21
Konservasi SDA Kehati; 4.
Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau RTH; 5.
Pengurangan emisi dari sektor pertanian; 6.
Pengurangan sumber emisi dari sektor transportasi; 7.
Pengurangan emisi dari sektor industri; 8.
Pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia yang terampil dalam melaksanakan RAD GRK;
9. Peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya
alam dan lingkungan hidup Untuk mewujudkan pengelolaan SDA dan LH yang optimal
dengan tetap menjaga kelestarian fungsinya dalam menopang kehidupan masyarakat Jawa Tengah yang makin sejahtera, maka
RAD GRK akan dilaksanakan sejalan sejalan dan sinergi antara lain dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
RTRWP, RAD Milineum Development Goals RAD MDGs dan RAD Pangan dan Gizi RAD PG.
2.3. PERMASALAHAN EMISI GRK
Emisi GRK bersumber dari 6 sektor meliputi sektor energi, transportasi, industri, pertanian, kehutanan, dan pengelolaan
limbah. Untuk mengetahui permasalahan emisi GRK, dilakukan perhitungan atau inventarisasi GRK. Emisi GRK dari sektor
energi mencakup konsumsi energi dari BBM, batubara, dan listrik
dimana perhitungan
berbasis konsumsi.
Sektor transportasi
mencakup seluruh
penggunaan energi
di transportasi. Sektor pertanian mencakup emisi yang timbul dari
fermentasi dan pengelolaan limbah peternakan serta pemakaian kapur, urea dan emisi N2O dari pengolahan lahan. Sektor
pertanian belum memperhitungkan emisi yang timbul dari
22
penanaman padi dan pembakaran biomassa. Sektor industri mencakup emisi yang timbul dari proses industri dan tidak
termasuk emisi dari penggunaan energi dan pengelolaan limbah. Dua kegiatan terakhir ini diperhitungkan di sektor energi dan
pengelolaan limbah. Sektor kehutanan mencakup emisi dari seluruh tutupan vegetasi baik dari hutan, perkebunan, maupun
pemanfaatan lahan lainnya. Terakhir, sektor pengelolaan limbah mencakup pengelolaan sampah baik di TPA, dikompos, maupun
dibakar, pengelolaan limbah cari dari domestik dan industri. Perhitungan emisi di Jawa Tengah dilakukan dengan
menggunakan data kegiatan tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah emisi telah mencapai 39.886.167 ton CO
e. Jumlah emisi
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan emisi GRK tahun 2008 yang mencapai 29.418.849 ton CO
e. Hal ini terutama
disebabkan cakupan perhitungan tahun 2010 lebih besar daripada
sebelumnya. Tahun
2010 perhitungan
telah memasukkan proses industri, limbah industri, dan N2O dari
pengolahan lahan di sektor pertanian. Disamping itu, terjadi peningkatan konsumsi di sektor energi dan transportasi.
Berdasarkan perhitungan GRK tahun 2010, sumber emisi yang terbesar berasal dari sektor energi sebesar 16.797.942 ton
CO2e, disusul sektor transportasi sebesar 10.450.027 ton CO2e dan sektor pertanian sebesar 6.395.328 ton CO2e. Sektor
pengelolaan limbah berkontribusi sebesar 4.668.898 ton CO2e serta proses industri menyumbang 1.395.825 ton CO2e. Sektor
kehutanan yang diharapkan dapat mengurangi laju emisi GRK menyumbang emisi sebesar 178.147 ton CO2e. Tabel 2.4
menunjukkan besaran dan komposisi emisi GRK di Jawa Tengah pada tahun 2010.
23
Tabel 2.3 Jumlah dan Komposisi Emisi GRK Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
NO SEKTOR
EMISI
1. Energi
16.797.942 42,11
2. Transportasi
10.450.027 26,20
3. Industri
1.395.825 3,50
4. Pertanian
6.395.328 16,03
5. Kehutanan
178.147 0,45
6. Pengelolaan Limbah
4.668.898 11,71
JUMLAH 39.886.167
100,00
Sumber : Perhitungan oleh BLH Prov. Jateng dan GIZ PAKLIM
Jumlah dan permasalahan emisi di masing-masing sektor adalah sebaigai berikut:
2.3.1. Pertanian
Luas wilayah Jawa Tengah 3,25 juta ha atau + 25,04 dari luas Pulau Jawa, terdiri dari 992 ribu ha 30,47 lahan sawah
dan 2,26 juta ha 69,53 bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya tahun 2010, sistem pengairan lahan sawah
seluas 994,211 ha terdiri dari irigasi teknis seluas 388,148 ha 39,04 irigasi ½ teknis seluas 131,708 ha 13,25 , irigasi
sederhana seluas 143,689 ha 14,45, irigasi desa seluas 48,130 ha 4,84, tadah hujan seluas 280,181 ha 28,18 dan
pasang surut dll seluas 2,345 ha 0,24. Dengan menggunakan teknik irigasi yang baik, potensi lahan sawah yang dapat ditanam
padi lebih dari dua kali sebesar 78,70 . Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi Jawa Tengah, rencana kawasan peruntukan lahan pertanian pangan di Jawa Tengah,
meliputi: Lahan Basah seluas 990.652 Ha; Lahan Kering seluas 955.587 Ha; dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B
seluas 1.022.570,59 Ha. Sampai dengan tahun 2012 telah dilakukan pengembangan
jaringan irigasi baik Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani JITUT dan Jaringan irigasi Desa JIDES di 25 kabupaten sebanyak 102
24
unit, pembuatan embung di 23 kabupaten sebanyak 78 unit dan pengembangan jaringan irigasi tersier di 29 kabupaten seluas
72.500 ha. Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu penyangga
pangan utama nasional terutama beras. Luas panen tanaman padi di Jawa Tengah adalah 1.801.397 ha dengan produktivitas
56,13 kwha. Produksi padi Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 10.110.870 ton Gabah Kering GilingGKG setara
dengan 4.510.725 ton beras. Persentase sumbangan Provinsi Jawa Tengah terhadap produksi beras nasional sebesar 15,07.
Sementara produksi jagung dan kedelai pada tahun 2010 masing-masing sebesar 3.058.710 ton dan 187.992 ton dengan
kontribusi nasional sebesar 16,81 dan 20,79 . Sumber emisi dari pertanian di Jawa Tengah berasal dari
pembakaran biomassa, pemakaian kapur, pemakaian pupuk urea, pengolahan lahan, dan budidaya padi. Data kegiatan dari
masing-masing kategori tidak seluruhnya diperoleh.
Tabel 2.4 Sumber emisi dari kegiatan Pertanian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
NO KATEGORI
JUMLAH SATUAN
1 Pembakaran Biomasa
TT 2
Pemakaian Kapur 75
Ton 3
Pemakaian Urea 875.664
Ton
Sumber: Dinas Pertanian, 2011
Perhitungan emisi
GRK dari
kegiatan pertanian
menggunakan Tier 1 untuk pemakaian kapur dan urea dan Tier 2 untuk pengelolan lahan. Dengan penggunaan sebagaimana
dalam tabel dan luasan lahan yang pertanian di Jawa Tengah maka besaran emisi GRK pada tahun 2010 mencapai 3.131.324
25
ton CO
2
e. Rincian masing-masing kategori ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.5 Emisi GRK dari Kegiatan Pertanian Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
NO KATEGORI
EMISI GRK ton CO2e
KETERANGAN
1. Pembakaran Biomasa
Tidak dihitung 2.
Pemakaian Kapur 33
3. Pemakaian Urea
642.154 4.
Emisi N2O Langsung dari Pengolahan Lahan
884.778 5.
Emisi N2O
Tak Langsung
dari Pengolahan Lahan
1.604.360
6. Budidaya Padi
Tidak dihitung
JUMLAH 3.131.324
Pada sub
sektor peternakan,
Jawa Tengah
juga merupakan salah satu penyangga kebutuhan nasional. Produk
andalan Jawa Tengah pada sektor peternakan antara lain daging, telur dan susu. Produksi daging Jawa Tengah pada
tahun 2010 meliputi Sapi 51.001.374 Kg, kerbau 3.154.713 Kg, kuda 3.321 Kg, babi 2.445.450 Kg, kambing 11.829.465 Kg
terbesar kedua setelah Jawa Timur. Jumlah ternak di Jawa Tengah pada tahun 2010 adalah sebagai berikut :
1 Kuda
: 15.152 ekor; 2
Sapi potong : 1.554.458 ekor;
3 Sapi perah
: 122.489 ekor; 4
Kerbau : 111.097 ekor;
5 Kambing
: 3.691.096 ekor; 6
Domba : 2.146.760 ekor;
7 Babi
: 150.821 ekor;
8 Unggas
a Ayam Petelur
: 17.712.776 ekor
26
b Ayam Pedaging
: 64.332.799 ekor c
Ayam Kampung : 36.908.672 ekor
d Bebekitik
: 5.006.163 ekor Emisi dari kegiatan peternakan timbul dari kegiatan
enteric fermentation pada ternak ruminansia dan pengelolaan limbah ternak. Proporsi sistem pengelolaan limbah sebanyak
70 dilakukan dengan ditumpuk hingga kering kemudian diaplikasikan. Sementara 30 lainnya ditampung untuk
diaplikasikan. Dengan perhitungan menggunakan Tier 2 maka emisi yang dihasilkan mencapai sebesar 3.264.004 ton CO2e
sebagaimana rincian dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.6 Emisi GRK dari Kegiatan Peternakan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
NO KATEGORI
EMISI GRK ton CO2e JUMLAH
Fermentasi Pengelolaan limbah
1. Sapi Potong
1.534.250 214.008
1.748.259
2. Sapi Perah
156.908 98.908
255.816
3. Kerbau
128.317 20.280
148.597
4. Domba
225.410 121.560
346.969
5. Kambing
387.565 218.459
606.024
6. Babi
3.167 24.517
27.684
7. Kuda
5.727 4.514
10.241
8. Ayam Kampung
49.404 49.404
9. Ayam Broiler
10.192 10.192
10. Ayam Petelur
43.699 43.699
11. Itik
17.117 17.117
JUMLAH
2.441.345 822.659 3.264.004
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011
2.3.2. Kehutanan
Hutan di Jawa Tengah, terdiri dari hutan negara mencapai 19,88 dari luas wilayah SK Menhut No.
359Menhut-II2004 dan hutan rakyat mencapai 10,63 dari luas wilayah Jawa Tengah. Luas kawasan hutan negara di
Jawa Tengah seluas 638.660.71 ha. Kawasan hutan daratan
27
seluas 647.133 ha tersebut, terdiri dari kawasan Hutan Produksi 546.290 ha yang terbagi kawasan Hutan Produksi Tetap HP
seluas 362.360 ha, kawasan Hutan Produksi Terbatas HPT seluas 183.930 ha, dan Hutan Lindung 84.430 ha.
Selain hal tersebut pada tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah juga telah mengembangkan hutan rakyat seluas
345.822 ha pada lahan milik masyarakat. Dengan demikian maka bila dijumlah antara kawasan hutan dan hutan rakyat
yang berfungsi hutan telah melebihi 30 , hal ini sesuai dengan amanat UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun
demikian kualitasnya belum optimal, dikarenakan sebarannya belum proporsional sehingga fungsi hutan sebagai fungsi untuk
menjaga kualitas lingkungan, sosial dan ekonomi belum maksimal.
Permohonan untuk penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan alih fungsi lahan semakin tinggi, Khususnya
di dalam maupun di luar kawasan hutan yakni lahan milik masyarakat, sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan
ditandai adanya lahan kritis diluar kawasan hutan dan tanah kosong di dalam kawasan hutan. Pada tahun 2010 luas lahan
kritis kritis dan sangat kritis di luar kawasan hutan seluas 5.694.92 ha dan tanah kosong didalam kawasan hutan negara
seluas 81.767,8 ha dan kawasan konservasi alam seluas 3.073,90 ha. Mulai tahun 2003 sampai tahun 2007 telah
dilakukan penanaman kembali lahan kritis seluas 239.073,5 ha, sehingga pada tahun 2007
diperkirakan masih terdapat lahan kritis seluas 415.823,27 ha.
Kondisi lainnya yaitu gangguan keamanan hutan berupa kasus pencurian kayu yang juga masih terjadi, yaitu pada tahun
2010 sebanyak 10.987 pohon dan kebakaran hutan pada tahun
28
2010 seluas 16.025 ha. Kasus pencurian kayu dan kebakaran hutan di Jawa Tengah disinyalir sebagai dampak perubahan
iklim yang ekstrim yaitu kemarau yang cukup panjang, sehingga mengakibatkan gagal panen tanaman semusim bagi masyarakat
di sekitar hutan dan meningkatkan potensi kerawanan gangguan keamanan hutan.
Perhitungan emisi GRK pada bidang kehutanan meliputi seluruh wilayah yang berbasis lahan, baik di dalam kawasan
hutan maupun di luar kawasan hutan. Untuk menentukan tingkat emisi saat ini dan proyeksi di masa mendatang
digunakan data penutupan lahan yang dihasilkan dari penafsiran citra satelit hasil penafsiran citra satelit untuk
Tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 serta pengecekan lapangan.
Untuk kelas penutupan lahan menggunakan SNI 7465 dengan kelas penutupan lahan dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 2.7 Kelas Penutupan Lahan
NO KELAS
KODE LAYER
TOPONIMI KETERANGAN
1 Hutan lahan
kering primer Hp 2001
Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan dataran tinggi dan sub alpin yang
belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur,
hutan di atas batuan ultra basa, hutan daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut.
2 Hutan lahan
kering sekunder
bekas tebangan
Hs 2002 Seluruh kenampakan hutan dataran rendah, perbukitan
dan pegunungan yang telah menampakkan bekas penebangan kenampakan alur dan bercak bekas tebang,
termasuk hutan kerdil, hutan kerangas, hutan di atas batuan kapur, hutan di atas batuan ultra basa, hutan
daun jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut. Daerah berhutan bekas tebas bakar yang ditinggalkan, bekas
kebakaran atau yang tumbuh kembali dari bekas tanah terdegradasi juga dimasukkan dalam kelas ini. Bekas
tebangan parah bukan areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukkan savanna, semak belukar atau
lahan terbuka
3 Hutanrawa
primer Hrp 2005
Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan
bekas penebangan, termasu khutan sagu. 4
Hutan rawa sekunder
Hrs 20051 Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk
rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan
29
NO KELAS
KODE LAYER
TOPONIMI KETERANGAN
bekas tebangan
bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar. Bekas tebangan parah jika tidak
memperlihatkan tanda genangan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan bekas
genangan atau tergenang digolongkan tubuh air rawa
5 Hutan
mangrove primer
Hmp 2004 Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar
pantai yang belum menampakkan bekas penebangan. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih
kepedalaman
6 Hutan
mangrove sekunder
bekas tebangan
Hms 20041 Hutan bakau, nipah dan nibung yang berada di sekitar
pantai yang telah memperlihatkan bekas penebangan dengan pola alur, bercak, dan genangan atau bekas
terbakar. Khusus untuk bekas tebangan yang telah berubah fungsi menjadi tambaksawah digolongkan
menjadi
tambaksawah, sedangkan
yang tidak
memperlihatkan pola dan masih tergenang digolongkan tubuh air rawa.
7 Hutan
tanaman Ht 2006
Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami, termasuk hutan tanaman untuk reboasasi. Identifikasi
lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Hutan Tanaman.
Catatan: Lokasi
hutan tanaman
yang didalamnya adalah tanah terbuka dan atau semak-
belukar maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan kondisi tersebut misalnya
tanah terbuka 2014 dan semak-belukar 2007.
8 Perkebunan
Kebun Pk 2010
Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran
Perkebunan. Perkebunan rakyat yang biasanya berukuran kecil akan sulit diidentifikasikan dari citra maupun peta
persebaran,
sehingga memerlukan
informasi lain,
termasuk data
lapangan. Catatan:
Lokasi perkebunankebun yang didalamnya adalah tanah
terbuka dan atau semak-belukar, maka didelineasi sesuai dengan kondisi tersebut dan diberi kode sesuai dengan
kondisi tersebut, misalnya tanah terbuka 2014 dan semak-belukar 2007.
9 Semak
belukar B 2007
Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang
alami atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah alami. Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi
bekasbercak tebangan
10 Semak
belukar rawa Br 20071
Kawasan bekas hutan rawamangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang
alami atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah alami. Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi
bekasbercak tebangan
11 Savanna
Padang rumput
S 3000 Kenampakan non-hutan alami berupa padang rumput,
kadang-kadang dengan sedikit semak atau pohon. Kenampakan ini merupakan kenampakan alami di
sebagian Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan bagian Selatan Papua. Kenampakan ini dapat terjadi pada
lahan kering ataupun rawa rumputrawa.
12 Pertanian
lahan kering Pt 20091
Semua aktivitas pertanian di lahankering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang
13 Pertanian
lahan kering campur
semak kebun
campur Pc 20092
Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas tebangan. Sering
muncul pada areal perladangan berpindah, dan rotasi tanam lahan karst. Kelas ini juga memasukkan kelas
kebun campuran
30
NO KELAS
KODE LAYER
TOPONIMI KETERANGAN
14 Sawah
Sw 20093 Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan
oleh pola pematang. Yang perlu diperhatikan oleh penafsir adalah fase rotasi tanam yang terdiri atas fase
penggenangan, fase tanaman muda, fase tanaman tua dan fase bera. Kelas ini juga memasukkan sawah musiman,
sawah tadah hujan, sawah irigasi. Khusus untuk sawah musiman di daerah rawa membutuhkan informasi
tambahan dari lapangan
15 Tambak
Tm 20094 Aktivitas perikanan darat ikanudang atau penggaraman
yang tampak dengan pola pematang biasanya di sekitar pantai
16 Permukiman
Lahan terbangun
Pm 2012 Kawasan permukiman, baik perkotaan, perdesaan,
industry dll. Yang memperlihatkan pola alur rapat. 17
Transmigrasi Tr 20122
Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Kawasan pertanian atau perkebunan di
sekitarnya yang teridentifikasi jelas sebaiknya dikelaskan menurut
pertanian atau
perkebunan. Kawasan
transmigrasi yang telah berkembang sehingga polanya menjadi kurang teratur dikelaskan menjadi permukiman
perdesaan. 18
Lahan terbuka
T 2014 Seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi
singkapan batuan puncak gunung, puncak bersalju, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai, endapan
sungai, dan
lahan terbuka
bekas kebakaran.
Kenampakan lahan
terbuka untuk
pertambangan dikelaskan pertambangan, sedangkan lahan terbuka
bekas pembersihan lahan-land clearing dimasukkan kelas lahan terbuka. Lahan terbuka dalam kerangka rotasi
tanam sawah tambak tetap dikelaskan sawahtambak
19 Pertambangan
Tb 20141 Lahan terbuka yang digunakan untuk aktivitas
pertambangan terbuka-open pit spt.: batubara, timah, tembaga dll., serta lahan pertambangan tertutup skala
besar yang dapat diidentifikasikan dari citra berdasar asosiasi kenampakan objeknya, termasuk tailing ground
penimbunan
limbah penambangan.
Lahan pertambangan tertutup skala kecil atau yang tidak
teridentifikasi dikelaskan
menurut kenampakan
permukaannya 20
Tubuh air A 5001
Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamundll.
Kenampakan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri
21 Rawa
Rw 50011 Kenampakan lahan rawa yang sudah tidak berhutan
22 Awan
Aw 2500 Kenampakanawan yang menutupi lahan suatu kawasan
dengan ukuran lebih dari 4 cm
2
pada skala penyajian. Jika
liputan awan
tipis masih
memperlihatkan kenampakan di bawahnya dan memungkinkan ditafsir
tetap didelineasi. 23
Bandara Pelabuhan
BdrPlb 20121
Kenampakan bandara dan pelabuhan yang berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi tersendiri.
Sebagaimana rumus dasar penghitungan emisi, bahwa emisi merupakan hasil perkalian antara data aktifitas dan faktor
emisi. Keadaan atau perubahan penutupan lahan dalam hal ini
31
merupakan data aktifitas, sedangkan untuk faktor emisi diperoleh dengan pendekatan rata-rata kandungan karbon
untuk setiap kelas penutupan lahan yang diperoleh dari hasil penghitungan plot-plot sampel yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Rata-rata
stock karbon
dari masing-masing
kelas penutupan lahan yang dipergunakan dalam penghitungan emisi
GRK ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.8. Cadangan Karbon pada Kelas Penutupan Lahan
NO PENUTUPAN LAHAN
KODE PL ST OK
KARBON
1. Hutan Lahan Kering Primer 2001
195.40 2. Hutan Lahan Kering Sekunder
2002 169.70
3. Hutan Mangrove Primer 2004
170.00 4. Hutan Rawa Primer
2005 196.00
5. Hutan Tanaman 2006
140.00 6. Semak Belukar
2007 15.00
7. Perkebunan 2010
63.00 8. Permukiman
2012 1.00
9. Tanah Terbuka 2014
0.00 10. Rumput
3000 4.50
11. Air 5001
0.00 12. Hutan Mangrove Sekunder
20041 120.00
13. Hutan Rawa Sekunder 20051
155.00 14. Belukar Rawa
20071 15.00
15. Pertanian Lahan Kering 20091
8.00 16. Pertanian Lahan Kering Campur
20092 10.00
17. Sawah 20093
5.00 18. Tambak
20094 0.00
19. BandaraPelabuhan 20121
5.00 20. Transmigrasi
20122 10.00
21. Pertambangan 20141
0.00 22. Rawa
50011 0.00
23. Awan 2500
0.00
Data penutupan lahan hasil penafsiran citra satelit tahun 2009 sampai dengan 2011 menunjukkan emisi yang timbul dari
perubahan lahan mencapai 356,295 ton CO2e. Emisi tahun
32
2010 diperhitungkan sebagai emisi rata-rata selama periode tersebut yakni 178,147 ton CO2e.
2.3.3. Energi
Pemanfaatan energi untuk pembangkit tenaga listrik, industri
dan transportasi,
merupakan salah
satu penyumbang emisi GRK yang cukup besar di Provinsi Jawa
Tengah dengan konsumsi cenderung m eningkat dari tahun ke tahun. Jumlah pemakaian bahan bakar se - Jawa Tengah pada
Tahun 2010 yang bersumber dari Pertamina total sebanyak 5.073.449 kiloliter dengan pemasok batu bara maka rincian
datanya sebagai berikut: 1.
Premium : 2.476.312 kiloliter;
2. Minyak Tanah
: 480 kiloliter; 3.
Solar : 1.419.841 kiloliter;
4. Pertamax
: 36.848 kiloliter; 5.
Avtur : 77.214 kiloliter;
6. LPG
: 1.062.754 kiloliter; 7.
Batu bara : 4.641.793 ton.
Adapun konsumsi bahan bakar yang dihasilkan oleh importir PT. AKR Corporindo Tbk total sebesar 60.073 kiloliter
dengan rincian sebagai berikut : 1. Solar
: 32.480 kiloliter 2. Minyak bakar
: 27.593 kiloliter Dari data p e n j u a l a n tenaga listrik oleh Perusahaan
Listrik Negara PLN di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 14.393.915 MWh dengan rincian penggunaan untuk :
33
Tabel 2.9. Penjualan Tenaga Listrik oleh PLN Jawa T engah
Area Pelayanan
Jaringan Rumah
Tangga Industri
Bisnis Sosial
Kantor Peme-
rintah Multi
Guna Lain-
lain Total
Semarang
1.306.131 1.290.351 551.150
126.643 64.405
14.724 5.985
3.439.167
Surakarta
1.002.699 1.497.004
283.342 74.853
18.784 10.706
8.944
2.985.756
Purwokerto
681.083 65.365
100.864 37.070
8.651 5.833
2.939
936.487
Tegal
870.662 77.186
107.013 33.780
8.772 5.549
8.222
1.163.256
Magelang
482.721 176.657
70.561 26.696
8.974 4.712
1.736
804.370
Kudus
958.625 373.964
154.753 46.228
12.205 11.490
3.186
1.615.878
Salatiga
261.782 585.723
53.483 20.073
6.780 3.362
1.559
960.234
Klaten
371.745 286.449
49.925 16.262
3.939 2.918
1.500
754.424
Pekalongan
351.731 242.851
79.876 19.870
5.919 3.373
1.573
741.887
Cilacap
560.360 295.225
63.178 25.696
7.333 17.385
2.184
992.455
Prov. Jateng
6.847.537 4.890.774 1.514.146 427.169 145.761 80.052 37.830 14.393.915 Sumber : PLN, 2011.
Sumber emisi
GRK terutama
berasal dari
tinggi penggunaan sumber energi dari fosil. Dengan menggunakan Tier
1 maka data kegiatan di masing-masing kategori diperhitungkan dengan
faktor emisi
nasional. Perhitungan
tersebut menunjukkan bahwa di Jawa Tengah, emisi GRK dari sektor
energi mencapai 16.797.942 ton CO2e.
34
Tabel 2.10. Emisi GRK Sektor Energi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010
No Jenis Energi
Total Penggunaan
Satuan Emisi
ton CO2e
1 2
3 4
5 1
Listrik 14.393.915 MwH
10.435.588 2
Premium 0 kilo liter
3 Solar
1.267.568 kilo liter 3.688.736
4 Minyak
Tanah 73.940 kilo liter
248.063 5
Pertamax 0 kilo liter
6 LPG
1.092.880 kilo liter 1.746.144
7 Avtur
0 kilo liter 8
Batubara 298.293 ton
592.544 9
Minyak Bakar
27.413 kilo liter 86.867
JUMLAH 16.797.942
2.3.4. Transportasi
Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan derived
demand akibat
aktivitas ekonomi, sosial,
dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi
merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi melalui
fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Kebutuhan angkutan bahan-bahan pokok dan komoditas harus
dapat dipenuhi oleh sistem transportasi yang berupa jaringan jalan, kereta api, serta pelayanan pelabuhan dan bandara yang
efisien. Jumlah trayek Antar Kota Antar Provinsi AKAP Jawa
Tengah tahun 2010 sebanyak 840 trayek dan jumlah trayek Antar Kota Dalam Provinsi AKDP sebanyak 367 trayek; Jumlah
35
bus sebanyak 10.174 unit dan jumlah Mobil Penumpang Umum MPU 397.667 unit. Sedangkan untuk jalur rel kereta api KA
yang ada di jalur utara, selatan dan tengah dilayani oleh jalur tunggal dan jalur ganda.
Pintu gerbang jawa Tengah di bagian utara adalah Pelabuhan Tanjung Mas. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan
utama sekunder yang mampu disandari container. Pelabuhan antarpulau di pantai utara yang melayani kapal niaga dan kapal
nelayan meliputi Pelabuhan Brebes, Tegal, Pekalongan, batang, Jepara, Juwana, Karimunjawa dan Rembang. Sebagai pintu
gerbang Jawa Tengah bagian selatan adalah Pelabuhan Tanjung Intan yang merupakan pelabuhan utama terseier yang mampu
didarati oleh kapal container dan sebagai alternative keluar masuknya barang melalui laut selatan.
Perhubungan udara saat ini dilayani oleh empat bandara komersial, yaitu Ahmad Yani–Semarang, Adisumarmo-Surakarta,
Tunggul Wulung-Cilacap
dan Dewadaru-Jepara.
Bandara Ahmad-Semarang dan Adi Sumarmo-Surakarta saat ini sebagai
bandara internasional, dan untuk pusat pelayanan haji wilayah Jawa Tengah di Bandara Adisumarmo-Surakarta. Bandara
Tunggul Wulung-Cilacap dan Dewadaru-Karimunjawa lebih diarahkan sebagai pemandu lalu lintas udara dan pelayanan
pendukung pariwisata. Kebutuhan energi untuk mendukung seluruh kategori
kegiatan sektor transportasi berupa bensin, pertamax, pertamax plus, solar, dan avtur. Perhitungan emisi GRK dari penggunaan
bahan bakar ini dihitung dengan Tier 1. Jumlah pemakaian masing-masing jenis BBM dikalikan dengan faktor emisi nasional
tiap-tiap jenis BBM. Jumlah penggunaan masing-masing jenis
36
BBM di setiap kategori dan jumlah emisi yang ditimbulkan disajikan pada Tabel.
Tabel 2.11. Emisi GRK Sektor Transportasi Jawa Tengah Tahun 2010
No Jenis Energi
Total Penggunaan
Satuan Emisi
ton CO2e
1 2
3 4
5 1
Premium 2.476.312 Kilo liter
6.011.710 2
Pertamax 36.848 Kilo liter
89.455 3
Pertamax Plus 4.960 Kilo liter
12.041 4
Solar 1.419.814 Kilo liter
4.131.863 5
Avtur 77.214 Kilo liter
204.957
JUMLAH 10.450.027
2.3.5. Industri
Industri di Jawa Tengah dikelompokkan dalam 14 Jenis baik industri sedang dan besar yaitu : Makanan dan Minuman,
Pengolahan Tembakau, Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit Barang dari Kulit,Alas Kaki, Kayu Brg dari Kayu,Rotan, Kimia dan Barang
dari Kimia, Karet dan Brg dari Karet,Plastik, Logam Dasar, Barang dari Logam Kecuali Mesin, Mesin dan Perlengkapan,
Kendaraan Bermotor, Alat Angkutan selain Kendaraan dan Furniture. Kelompok industri tersebut merupakan industri
memberikan kontribusi terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah. Beberapa kelompok industri yang merupakan penghela
pertumbuhan sektor industri yaitu : Mebel, Tekstil dan Produk Tekstil TPT, Alas kaki, Kulit dan Barang dari Kulit, Komponen
Otomotif, Perlogaman dan Makanan Minuman,. Kelompok industri dimaksud, penting untuk dikembangkan mengingat
industri tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, banyak
tersebar di wilayah Jawa Tengah, menggunakan teknologi sederhana dan hasil produknya berorientasi ekspor.
37
Industri merupakan sektor penyumbang emisi GRK yang berasal dari 3 sumber yaitu dari penggunaan energi, proses
produksi dan limbah. Sektor industri merupakan prioritas utama pembangunan ekonomi Jawa Tengah. Sektor industri
yang tumbuh dan berkembang di Jawa Tengah dibagi menjadi empat kategori, yaitu : industri besar, industri sedang, industri
kecil, industri rumah tangga. Jumlah perusahaan yang masuk kategori industri besar dan sedang pada tahun 2009 tercatat
sebanyak 4.213 unit perusahaan dan telah menyerap 674.070 orang tenaga kerja. Sementara itu, industri kecil dan menengah
pada tahun 2010 terdapat 644.100 perusahaan dan menyerap tenaga kerja sebanyak 2.670.000 orang. Mendasarkan pada
produk yang dihasilkan industri, maka jumlah total limbah cair yang dikeluarkan industri se Jawa Tengah tahun 2010
sejumlah 1.159.592.400 m3 Beberapa industri di Jawa Tengah yang berpotensi
mengeluarkan emisi GRK dari proses produksinya antara lain industri semen, kapur, kaca, keramik, dan besibaja dengan
kapasitas masing-masing sebagai berikut : 1
Semen : 2.800.000 ton;
2 Kapur
: 40.386 ton; 3
Kaca : 25.550 ton;
4 Keramik
: 12.000 ton; 5
Besibaja : 3.614 ton;
6 Pengecoran Bukan Logam :
-
Cor Timah : 1.275 ton;
-
Cor Timbal : 100 ton. Emisi GRK sektor industri hanya diperhitungkan dari
proses dan produk industri Industrial Process and Product Uses. Energi yang digunakan di industri diperhitungkan di
38
sektor energi
sementara pengelolaan
limbah industri
diperhitungkan di
sektor pengelolaan
limbah. Dengan
menggunakan Tier 1 maka emisi GRK dari sektor industri adalah sebagai berikut:
Tabel 2.12. Emisi GRK Sektor Industri Jawa T engah Tahun 2010
KEGIATAN BANYAKNYA SATUAN
EMISI Ton CO2e
1 2
3 4
Produksi Semen 2.800.000
Ton 1.295.840
Produksi Kapur 40.386
Ton 30.290
Produksi Kaca 25.550
Ton 2.555
Produksi Keramik Karbonat 12.000
Ton 3.780
Produksi Besi Baja 3.614
Ton 2.963
Produksi Timah 1.375
Ton 715
Pemakaian Pelumas 5.081.950
Liter 59.682
JUMLAH 1.395.825
2.3.6. Pengelolaan Limbah
Emisi GRK dari sektor persampahan pada umumnya berupa metana CH
4
yang dihasilkan dari TPA dan CO
2
yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran terbuka. Emisi dari
pembakaran terbuka lebih sulit untuk dikontrol dibandingkan emisi dari TPA. Selain itu, pembakaran dan daur ulang kertas
dan plastik menghasilkan gas N
2
O yang jika dikonversikan menjadi CO
2
ekuivalen Eq. adalah 310 kalinya. UU
No.182008 tentang
Pengelolaan Sampah
menggariskan bahwa
pengelolaan sampah
hendaknya berlandaskan hierarki pendekatan a pengurangan dan b
penanganan sampah.
Pengurangan minimasi
sampah dilandaskan atas prinsip a pembatasan reduce, guna-ulang
reuse dan daur-ulang recycle sebagai prioritas pengelolaan sampah, yang dikenal sebagai pendekatan 3R
Penduduk Jawa Tengah tahun 2010 mencapai 32.382.657
39
jiwa dengan asumsi jumlah penduduk perkotaan 45,72 dan penduduk pedesaan 54,28 dan menurut perhitungan maka
jumlah timbulan sampah perkotaan adalah 8.883 tonhari dan pedesaan 5.273 tonhari, sehingga total jumlah timbulan
sampah adalah sebesar 14.156 tonhari. Sedangkan jumlah sampah yang terangkut sebesar 68 dari total timbulan
sampah atau 9.626 tonhari yang ditampung di 34 Tempat Pemprosesan Akhir TPA KabupatenKota se Jawa Tengah.
Pengelolaan sampah di TPA se Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
1. TPA dengan kedalaman lebih dari 5 meter dan tertutup
sebanyak 15 TPA yang menampung 55.136.100 ton sampah 2.
TPA dengan kedalaman lebih dari 5 meter dan tidak tertutup sebanyak 6 TPA yang menampung 4.377.500 ton
sampah 3.
TPA dengan kedalaman kurang dari 5 meter dan tidak tertutup sebanyak 10 TPA yang menampung 5.461.038 ton
sampah Sedangkan jumlah sampah yang tidak terangkut dengan
jumlah 4.530 tonhari terdiri dari : 1.
Dikelola oleh masyarakat dengan pengomposan sebesar 10 atau 0,1 X 4.530 tonhari = 453 tonhari;
2. Dibakar sebesar 5 atau 0.05 X 4.530 tonhari = 226.5
tonhari 3.
Dibuang sembarangan sebesar 5 atau 0,05 X 4.530 tonhari = 226.5 tonhari;
Kondisi diatas akan sangat mempengaruhi emisi GRK utamanya akibat dari limbah yang dihasilkan dan dampak lainnya mulai
dari rumah tangga sampai dengan di TPA .
Selain dari pengelolaan sampah, emisi GRK juga
40
ditimbulkan dari pengelolaan limbah cair baik dari kegiatan domestik maupun industri. Permasalahan LH di Jawa Tengah
banyak didominasi oleh pencemaran limbah dan sumber pencemaran
tersebut berasal
dari berbagai
kegiatan. Peningkatan jumlah penduduk dan beragamnya aktifitas
masyarakat telah memicu buangan limbah padat, cair, gas atau radiasi dan kebisingan yang berpotensi mencemari merusakanan
LH. Adapun industri yang berpotensi mengeluarkan emisi GRK
dari limbah cair yang dihasilkan adalah industri makanan dan minuman jus, tahu, kecap, bir, produk susu, produk daging
olahan, tapioka dengan rincian sebagai berikut: 1
Jus : 14. 520 ton;
2 Tahu
: 5.127 ton; 3
Kecap : 4.836 ton;
4 Bir
: 16.931 ton; 5
Produk Susu :
-
Susu bubuk bayi : 43.572 ton;
-
Susu kental yoghurt : 480.000 liter;
-
Susu cair : 22.320.000 liter;
-
Susu cair lainnya : 16.220 ton;
-
Susu yang diawetkan : 57.213 ton; 6
Produk daging olahan : 587 ton;
7 Tapioka
: 58.871 ton. Selain dari limbah industri, emisi GRK juga dihasilkan dari
pengelolaan limbah domestik. Dengan jumlah penduduk Jawa Tengah sebesar 32.382.657 jiwa maka limbah cair yang
dihasilkan setara dengan 472.787 ton Biochemical Oxygen Demand BOD pada tahun 2010. Limbah cair tersebut dikelola
menggunakan sistem sanitasi sebagai berikut :
41
1 Diolah dengan sistem septictank
: 57 2
Dibuang dengan sistem cubluk : 40
3 Dibuang langsung ke lingkungan
: 3 Limbah cair domestik yang dihasilkan oleh penduduk baik
yang berada di permukiman kumuh dan teratur pada tahun 2010 sebesar 154 literorghari, sehingga total limbah cair
domestik yang dihasilkan oleh pemukiman di Jawa Tengah adalah 886,4 juta m
3
. Perhitungan emisi GRK yang timbul dari pengelolaan sampah
diperhitungkan dengan menggunakan IPCC 1996 mengingat keterbatasan data jenis dan umur TPA dari masing-masing
kabupaten dan kota. Perhitugan emisi yang timbul dari pengelolaan limbah cair menggunakan IPCC 2006 Tier 1. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa emisi dari pengelolaan limbah mencapai 4.668.898 ton CO2e dengan rinccian sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel.
Tabel 2.13. Emisi GRK Sektor limbah Jawa Tengah Tahun 2010
TIPE PENGOLAHAN SAMPAH
SATUAN EMISI
Ton CO
2
e 1
2 3
4
Jumlah Sampah 5.166.940 Ton
Dari TPA 61,64
- Anaerob dikelola 29,00
776.165 - Semi-aerob dikelola
52,60 693.846
- Dalam Tidak Dikelola 18,40
388.343 - Dangkal Tidak Dikelola
- Pengomposan
10,00 91.455
13,21 276.672
Lainnya 15,15
Sanitasi 32.382.657 orang
- Septic Tank 57,00
2.122.222 - Cubluk
40,00 297.856
- Dibuang ke Lingkungan 3,00
22.339
JUMLAH 4.668.898
42
BAB III PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP
3.1. Pembagian Urusan
Pembagian urusan didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah
Provinsi dan
Pemerintahan Daerah KabupatenKota secara wilayah berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang meliputi 35 KabupatenKota
mendasarkan pada UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.
Mendasarkan hal diatas maka Kegiatan-kegiatan yang diperkirakan dapat menunjang penurunan emisi Gas Rumah Kaca
GRK yang menjadi substansi dalan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi gas rumah Kaca RAD GRK diutamakan yang
merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan dalam lingkup wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Adapun pembagian urusan untuk masing-masing bidang yang menjadi prioritas kegiatan penurunan emisi meliputi
pertanian, kehutanan,
energi, transportasi,
industri dan
pengelolaan limbah dapat dijelaskan sebagai berikut :
3.1.1. Bidang Pertanian a. Pembagian Kewenangan
Pembagian kewenangan pada urusan antar pemerintah pertanian meliputi komponen lahan pertanian, air irigasi, pupuk,
pestisida, alsintan, benih tanaman, pemberdayaan tanaman, perijinan usaha, teknis budidaya, panen, pasca panen dan
43
pengolahan hasil serta pengawasan dan evaluasi, dengan pembagian sebagai mana Tabel 3.1. Disamping itu secara
sektoral diatasu untuk pengembangan dan pengelolaan irigasi dengan PP Nomor 20 Tahun 2006 tentang irigasi, dimana
kewenangan Pemerintah pada daerah irigasi DI dengan luas lebih dari 3.000 Ha, Pemerintah Provinsi pada DI seluas 1.000
sd 3.000 Ha dan KabupatenKota pada DI seluas sampai dengan 1.000 Ha.
Tabel 3.1. Pembagian Kewenangan Urusan Pertanian
PEMERINTAH PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN
DAERAH KAB.KOTA Lahan Pertanian
1. Penetapan kebijakan,
pedoman dan bimbingan
pengembangan, rehabilitasi,
konservasi, optimasi dan pengendalian
lahan pertanian tingkat nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan
pengembangan, rehabilitasi, konservasi,
optimasi dan pengendalian lahan
pertanian tingkat provinsi. Penetapan kebijakan,
pedoman dan bimbingan pengembangan,
rehabilitasi, konservasi, optimasi dan
pengendalian lahan pertanian tingkat
kabupatenkota.
2. Penetapan peta
pengembangan, rehabilitasi,
konservasi, optimasi dan pengendalian
lahan pertanian nasional lintas
provinsi. Penyusunan peta
pengembangan, rehabiltasi, konservasi,
optimasi dan pengendalian lahan
pertanian wilayah provinsi lintas kabupaten.
Penyusunan peta pengembangan,
rehabilitasi, konservasi, optimasi dan
pengendalian lahan pertanian wilayah
kabupatenkota.
3. Pengembangan,
rehabilitasi, konservasi, optimasi
dan pengendalian lahan pertanian
nasional lintas provinsi.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi,
optimasi dan pengendalian lahan
pertanian provinsi lintas kabupaten.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi,
optimasi dan pengendalian lahan
pertanian wilayah kabupatenkota.
4. Penetapan dan
pengawasan tata ruang dan tata guna lahan
pertanian nasional Penetapan dan
pengawasan tata ruang dan tata guna lahan
pertanian wilayah provinsi.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan
pertanian wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan tata ruang
dan tata guna lahan pertanian wilayah
kabupatenkota. Pemetaan potensi dan
pengelolaan lahan pertanian wilayah
kabupaten kota.
5 Penetapan sasaran
areal tanam nasional. Pengaturan dan
penerapan kawasan Pengembangan lahan
pertanian wilayah
44 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KAB.KOTA
pertanian terpadu wilayah provinsi.
kabupatenkota. 6
Penetapan luas baku lahan pertanian yang
dapat diusahakan sesuai kemampuan
sumberdaya lahan yang ada pada skala
nasional. Penetapan sentra
komoditas pertanian wilayah provinsi.
Pengaturan dan penerapan kawasan
pertanian terpadu wilayah kabupatenkota.
7. Penetapan sasaran areal
tanam wilayah provinsi. Penetapan
sentra komoditas
pertanian wilayah kabupaten kota
8. Penetapan luas baku
lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai
kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala
provinsi. Penetapan sasaran areal
tanam wilayah kabupatenkota.
9. Penetapan luas baku
lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai
kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala
kabupatenkota.
AIR IRIGASI
1. Penetapan kebijakan,
pedoman dan bimbingan
pemanfaatan air irigasi..
Bimbingan pengembangan jaringan irigasi.
Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan
jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa.
2. Penetapan kebijakan
pengembangan dan pembinaan
pemberdayaan kelembagaan petani
pemakai air. Pemantauan dan evaluasi
pemanfaatan air irigasi. Bimbingan dan
pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan
jaringan irigasi.
3. Penetapan kebijakan
dan pengembangan teknologi optimalisasi
pengelolaan dan pemanfaatan air untuk
usaha tani dan desa. Penetapan bidang
usaha industri prioritas nasional,
cabang industri yang penting dan strategis
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak Bimbingan teknis
pengelolaan sumber- sumber air dan air irigasi.
Bimbingan dan
pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan
air irigasi
4. Pemantauan dan evaluasi
pengembangan dan pembinaan pemberdayaan
Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan
Perkumpulan Petani
45 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KAB.KOTA
kelembagaan petani pemakai air.
Pemakai Air P3A dan Perkumpulan Petani
Pemakai Air Tanah P3AT. 5.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi
optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Bimbingan dan pelaksanaan konservasi
air irigasi.
6. Bimbingan penerapan
teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk
usaha tani.
Pupuk
1. Penetapan kebijakan
dan pedoman penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
Bimbingan penggunaan pupuk.
2. Pendaftaran dan
pengawasan formula pupuk.
Pengawasan pengadaan, peredaran dan
penggunaan pupuk wilayah provinsi.
Pemberian fasilitas usaha dalam rangka
pengembagan IKM di kabupatenkota.
3. Penetapan pedoman
pengawasan pengadaan, peredaran
dan penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan pengadaan, peredaran dan
penggunaan pupuk wilayah kabupatenkota.
4. Penetapan standar
mutu pupuk. Pengawasan standar mutu
pupuk. Pengembangan
dan pembinaan
unit usaha
pelayanan pupuk 5.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan
penggunaan pupuk. Pelaksanaan peringatan
dini dan pengamanan terhadap ketersediaan
pupuk.
6. Bimbingan penerapan
standar mutu pupuk.
Pestisida
1. Penetapan kebijakan
dan pedoman penggunaan pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida
wilayah provinsi. Pelaksanaan kebijakan
penggunaan pestisida wilayah kabupatenkota.
2. Pendaftaran dan
pengawasan formula pestisida.
Penetapan pedoman pengawasan
pengadaan, peredaran dan penggunaan
pestisida. Pengawasan pengadaan,
peredaran dan penggunaan pestisida
wilayah provinsi. Pengawasan pengadaan,
peredaran dan penggunaan pestisida
wilayah kabupatenkota.
3. Penetapan standar
mutu pestisida. Penetapan
kebijakan Pemantauan dan evaluasi
ketersediaan pestisida. Pengembangan dan
pembinaan unit pelayanan pestisida.
46 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KAB.KOTA
dan pedoman
penggunaan pestisida. 4.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan
penggunaan pestisida. 5.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan
terhadap ketersediaan pestisida.
6. Bimbingan
penerapan standar mutu pestisida.
Alsintan
1. Penetapan
kebijakan alat
dan mesin
pertanian. Pelaksanaan
kebijakan alat dan mesin pertanian
wilayah provinsi. Pelaksanaan
kebijakan alat dan mesin pertanian
wilayah kabupatenkota. 2.
Pendaftaran prototipe alat
dan mesin
pertanian. Identifikasi
dan inventarisasi
kebutuhan alat dan mesin pertanian
wilayah provinsi. Identifikasi
dan inventarisasi
kebutuhan alat dan mesin pertanian
di wilayah
kabupatenkota. 3.
Penyusunan rencana
pembangunan tahunan industri nasional.
Penentuan kebutuhan
prototipe alat dan mesin pertanian.
Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai
standar. 4.
Penetapan standar
mutu alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
5. Pengujian mutu alat
dan mesin pertanian dalam
rangka standarisasi.
Pembinaan dan
pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian
wilayah provinsi. Pengawasan standar mutu
dan alat mesin pertanian wilayah kabupatenkota.
6. Penetapan
pedoman pengawasan produksi,
peredaran, penggunaan
dan pengujian
alat dan
mesin pertanian. Pembinaan
dan pengembangan jasa alat
dan mesin pertanian
7. Pemberian izin pengadaan
dan peredaran alat dan mesin pertanian.
8. Analisis teknis, ekonomis
dan sosial budaya alat dan
mesin pertanian
sesuai kebutuhan lokalita. 9.
Bimbingan penggunaan
dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian.
10 Pembinaan
dan pengembangan
bengkelpengrajin alat
dan mesin pertanian.
47 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Benih Tanaman
1. Penetapan
kebijakan dan
pedoman perbenihan tanaman.
Pemantauan dan evaluasi penerapan
pedoman perbenihan tanaman.
Bimbingan penerapan
pedoman perbenihan
tanaman wilayah
kabupatenkota. 2.
Pelepasan dan
penarikan varietas
tanaman. Penyusunan
kebijakan benih antar lapang.
Penyusunan kebijakan
benih antar
lapang wilayah kabupatenkota.
3. Pengaturan
pemasukan dan
pengeluaran benih dari dan
keluar wilayah
negara RI. Identifikasi
dan pengembangan
varietas unggul lokal.
Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah
kabupatenkota.
4. Penetapan
standar mutu
dan pedoman
pengawasan dan
sertifikasi benih. Pemantauan benih dari
luar negeri di wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan
standar mutu
benih wilayah kabupatenkota.
5. Pengawasan
penerapan standar
mutu benih
wilayah provinsi. Pengaturan
penggunaan benih
wilayah kabupatenkota.
6. Pengaturan
penggunaan benih wilayah provinsi.
Pembinaan dan
pengawasan penangkar
benih. 7.
Pengawasan dan
sertifikasi benih. Pembinaan
dan pengawasan perbanyakan
peredaran dan
penggunaan benih. 8.
Bimbingan dan
pemantauan produksi
benih. 9.
Bimbingan penerapan
standar teknis perbenihan yang
meliputi sarana,
tenaga dan metode. 10
Pemberian izin produksi benih.
11 Pengujian
dan penyebarluasan
benih varietas unggul spesifik
lokasi. 12
Perbanyakan dan
penyaluran mata tempel dan benih tanaman.
13 Pelaksanaan
dan bimbingan dan distribusi
pohon induk. 14
Penetapan sentra
produksi benih tanaman. 15
Pengembangan sistem
informasi perbenihan. 16
Pembangunan dan
pengelolaan balai benih wilayah kabupatenkota.
48 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
17 Pembinaan
dan pengawasan
balai benih
milik swasta.
Perlindungan Tanaman
1. Penetapan kebijakan
perlindungan tanaman.
Pengamatan, identifikasi, pemetaan,
pengendalian dan
analisis dampak
kerugian OPTfenomena
iklim wilayah provinsi. Pengamatan,
identifikasi, pemetaan,
pengendalian dan
anlisis dampak
kerugian OPTfenomena
iklim wilayah
kabupatenkota. 2.
Pengaturan dan
penetapan norma dan standar
teknis pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman
OPT dan
analisis mitigasi
dampak fenomena iklim.
Bimbingan pemantauan, pengamatan,
dan peramalan OPTfenomena
iklim wilayah provinsi. Bimbingan
pemantauan, pengamatan,
dan peramalan OPTfenomena
iklim wilayah
kabupatenkota.
3. Penyebaran
informasi keadaan
serangan OPTfenomena iklim dan
rekomendasi pengendaliannya
di wilayah provinsi.
Penyebaran informasi
keadaan serangan
OPTfenomena iklim dan rekomendasi
pengendaliannya di wilayah kabupatenkota.
4. Pemantauan
dan pengamatan daerah yang
diduga sebagai sumber OPTfenomena
iklim wilayah provinsi.
Pemantauan dan
pengamatan daerah yang diduga
sebagai sumber
OPTfenomena iklim
wilayah kabupatenkota. 5.
Penyediaan dukungan
pengedalian, eradikasi
tanaman dan
bagian tanaman wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan
pengendalian, eradikasi
tanaman dan
bagian tanaman
wilayah kabupatenkota.
6. Pemantauan, peramalan,
pengendalian dan
penanggulangan eksplosi OPTfenomena
iklim wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan,
pengendalian dan
penanggulangan eksplosi
OPTfenomena iklim
wilayah kabupatenkota. 7.
Pengaturan dan
pelaksanaan penanggulangan
wabah hama
dan penyakit
tanaman wilayah provinsi. Pengaturan
dan pelaksanaan
penanggulangan wabah
hama dan
penyakit tanaman
wilayah kabupatenkota.
49 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Perijinan usaha
1. Penetapan
pedoman perizinan
usaha tanaman pangan dan
hortikultura. Pemberian
izin usaha
tanaman pangan
dan hortikultura
wilayah provinsi.
Pemberian izin
usaha tanaman
pangan dan
hortikultura wilayah
kabupatenkota. 2.
Pemantauan dan
pengawasan izin usaha tanaman
pangan dan
hortikultura wilayah
provinsi. Pemantauan
dan pengawasan
izin usaha
tanaman pangan
dan hortikultura
wilayah kabupatenkota.
Teknis Budidaya
1. Penetapan
pedoman teknis
budidaya tanaman pangan dan
hortikultura. .
Bimbingan penerapan
pedoman teknis
pola tanam,
perlakuan terhadap tanaman pangan
dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan
pedoman teknis
pola tanam, perlakuan terhadap
tanaman pangan
dan hortikultura
wilayah kabupatenkota.
2. Bimbingan
peningkatan mutu
hasil tanaman
pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan
mutu hasil
tanaman pangan dan hortikultura
wilayah kabupatenkota.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil
1. Penetapan kebijakan
penanganan panen,
pasca panen
dan pengolahan
hasil tanaman pangan dan
hortikultura. Pemantauan dan evaluasi
penanganan panen, pasca panen dan pengolahan
hasil tanaman
pangan dan hortikultura wilayah
provinsi. Bimbingan
penanganan panen, pasca panen dan
pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura
wilayah kabupatekota.
2. Penetapan
pedoman perkiraan kehilangan
tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan peningkatan
mutu hasil
tanaman pangan dan hortikultura
wilayah provinsi. Bimbingan
peningkatan mutu
hasil tanaman
pangan dan hortikultura wilayah kabupaten kota.
3. Penetapan
standar unit pengolahan, alat
transportasi, unit
penyimpanan dan
kemasan hasil
tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan penghitungan perkiraan
kehilangan hasil
tanaman pangan
dan hortikultura wilayah provinsi.
Penghitungan perkiraan
kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura
wilayah kabupatenkota.
4. Penetapan
pedoman teknologi
panen, pasca
panen dan
pengolahan hasil. Pengawasan standar unit
pengolahan, alat
transportasi, unit
penyimpanan dan
kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura
wilayah provinsi. Bimbingan
penerapan standar unit pengolahan,
alat transportasi,
unit penyimpanan dan kemasan
hasil tanaman pangan dan hortikultura
wilayah kabupatenkota.
50 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
5. Penyebarluasan
dan pemantauan
penerapan teknologi panen, pasca
panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
Penyebarluasan dan
pemantauan penerapan
teknologi panen,
pasca panen
dan pengolahan
hasil wilayah kabupaten kota
Bimbingan penerapan
teknologi panen,
pasca panen
dan pengolahan
hasil wilayah
kabupatenkota.
Pengawasan Dan Evaluasi
1. Pengawasan
dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan, norma,
standar, kriteria,
pedoman dan
prosedur di bidang tanaman pangan dan
hortikultura.
Sumber : PP No. 38 Tahun 2007
b. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pertanian
Menyikapi perubahan iklim kebijakan bidang pertanian secara umum adalah untuk ikut menurunkan emisi GRK
terutama dari
sektor pertanian
dalam arti
luas dan
meminimalkan dampak
perubahan iklim
agar sasaran
pembangunan bidang pertanian dapat tercapai. Kebijakan juga diarahkan
untuk meningkatkan
peran sektor
pertanian, terutama subsektor perkebunan dan subsektor pertanian di
lahan gambut, dalam menurunkan emisi GRK. Secara rinci kebijakan yang akan ditempuh adalah: 1 meningkatkan
pemahaman petani dan pihak terkait dalam mengantisipasi perubahan iklim; 2 meningkatkan kemampuan sektor pertanian
untuk beradaptasi
dengan perubahan
iklim, termasuk
didalamnya pembangunan pertanian tetap dapat tercapai. membangun sistem asuransi perubahan iklim, dan 3 merakit
dan menerapkan teknologi tepat guna dalam memitigasi emisi GRK.
51
Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman pangan adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim sehingga
Kebijakan yang akan ditempuh, tanaman pangan mendapat prioritas utrama disamping komoditas lainnya. Strategi yang
akan ditempuh adalah sebagai berikut : a.
Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan :
Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem dan jaringannya.
Pengembangan teknologi penyimpan air waduk, embung, jaringan irigasi
Pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman b.
Peternakan :
Pengembangan ternaka yang adaptif terhadap perubahan lingkungan ekstrim seperti kekeringan, suhu tinggi,
genangan.
Pengembangan system integrasi tanaman ternak crop livestock system, CLS untuk optimalisasi penggunaan
sumberdaya lahan.
3.1.2. Bidang Kehutanan a. Pembagian Kewenangan
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional RKTN memberikan arah pengurusan hutan ke depan melalui pemanfaatan
sumberdaya hutan secara adil dan berkelanjutan, potensi multi fungsi hutan untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk
mencapai posisi penting Kehutanan Indonesia di tingkat nasional, regional dan global di tahun 2030 melalui optimalisasi
dan pemantapan kawasan hutan, peningkatan produktivitas dan nilai sumberdaya hutan, peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan hutan, peningkatan riset dan teknologi kehutanan,
mewujudkan kelembagaan
bagi tata
kelola
52
kehutanan secara efisien dan efektif serta mengoptimalkan keunggulan komparatif kehutanan Indonesia.
Hutan Indonesia diharapkan kembali menjadi penggerak ekonomi dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam
pembangunan nasional di masa datang. Selain kontribusi dari hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu seperti rotan,
minyak kayu putih, gondorukem, terpentin, serta berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar, hutan Indonesia dapat memberikan
kontribusi yang nyata dalam bentuk jasa-jasa lingkungan dan wisata alam diantaranya melalui penyediaan oksigen dan
keindahan bentang alamnya. Hutan Indonesia juga diharapkan menjadi solusi terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan,
air dan energi di masa depan dengan kemampuannya dalam mengatur siklus air serta potensinya sebagai salah satu sumber
EBT bioenergy, panas, dan air. Selain itu, kemampuan hutan dalam menyerap dan
menyimpan karbon menjadikan hutan Indonesia tidak hanya berperan sebagai penyeimbang iklim global, namun sekaligus
juga memberikan peluang ekonomi dalam skema perdagangan karbon baik melalui skema voluntary maupun mandatory.
Mendasarkan tujuan dan peran tersebut kewenangan urusan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan
kawasan hutan, penunjukan kawasan hutan dan lain-lain, dengan perincian sebagaimana Tabel 3.2.
53
Tabel 3.2. Pembagian Kewenangan Urusan Kehutanan
PEMERINTAH PEMERINTAHAN
DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN KOTA Inventarisasi Hutan
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam,
taman buru dan inventarisasi hutan daerah
aliran sungai DAS skala nasional.
Penyelenggaraan inventarisasi
hutan produksi, hutan lindung
dan taman hutan raya dan skala
DAS lintas
kabupaten kota. Penyelenggaraan
inventarisasi hutan
produksi dan
hutan lindung dan skala DAS
dalam wilayah
kabupatenkota.
Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi,
hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan
suaka alam dan taman buru.
- -
Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi,
hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan
suaka alam dan taman buru.
Pemberian pertimbangan teknis penunjukan
kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan
pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman
buru. Pengusulan
penunjukan kawasan hutan produksi,
hutan lindung, kawasan pelestarian
alam, kawasan suaka alam dan
taman buru
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
Penyelenggaraan tata batas, penataan dan
pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung,
kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan
taman buru. -
-
Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru
Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi,
hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan
suaka alam dan taman buru
54 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
penetapan pengelola
kawasan hutan
dengan tujuan
khusus untuk
masyarakat hukum adat, penelitian
dan pengembangan, pendidikan
dan pelatihan kehutanan, lembaga
sosial dan
keagamaan. Pengusulan dan
pertimbangan teknis pengelolaan kawasan
hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat
hukum adat, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial
dan keagamaan untuk skala provinsi.
Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan
tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat,
penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga
sosial dan keagamaan untuk skala
kabupatenkota dengan pertimbangan gubernur.
Penatagunaan Kawasan Hutan
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan
penetapan fungsi, perubahan status dan
fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan
milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan
penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Pertimbangan teknis perubahan status dan
fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik
menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta
tukar menukar kawasan hutan.
Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan
dan perubahan status dari lahan milik menjadi
kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar
menukar kawasan hutan.
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah
pengelolaan hutan, penetapan wilayah
pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta
arahan pencadangan. Pelaksanaan penyusunan
rancang bangun, pembentukan dan
pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan
lindung dan hutan produksi serta
pertimbangan teknis institusi wilayah
pengelolaan hutan. Pertimbangan
penyusunan rancang bangun dan pengusulan
pembentukan wilayah pengelolaan hutan
lindung dan hutan produksi, serta institusi
wilayah pengelolaan hutan.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Dua Puluh Tahunan Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan jangka
panjang unit KPHP. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
panjang unit kesatuan pengelolaan hutan
produksi KPHP. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
panjang unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Lima Tahunan Unit KPHP
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan jangka
menengah unit KPHP. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
menengah unit KPHP. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
menengah unit KPHP.
55 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Tahunan Unit KPHP
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek
unit KPHP. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
pendek unit KPHP.
Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan
pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan
unit usaha pemanfaatan hutan produksi
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja
usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan
hutan produksi. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan
unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha
pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja
lima tahunan unit pemanfaatan hutan
produksi. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana kerja lima tahunan unit
pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Tahunan Jangka Pendek Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
rencana pengelolaan tahunan jangka pendek
unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan
tahunan jangka pendek unit usaha pemanfaatan
hutan produksi. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan tahunan
jangka pendek unit usaha pemanfaatan hutan
produksi.
Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi
1. Penetapan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan penataan batas luar areal kerja
unit pemanfaatan hutan produksi.
2. —
1. Pertimbangan teknis
untuk pengesahan, koordinasi dan
pengawasan pelaksanaan penataan
batas luar areal kerja unit pemanfaatan
hutan produksi lintas kabupatenkota.
2. Pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan batas luar areal kerja
unit pemanfaatan hutan produksi dalam
kabupatenkota 1.
Pertimbangan teknis untuk pengesahan,
dan pengawasan pelaksanaan
penataan batas luar areal kerja unit
pemanfaatan hutan produksi dalam
kabupatenkota.
2. —
Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan Jangka Panjang Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL
3. Penetapan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaaan dua
puluh tahunan jangka panjang unit KPHL.
1. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaaan dua
puluh tahunan jangka panjang unit KPHL.
1. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaaan dua
puluh tahunan jangka panjang unit
KPHL.
56 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Jangka Menengah Unit KPHL
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaan lima tahunan jangka menengah unit
KPHL. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit KPHL.
Rencana Pengelolaan Tahunan Jangka Pendek Unit KPHL
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
rencana pengelolaan tahunan jangka pendek
unit KPHL. Pengesahan rencana
pengelolaan tahunan jangka pendek unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaan tahunan jangka pendek unit
KPHL.
Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan
unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja
usaha dua puluh tahunan unit usaha
pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja
usaha dua puluh tahunan unit usaha
pemanfaatan hutan lindung.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Jangka Menengah Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit usaha pemanfaatan hutan
lindung. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit usaha pemanfaatan hutan
lindung. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit usaha pemanfaatan hutan
lindung.
Rencana Pengelolaan Tahunan Jangka Pendek Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
rencana pengelolaan tahunan jangka pendek
unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan
tahunan jangka pendek unit usaha pemanfaatan
hutan lindung. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan tahunan
jangka pendek unit usaha pemanfaatan hutan
lindung.
Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan penataan areal kerja unit usaha
pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal
kerja unit usaha pemanfaatan hutan
lindung kepada pemerintah Pertimbangan teknis
pengesahan penataan areal kerja unit usaha
pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi.
Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan Jangka Panjang Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi KPHK
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan dua puluh
tahunan jangka panjang unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua
puluh tahunan jangka panjang unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua
puluh tahunan jangka panjang unit KPHK.
57 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Jangka Menengah Unit KPHK
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan
jangka menengah unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima
tahunan jangka menengah unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima
tahunan jangka menengah unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Tahunan Unit KPHK
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek
tahunan unit KPHK. Pertimbangan teknis
rencana pengelolaan jangka pendek tahunan
unit KPHK. Pertimbangan teknis
rencana pengelolaan jangka pendek tahunan
unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Dua Puluh Tahunan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
penyusunan serta pengesahan rencana
pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata
alam dan taman buru. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka
panjang dua puluh tahunan untuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaan jangka panjang dua puluh
tahunan untuk cagar alam, suaka margasatwa,
taman nasional, taman wisata alam dan taman
buru skala kabupatenkota.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
penyusunan serta pengesahan rencana
pengelolaan jangka menengah untuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaan jangka menengah untuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaan jangka menengah untuk cagar
alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman
wisata alam dan taman buru skala
kabupatenkota.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
penyusunan serta pengesahan rencana
pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional, taman wisata
alam, dan taman buru. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek
untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman
nasional, taman wisata alam, dan taman buru
skala provinsi. Pertimbangan teknis
pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek
untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman
nasional, taman wisata alam dan taman buru
skala kabupatenkota
58 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Penataan Blok Zonasi Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
pelaksanaan penataan blok zonasi cagar alam,
suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata
alam dan taman buru. —
—
Pengelolaan Taman Hutan Raya
1. Pengesahan rencana
pengelolaan jangka menengah lima
tahunan dan jangka panjang dua puluh
tahunan.
2.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria: a.
Pemanfaatan taman hutan raya
b. Penataan blok
c. Rehabilitasi
1. Pengelolaan taman
hutan raya, penyusunan rencana
pengelolaan jangka menengah dan jangka
panjang dan pengesahan rencana
pengelolaan jangka pendek serta penataan
blok zonasi dan pemberian perizinan
usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di
taman hutan raya skala provinsi.
2. —
1. Pengelolaan taman
hutan raya, penyusunan rencana
pengelolaan dan penataan blok zonasi
serta pemberian perizinan usaha
pariwisata alam dan jasa lingkungan serta
rehabilitasi di taman hutan raya skala
kabupatenkota.
2.
—
Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Pertimbangan teknis kepada menteri untuk
pemberian dan perpanjangan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi
kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah
kerja PERUM Perhutani. Pertimbangan teknis
kepada gubernur untuk pemberian dan
perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu serta pemberian perizinan usaha
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan
produksi kecuali pada kawasan hutan negara
pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
59 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
pemberian izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan
kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada
kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM
Perhutani. Pemberian perizinan
pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan
hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala
kabupatenkota kecuali pada kawasan hutan
negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan
hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan
hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada
kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM
Perhutani. Pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan
skala kabupatenkota kecuali pada kawasan
hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Industri Pengolahan Hasil Hutan
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
industri primer hasil hutan dan pemberian izin
industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas
produksi 6.000 m
3
. Pemberian izin industri
primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi
≤ 6.000 m
3
serta pertimbangan teknis izin
industri primer dengan kapasitas 6.000 m
3
. Pertimbangan teknis
pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
Penatausahaan Hasil Hutan
Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan
hasil hutan. Pengawasan dan
pengendalian penatausahaan hasil hutan
skala provinsi. Pengawasan dan
pengendalian penatausahaan hasil
hutan skala kabupatenkota.
Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan
penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan
hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam
Lampiran Appendix Convention on International
Trade Endangered Species CITES serta pemanfaatan
jasa lingkungan skala nasional.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan
hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam
Lampiran Appendix CITES, dan pemanfaatan
jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada
kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM
Perhutani. Pemberian perizinan
pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil
hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak
termasuk ke dalam Lampiran Appendix
CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala
kabupatenkota kecuali pada kawasan hutan
negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
60 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
1. Penetapan pola umum,
norma, standar, prosedur, dan kriteria
rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan
kritis.
2. Penetapan lahan kritis
skala nasional. 3.
Penyusunan dan penetapan rencana
rehabilitasi hutan dan lahan DASSub DAS.
4. Penetapan rencana
pengelolaan rehabilitasi hutan dan
lahan, rencana tahunan dan
rancangan rehabilitasi hutan pada hutan
konservasi kecuali cagar alam dan zona
inti taman nasional.
5. -
1. —
2.
Penetapan lahan kritis skala provinsi.
3. Pertimbangan teknis
rencana rehabilitasi hutan dan lahan
DASSub DAS.
4. Penetapan rencana
pengelolaan rehabilitasi hutan,
rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi
hutan pada taman hutan raya skala
provinsi.
5. Penetapan rencana
pengelolaan, rencana tahunan dan
rancangan rehabilitasi hutan pada hutan
produksi, hutan lindung yang tidak
dibebani izin pemanfaatan
pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan
hutan skala provinsi. 1.
— 2.
Penetapan lahan kritis skala
kabupatenkota. 3.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi
hutan dan lahan DASSub DAS.
4. Penetapan rencana
pengelolaan, rencana tahunan dan
rancangan rehabilitasi hutan
pada hutan taman hutan raya skala
kabupatenkota.
5. Penetapan rencana
pengelolaan, rencana tahunan dan
rancangan rehabilitasi hutan
pada hutan produksi, hutan lindung yang
tidak dibebani izin pemanfaatanpengelo
laan hutan dan lahan di luar kawasan
hutan skala kabupatenkota.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur,
dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria
dan urutan DASSub DAS prioritas serta penyusunan
rencana pengelolaan DAS terpadu.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana
pengelolaan, penyelenggaraan
pengelolaan DAS skala provinsi
Pertimbangan teknis penyusunan rencana
pengelolaan, penyelenggaraan
pengelolaan DAS skala kabupatankota
61 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove
1. Pelaksanaan
rehabilitasi dan pemeliharaan hasil
rehabilitasi hutan konservasi kecuali
cagar alam dan zona inti taman nasional.
2. —
1. Pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil
rehabilitasi hutan pada taman hutan
raya skala provinsi.
2. Pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil
rehabilitasi hutan pada hutan produksi,
hutan lindung yang tidak dibebani izin
pemanfaatanpengelol aan hutan, dan lahan
di luar kawasan hutan skala provinsi.
1. Pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan pemeliharaan
hasil rehabilitasi hutan pada taman
hutan raya skala kabupatenkota.
2. Pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan pemeliharaan
hasil rehabilitasi hutan pada hutan
produksi, hutan lindung yang tidak
dibebani izin pemanfaatanpengelo
laan hutan, dan lahan di luar
kawasan hutan skala kabupatenkota.
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan di Sekitar Hutan
1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria pemberdayaan masyarakat setempat
di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
1. Pemantauan, evaluasi
dan fasilitasi pemberdayaan
masyarakat setempat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan. 1.
Bimbingan masyarakat,
pengembangan kelembagaan dan
usaha serta kemitraan
masyarakat setempat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan.
Hutan Kota 1.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria perbenihan tanaman hutan,
penetapan dan pembangunan
sumberdaya genetik, pemberian izin
eksporimpor, karantina dan
sertifikasi sumber benih dan mutu
benihbibit serta akreditasi lembaga
sertifikasi benihbibit tanaman hutan.
1. Pertimbangan teknis
calon areal sumber daya genetik,
pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan
mutu benihbibit tanaman hutan.
1. Inventarisasi dan
identifikasi serta pengusulan calon
areal sumberdaya genetik, pembinaan
penggunaan benihbibit,
pelaksanaan sertifikasi sumber
benih dan mutu benihbibit tanaman
hutan.
62 PEMERINTAH
PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI
PEMERINTAHAN DAERAH KABKOTA
Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru
1. Penetapan norma,
standar, prosedur, dan kriteria serta
pemberian perizinan usaha pariwisata alam
pada kawasan pelestarian alam dan
pengusahaan taman buru.
2. Pertimbangan teknis
pengusahaan pariwisata alam dan
taman buru serta pemberian perizinan
pengusahaan kebun buru skala provinsi.
1. Pertimbangan teknis
pengusahaan pariwisata alam dan
taman buru serta pemberian perizinan
pengusahaan kebun buru skala
kabupatenkota.
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru
1. Penetapan norma,
standar, prosedur, dan kriteria serta
pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan
pelestarian alam serta taman buru.
Sumber : PP No. 38 Tahun 2007
b. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kehutanan