehari-hari, bambu merupakan sumber daya alam yang berkesinambungan. Tidak ada tanaman tropis


(23)

yang dapat menghasilkan manfaat yang banyak untuk kehidupan manusia seperti bambu.

Bambu memiliki sifat-sifat yang baik, seperti mempunyai batang yang kuat, ulet, relatif lurus, keras, mudah dikerjakan, serta mudah untuk diangkut. Selain itu bambu juga mempunyai harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain, seperti kayu. Bahkan dibanding dengan kayu, bambu mempunyai rasio energi per unit tegangan yang rendah dan kekuatan lentur yang lebih baik. Kelebihan ini menjadikan bangunan yang terbuat dari bambu lebih tahan terhadap gempa bumi.

Beberapa tahun belakangan ini bambu dapat memasuki kompetisi pasar dunia dalam produk pulp dan kertas, parquet, plybamboo, dan sebagai sayuran kaleng. Bambu mengalami peningkatan penggunaaan yang signifikan di Asia Tenggara sebagai bahan bangunan, bahan dasar pembuatan keranjang, dan sebagai sayuran. Pemanfaatan lain adalah sebagai bahan dasar kertas, alat musik, dan sebagai bahan kerajinan tangan (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu memiliki beberapa karakter yang menjadi sifat dasarnya. Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam batang, sedangkan serat lebih banyak terdapat pada bagian luarnya. Kisaran serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya makin berkurang (Dransfield dan Widjaja 1995).

Batang bambu terdiri atas bagian buku (node) dan bagian ruas (internode). Pada bagian ruas orientasi adalah aksial tidak ada yang radial, sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisan sklerenkim. Berat jenis bambu bervariasi dari 0,5-0,8 g/cm3, bagian luar dari batang mempunyai berat jenis lebih besar daripada bagian dalamnya. Berat jenis akan meningkat di dalam batang dari bagian bawah sampai bagian atas.

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) kadar air batang bambu merupakan faktor penting dan dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya. Kadar air pada


(24)

bambu bervariasi menurut jenis, posisi dalam batang, umur batang dan musim. Kadar air cenderung bertambah dari bawah ke atas pada bambu yang berumur 1-3 tahun dan lebih banyak presentasenya saat musim penghujan dibanding saat musim kemarau. Pada umumnya jika bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air. Pada batang bambu muda penurunan kadar air berkisar antara 50-99%, sedang pada bambu tua berkisar antara 12-18%.

Bambu mulai mengalami penyusutan setelah pemanenan tetapi tidak berlangsung secara seragam, berbeda dengan kayu. Penyusutan berpengaruh terhadap ketebalan dinding batang dan diameter. Penyusutan radial pada bambu lebih besar dari pada penyusutan tangensial dengan perbandingan 7% dan 6%, sedangkan penyusutan ke arah longitudinal tidak lebih dari 0,5% (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu tali atau bambu yang memiliki nama lain Bambusa apus J.A & J.H. Schultes (1830), Gigantochloa kurzii Gamble (1896). Nama daerah pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda) (Dransfield dan Widjaja 1995). Asal dan penyebaran secara geografis bambu tali kemungkinan berasal dari Burma (Myanmar) dan Thailand Selatan. Bambu tali dikenal di Jawa selama masa perpindahan prasejarah manusia. Sekarang di Jawa, bambu tali tumbuh dan tersebar luas dan populasi alaminya terdapat di Gunung Salak (Jawa Barat) dan Blambangan (Jawa Timur). Di Indonesia, bambu tali sudah menyebar ke Sumatera Selatan. Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah. Kadang-kadang bambu tali diusahakan di daerah tropis dalam bentuk kebun-kebun percobaan atau Kebun Raya (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu tali termasuk tanaman bambu simpodial, berdiri tegak, tinggi batang 8-30 meter dengan diameter buluh 4-13 cm tebalnya bisa mencapai 1,5 cm. Berwarna hijau terang sampai kuning. Panjang ruas 20-60 cm, buku sedikit membengkok pada bagian luar. Panjang serat sekitar 0,9-5,5 mm. Diameter dinding serat 5,3 µ m, tebal dinding sel 1-3 µ m. Kadar air rata-rata batang bambu segar adalah 54,3% dan batang bambu kering 15,1%.

Sifat mekanis dan sifat fisis dari bambu dipengaruhi oleh umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas),


(25)

posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ginoga (1977) dalam Krisdianto et al. (2010), bambu tali memiliki sifat fisis dan sifat mekanis terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sifat Fisis Dan Mekanis Bambu Tali

Sifat Satuan Bambu tali

Keteguhan lentur static

Tegangan pada batas proporsi kg/cm2 327 (32,07 Mpa) Tegangan pada batas patah kg/cm2 546 (53,54 Mpa) Modulus elastisitas kg/cm2 101000 (9904,72 Mpa) Usaha pada batas proporsi kg/cm3 0,8

Usaha pada batas patah kg/dm3 3,3 Keteguhan tekan sejajar serat (tegangan

maksimum)

kg/cm2 504 (49,43 Mpa)

Keteguhan geser kg/cm2 39,5 (3,82 Mpa)

Keteguhan tarik tegak lurus serat kg/cm2 28,3 (2,75 Mpa)

Keteguhan belah kg/cm2 58,2 (5,69 Mpa)

Berat Jenis

KA pada saat pengujian - 0,69

KA : 19,11%

KA kering tanur - 0,58

KA : 16,42% Keteguhan pukul

Pada bagian dalam kg/dm3 45,1

Arah tangensial kg/dm3 31,9

Pada bagian luar kg/dm3 31,5

Sumber : Ginoga (1977) dalam Krisdianto et al. (2010)

Bambu tali mempunyai buluh yang berwarna hijau kekuningan dengan lapisan lilin pada bagian bawah buku-bukunya ketika masih muda. Bambu ini mudah dibedakan dengan jenis-jenis yang lain dari pelepah buluhnya yang selalu melekat pada buluhnya. Disamping itu kuping pelepah buluhnya yang sangat kecil sehingga hampir tidak nampak.

Kegunaan bambu tali sangat penting untuk perekonomian daerah pedesaan di Indonesia, karena banyak digunakan untuk membuat perlengkapan memasak, alat-alat perikanan, furniture, tali dan macam-macam keranjang. Batangnya dapat tahan lama dan digunakan sebagai bahan bangunan seperti atap, dinding, dan jembatan. Batangnya dapat dibelah menjadi belahan yang bagus untuk dibuat menjadi topi, keranjang, dan benda lainnya. Ketika potongannya dilekukkan, permukaannya tidak mengelupas. Dengan tidak memperhatikan jenis yang lebih


(26)

sesuai, bambu tali kadang kala digunakan untuk membuat alat musik, walaupun kualitas nada yang dihasilkan tidak terlalu baik. Bambu tali tidak cocok untuk dibuat sumpit dan tusuk gigi secara mekanis, karena memiliki serat yang saling tindih.

2.6 Kayu Meranti

Kayu meranti termasuk ke dalam kerajaan Plantae, kelas ordo Malvales, famili Depterocarpaceae dan genus Shorea Roxb. ex C.F.Gaertn. Meranti (Shorea Sp. Roxb. ex C.F.Gaertn.) memiliki nama daerah, antara lain : banio, ketuko, meranti, merkutung dan sirantih (Sumatera). Di daerah Maluku kayu meranti mempunyai nama daerah yaitu kayu bapa, dan sehu. Sedangkan di daerah Kalimantan kayu ini memiliki nama daerah yaitu abang, awang, damar, engkabang dan kakan. Daerah penyebarannya adalah Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Meranti tergolong kayu keras berbobot ringan sampai berat hingga sedang. Berat jenisnya berkisar antara 0,3 sampai 0,86 pada kandungan air 15%. Menurut kekuatannya, jenis-jenis meranti dapat digolongkan dalam kelas kuat II-IV, sedangkan keawetannya tergolong dalam kelas III-IV. Kayu ini tidak begitu tahan terhadap pengaruh cuaca, sehingga tidak dianjurkan untuk penggunaan di luar ruangan dan yang bersentuhan dengan tanah. Namun kayu meranti cukup mudah diawetkan dengan menggunakan campuran minyak diesel dengan kreosot.

Dalam buku atlas kayu Indonesia, kayu meranti memiliki sifat mekanis MOE sebesar 62000 kg/cm2 (6080,12 Mpa) dalam keadaan basah dan 66000 kg/cm2 (6472,39 Mpa) dalam keadaan kering. Besarnya tegangan pada batas proporsi yaitu 145 kg/cm2 (14,22 Mpa) pada keadaan basah dan 179 kg/cm2 (17,55 Mpa) pada keadaan kering. Sedangkan besarnya tegangan pada batas patah pada keadaan basah yaitu 309 kg/cm2 (30,3 Mpa) dan pada keadaan kering yaitu 359 kg/cm2 (35,21 Mpa). Kayu meranti juga memiliki keteguhan usaha sampai batas proporsi sebesar 0,2 kg/dm3 dalam keadaan basah dan 0,3 kg/dm3 pada keadaan kering, serta usaha sampai batas patah dalam keadaan basah dan kering sebesar 2,5 kgm/dm3 (Martawijaya et al. 2005).

Kayu ini lazim dipakai sebagai kayu konstruksi, panil kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot rumah tangga, mainan, peti mati


(27)

dan lain-lain. Kayu meranti merah dan berumur tua yang lebih berat biasa digunakan untuk konstruksi sedang sampai berat, balok, kaso, kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta untuk membuat perahu. Dari 70 spesies Shorea yang termasuk dalam kelompok meranti merah, terbanyak dijumpai di Kalimantan (62 spesies), diikuti oleh Sumatera (23 spesies) dan Semenanjung Malaya (19 spesies). Di luar wilayah-wilayah itu, meranti merah juga ditemukan di Thailand Selatan, Filipina dan Maluku.

2.7 Kayu Lapis

Kayu lapis adalah produk panil vinir-vinir kayu yang direkatkan menjadi satu sehingga arah serat sejumlah vinir tegak lurus dan yang lain sejajar dengan sumbu panjang panil. Umumnya pada kayu lapis, vinir disusun secara sejajar dengan permukaan lain dan tegak lurus dengan lapisan inti. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dari satu sisi panil ke panil lainnya, jumlah finir yang digunakan adalah jumlah ganjil yaitu 3, 5, 7, dan seterusnya. Sejumlah kayu lapis ada yang tersusun atas jumlah vinir yang genap, pada tipe kayu lapis ini dua lapisan vinir diletakkan secara sejajar untuk dijadikan lapisan inti yang tebal. Kayu lapis juga terbuat dari kayu gergajian dan papan partikel yang dijadikan sebagai bagian inti. Kayu lapis yang tidak terbuat dari lapisan finir umumnya dimanfaatkan untuk keperluan perabot rumah tangga.

Kayu lapis memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kayu gergajian walaupun kekuatan kayu lebih kecil dibandingkan kayu gergajian. Kayu lapis memiliki kekuatan lengkung dalam dua arah, oleh karena itu kayu lapis baik digunakan dalam pembuatan lantai sejajar ataupun tegak lurus dengan kasau lantai (gelagar) yang menyangganya. Keunggulan lain dari kayu lapis adalah bentuk kayu lapis yang panjang dan kaku yang menyebabkan kayu lapis sulit mengalami perubahan bentuk akibat gaya yang sejajar bidang panil. Keunggulan inilah yang menjadikan kayu lapis cocok digunakan sebagai pelapis lantai, atap dan dinding luar. Hal ini menyebabkan terciptanya struktur yang kuat sehingga dapat tahan terhadap gempa dan angin ribut (Haygreen dan Bowyer 1996).


(28)

2.8 Perekat Isocyanate

Di negara Jerman, senyawa kimia organik isocyanate mulai dikembangkan pada akhir tahun 1930 dan perekat berbahan dasar isocyanate mulai digunakan pada pertengahan tahun1940. Pelopor penggunaan diisocyanate sebagai perekat kayu adalah Deppe dan Ernst pada tahun 1951. Sebagai akibat dari pekerjaannya, pembuatan papan komersial dengan menggunakan diisocyanate dimulai di Jerman pada tahun 1975 (Pizzi 1983). Isosianat merupakan salah satu perekat yang dapat digunakan dalam pembuatan papan biokomposit. Perekat ini bersifat karsinogen dan beracun dan tergolong dalam kategori perekat thermosetting, karena tidak dapat kembali kebentuk semula apabila diaplikasikan ke bahan yang digunakan. Perekat isosianat memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, pH netral dan kedap terhadap solvent (pelarut organik). Isosianat membutuhkan waktu yang lama untuk mengental, pada saat menit ke-70 isosianat tidak mampu menental dengan sempurna (Ruhendi dan Hadi 1997).

Menurut Marra (1992), perekat isosianat memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah jumlah yang diibutuhkan sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah, siklus pengempaan lebih singkat, lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi, membutuhkan energi pengeringan yang lebih sedikit, stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil, dan tidak ada emisi formaldehida.


(29)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Maret 2011, dimana pembuatan contoh uji dan pengujian sifat fisis dilakukan di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan uji racking dilakukan di Balai Struktur Bangunan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Cileunyi Wetan, Bandung.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz), berumur 3 tahun yang berasal dari desa Leuwikopo, Dramaga - Bogor. Bambu yang masih basah, dijemur dibawah terik matahari agar kadar airnya seimbang (dikeringkan secara alami). Perekat yang digunakan adalah perekat Isocyanate No. H3M yang diperoleh dari PT. Polyshika dan dicampur dengan base dengan perbandingan 100:15. Sebagai pelapis bambu digunakan kayu lapis dengan ukuran 2400 mm x 1200 mm x 5 mm, kayu yang digunakan untuk frame (rangka) adalah kayu meranti dengan ukuran 2200 mm x 100 mm x 45 mm dan 1800 mm x 100 mm x 45 mm. Paku ukuran 150 mm dan 40 mm yang digunakan untuk menyatukan kayu frame dan bresing serta kayu lapis.

Peralatan yang digunakan adalah plat besi ukuran 2400 mm x 1200 mm x 9 mm, klem baja, palu, timbangan elektronik, moisture meter, oven, kaliper, meteran, mesin pemilah kayu PANTER MPK -5, seperangkat mesin pengujian tahan gempa (racking test), mesin gergaji band saw, milter saw merk krisbow, jig saw merk Bosch, mesin bor tangan merk Bosch, mesin planner, sarung tangan, alat dokumentasi, alat tulis dan alat hitung.


(30)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan Bahan Penelitian

Secara umum proses yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam proses tersebut terdapat beberapa tahapan kerja. Pertama, dilakukan persiapan bahan penelitian dan kemudian dilakukan pengujian sifat fisis untuk bahan-bahan tersebut. Selanjutnya dilakukan pembuatan frame dan bresing dengan menggunakan paku baja ukuran 150 mm. Setelah pembuatan frame dan bresing selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah pemasangan kayu lapis pada satu sisi frame dengan menggunakan paku baja berukuran 40 mm. Bagian dalam frame diisi bambu dengan ukuran tinggi 45 mm. Pemasangan bambu tersebut dilakukan menggunakan perekat isocyanate No. H3M yang dicampur base dengan perbandingan 100:15. Kemudian dilakukan pemasangan kayu lapis kembali pada sisi frame yang lainnya menggunakan paku baja ukuran 40 mm. Terakhir dilakukan racking test untuk mengukur besarnya racking stiffness dan racking strength dari bambu sandwich panel (BSP).

Gambar 2 Urutan Kerja Penelitian.

Bambu yang digunakan untuk pengisian bagian dalam frame (core) adalah bambu tali yang berumur 3 tahun. Sebelumnya bambu tersebut dikeringkan secara alami dibawah terik matahari sampai kadar airnya seimbang (bambu berubah warna dari hijau menjadi kuning). Setelah bambu kering dan mengalami pengkondisian, kemudian bambu tersebut di potong dengan panjang 45 mm tanpa memperhatikan diameter yang bervariasi. Bambu yang telah dipotong harus bebas dari buku. Pemotongan bambu ini sangat diperhatikan agar tebal bambu yang didapatkan seragam. Setelah bambu

Persiapan bahan Uji sifat fisis bahan

Pembuatan

framedan bresing

Pemasangan kayu lapis pada 1

sisi

Pemasangan bambu Pemasangan

kayu lapis pada sisi yang lain


(31)

dipotong, kemudian bambu diamplas dengan bantuan mesin grinda yang dimodifikasi menjadi mesin amplas tangan.

Kayu yang digunakan sebagai frame dikering udarakan hingga mencapai kadar air ±12% untuk kemudian disesuaikan ukurannya, karena pada saat dibeli ukurannya 50 mm x 100 mm, dengan cara diserut dan dipotong untuk menyesuaikan panjang yang diinginkan yaitu ukuran 2200 mm x 100 mm x 45 mm dan 1800 mm x 100 mm x 45 mm. Setelah ukuran kayu sesuai dengan kebutuhan, kayu terlebih dahulu diuji kekuatan mekanisnya dengan mesin pemilah kayu PANTER MPK -5.

Pengujian ini bertujuan untuk memilah kayu yang akan digunakan untuk frame dan penguat sesuai dengan besarnya tegangan serat (TS) yang dihasilkan pada saat pengujian. Dimana kayu yang memiliki TS lebih besar diasumsikan memiliki kekuatan mekanis lebih besar juga, dibandingkan dengan kayu yang memiliki TS lebih kecil. Kayu yang memiliki TS ≥ 12 digunakan untuk pembuatan frame (bagian struktural), sedangkan kayu yang memiliki TS ≤ 10 digunakan untuk pembuatan bresing.

3.3.2 Modulus of Elasticity dan Modulus of Rupture Kayu Frame dan Bresing

Pengujian Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) ini menggunakan contoh uji utuh dengan mesin pemilah kayu versi PANTER

Gambar 3 Proses Persiapan Bambu. 45 mm


(32)

MPK-5. Menurut buku petunjuk penggunaan mesin pemilah kayu versi PANTER MPK-5, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam pengujian MOE dan MOR:

1. Sebelum melakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi mesin. Tujuan dilakukan kalibrasi mesin ini adalah untuk mendapatkan nilai rataan, standar deviasi (Sd), koefisien variasi (%), dan faktor koreksi. Serta diperoleh besarnya beban pertama (a) dan beban kedua (b) yang akan digunakan dalam pengujian MOE dan MOR pada kayu berikutnya.

2. Pelaksanaan pemilahan. Urutan kerja pemilahan adalah : a) Kayu diletakan ditumpuan.

b) Beban pertama (a) diletakan searah jarum penyetaraan penimbangan. c) Jarum kasar dan halus diatur sampai mistar menunjukan ke angka 2 cm. d) Beban kedua (b) ditambahkan diatas beban pertama dan angka mistar

yang terjadi (y1) dicatat.

e) Kemudian beban, kayu dibalik dan ulangan dilakukan seperti sebelumnya, catat angka mistar yang terjadi (y2).

f) Angka mistar terbesar dicatat dan diambil sebagai data mistar Panter. 3. Menghitung nilai MOE dan MOR.

Nilai keteguhan kayu dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

MOE = Modulus elastis lentur (kg/cm²) MOR= Keteguhan lentur patah (kg/cm2) P = Beban kedua (b, kg)

Y = Nilai mistar Panter (y terbesar, cm) B = Lebar kayu posisi tidur (cm) h = Tebal kayu posisi tidur (cm) FK = Faktor koreksi kalibrasi mesin

4. Menentukan kelas tegangan serat (TS). Untuk mengetahui kelas tegangan serat (TS) dapat memanfaatkan Tabel 3 (SKI C-bo-010: 1987) setelah MOE diperoleh melalui pemilahan.

3 3 4Ybh

Pl


(33)

Tabel 3 Tegangan Kerja Dasar Kayu Struktural Berdasarkan Pemutusan Secara Masial

Kls mutu

Tegangan Kerja Dasar (Mpa) MOE

(Mpa) Lntr Trk // Tkn // Gsr // Tkn TLS

TS35 34,32 20,59 26,58 2,55 5,10 20593,97 TS32 31,87 19,12 24,71 2,35 4,71 19613,30 TS30 29,42 17,65 22,75 2,16 4,41 18632,64 TS27 26,97 16,18 20,89 1,96 4,02 17651,97 TS25 24,51 14,71 18,93 1,77 3,63 16671,31 TS22 22,06 13,24 17,06 1,57 3,24 15690,64 TS20 19.61 11,77 15,20 1,47 2,94 14709,98 TS17 17,16 10,30 13,24 1,27 2,55 13729,31 TS15 14,71 8,83 11,38 1,08 2,16 12258,31

TS12 12,26 7,35 9,51 0,88 1,77 10787,32

TS10 9,81 5,88 7,55 0,69 1,47 9316,32

TS7 7,35 4,41 5,69 0,49 1,08 7845,32 TS5 4,90 2,94 3,82 0,29 0,69 6374,32

Sumber: SKI C-bo-010: 1987 dalam Surjokusumo et al. 2003 3.3.3 Pembuatan Spesimen

Ukuran dinding yang akan dibuat adalah 2400 mm x 1200 mm x 55 mm. Pembuatan dinding dilakukan dengan cara pembuatan frame dan bresing (disatukan dengan paku baja ukuran 15 cm) yang kemudian pada satu sisi dipasang kayu lapis menggunakan paku baja ukuran 4 cm (jarak antar paku ± 10 cm). Kemudian merekatkan dan menyusun potongan – potongan bambu diatas kayu lapis yang telah dipasangkan frame (rangka) dan bresing tersebut. Perekat yang digunakan adalah campuran base dan perekat Isocyanate no H3M dengan perbandingan 100:15. Potongan-potongan bambu digunakan sebagai inti (core) dan kayu lapis sebagai lapisan atas dan bawah (face and back) seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 5 Penampang Bambu Sandwich Panel.

Kayu Lapis (Face) Lapisan Perekat

Bambu (Core)

Kayu Lapis (Back) Lapisan Perekat


(34)

3.3.4 Pengujian Sifat Fisis Bambu, Kayu Lapis dan Kayu Frame (rangka) serta Bresing

3.3.4.1 Kadar Air

Contoh uji kayu yang digunakan untuk pengukuran kadar air diambil dari bagian kayu yang mewakili bagian kayu dalam pembuatan bambu sandwich panel (BSP). Ukuran contoh uji kayu adalah 25 mm x 25 mm x 25 mm (ASTM D143-94 (2007)). Contoh uji bambu dibuat dengan ukuran 45 mm x 20 mm x 5 mm. Contoh uji kayu lapis dengan ukuran 75 mm x 75 mm (JAS No. 232 tahun 2003).

Semua contoh uji tersebut ditimbang berat awalnya (BA) menggunakan timbangan elektronik, selanjutnya dioven selama 24 jam pada suhu 103±2ºC. Setelah pengovenan contoh uji diletakkan dalam desikator selama ±15 menit, selanjutnya timbang berat kering tanur (BKT)nya. Sampel kembali dioven selama tiga jam dengan perlakuan yang sama sampai didapatkan berat yang konstan, Nilai kadar air (KA) didapatkan melalui perhitungan :

Keterangan:

BB = Berat awal (g)

BKT = Berat kering tanur (g) KA = Kadar air (%)

Gambar 6 (a) Model Kontrol, (b) Model Diagonal Bresing 1, (c) Model Diagonal Bresing 2, dan (d) Model Diagonal Bresing 3.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 7 Skema pembuatan contoh uji.

% 100

 

BKT BKT BB


(35)

3.3.4.2 Kerapatan (ρ) dan Berat Jenis (BJ)

Penentuan kerapatan dan berat jenis dari bambu dan kayu meranti menggunakan contoh uji yang sama dengan contoh uji yang digunakan pada pengujian kadar air. Sedangkan kayu lapis berukuran 50 mm x 50 mm dan berat jenis kayu lapis tidak bisa diukur karena jenis kayu yang digunakan sebagai bahan baku tidak diketahui. Untuk menghitung kerapatan, contoh uji tersebut ditimbang berat kering udara (BKU)nya dan di ukur rata-rata panjang (p), lebar (l) serta tebalnya (t) untuk menghitung volumenya. Nilai kerapatan dihitung :

ρ =

� �� ���� ���

Berat Jenis (BJ) = KU

KT V

B

/ ρ benda standar Keterangan :

ρ = Kerapatan contoh uji (g/cm3) BKU = Berat kering udara (g)

BKT = Berat kering tanur contoh uji (g) VKU = Volume kering udara contoh uji (cm3) ρ benda standar = Kerapatan air (1 g/cm3)

3.3.5 Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding

Pengujian kekuatan mekanis dinding bambu sandwich ini dilakukan dengan uji racking. Uji ini berdasarkan Draf Standar Internasional ISO/DIS 22452 tentang “Timber structures – Structural insulated panel wall – test

methods”. Uji racking akan menunjukkan besarnya kemampuan kekuatan

(strength) dan kekakuan (stiffness) dari dinding bambu sandwich. Ukuran contoh uji dinding bambu sandwich adalah 1200 mm x 2400 mm x 55 mm. Contoh uji kemudian diletakan secara horizontal sesuai dengan uji yang akan dilakukan. Kemudian pada beberapa bagian contoh uji diletakan alat ukur perpindahan (displacement) berupa transducer untuk mengukur besarnya defleksi (displacement) yang terjadi. Pembebanan diberikan dari dua arah yaitu vertikal (beban vertikal) dan horizontal (beban horizontal).


(36)

Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode monotonik. Dimana beban diatur sesuai dengan ISO/DIS 22452. Beban vertikal (Fv) yang diberikan sebesar 1456,29 N (150 kg). Beban vertikal ini diasumsikan berdasarkan perhitungan beban mati efektif pada bangunan rumah pabrikasi tipe 21. Perhitungan beban mati efektif pada bangunan rumah pra-pabrikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan beban horizontal (F) diberikan secara bertahap yaitu sebesar 0,1 Fmax,est dengan kecepatan perpindahan (2 ± 0,5) dan sebesar 0,4 Fmax,est dengan kecepatan perpindahan (4 ± 1) mm/min. Fmax,est diperolah dari hasil pengujian racking pada contoh uji bambu sandwich panel tanpa bresing dan contoh uji bambu sandwich dengan bresing model diagonal 1.

Tabel 4 Perhitungan Beban Mati Efektif pada Bangunan Rumah Pra-Pabrikasi Tipe 21

Komponen W (N) Unit Jumlah Wt (N)

Panel Dinding 1471,00 16 23535,96

Langit-langit * 970,86 4 3883,43

Penutup Atap * 9708,58 2 19417,17

Lantai 5883,99 1 5883,99

Kuda-kuda Portal 735,50 5 3677,49

Aksesoris 784,53 1 784,53

Total 57182,58

Ket : *) Beban yang dijadikan perhitungan untuk menentukan Fv (Fv = (3883,43+19417,17)/16= 1456,29 N/spesimen ~ 150 kg/spesimen).

Pembacaan displacement dilakukan setiap beban 50 kg (490,33 N). Berdasarkan ISO/DIS 22452 pembacaan displacement dilakukan sampai beban maksimal, displacement mencapai 100 mm atau contoh uji rusak. Pada penelitian ini proses pembebanan dilakukan sampai contoh uji rusak. Proses pembebanan dapat dilahat pada Gambar 9.


(37)

Setelah proses pembebanan selesai dan data diperoleh. Maka langkah selanjutnya adalah perhitungan racking stiffness dengan rumus :

� = 1 2(

F4−F1 ϑ4−ϑ1

+F24−F21 ϑ24−ϑ21

)� ��

Keterangan :

R = Racking stiffness (N/mm)

F1 = Besarnya beban pada 0,1 Fmax,est (beban pada step ke 6) F4 = Besarnya beban pada 0,4 Fmax,est (beban pada step ke 9) F21 = Besarnya beban pada 0,1 Fmax,est (beban pada step ke 16) F24 = Besarnya beban pada 0,4 Fmax,est (beban pada step ke 19) ϑ 01 = Besarnya displacement pada step ke 6

ϑ 04 = Besarnya displacement pada step ke 9 ϑ 21 = Besarnya displacement pada step ke 16 ϑ 24 = Besarnya displacement pada step ke 19

0 100 200 300 400 500 600 700

0 20 40 60 80

B e b an (N ) Displacement(mm)

BSP Dengan Bracing Diagonal 1 BSP Kontrol Tanpa Bracing

Fmax= 4903,33 N

Fmax= 6737,17 N

0 100 200 300 400 500 600

1 6 11 16 21 26

B eb a n ( N ) Step Tahapan Pembebanan

0,4 Fmax,est

30 0 d e ti k 600 de ti k 120 de ti k 600 de ti k 300 de ti k

0,1 Fmax,est

Gambar 8 Hasil Uji Racking Untuk Menentukan Besarnya Fmax,est.


(38)

4.1 Modulus of Elasticity dan Modulus of Rupture Kayu Frame dan Bresing Nilai Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rapture (MOR) kayu frame dan bresing ini di maksudkan untuk pemilihan kayu struktur dan non-struktur. Kayu struktur akan menerima beban lebih besar dari pada non-non-struktur. Hasil pengujian MOE dan MOR dengan panter MPK-5 akan mendapatkan beberapa kelas mutu (TS) dari TS 0 sampai TS 25. Hasil pengujian MOE dan MOR dengan alat Panter MPK-5 dapat dilihat Gambar 10. Hasil pengujian menunjukan bahwa jumlah kayu dengan TS paling banyak adalah TS 15 dengan jumlah kayu 24 batang dan TS 25 merupakan TS yang memiliki jumlah kayu paling sedikit yaitu hanya 2 batang.

Dari hasil pengujian kelas mutu, maka kayu yang digunakan untuk struktur (frame) adalah kayu dengan kelas mutu 15 sampai 25. Sedangkan kelas mutu 5 sampai 12 digunakan untuk non-struktur (bresing). Kayu yang tidak termasuk kelas mutu (TS 0) tidak digunakan, karena memiliki nilai rata-rata MOE yang kecil yaitu 53218 kg/cm2 (5218,9 Mpa) sehingga tidak layak digunakan untuk keperluan struktural. Nilai ini dibawah rata-rata MOE yang tercantum dalam buku Atlas Kayu Indonesia yaitu 66000 kg/cm2 (6472,39 Mpa). Rata-rata kayu meranti yang digunakan termasuk kedalam kelas mutu 12 yang memiliki nilai MOE sebesar 123498 kg/cm2 (12111,02 Mpa). Hasil ini melebihi nilai MOE kayu meranti yang tercantum dalam buku Atlas Kayu Indonesia yaitu sebesar 66000 kg/cm2 (6472,39 Mpa). Hal ini terjadi karena kayu yang digunakan, dipilih langsung dari

0 5 10 15 20 25 30

TS0 TS5 TS7 TS10TS12TS15TS17TS20TS22TS25

Ju

m

lah

K

ayu

Kelas Mutu (TS)


(39)

pasaran sehingga bermutu lebih baik, namun ada pula kemungkinan kayu tercampur dengan jenis lain.

4.2 Sifat Fisis Bambu, Kayu Lapis dan Kayu Frame (rangka) serta Bresing 4.2.1 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schulthes) Kurz)

Dari hasil pengujian sifat fisis bambu, dapat diketahui bahwa bambu yang digunakan dalam pembutan BSP memiliki kerapatan rata-rata sebesar 0,619 gr/cm3, berat jenis rata-rata 0,537 gr/cm3 (5,37 kg/m3) dan kadar air rata-rata 15,272 %. Dalam artikel bambu dalam kontruksi, diperoleh informasi bahwa bambu yang digunakan dalam pembangunan harus memiliki kadar air 12 % pada kelembapan udara 70 % yang dianggap sebagai rata-rata yang wajar pada iklim tropis. Hasil penelitian kadar air bambu (15,272 %) lebih besar daripada syarat kadar air bambu dalam pembangunan (12 %). Untuk kontruksi bangunan bambu dengan kadar air 12 %, berat jenis bambu di Indonesia dianggap rata-rata sebagai 700 kg/m3. Sedangkan hasil pengujian (5,37 kg/m3) lebih rendah daripada syarat kontruksi bangunan bambu (700 kg/m3).

4.2.2 Kayu lapis

Kayu lapis yang digunakan dalam pembutan bambu sandwich panel (BSP) adalah kayu lapis yang dibeli langsung dari pasaran. Sehingga jenis kayu yang digunakan tidak diketahui dengan pasti dan jenis perekat yang digunakan juga tidak diketahui. Kayu lapis digunakan secara keseluruhan dengan rata-rata tebal 4,99 mm.

Dari hasil pengujian kerapatan kayu lapis, diketahui bahwa kerapatannya berkisar antara 0,347 g/cm3 sampai 0,375 g/cm3 dengan rata-rata 0,359 g/cm3. Dalam JAS 2003, tidak mensyaratkan adanya nilai kerapatan pada kayu lapis. Sehingga nilai kerapatan kayu lapis yang digunakan dalam pembuatan BSP tidak dapat dibandingkan. Kadar air kayu lapis rata-rata 15,058%, nilai ini lebih besar dari standar JAS (2003). JAS mensyarat bahwa kadar air kayu lapis yang digunakan adalah 14%. Sehingga kayu lapis yang digunakan dalam pembuatan BSP dibawah standar. Hal ini dapat terjadi karena kayu lapis menyerap kadar air yang ada disekitar tempat penyimpana sampai kayu lapis tersebut digunakan. Dan tidak melewati proses pengeringan terlebih dahulu sebelum digunakan.


(40)

4.2.3 Kayu Frame (rangka) serta Bresing

Kayu yang digunakan dalam pengujian memiliki rata-rata kerapatan 0,62 gr/cm3. Kayu yang memiliki kerapatan tertinggi adalah pada kayu BSP diagonal bresing 1 yaitu sebesar 0,66 gr/cm3 dan kayu yang memiliki kerapatan terkecil adalah kayu BSP model diagonal bresing 3 yaitu sebesar 0,56 gr/cm3. Pengujian berat jenis, dapat diketahui bahwa kayu yang digunakan dalam BSP memiliki rata-rata berat jenis sebesar 0,54. Kayu diagonal bresing 1 memiliki berat jenis terbesar yaitu sebesar 0,58 dan kayu yang digunakan untuk BSP diagonal bresing 3 memiliki berat jenis terkecil yaitu 0,49. Hasil pengujian kerapatan dan berat jenis, dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.

Gambar 12 menunjukan bahwa kayu yang digunakan dalam pembutan BSP memiliki kadar air rata-rata sebesar 14,14%. Kayu yang digunakan pada BSP diagonal bresing 1 memiliki kadar air paling tinggi yaitu sebesar 14,80%. Sedangkan kayu yang digunakan untuk BSP diagonal bresing 3 memiliki kadar air terendah yaitu 13,66%.

0,61

0,66

0,63

0,56

0,54 0,58 0,55

0,49

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70

Kayu Kontrol Kayu Diagonal Bresing 1

Kayu Diagonal Bresing 2

Kayu Diagonal Bresing 3

Kerapatan Berat Jenis

Rata-rata Kerapatan

Rata-rata Berat Jenis


(41)

Hasil pengujian sifat fisis kayu yang digunakan, diketahui bahwa kayu yang memiliki kerapatan tinggi akan memiliki kadar air dan berat jenis yang tinggi pula. Dan sebaliknya, dimana kayu yang memiliki kerapatan rendah, maka kadar air dan berat jenisnya akan rendah juga. Hal ini dikarenakan pada kayu yang memiliki kerapatan tinggi memiliki dinding sel yang lebih tebal daripada kayu yang berkerapatan rendah. Pada dinding sel yang tebal, maka air yang terdapat pada dinding (air terikat) tersebut lebih banyak. Dan akan berpengaruh pada berat jenisnya, dimana dinding yang tebal memiliki berat jenis yang tinggi.

4.3 Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel 4.3.1 Perhitungan Gaya Gempa

Perhitungan gaya gempa berdasarkan bangunan rumah sederhana sehat yaitu setara dengan tipe 36 dengan ukuran tinggi dinding 240 cm dan lebar 120 cm sesuai dengan Hasil Disain dan Analisis Rumah Prefabrikasi Tahan Gempa dari Kayu (Wijaya 2007). Perhitungan gaya gempa juga dilakukan berdasarakan peraturan SNI 03-1726-2002. Dimana rumah kayu prefabrikasi dikategorikan sebagai bangunan beraturan dengan tinggi dinding 2,4 meter dengan peruntukan rumah tinggal dan ditetapkan jenis tanah adalah jenis tanah keras.

a. Berat Bangunan

Berat bangunan yang diperhitungkan adalah beban mati efektif struktur bangunan, yang bekerja pada saat gempa bumi terjadi. Beban mati efektif

14,40 14,80 13,71 13,66 13,00 13,20 13,40 13,60 13,80 14,00 14,20 14,40 14,60 14,80 15,00

Kayu Kontrol Kayu Diagonal Bresing 1 Kayu Diagonal Bresing 2 Kayu Diagonal Bresing 3 ka da r A ir (%) Kadar Air Rata-rata


(42)

yang digunakan adalah beban mati pada bangunan tipe 36, karena ada pengembangan pada saat penelitian. Perhitungan beban mati efektif dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5 Perhitungan Beban Mati Efektif Pada Bangunan Tipe 36 No Komponen W (N) Jumlah Berat Bangunan (N) 1 2 3 4 5 6 Panel Dinding Langit-langit Penutup Atap Kuda-kuda Aksesoris Lantai 1471 970,86 12658,42 392,27 784,53 5883,99 16 4 2 6 1 2 23536 3883,44 25316,84 2353,62 784,53 11767,98

Total 67642,41

b. Koefesien Gempa

Nilai koefesien gempa diperoleh dari SNI 03-1726-2002 berdasarkan spektrum respon gempa rencana untuk jenis tanah keras yang digunakan untuk semua jenis gempa. Nilai koefisien gempa dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6 Koefisien Gempa dari Spektrum Respon

Wilayah gempa 1 2 3 4 5 6

Koefisien gempa rencana 0,05 0,15 0,23 0,30 0,35 0,42 c. Faktor Keutamaan Struktur

Faktor keutamaan struktur untuk berbagai kategori gedung bergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur gedung selama umur gedung dan disesuaikan dengan periode ulang gempa. Faktor ini diperoleh dari SNI 03-1726-2002 untuk kategori gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran yaitu sebesar 1 (satu).

d. Faktor Reduksi Gempa

Menurut SNI 03-1726-2002, faktor reduksi gempa merupakan rasio antara beban gempa maksimum akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung elasatik penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung daktail, tergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut; faktor reduksi gempa representatif struktur gedung tidak beraturan. Dari Tabel 7 dan Tabel 2 (SNI 1726-2002), diasumsikan BSP merupakan kondisi daktail parsial dengan µ terbesar yaitu 3,30 sehingga dengan rumus 1,6 ≤ R = µ f1≤ Rm, dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban


(43)

dan bahan yang terkandung di dalam struktur rumah dan nilainya ditetapkan sebesar 1,6 (SNI 1726-2002) serta Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur yang bersangkutan diperoleh nilai R sebesar 5,27.

Tabel 7 Faktor Reduksi Gempa Contoh Uji Bambu

Sandwich Panel

∂m ∂y µ f1 R

Kontrol (tanpa Bresing) 44,82 13,6 3,30*) 1,6 5,27*) Diagonal Bresing 1 12,01 6,57 1,83 1,6 2,92 Diagonal Bresing 2 35,87 12,84 2,79 1,6 4,47 Diagonal Bresing 3 44,23 26,08 1,70 1,6 2,71

Keterangan : *) Nilai µ terbesar dan nilai R yang diambil sebagai faktor reduksi gempa.

e. Gaya Geser Horizontal Dengan persamaan V =��

� W dimana V adalah gaya geser horizontal; C adalah koefisien gempa; I adalah faktor keutamaan struktur; R adalah faktor reduksi gempa; dan W adalah berat bangunan (N). Nilai gaya geser horizontal dapat dilihat pada tabel 8 berikut.

Tabel 8 Nilai Gempa Geser Horizontal Gempa

No Komponen

Zona Gempa

Kecil Sedang Besar

1 2 3 4 5 6

1 Berat

bangunan (W) (N)

67642,41 67642,41 67642,41 67642,41 67642,41 67642,41

2 Koefisien gempa (C)

0,05 0,15 0,23 0,3 0,35 0,42

3 Faktor keutamaan struktur (I)

1 1 1 1 1 1

4 Faktor reduksi gempa (R)

5,27 5,27 5,27 5,27 5,27 5,27

5 Gaya geser horizontal gempa (V) (N)

641,77 1925,31 2952,14 3850,61 4492,38 5390,86

4.3.2 Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel

Pengujian kekuatan mekanis dinding bambu sandwich panel menunjukan bahwa penggunaan model pengaku (bresing) dalam dinding dapat meningkatkan kekuatan racking stiffness. Pada Tabel 9 disajikan data hasil pengujian kekuatan


(44)

mekanis dinding bambu sandwich panel (BSP). Dalam tabel ini terlihat bahwa model diagonal bresing 2 memiliki racking stiffness sebesar 3503,43 N/mm (357,25 kg

/mm) dan merupakan nilai racking stiffness terbesar dibandingkan dengan empat contoh uji yang lain. Contoh uji diagonal bresing 3 merupakan contoh uji yang memiliki nilai racking stiffness terkecil yaitu sebesar 1291,24 N/mm (131,67 kg/mm). Tabel 9 Hasil Pengujian Kekuatan Mekanis Dinding Bambu Sandwich Panel Contoh Uji Bambu

Sandwich Panel

Racking Stiffness (N/mm)

Racking Strength (N)

Displacement maks (mm)

Kontrol (tanpa Bresing)

2929,34 5168,10 66,12

Diagonal Bresing 1 1708,61 4844,49 61,44

Diagonal Bresing 2 3503,43 5913,41 69,62

Diagonal Bresing 3 1291,24 6501,81 49,46

Pada tabel diatas, contoh uji BSP kontrol memiliki nilai racking stiffness yang paling besar yaitu 2929,34 N/mm (298,71 kg/mm) dari pada BSP diagonal bresing 1 yaitu 1708,61 N/mm (174,23 kg/mm). Hal ini terjadi karena model bresing pada BSP diagonal bresing 1 kurang berperan sebagai batang pengaku untuk menjaga kesetabilan struktur dalam menerima beban horizontal. Kekuatan racking stiffness hanya dipengaruhi oleh kekuatan sambungan paku. Kerusakan pada contoh uji dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Gambar 13 Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Kontrol.

Gambar 14 Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Diagonal Bresing 1. Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa bambu sandwich panel (BSP) kontrol dapat menahan beban maksimum sebesar 5168,10 N (527 kg) dan displacement horizontal maksimum yang mampu ditahan yaitu sebesar 66,12 mm. Hal ini


(45)

menunjukan bahwa BSP kontrol memiliki sifat daktilitas yang kecil, tetapi kemampuan untuk menahan gaya lateralnya yang tinggi yaitu 5168,10 N (527 kg). Tingginya kemampuan BSP kontrol menahan gaya lateral karena susunan bambu yang ada didalam BSP mampu menahan gaya lateral yang diberikan meskipun tidak menggunakan bresing. Selain itu peran perekat yang digunakan masih berfungsi dengan baik untuk menghubungkan permukaan bambu dan kayu lapis.

Gambar 15 Respon Beban-Displacement pada Bambu Sandwich Panel Kontrol (tanpa bresing).

Gambar 16 memperlihatkan pengaruh BSP dengan menggunakan diagonal bresing 1 yang dapat menahan beban lateral hingga 4844,49 N (494 kg) dengan displacement maksimum sebesar 61,44 mm. Kerusakan yang terjadi terdapat pada bagian sambungan ujung panel, dimana paku terangkat dari rangka kayu sewaktu menahan beban lateral tersebut (Gambar 14). Model bresing pada BSP ini tidak berpengarung besar karena nilai beban lateral yang mampu ditahan lebih kecil daripada BSP kontrol (tanpa bresing) serta perekat yang digunakan tidak berfungsi dengan baik dalam menghubungkan permukaan bambu dan kayu lapis.

Gambar 16 Respon Beban-Displacement pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 1.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 10 20 30 40 50 60 70

B

eb

an

(

N)

Displacement(mm)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 10 20 30 40 50 60

B

eb

an

(

N)


(46)

Pada Gambar 17 dan 18 menunjukan bahwa penggunaan diagonal bresing 2 dan diagonal bresing 3 dapat meningkatkan gaya lateral dan displacement. BSP dengan diagonal bresing 3 memiliki gaya lateral lebih baik yaitu 6501,81 N (663 kg) dari BSP dengan diagonal bresing 2 yang hanya 5913,41 N (603 kg). Kedua model bresing tersebut berfungsi untuk meningkatkan keterhandalan BSP, namun model diagonal bresing 3 lebih baik. Karena beban ditahan oleh struktur bresing dan struktur sandwich.

Gambar 17 Respon Beban-Displacement pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 2.

Gambar 18 Respon Beban-Displacement pada Bambu Sandwich Panel dengan Diagonal Bresing 3.

Gambar 19 Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Diagonal Bresing 2.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

0 10 20 30 40 50 60 70

B

eb

an

(

N)

Displacement(mm)

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

0 10 20 30 40 50

B

eb

an

(

N)


(47)

Gambar 20 Kerusakan Yang Terjadi Pada Contoh Uji BSP Diagonal Bresing 3.

Kerusakan pada kedua model ini sama seperti kerusakan pada model-model lain yaitu pada sambungan paku diujung panel dan sobeknya kayu lapis pada bagian bawah struktur (Gambar 19 dan 20). Berdasarkan hasil pengujian dan perhitungan gaya gempa, diperoleh data yang menjadi dasar pengelompokkan bambu sandwich panel dalam menerima gaya lateral pada masing-masing daerah zona gempa yang ada di Indonesia. Pengelompokan BSP tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Pembagian Bambu Sandwich Panel Berdasarkan Zona Gempa Zona Gempa

Kecil Sedang Besar

1 2 3 4 5 6

Daya Geser Horizontal Gempa (N)

641,77 1925,31 2952,14 3850,61 4492,39 5390,86

R

ac

king

Str

ength

(N)

BSP Kontrol - - - - 5168,10 -

BSP Diagonal Bresing 1

- - - - 4844,49 -

BSP Diagonal Bresing2

- - - 5913,41

BSP Diagonal Bresing 3

- - - 6501,81

Berdasarkan tabel 10 diatas dan hasil perhitungan gaya gempa dengan standar SNI 03-1762-2002, dapat dilihat bahwa BSP (bambu sandwich panel) kontrol (tanpa bresing) dan BSP diagonal bresing 1 cocok untuk diaplikasikan pada zona gempa 5 (besar). Dan BSP diagonal bresing 2 dan BSP diagonal bresing 3 cocok untuk diaplikasikan pada zona gempa 6 (besar).


(48)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan model diagonal bresing tidak terlalu berpengaruh terhadap kemampuan BSP dalam menahan racking stiffness dan racking strength. Hal ini terjadi karena hanya ada satu model diagonal bresing yang memiliki nilai racking stiffness dan racking strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai racking stiffness dan racking strength BSP kontrol. Model diagonal bresing 2 merupakan model bresing yang paling baik. Hal ini disebabkan karena model diagonal bresing 2 memiliki nilai racking stiffness dan displacement yang paling tinggi, yaitu sebesar 3503,43 N/mm dan 69,62 mm. Selanjutnya berdasarkan nilai racking strength yang dihasilkan pada setiap model diagonal bresing dan nilai daya geser horizontal gempa merujuk pada SNI 03-1726-2002, BSP kontrol (tanpa bresing) dan BSP dengan model diagonal bresing 1 cocok diaplikasikan pada zona gempa 5 (besar). BSP dengan model diagonal bresing 2 dan 3 cocok diaplikasikan pada zona gempa 6 (besar).

5.2 Saran

Perlu penelitian lebih lanjut tentang pengujian bambu sandwich panel untuk rumah tahan gempa diantaranya aplikasi penggunaan berbagai sambungan pada bambu sandwich panel dan penelitian besaranya gaya yang terdapat pada bambu dalam dinding bambu sandwich panel untuk rumah tahan gempa serta penelitian mengenai kekuatan dan kekakuan dari BSP beradasarkan konfigurasi bresing dan ragam spesies bahan kayu solid sebagai rangka dan bambu sandwich panelnya.


(49)

(50)

Lampiran 1. Hasil Kalibrasi Panter MPK-5

Mistar Panter (cm)

Kayu ke- selisih defleksi (mm) rataan selisih (mm)

1 2 3 1 2 3

2 0,000 0,000 0,000 0,270 0,000 0,160 0,143 6 0,270 0,000 0,160 0,760 0,700 0,930 0,797 10 1,030 0,700 1,090 0,660 1,190 0,940 0,930 14 1,690 1,890 2,030 0,980 0,960 1,030 0,990 18 2,670 2,850 3,060 0,910 0,820 0,840 0,857 22 3,580 3,670 3,900 0,820 0,870 0,810 0,833 26 4,400 4,540 4,710 1,080 1,000 1,050 1,043 30 5,480 5,540 5,760 0,970 1,110 1,020 1,033 34 6,450 6,650 6,780 1,010 1,020 0,880 0,970 38 7,460 7,670 7,660 0,990 0,930 1,070 0,997 42 8,450 8,600 8,730

RATA-RATA 0,859

Sd= 0,273

faktor koreksi= 46,548

CV= 0,317162

Lampiran 2. Pengujian Kekuatan Kayu dengan Panter MPK-5

No.

Kayu y1 (cm) y2 (cm) h (t (cm)) b (l (cm))

MoE (kg/cm2)

Kelas Mutu (TS)

1 15 14,6 4,5 9,6 132358 15

2 12,7 12,3 4,5 9,7 155488 20

3 13,5 12,8 4,5 9 161035 22

4 15,7 16,9 4,5 8,5 139013 15

5 44 42 4,5 10 44170 0

6 19 18,2 4,5 9,7 105082 10

7 12,9 12,7 4,5 9,9 147548 17

8 32,2 33,7 4,5 9,8 58788 0

9 11,4 12,6 4,5 10,4 156471 20

10 14,7 15,1 4,5 10 126199 15

11 14,8 15 4,5 9,2 136246 15

12 12,3 12,2 4,5 9,3 163505 22

13 28,2 29,1 4,5 9,9 66449 5

14 14,4 14,9 4,5 10 128828 15

15 13,5 13,4 4,5 8,6 160979 22

16 15,8 16,3 4,5 10 117413 12

17 35,5 36,8 4,5 10,5 49769 0

18 30,4 30,5 4,5 10,1 60420 0

19 15,1 15 4,5 10 123675 12

20 19,2 19,1 4,5 9,8 99109 10

21 20,5 19,8 4,5 9,2 101840 10


(51)

Lanjutan Lampiran 2

No. Kayu y1 (cm) y2 (cm) h (t (cm)) b (l (cm)) MoE (kg/cm2)

Kelas Mutu (TS)

23 12 13,7 4,5 9,9 156155 20

24 14,9 14,8 4,5 9,7 129223 15 25 15,1 15,5 4,5 9,2 133539 15 26 15,1 14,9 4,5 9,4 132452 15

27 21 21,5 4,5 9,7 91071 7

28 14,5 14,6 4,5 10,5 121847 12

29 23,7 24 4,5 9,1 86017 7

30 15,3 14,6 4,5 8,4 151266 20 31 14,7 14,9 4,5 9,7 130102 15 32 13,8 17,3 4,5 9,3 144548 17

33 22 22 4,5 10,9 77361 5

34 14,5 13,5 4,5 9,8 140221 17

35 15,8 16 4,5 9,6 122305 12

36 14,9 15,4 4,5 9,7 128356 15 37 14,2 14,3 4,5 9,5 137518 15 38 15,4 14,9 4,5 9,7 128356 15

39 14,8 15 4,5 9,3 134781 15

40 22,5 22,2 4,5 9,8 85270 7

41 20,4 19,5 4,5 9,8 97076 10

42 17 17,5 4,5 9,4 116090 12

43 14,9 15 4,5 9,2 135331 15

44 16,4 16,5 4,5 9,9 114260 12

45 14,5 14,4 4,5 10 128828 15

46 13,4 14 4,5 8,3 166798 22

47 20,7 21,4 4,5 9,7 92391 7

48 21 22 4,5 9,6 92020 7

49 17,9 17,1 4,5 10 108487 10

50 20,4 20,1 4,5 9,5 97152 7

51 15,5 15,5 4,5 9,8 122128 15

52 14,5 14,8 4,5 10 127940 15

53 15 15,1 4,5 9,2 134429 15

54 14,4 14,5 4,5 9,7 132812 15

55 14 14,6 4,5 9,6 138030 15

56 24 23,5 4,5 10,1 78160 5

57 15,5 15,4 4,5 10,1 119270 12 58 13,7 13,4 4,5 9,3 148862 17

59 20,3 20,3 4,5 10,3 88724 7

60 16,9 17,7 4,5 9,8 112011 12 61 12,4 12,5 4,5 9,3 160868 22

62 12 12,5 4,5 9,2 168037 22

63 14,2 14 4,5 8,8 150578 20

64 14,8 15,5 4,5 9,3 134781 15 65 12,8 13,8 4,5 9,5 152560 20 66 15,6 16,1 4,5 10,3 115455 12 67 11,7 11,9 4,5 9,9 160159 22


(52)

Lanjutan Lampiran 2

No.

Kayu y1 (cm) y2 (cm) h (t (cm)) b (l (cm)) MoE (kg/cm2)

Kelas Mutu (TS)

68 12,5 12,9 4,5 10,5 141343 17

69 12 11,5 4,5 9,4 171612 25

70 14,9 15,3 4,5 9,9 125763 15 71 12,2 12,2 4,5 9,8 155163 20

72 17,8 18 4,5 10 104220 10

73 13,5 13,8 4,5 9,4 146188 17

74 13 13,4 4,5 8,5 167885 22

75 13 13,8 4,5 10 142702 17

76 36,5 38 4,5 9,6 52943 0

77 14,5 14,1 4,5 9,8 134254 15

78 13 13,4 4,5 9,6 148648 17

79 13,1 12,5 4,5 9,7 153000 20

80 21 20,5 4,5 10 90494 7

81 15,5 15,1 4,5 9,3 132103 15

82 18 19,2 4,5 9,8 105166 10

83 25,5 23,6 4,5 9,6 81882 7

84 15,5 15,5 4,5 9,3 128694 15

85 13 12,6 4,5 10 147232 17

86 22,7 22,8 4,5 9,7 84251 7

87 12,7 12,7 4,5 9,7 150590 20

88 11 13,5 4,5 9,8 172089 25

Rata-rata 123498

P (kg) 10

FK 46,548


(1)

1 2 rata-rata 0.1

P 2,56 2,59 2,575

L 2,56 2,54 2,55

T 2,6 2,58 2,59

0.2

P 2,46 2,47 2,465

L 2,55 2,52 2,535

T 2,62 2,6 2,61

0.3

P 2,55 2,57 2,56

L 2,57 2,56 2,565

T 2,58 2,58 2,58

0.4

P 2,59 2,57 2,58

L 2,54 2,54 2,54

T 2,58 2,55 2,565

0.5

P 2,56 2,58 2,57

L 2,71 2,68 2,695

T 2,62 2,58 2,6

3.

Kadar Air

kode BB BKT Kadar Air (%)

0.1 10,68 9,335 14,408

0.2 9,97 8,67 14,994

0.3 10,63 9,32 14,056

0.4 10,53 9,233 14,047

0.5 10,3 8,995 14,508

rata-rata 14,403

Kayu BSP dengan Model Diagonal Bresing 1

1.

Kerapatan

kode BKU volume

Kerapatan (kg/cm3)

1.1 11,24 16,772 0,670

1.2 11,06 17,206 0,643

1.3 11,14 16,579 0,672

1.4 11,15 17,039 0,654

1.5 11,28 17,007 0,663


(2)

Dimensi Kering Udara

kode pengukuran

1 2 rata-rata

1.1

P 2,56 2,59 2,575

L 2,53 2,49 2,51

T 2,6 2,59 2,595

1.2

P 2,54 2,58 2,56

L 2,59 2,6 2,595

T 2,6 2,58 2,59

1.3

P 2,58 2,57 2,575

L 2,56 2,56 2,56

T 2,5 2,53 2,515

1.4

P 2,55 2,54 2,545

L 2,6 2,58 2,59

T 2,59 2,58 2,585

1.5

P 2,56 2,57 2,565

L 2,55 2,56 2,555

T 2,57 2,62 2,595

2.

Berat Jenis

kode BKT VKU BJ

1.1 9,791 16,772 0,584

1.2 9,637 17,206 0,560

1.3 9,701 16,579 0,585

1.4 9,707 17,039 0,570

1.5 9,83 17,007 0,578


(3)

1 2 rata-rata 1.1

P 2,56 2,59 2,575

L 2,53 2,49 2,51

T 2,6 2,59 2,595

1.2

P 2,54 2,58 2,56

L 2,59 2,6 2,595

T 2,6 2,58 2,59

1.3

P 2,58 2,57 2,575

L 2,56 2,56 2,56

T 2,5 2,53 2,515

1.4

P 2,55 2,54 2,545

L 2,6 2,58 2,59

T 2,59 2,58 2,585

1.5

P 2,56 2,57 2,565

L 2,55 2,56 2,555

T 2,57 2,62 2,595

3.

Kadar Air

kode BB BKT Kadar Air (%)

1.1 11,24 9,791 14,799

1.2 11,06 9,637 14,766

1.3 11,14 9,701 14,834

1.4 11,15 9,707 14,866

1.5 11,28 9,83 14,751

rata-rata 14,803

Kayu BSP dengan Model Diagonal Bresing 2

1.

Kerapatan

kode BKU volume

Kerapatan (gr/cm3)

2.1 10,29 16,678 0,617

2.2 10,42 16,678 0,625

2.3 10,16 16,678 0,609

2.4 10,61 16,570 0,640

2.5 10,81 16,908 0,639


(4)

Dimensi Kering Udara

kode pengukuran

1 2 rata-rata 2.1

P 2,53 2,55 2,54

L 2,57 2,52 2,545

T 2,56 2,6 2,58

2.2

P 2,55 2,57 2,56

L 2,53 2,54 2,535

T 2,55 2,59 2,57

2.3

P 2,56 2,54 2,55

L 2,53 2,54 2,535

T 2,57 2,59 2,58

2.4

P 2,55 2,61 2,58

L 2,58 2,61 2,595

T 2,41 2,54 2,475

2.5

P 2,57 2,6 2,585

L 2,54 2,55 2,545

T 2,59 2,55 2,57

2.

Berat Jenis

kode BKT VKU BJ

2.1 9,055 16,678 0,543

2.2 9,161 16,678 0,549

2.3 8,954 16,678 0,537

2.4 9,323 16,570 0,563

2.5 9,49 16,908 0,561

rata-rata 0,551

3.

Kadar Air

kode BB BKT Kadar Air (%)

2.1 10,29 9,055 13,639

2.2 10,42 9,161 13,743

2.3 10,16 8,954 13,469

2.4 10,61 9,323 13,805

2.5 10,81 9,49 13,909


(5)

kode BKU volume Kerapatan (gr/cm3)

3.1 9,68 17,207 0,563

3.2 9,53 16,843 0,566

3.3 9,56 16,868 0,567

3.4 9,51 17,007 0,559

3.5 9,4 16,974 0,554

rata-rata 0,562

Dimensi Kering Udara

kode pengukuran

1 2 rata-rata

3.1

P 2,58 2,59 2,585

L 2,57 2,59 2,58

T 2,59 2,57 2,58

3.2

P 2,56 2,55 2,555

L 2,56 2,56 2,56

T 2,58 2,57 2,575

3.3

P 2,59 2,6 2,595

L 2,6 2,6 2,6

T 2,48 2,52 2,5

3.4

P 2,57 2,56 2,565

L 2,57 2,57 2,57

T 2,58 2,58 2,58

3.5

P 2,55 2,57 2,56

L 2,56 2,57 2,565

T 2,58 2,59 2,585

2.

Berat Jenis

kode BKT VKU BJ

3.1 8,495 17,207 0,494

3.2 8,382 16,843 0,498

3.3 8,408 16,868 0,498

3.4 8,355 17,007 0,491

3.5 8,309 16,974 0,490


(6)

3.

Kadar Air

kode BB BKT Kadar Air (%)

3.1 9,68 8,495 13,949

3.2 9,53 8,382 13,696

3.3 9,56 8,408 13,701

3.4 9,51 8,355 13,824

3.5 9,4 8,309 13,130