TINJAUAN LEGAL YURIDIS TERHADAP KEPEMILI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan sumber daya vital bagi setiap orang. Tanah dalam
fungsinya merupakan sarana untuk mencari penghidupan (pendukung
mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai
tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat
tinggal yang berimplikasi pada kejelasan status domisili seseorang
mengenai status kependudukan dalam administrasi. Dengan pengetahuan
bahwa tanah sebagai sumber alam terbatas luasnya, maupun
kemampuan untuk memproduksinya, maka dengan sendirinya timbul
keharusan untuk menggunakan setiap jengkal tanah dengan sehemathematnya dan seefisien mungkin
Indonesia sebagai negara kepulauan(maritim) merupakan berkah
tersendiri bagi warga negaranya jika bisa mengolah kekayaan sumber
daya alam yang bertebaran di Indonesia dari Sabang Sampai Merauke jika
semua itu dioptimalkan oleh sumber daya manusia siap dengan
memanfaatkan perkembangan tekhnologi.
B. Jumlah Pulau-pulau di Indonesia
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun
2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah
pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah. Pada tahun 2004 Data
Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan
bupati/wali kota, menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama,
sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Menurut rilis di portal resmi Badan
Informasi Geospasial, saat ini pulau yang terdaftar dan berkoordinat
berjumlah 13.466 pulau.
C. Fenomena Kepemilikan Pulau-Pulau di Indonesia
Asing
Oleh Warga
Beberapa waktu yang lalu, begitu ramai pemberitaan media elektronik
maupun koran tentang fenomena kepulauan di Indonesia yang banyak
beralih kepemilikan oleh Warga Negara Asing, contoh Pulau Cubadak ada
di Sumatra Barat, Pulau Gangga yang terletak di Sulawesi Utara. Kedua
pulau itu dimiliki oleh orang Italia. Pulau Menyawakan, salah satu pulau di
Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah yang dimiliki oleh orang Swedia
dan masih banyak lagi pulau-pulau yang telah beralih hak milik kepada
Page | 1
warga negara asing seperti seperti Pulau Moyo di Sumbawa, Pulau
Maratua di Kalimantan Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Raja Ampat
di Papua, dan lain-lain.
Rumusan masalah
Demi menemukan hasil yang berkesesuaian dengan topik dan supaya
tidak keluar dari judul pembahasan maka dirumuskan beberapa masalah
ke dalam beberapa pertanyaan berikut, yaitu:
Bagaimanakah status legal-yuridis pulau-pulau yang dimiliki oleh
Warga Negara Asing dengan menjadikan pulau tersebut tempat
wisata ?
Page | 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lapangan Hukum Agraria dan Politik Pertanahan.
Lapangan Hukum Agraria tergolong lapangan hukum yang muda usia
bila dibanding dengan lapangan-lapangan hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana dan sebagainya.
Didalam Tata Hukum Indonesia, lapangan hukum agraria mendapat
tempat sebagai lapangan hukum tersendiri sejak berlakunya UndangUndang Pokok Agraria ( UU No. 5 Tahun 1960/L.N No.104 Tahun 1960 )
pada tanggal 24 September 1960 atau disingkat UUPA.
Jika melihat perjalanan sejarah, bahwa politik hukum pertanahan di
Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan
sistem politik dan kekuasaan yang ada.
1
.
Pada Masa Penjajahan (Agraische Wet 1870, Pasal 51 IS), bahwa
dominasi kekuasaan atas tanah berada pada Gubernur Jenderal.
Menurut Ordonansi diatas bahwa Gubernur Jenderal boleh
memberikan hak efracht selama 75 tahun. Ini bertujuan agar
Agraische Wet 1870 memberikan kesempatan kepada perusahaan
pertanian berkembang di Indonesia.
2
.
Pada Masa Orde Lama, politik pertanahan di Indonesia, dengan
keluarnya UU No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil dan
UU No.56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian
yang secara ideologis bertujuan untuk terciptanya pemerataan
kepemilikan tanah, akan tetapi menimbulkan konflik antara petani
penerima distribusi tanah dan pemilik tanah asli.
3
.
Pada Masa Orde Baru, politik pertanahan menganut ideologi
pertumbuhan ekonomi dengan dikeluarkannya Peraturan Mentri
Dalam Negri (PMDN No.15 Tahun 1975 dan PMDN No.2 Tahun
1976). Akan tetapi, implikasi atas pengaturan itu menimbulkan
Page | 3
pemusatan penguasaan tanah pada segelintir orang, khususnya
para pemodal kuat yang didukung negara.
B. Tanah Sebagai Hak dan Berfungsi Sosial.
Dalam ruang kaji agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Disamping itu, tanah juga memiliki fungsi sosial
selain sebagai status hak milik perorangan dalam pembangunan hukum
pertanahan Indonesia. Semua ini bertujuan agar setiap jengkal tanah di
Indonesia bisa bermanfaat mengangkat kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Cita hukum agraria ini sesuai falsafah hukum sosiologis-fungsional,
yang antara lain dikembangkan oleh Eugen Ehrlich, Hermann Heller,
Gerhart Niemeyer, dan lain-lain[], yang mengatakan bahwa hukum selain
mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri
sendiri, terlepas dari manusia lain (individu yang atomistis), hukum juga
mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain yang sama-sama terikat dalam
satu ikatan kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, menurut aliran falsafah ini, hak apapun yang diakui
oleh hukum dan diberikan kepada perorangan atau persekutuan atau
kesatuan lain, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi
kepentingan perseorangan atau persekutuan atau kesatuan itu saja, akan
tetapi pemberian hak kepada perseorangan/persekutuan/kesatuan lain itu
diberikan dan diakui oleh hukum,oleh karena dengan diberikannya hak
tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu,
kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.
C. Aspek Yuridis Mengenai Pertanahan di Indonesia
Ketentuan Legal-yuridis yang mengatur mengenai agraria di Indonesia
terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) serta peraturan
penunjang lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah, dan lain-lain.
Pada dasarnya ketentuan mengenai hak-hak atas tanah di Indonesia
dengan jelas terdapat pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari :
Page | 4
a
.
b
.
c
.
d
.
e
.
f.
g
.
Hak Milik.
Hak Guna Usaha.
Hak Guna Bangunan.
Hak Pakai.
Hak Sewa.
Hak Membuka Tanah.
Hak Memungut Hasil Hutan.
B. Hak Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di
Indonesia.
Dasar Yuridis dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA)
dan Badan Hukum Asing (BHA) yang berkedudukan di Indonesia secara
garis besar telah diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA dan diatur
lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Dalam Pasal 41 Ayat 1 dan 2(a) Undang-Undang Pokok Agraria diatur
ketentuan mengenai Hak Pakai atas tanah, berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya
oleh
pejabat
yang
berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini.
Ayat 2(a):
Hak pakai dapat diberikan :
a
selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
Page | 5
.
b
.
c
.
d
.
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Diantaranya adalah Pasal 2 ayat 2 PP No.40 tahun1996
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing
yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang memiliki perwakilan di
Indonesia hanya diberi Hak Pakai. Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing
atau Badan Hukum Asing memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik.
Lantas, Pasal 36 UUPA menyebutkan bahwa orang asing juga dapat memakai HGU untuk
mendirikan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia. Sedang mengenai durasi
diatur dalam Pasal 35 UUPA yaitu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20
tahun bahkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 PP No.40 Tahun 1996 dikatakan pemberian
Hak Pakai dapat pula diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
digunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan ketentuan pasal 5 PP No.40 Tahun 1996
mengatur mengenai luas tanah yang dapat dibeikan sebagai Hak Guna Usaha, yaitu minimum
5 hektar dan luas maksimum 25 hektar dengan tujuan usaha pertanian, peternakan, atau
perikanan sesuai dengan pasal 28 UUPA juncto pasal 12 ayat 1 huruf a dan b PP No.40 Tahun
1996.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melihat uraian diatas, mengenai peraturan-peraturan tentang agraria, baik yang bersumber
UUPA maupun PP No.40 Tahun 1996. Meski UUPA hanya menyebutkan peruntukan HGU
secara jelas, yaitu perikanan,perkebunan,petenakan, tapi Orang Asing boleh mengelola tanah
dengan status hak pakai pulau-pulau tersebut asalkan tidak melebihi luas yang ditentukan
Page | 6
Pasal 5 PP No.40 1996.Selain itu PP No.40 Tahun 1996 tersebut juga memberi kelonggaran
mengenai jenis usaha apa yang sesuai dengan geografi dan ketetapan peruntukanya yang
telah ditetapkan oleh Instansi berwenang, ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 12 ayat 1 huruf C
yang berbunyi:
“mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; .”
Politik pertanahan yang menganut ideologi pertumbuhan ekonomi oleh
Orde Baru telah membuat membuat distribusi kekayaan sumber daya
alam Negara tak bisa terdistribusi secara merata kepada seluruh rakyat
Indonesia.
B. Saran
Meski masuknya investor-investor asing dalam bidang kepariwisataan sangat
menguntungkan negara dalam sisi ekonomi, negara juga harus memperhatikan kultur budaya
masyarakat sekitar pulau tersebut karena masyarakat sekitar yang akan menerima dampak
langsung dari kebijakan pemerintah yang cenderung menerapkan sistem liberalisasi ekonomi
tersebut.
Page | 7
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan sumber daya vital bagi setiap orang. Tanah dalam
fungsinya merupakan sarana untuk mencari penghidupan (pendukung
mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai
tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat
tinggal yang berimplikasi pada kejelasan status domisili seseorang
mengenai status kependudukan dalam administrasi. Dengan pengetahuan
bahwa tanah sebagai sumber alam terbatas luasnya, maupun
kemampuan untuk memproduksinya, maka dengan sendirinya timbul
keharusan untuk menggunakan setiap jengkal tanah dengan sehemathematnya dan seefisien mungkin
Indonesia sebagai negara kepulauan(maritim) merupakan berkah
tersendiri bagi warga negaranya jika bisa mengolah kekayaan sumber
daya alam yang bertebaran di Indonesia dari Sabang Sampai Merauke jika
semua itu dioptimalkan oleh sumber daya manusia siap dengan
memanfaatkan perkembangan tekhnologi.
B. Jumlah Pulau-pulau di Indonesia
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Pada tahun
2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah
pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 buah. Pada tahun 2004 Data
Departemen Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan
bupati/wali kota, menyatakan bahwa 7.870 pulau yang bernama,
sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Menurut rilis di portal resmi Badan
Informasi Geospasial, saat ini pulau yang terdaftar dan berkoordinat
berjumlah 13.466 pulau.
C. Fenomena Kepemilikan Pulau-Pulau di Indonesia
Asing
Oleh Warga
Beberapa waktu yang lalu, begitu ramai pemberitaan media elektronik
maupun koran tentang fenomena kepulauan di Indonesia yang banyak
beralih kepemilikan oleh Warga Negara Asing, contoh Pulau Cubadak ada
di Sumatra Barat, Pulau Gangga yang terletak di Sulawesi Utara. Kedua
pulau itu dimiliki oleh orang Italia. Pulau Menyawakan, salah satu pulau di
Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah yang dimiliki oleh orang Swedia
dan masih banyak lagi pulau-pulau yang telah beralih hak milik kepada
Page | 1
warga negara asing seperti seperti Pulau Moyo di Sumbawa, Pulau
Maratua di Kalimantan Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Raja Ampat
di Papua, dan lain-lain.
Rumusan masalah
Demi menemukan hasil yang berkesesuaian dengan topik dan supaya
tidak keluar dari judul pembahasan maka dirumuskan beberapa masalah
ke dalam beberapa pertanyaan berikut, yaitu:
Bagaimanakah status legal-yuridis pulau-pulau yang dimiliki oleh
Warga Negara Asing dengan menjadikan pulau tersebut tempat
wisata ?
Page | 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lapangan Hukum Agraria dan Politik Pertanahan.
Lapangan Hukum Agraria tergolong lapangan hukum yang muda usia
bila dibanding dengan lapangan-lapangan hukum perdata, hukum dagang,
hukum pidana dan sebagainya.
Didalam Tata Hukum Indonesia, lapangan hukum agraria mendapat
tempat sebagai lapangan hukum tersendiri sejak berlakunya UndangUndang Pokok Agraria ( UU No. 5 Tahun 1960/L.N No.104 Tahun 1960 )
pada tanggal 24 September 1960 atau disingkat UUPA.
Jika melihat perjalanan sejarah, bahwa politik hukum pertanahan di
Indonesia mengalami perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan
sistem politik dan kekuasaan yang ada.
1
.
Pada Masa Penjajahan (Agraische Wet 1870, Pasal 51 IS), bahwa
dominasi kekuasaan atas tanah berada pada Gubernur Jenderal.
Menurut Ordonansi diatas bahwa Gubernur Jenderal boleh
memberikan hak efracht selama 75 tahun. Ini bertujuan agar
Agraische Wet 1870 memberikan kesempatan kepada perusahaan
pertanian berkembang di Indonesia.
2
.
Pada Masa Orde Lama, politik pertanahan di Indonesia, dengan
keluarnya UU No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil dan
UU No.56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian
yang secara ideologis bertujuan untuk terciptanya pemerataan
kepemilikan tanah, akan tetapi menimbulkan konflik antara petani
penerima distribusi tanah dan pemilik tanah asli.
3
.
Pada Masa Orde Baru, politik pertanahan menganut ideologi
pertumbuhan ekonomi dengan dikeluarkannya Peraturan Mentri
Dalam Negri (PMDN No.15 Tahun 1975 dan PMDN No.2 Tahun
1976). Akan tetapi, implikasi atas pengaturan itu menimbulkan
Page | 3
pemusatan penguasaan tanah pada segelintir orang, khususnya
para pemodal kuat yang didukung negara.
B. Tanah Sebagai Hak dan Berfungsi Sosial.
Dalam ruang kaji agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Disamping itu, tanah juga memiliki fungsi sosial
selain sebagai status hak milik perorangan dalam pembangunan hukum
pertanahan Indonesia. Semua ini bertujuan agar setiap jengkal tanah di
Indonesia bisa bermanfaat mengangkat kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Cita hukum agraria ini sesuai falsafah hukum sosiologis-fungsional,
yang antara lain dikembangkan oleh Eugen Ehrlich, Hermann Heller,
Gerhart Niemeyer, dan lain-lain[], yang mengatakan bahwa hukum selain
mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri
sendiri, terlepas dari manusia lain (individu yang atomistis), hukum juga
mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain yang sama-sama terikat dalam
satu ikatan kemasyarakatan.
Oleh sebab itu, menurut aliran falsafah ini, hak apapun yang diakui
oleh hukum dan diberikan kepada perorangan atau persekutuan atau
kesatuan lain, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi
kepentingan perseorangan atau persekutuan atau kesatuan itu saja, akan
tetapi pemberian hak kepada perseorangan/persekutuan/kesatuan lain itu
diberikan dan diakui oleh hukum,oleh karena dengan diberikannya hak
tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu,
kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.
C. Aspek Yuridis Mengenai Pertanahan di Indonesia
Ketentuan Legal-yuridis yang mengatur mengenai agraria di Indonesia
terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) serta peraturan
penunjang lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah, dan lain-lain.
Pada dasarnya ketentuan mengenai hak-hak atas tanah di Indonesia
dengan jelas terdapat pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari :
Page | 4
a
.
b
.
c
.
d
.
e
.
f.
g
.
Hak Milik.
Hak Guna Usaha.
Hak Guna Bangunan.
Hak Pakai.
Hak Sewa.
Hak Membuka Tanah.
Hak Memungut Hasil Hutan.
B. Hak Warga Negara Asing Terhadap Penguasaan Tanah di
Indonesia.
Dasar Yuridis dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA)
dan Badan Hukum Asing (BHA) yang berkedudukan di Indonesia secara
garis besar telah diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA dan diatur
lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Dalam Pasal 41 Ayat 1 dan 2(a) Undang-Undang Pokok Agraria diatur
ketentuan mengenai Hak Pakai atas tanah, berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya
oleh
pejabat
yang
berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini.
Ayat 2(a):
Hak pakai dapat diberikan :
a
selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
Page | 5
.
b
.
c
.
d
.
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia;
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Diantaranya adalah Pasal 2 ayat 2 PP No.40 tahun1996
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing
yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang memiliki perwakilan di
Indonesia hanya diberi Hak Pakai. Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing
atau Badan Hukum Asing memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik.
Lantas, Pasal 36 UUPA menyebutkan bahwa orang asing juga dapat memakai HGU untuk
mendirikan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia. Sedang mengenai durasi
diatur dalam Pasal 35 UUPA yaitu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20
tahun bahkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 PP No.40 Tahun 1996 dikatakan pemberian
Hak Pakai dapat pula diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
digunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan ketentuan pasal 5 PP No.40 Tahun 1996
mengatur mengenai luas tanah yang dapat dibeikan sebagai Hak Guna Usaha, yaitu minimum
5 hektar dan luas maksimum 25 hektar dengan tujuan usaha pertanian, peternakan, atau
perikanan sesuai dengan pasal 28 UUPA juncto pasal 12 ayat 1 huruf a dan b PP No.40 Tahun
1996.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melihat uraian diatas, mengenai peraturan-peraturan tentang agraria, baik yang bersumber
UUPA maupun PP No.40 Tahun 1996. Meski UUPA hanya menyebutkan peruntukan HGU
secara jelas, yaitu perikanan,perkebunan,petenakan, tapi Orang Asing boleh mengelola tanah
dengan status hak pakai pulau-pulau tersebut asalkan tidak melebihi luas yang ditentukan
Page | 6
Pasal 5 PP No.40 1996.Selain itu PP No.40 Tahun 1996 tersebut juga memberi kelonggaran
mengenai jenis usaha apa yang sesuai dengan geografi dan ketetapan peruntukanya yang
telah ditetapkan oleh Instansi berwenang, ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 12 ayat 1 huruf C
yang berbunyi:
“mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; .”
Politik pertanahan yang menganut ideologi pertumbuhan ekonomi oleh
Orde Baru telah membuat membuat distribusi kekayaan sumber daya
alam Negara tak bisa terdistribusi secara merata kepada seluruh rakyat
Indonesia.
B. Saran
Meski masuknya investor-investor asing dalam bidang kepariwisataan sangat
menguntungkan negara dalam sisi ekonomi, negara juga harus memperhatikan kultur budaya
masyarakat sekitar pulau tersebut karena masyarakat sekitar yang akan menerima dampak
langsung dari kebijakan pemerintah yang cenderung menerapkan sistem liberalisasi ekonomi
tersebut.
Page | 7