Ideologi Ideologi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016

NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 159

4.2.1 Ideologi

Pengambilan Distansi Untuk Menunjukkan Kemampuan Perempuan Indonesia juga sadar bahwa salah satu yang harus diperjuangkan adalah menuntaskan pekerjaan.Ia harus mampu menunjukkan kepada kekuatan hegemonik bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu. Tanpa perjuangan untuk menunjukkan kemampuan, perempuan akan selalu diremehkan oleh kekuatan hegemonik itu. 9 “Lho? Ibu jangan misunderstanding terus dong.” hlmn. 121 10 Tak ada lagi yang memuji kecepatanku dalam mentasrif kata, fa’ala, yafa’lu, fa’lan, wa maf’alan, wa huwa fa’ilun, wa dzaka maf’ulun…hlmn. 44 Pada kutipan di atas, terlihat Abidah menggunakan kosakata asing. Hal ini untuk menunjukkan bahwa penghasil teks mampu menguasai sesuatu sejajar dengan apa yang dapat dikuasai oleh kekuatan hegemonik, yakni kekuasaan laki-laki. Sebagai kelompok subordinat, penghasil teks perlu menunjukkan kekuatan yang dimilikinya sehingga kelompok dominan semakin mengakuinya. Tanpa usaha ini kelompok dominan tidak akan memahami. Cara yang paling tepat untuk “menandingi” kekuatan hegemoni adalah menunjukkan bahwa ia mampu.

4.2.2 Ideologi

Pengurangan Distansi dalam Kerangka Solidaritas Perempuan Indonesia juga memanfatkan penggunaan bentuk- bentuk informal, seperti penggunaan kosakata sehari-hari, kolokial, gaul, danatau nonbaku. Penggunaan bahasa informal atau bahasa gaul dilakukan oleh Abidah untuk menunjukkan keakraban terhadap pembacanya. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan berikut ini. 11 “Nisa ada PR yang belum digarap, Bu. Nanti bisa kena setrap.” hlmn. 33 12 “Anak bandel seperti ini jangan dilulu, nanti kebablasen,Ngelunjak.” hlmn. 40 13 “ Yah.. kira-kira, miriplah dengan Nisa.” “Mirip apanya, Lek?” “Bandelnya kali.” hlmn. 46 Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan pengarang lainnya karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Sehingga dapat didefinisikan bahwa gaya digunakan sebagai cara pemakaian bahasa yang spesifik oleh seorang pengarang. Gaya merupakan kemajiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata-kata, kelompok kata, kalimat, dan ungkapan yang pada akhirnya akan ikut menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasukakalan suatu karya yang menjadi hasil ekspresi dirinya Pada kosakata nilai relasional, terdapat fitur lingual kosakata yang menggunakan kata-kata formal dan informal yang mencolok.Kedua wujud pilihan kata itu berada pada payung persoalan formality, yakni sebuah kepemilikan yang lazim dalam banyak masyarakat, baik pada NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 160 tataran praktik maupun wacana, yang berkenaan dengan prestise sosial yang tinggi dan akses yang terbatas Fairclough, dalam Santoso, 2012: 148.Dalam konteks ini yang terjadi adalah tuntutan tingkat formalitas dalam sebuah relasi sosial. Kata formal adalah kosakata yang dipergunakan untuk tujuan menciptakan prestise sosial tertentu dan menciptakan jarak sosial social distance dengan para pendengar.Kata-kata formal ditunjukkan melalui pilihan kosakata asing dan kosakata ilmiah yang dapat mendatangkan nada formal. Pilihan kosakata seperti ini akan menciptakan kesan-kesan kekuasaan, posisi, dan status. Kata-kata formal yang dipilih itu dalam pandangan studi bahasa kritis selain berperan sebagai “wadah informasi”, juga yang lebih penting adalah berperan sebagai “pengontrol” terhadap mitra tutur serta “penonjol identitas” bagi penuturnya. Kata-kata informal adalah kosakata yang digunakan untuk tujuan menciptakan keakraban, kesantunan, solidaritas, dan ekspresi afektif dengan pendengar.Pilihan kata-kata informal ditunjukkan melalui pilihan kosakata sehari- hari.Kosakata ini amat mudah dipahami oleh publik.

4.3 Kosakata yang

Merepresentasikan Ideologi Perempuan dalam Nilai Ekspresif Kosakata Dari analisis kritis terhadap “nilai ekspresif” kosakata terdapat beberapa ideologi yang diperjuangkan perempuan sebagai berikut.

4.3.1 Ideologi

Pemberontakan Terhadap Kemapanan Laki-Laki Terdapat pandangan hidup yang cukup menonjol dari beberapa perempuan Indonesia, yakni “pemberontakan” terhadap kemapanan laki-laki. 14 “…Kenapa diam Kenapa tak kau ceritakan kehebatanmu naik kuda telah menyaingi Tjut Nyak Dhien Kau ini sok pintar, Nisa. Apa begitu yang diajarklan bapak dan ibumu selama ini? Kau iniperempuan. Mau jadi pahlawan ya? Pencilakan. Pethakilan hlmn. 40 15 “Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi- tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Kami juga tidak terlalu keburu. …,” suara laki-laki sang tamu hlmn. 81 16 “Sejak malam pertama sampai sekarang,tak bosan-bosannya, ia menyakitiku, menjambak rambutku, menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan dan seorang istri.” hlmn. 132 Pada kutipan di atas, terdapat frasa yang menandai evaluasi penghasil teks terhadap realitas di sekitarnya, terutama masalah dominasi laki-laki yang sudah berlangsung turun-temurun dan sikap fatalistik perempuan terhadap keadaan yang ada. Frasa-frasa “kau ini anak perempuan”, “sok pintar”, “perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi”, ‘mencincang hak dan kebebasanku sebagai manusia”, “ia menyakitiku, menjambak rambutku, NOSI Volume 4, Nomor 2, Agustus 2016__________________________________Halaman | 161 menendang dan menempeleng, memaksa dan memaki serta melecehkanku sebagai perempuan dan seorang istri”, memberikan pemahaman bahwa pengarang ingin mengkritisi kelompoknya sendiri yang mayoritas tidak kritis dengan keadaan seperti itu. Abidah tidak menyalahkan begitu saja kepada struktur, dominasi laki-laki, kekuatan budaya, kekuatan konstruksi sosial, lebih dari itu Abidah merasa prihatin kepada kaum perempuan sendiri yang tidak sadar dengan kondisinya yang semakin terpuruk.Kaum perempuan sering berlaku manja, meminta keistimewaan, cengeng, pasrah kepada nasib, serta karakter lembek lainnya. Dengan perjuangan itu, bagaimanapun kaum perempuan akan dapat menentukan cara-cara untuk “menggambarkan pandangan kaum perempuan ke dalam kehidupan kultural kita”. Atau paling tidak dapat tercipta apa yang disebut pandangan perempuan female gaze. Dengan cara ini, laki-laki lebih menghargai bahwa ada cara pandang lain atau cara pandang the other di luar cara pandang yang secara bawah sadar selama ini berlaku, yakni cara pandang dari self. Cara pandang yang baru itu paling tidak dapat menempatkan perempuan pada posisi yang lebih baik, posisi yang lebih setara, posisi yang memiliki akses yang banyak bagi perempuan, tanpa harus merugikan pemilik cara pandang sebelumnya yang sudah dianggap baku dan universal, yakni laki-laki.

4.3.2 Ideologi Perasaan Senasib