Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) sebagai penyedia jasa pelatihanDengan PT. Inalum Sebagai Peserta (Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI

(BBLKI) SEBAGAI PENYEDIA JASA PELATIHAN DENGAN PT. INALUM SEBAGAI PESERTA

(Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIM : 090200428 RIZKI UTAMI

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI

(BBLKI) SEBAGAI PENYEDIA JASA PELATIHAN DENGAN PT. INALUM SEBAGAI PESERTA

(Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan)

Oleh

NIM : 090200428 RIZKI UTAMI

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

NIP. 196603031985081001 Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Sinta Uli P, SH., M.Hum

NIP. 195506261986012001 NIP. 0195902051986012081

Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM TERHADAP KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA DI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI UNIT

BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI (BBLKI) MEDAN Pengadaan barang/jasa sangat diperlukan oleh suatu instansi atau lembaga di Indonesia dalam rangka mensukseskan pembangunan di segala bidang. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu dalam proses pembangunan perlu adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat agar terciptanya tujuan dari pembangunan nasional tersebut dan hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata.

Permasalahan penelitian ini adalah Bagaimana Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan ?Apakah Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan telah memenuhi Perpres No. 70 Tahun 2012? Bagaimana penyelesaian terhadap kontrak yang bermasalah ?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis

digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa.. Sedangkan pendekatan

normatif digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.

Macam pekerjaan : Pengadaan Alat Tulis Kantor untuk kegiatan Subsidi Program di Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan Tahun Anggaran 2009).Harga yang di setujui Rp. 44.000.000,- (Empat puluh empat juta rupiah) sudah termasuk PPn Pelaksanaan Kegiatan :Pekerjaan dimulai tanggal 14 September s/d 11 Oktober 2009 (28 hari kalender) Kelompok kerja ULP

mengumumkan Pelelangan Umum Pascakualifikasi melalui website

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE paling kurang 7 (tujuh) hari kerja atau apabila diperlukan melalui media cetak dan/atau elektronik.Penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan KUH Perdata yang menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian; akan tetapi jika pihak yang melakukan wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dan setelah keputusan diperoleh, dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan keputusan (eksekusi).


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

D. Metode Penelitian ... 4

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG ... 10

A. Kontrak menurut KUHPerdata ... 10

B. Pengertian Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa ... 16

C. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan Jasa... 20

D. Materi-materi dalam pengadaan barang dan jasa ... 21

E. Siapa saja yang berhak melakukan Kontrak pengadaan barang dan jasa ... 22

F. dan syarat terjadinya kontrak pengadaan barang dan jasa. ... 24

BAB III DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI UNIT BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI (BBLKI) MEDAN ... 28

A. Latar belakang didirikan dan dasar hukumnya ... 28


(5)

C. Manfaat didirikannya BBLKI ... 32

D. Struktur organisasi ... 33

BAB IV ANALISIS TERHADAP KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA DI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI UNIT BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI (BBLKI) MEDAN ... 37

A. Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan telah memenuhi Perpres No. 70 Tahun 2012 ... 37

B. Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan ... 39

C. Penyelesaian terhadap kontrak yang bermasalah ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88


(6)

ABSTRAK

ANALISIS HUKUM TERHADAP KONTRAK PENGADAAN BARANG DAN JASA DI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI UNIT

BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI (BBLKI) MEDAN Pengadaan barang/jasa sangat diperlukan oleh suatu instansi atau lembaga di Indonesia dalam rangka mensukseskan pembangunan di segala bidang. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu dalam proses pembangunan perlu adanya partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat agar terciptanya tujuan dari pembangunan nasional tersebut dan hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata.

Permasalahan penelitian ini adalah Bagaimana Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan ?Apakah Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara Unit Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan telah memenuhi Perpres No. 70 Tahun 2012? Bagaimana penyelesaian terhadap kontrak yang bermasalah ?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis

digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa.. Sedangkan pendekatan

normatif digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.

Macam pekerjaan : Pengadaan Alat Tulis Kantor untuk kegiatan Subsidi Program di Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan Tahun Anggaran 2009).Harga yang di setujui Rp. 44.000.000,- (Empat puluh empat juta rupiah) sudah termasuk PPn Pelaksanaan Kegiatan :Pekerjaan dimulai tanggal 14 September s/d 11 Oktober 2009 (28 hari kalender) Kelompok kerja ULP

mengumumkan Pelelangan Umum Pascakualifikasi melalui website

Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE paling kurang 7 (tujuh) hari kerja atau apabila diperlukan melalui media cetak dan/atau elektronik.Penyelesaian sengketa di bidang kontrak bisnis perusahaan dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan KUH Perdata yang menetapkan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian; akan tetapi jika pihak yang melakukan wanprestasi tidak bersedia menyelesaikannya secara musyawarah, maka gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang dan setelah keputusan diperoleh, dapat dilanjutkan dengan pelaksanaan keputusan (eksekusi).


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

PT. Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) merupakan perusahaan asing (PMA) yang bergerak dalam bidang produksi alumunium batangan, dengan mutu sesuai standar internasional untuk memenuhi kebutuhan luar negeri dan dalam negeri serta turut aktif dalam membina kemitraan dengan Usaha Kecil dan Menengah khususnya di Sumatera Utara dan di Indonesia pada umumnya. Dalam merekrut tenaga kerja yang trampil dan handal PT. Inalum melakukan kerjasama dengan Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Medan

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang sebagai anggota suatu masyarakat dan

bertujuan mengadakan tata tertib di antara anggota-anggota masyarakat.1

Subekti mengatakan bahwa, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”

2

Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kedua orang itu dinamakan perikatan sehingga dikatakan bahwa perjanjian menerbitkan dan menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian dalam Kitab

1

Djanianus Djamin dan Syamsul Arifin. Pengantar Ilmu Hukum. 1991. Medan. hal 5

2


(8)

Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak diatur secara baku dan kaku, bahkan bersifat terbuka. Hal ini berarti bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak dapat menyesuaikan dengan apa yang dipikirkan dan tersirat dalam hati masing-masing yang kemudian dimusyawarahkan untuk diwujudkan secara nyata dengan cara merangkumnya dalam klausula isi perjanjian oleh mereka yang mengadakan perjanjian.

Dalam perjanjian tidak terdapat hubungan hukum yang timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai pada harta benda kekeluargaan. Hubungan

hukum itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandling).

Tindakan atau perbuatan hukum menimbulkan hubungan hukum perjanjian sehingga terhadap satu pihak diberi oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itu pun menunaikan prestasi. Jadi satu pihak

memperoleh hak (recht) dan pihak lain memikul kewajiban (plicht) untuk

menyerahkan atau menunaikan prestasi.

Hak dan kewajiban tersebut didasarkan pada sebab tertentu yang membuat terjadinya kesepakatan kedua belah pihak atas semua syarat perjanjian. Hal ini terikat pada Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Sehingga terdapat keterikatan yang tidak dapat dilepas karena di dalam melakukan perjanjian dibutuhkan hukum untuk mengatur jalannya suatu perjanjian dengan baik antara hukum dan perjanjian.

Dalam pelaksanaan akta perjanjian biasanya telah ditentukan segala sesuatu yang menyangkut objek perjanjian tersebut. Prestasi itu adalah “objek”


(9)

atau “voorwerp” dan “verbintenis”. Hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak berarti bagi hukum perjanjian tanpa adanya prestasi. Terhadap suatu perjanjian, segala sesuatu yang menyangkut objek perjanjian tersebut seperti jangka waktu kontrak, pembagian keuntungan, penyelesaian permasalahan, dan lain-lain, biasanya telah ditentukan. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam hukum perjanjian. Hukum

kontrak mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan hukum perjanjian.3

Suatu perjanjian tidak terlepas dari kontrak dan menganut asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak mengartikan bahwa para pihak bebas mengadakan perjanjian apa saja dengan berbagai bentuk, dengan ketentuan kontrak yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini dapat disimpulkan berdasarkan pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengatakan bahwa segala

Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)

di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Tetapi KUH Perdata memberi pengertian pada kontrak sesuai dengan Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi, yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Apabila terjadi wanprestasi maka hukum bertugas memberikan ganti rugi melalui subjek hukum yang terdapat dalam perjanjian dalam hal berkewajiban atas prestasi, terhadap subjek hukum lain yang terdapat dalam perjanjian tersebut dalam haknya atas prestasi.

3


(10)

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa setiap perjanjian bersifat “mengikat” kedua belah pihak, disertai adanya asas kebebasan berkontrak.

Masyarakat bebas untuk menentukan dan memilih pihak lain dalam melakukan perikatan (perjanjian) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan usaha agar lebih maju, lebih efisien dan lebih mendapatkan keuntungan kerjasama merupakan hubungan kerjasama yang dilandasi oleh prinsip saling menunjang berdasarkan asas kekeluargaan dan asas kebersamaan. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Peristiwa hukum menyangkut lahirnya suatu perjanjian tidak terlepas dari kaidah dan asas umum dari suatu perjanjian, yaitu syarat dasar terbentuknya perjanjian itu sendiri dengan adanya asas kebebasan berkontrak sebagai landasan terbentuknya perjanjian. Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud antara lain mengindikasikan bahwa dalam suatu perjanjian semestinya ada kesepakatan-kesepakatan dari masing-masing pihak yang dibentuk secara bebas tanpa paksaan, kebebasan membentuk keinginan para pihak untuk dicantumkan dalam suatu klausula perjanjian sangat penting bagi keabsahan dari perjanjian itu sendiri.


(11)

Sebagai alat bukti bagi para pihak, perjanjian kerjasama yang dilakukan secara tertulis ini dilakukan agar para pihak mendapatkan kepastian akan hak dan kepastian untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai atau sesuai dengan ketentuan undang-undang sehingga akan terlindungi oleh hukum apabila ada salah satu pihak yang wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya, maka sanksinya akan mudah untuk diterapkan karena sudah ada alat buktinya.

Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara para pihak adalah suatu hubungan hukum yang resmi dan sah, yang mencakup hak dan kewajiban para pihak secara rinci, yang harus dipatuhi selama masa perjanjian. Pasal-Pasal yang diperjanjikan harus difahami dengan cermat oleh masing-masing pihak, yang kemudian harus dijaga dan dipatuhi sebagaimana kesepakatan orang terhormat dan bermartabat (gentlemen agreement).4

Kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian inilah yang kemudian menjadi latarbelakang penulisan skripsi ini, yang sebelumnya telah diuraikan secara umum bahwa setiap ketentuan dalam KUH Perdata agar diartikan sebagai

Dengan memperhatikan masalah-masalah tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Sebagai Penyedia Jasa Pelatihan dengan PT. INALUM Sebagai Peserta (Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan).

4

Muki Reksoprodjo, Manajemen Rumah Sakit dan Pihak Pembayar, Seminar Nasional VIII PERSI, Seminar Tahunan –I Patient Safety, Hospital Expo XX, Jakarta 5-8 September 2007.


(12)

pedoman dalam kaitannya terhadap ketentuan lain yang terdapat dalam hukum perdata dengan tidak mengartikannya secara individual atau parsial.

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan (Pasal 9 Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk selanjutnya disingkat UUK.

Pasal 10 UUK pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik didalam maupun diluar hubungan kerja ayat (1), pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja ayat (2), pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang ayat (3), ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Di dalam Pasal 13 UUK ayat (1) pelatihan kerja diselenggara oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta ayat (2) pelatihan kerja dapat diselenggarakan ditempat pelatihan atau tempat kerja ayat (3) lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerjasama dengan swasta.

Dari latar belakang di atas penulis tertarik memilih judul TINJAUAN

YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BALAI BESAR LATIHAN KERJA INDUSTRI (BBLKI) SEBAGAI PENYEDIA JASA PELATIHAN DENGAN PT. INALUM SEBAGAI PESERTA (Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan)


(13)

B. Permasalahan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan dalam pembahasan:

1. Apakah perjanjian kerjasama antara BBLKI sebagai penyedia jasa dengan

PT. Inalum sebagai peserta telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata?

2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kerjasama antara BBLKI sebagai

penyedia jasa pelatihan dengan PT. Inalum sebagai peserta?

3. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perjanjian kerjasama antara BBLKI sebagai penyedia

jasa dengan PT. Inalum sebagai peserta telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk menegetahui pelaksanaan perjanjian kerjasama antara BBLKI

sebagai penyedia jasa pelatihan dengan PT. Inalum sebagai peserta

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak yang membuat

perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :


(14)

Penulis berharap hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum khususnya mengenai hukum perjanjian.

2. Secara praktis

Selain manfaat secara teoritis, hasil penelitian yang dilakukan penulis diharapkan juga mampu memberikan sumbangan praktis yakni :

a. Diharapkan para pihak yang ada dalam perjanjian kerjasama operasional

tersebut dapat mengetahui kedudukan, hak dan kewajibanserta tanggungjawabnya dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama BBLKI dengan PT. Inalum tersebut, sehingga dapat mengatasi permasalahan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dan empiris. Pendekatan yuridis normatif dan empiris digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang hukum perjanjian. Sedangkan pendekatan secara normatif dan empiris dipergunakan untuk menganalisis hukum bukan semata-mata sebagai seperangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dan mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, sosial


(15)

dan budaya5

Pendekatan yuridis, yaitu pendekatan yang berkaitan dengan segi-segi hukum positif (hukum yang berlaku saat ini), berupa ketentuan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang dalam hal ini adalah ketentuan dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan, sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memberi kerangka pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran. Jadi pendekatan yuridis normatif, adalah cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu, untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan.

. Berbagai temuan laporan individual, akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan permasalahan yang diteliti, dengan berpegang pada ketentuan yang normatif.

6

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan dalam penulisan skripsi ini,

terutama masalah Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja Industri

(BBLKI) Sebagai Penyedia Jasa Pelatihan dengan PT. Inalum Sebagai Peserta

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal 1

6


(16)

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer dan data sekunder.

a. Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan

guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat atau tulisan para

sarjana atau pihak yang berwenang7

Adapun data sekunder terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

a) Akta Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja

Industri (BBLKI) Sebagai Penyedia Jasa Pelatihan dengan PT.

Inalum Sebagai Peser

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Bahan hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer.8

b. Data Primer

Penjelasan ini dilakukan melalui cara : Studi Pustaka, dengan mempelajari bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan obyek penelitian.

Adalah data relevan dengan pemecahan masalah, data ini diperoleh dari sumber utama yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan dikumpulkan langsung oleh peneliti dari obyek penelitian. Dalam pemecahan permasalahan ini, penulis menggunakan wawancara untuk

7

Ibid. hal 10

8

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 48


(17)

mendapatkan keterangan yang diperlukan yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

4. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis yang menghubungkan fakta yang ada dengan berbagai peraturan yang berlaku. Analisis didasarkan atas interpretasi dan analisis kasus yang memadukan elemen-elemen interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, dokumen serta penelitian di lapangan sehingga menghasilkan suatu kajian strategis bagi kalangan umum dalam menghadapi permasalahan yang sejenis.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Skripsi dengan berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) sebagai penyedia jasa pelatihan dengan PT. Inalum sebagai peserta (Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan) memiliki kesamaan dengan judul skripsi antara lain :

1. Aspek hukum perjanjian kerjasama antara perushaan pengguna jasa tenaga

kerja dan

perusahaan penyedia jasa pekerja ( Studi Penelitian di PT. Gunung Garuda Group).


(18)

2. Beberapa fasilitas dalam pajak pertambahan nilai (PPN) dengan studi kasus di PT. Inalum Kuala Tanjung.

Meskipun salah satu dari skripsi di atas mengenai perjanjijan kerjasama, akan tetapi dalam pembahasan dan permasalahannya memiliki sudut pandang yang berbeda, juga setelah melihat media elektronik yang didasari tidak terdapat kesamaan dalam pembahasan permasalahan tinjauan yuridis terhadap perjanjian kerjasama antara Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) sebagai penyedia jasa dengan PT. Inalum sebagai peserta yang dibahas dalam skripsi. Maka dengan demikian secara akademis keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan studi kasus sepanjang yang diketahui belum dilakukan penulisan, oleh karena itu penulisan ini asli. Bila ternyata terdapat skripsi yang sama dengan skripsi ini sebelum dibuat penulis bertanggungjawab sepenuhnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam kegiatan penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Balai Besar Latihan Kerja Industri (BBLKI) Sebagai Penyedia Jasa Pelatihan Dengan PT. Inalum Sebagai Peserta (Studi Kasus Pada Kantor BBLKI Medan) adalah, sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan membahas Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan


(19)

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Pada bab ini akan membahas tentang pengertian perjanjian, syarat sah terjadinya perjanjian, asas-asas perjanjian dan akibat hukum dalam perjanjian.

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA

Bab ini membahas mengenai ketentuan mengenai perjanjian kerjasama, hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerjasama dan proses pelaksanaan perjanjian kerjasama.

BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA BALAI BESAR

LATIHAN INDUSTRI (BBLKI) SEBAGAI PENYEDIA JASA PELATIHAN DENGAN PT. INALUM SEBAGAI PESERTA. Pada bab ini akan menguraikan tentang Perjanjian kerjasama antara BBLKI sebagai penyedia jasa dengan PT. Inalum sebagai peserta telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata, Pelaksanaan perjanjian kerjasama antara BBLKI sebagai penyedia jasa pelatihan dengan PT. Inalum sebagai peserta serta hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.


(20)

BAB II

PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Pengertian Perjanjian

Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan kepentingan yang sangat beraneka ragam. Dalam hal adanya tujuan dan kepentingan yang ingin dicapai maka untuk mewujudkan kebutuhan para pihak tersebut, terlebih dahulu harus dipertemukan kehendak yang mereka inginkan. Hal inilah yang menjadi dasar utama untuk terjadinya suatu perjanjian.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada pihak lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Hukum memberikan sanksi

terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).9

9

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Sumur, Bandung, 1991, hal 92.

KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku.


(21)

Pengaturan perjanjian terdapat didalam Peraturan KUH Perdata tepatnya Pada Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua bentuk perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang atau lebih”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “defenisi tersebut menurut para ahli hukum pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian

sepihak saja.10

Ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang – undang”.11

Selanjutnya dalam ketentuan berikutnya, yaitu dalam Pasal 1234 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa “ Tiap – tiap perikatan adalah

10

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasan,

Alumni, Bandung, 1983, hal 89.

11

Soedharyo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 313


(22)

untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu”.12

1. Untuk memberikan sesuatu..

Dari kedua rumusan sederhana tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan melahirkan “kewajiban”, kepada orang perorangan atau pihak tertentu, yang dapat berwujud dalam salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu :

2. Untuk melakukan sesuatu.

3. Untuk tidak melakukan sesuatu tertentu.

Istilah kewajiban itu sendiri dalam ilmu hukum dikenal dengan nama prestasi, selanjutnya pihak yang berkewajiban dinamakan dengan debitur, dan pihak yang berhak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban atau prestasi disebut dengan kreditur.

Sumber perikatan adalah sebagai berikut :13

1. Perjanjian

2. Undang – undang yang dapat dibedakan

a) Undang – undang semata

b) Undang – undang karena perbuatan manusia yang :

1) Halal

2) Melawan hukum

3. Jurisprudensi

4. Hukum tertulis dan tidak tertulis

12

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, inan Fidusia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 12

13


(23)

5. Ilmu pengetahuan hukum

Perikatan dapat dibedakan dalam berbagai jenis, yaitu :14

1. Dilihat dari objeknya

2. Perikatan untuk memberikan sesuatu

3. Perikatan untuk berbuat sesuatu

4. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk memberi

sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan

positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen)

dinamakan perikatan negatif.

5. Perikatan mana suka (alternatif)

6. Perikatan fakultatif

7. Perikatan generik dan spesifik

8. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan

ondeerlbaar)

9. Perikatan yang sepintas lalu dan terus menerus (voorbijgaande dan

voortdurende)

10.Dilihat dari subyeknya maka dapat dibedakan :

1) Perikatan tanggung menanggung (hoofdlijk atau solidair)

2) Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir)

11.Dilihat dari daya kerjanya.

12.Perikatan dengan ketetapan waktu.

14 Ibid


(24)

Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya, sejalan dengan sifat dari Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka, perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas menjadi aturan-aturan

hukum positif yang tertulis oleh para legislator.15

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata menyiratkan bahwa sesungguhnya dari duatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).

Masing-masing pihak dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan perkembangan ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Selanjutnya dalam rumusan Pasal 1314 dan 1313 KUHPerdata, bila dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut, debitur yang berkewajiban

15 Ibid


(25)

tersebut dapat meminta dilakukan “kontra prestasi” dari lawan pihaknya tersebut

atau dengan istilah “dengan atau tanpa beban”.16

Kedua rumusan diatas memberikan banyak arti bagi ilmu hukum, yang menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang timbal balik (dengan kedua belah pihak yang berprestasi).

17

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum mengenal unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah), unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

18

Syarat subjektif :

19

1. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang

mengadakan atau melangsungkan perjanjian.

Syarat ini diatur dalam Pasal 1321 sampai pada Pasal 1328 KUHPerdata, pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan, kekhilafan tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian, kecuali

16 Ibid 17

Mariam Darus Badrulzaman. Loc. Cit

18

Wirjono Prodjodikoro, Asas – asas Hukum Perjanjian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal. 12

19


(26)

jika kekhilafan tersebut terjadi mengenai hakekat dari kebendaan yang menjadi pokok persetujuan.

2. Adanya kecakapan pihak-pihak yang berjanji.

a. Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan (Pasal

1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata)

Pada prinsipnya semua orang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum, kecuali mereka yang masih berada dibawah umur, yang berada dibawah pengampuan, dan mereka yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 KUHPerdata).

b. Kecakapan dalam hubungan dengan pemberi kuasa

Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak dalam hukum, tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa, melainkan juga dari pihak yang menerima kuasa secara bersama-sama. Khusus untuk orang perorangan, maka berlakulah persyaratan yang ditentukan dalam KUHPerdata.

c. Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan

perwakilan.

Dalam hal perwalian maka harus diperhatikan kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Syarat Objektif :20

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai

keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian. Hal ini adalah

20 Ibid


(27)

konsekuensi logis dari perjanjian itu sendiri. Tanpa adanya suatu obyek, yang merupakan tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para pihak dalam perjanjian, maka

perjanjian itu sendiri “absurd” adanya.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata Mengatur

mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, Pasal 1337 KUHPerdata memberikan perumusan secara negatif, dengan menyatakan bahwa suatu causa dianggap sebagai terlarang, jika causa tersebut dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku dalam masyarakat dari waktu ke waktu.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dengan suatu kata sepakat kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan

dengan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja.21

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:22

21

Djumadi, Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 13.

22

Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005, hal 5-6.


(28)

1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada

organisasi23

2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau

dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;

;

3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun

oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;

4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

23

Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http:// hermansh. blogspot. com/2012/02/syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Juni 2013.


(29)

5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada

syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila

memenuhi empat syarat sebagai berikut : 24

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Dua syarat pertama disebut syarat Subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing – masing syarat tersebut:

a. Sepakat Mereka Yang Mengikatkan Dirinya

Menurut Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan jika didalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam

24

Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,


(30)

perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu

perjanjian tersebut dapat dibatalkan.25

b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan

Menurut Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di

bawah pengampunan.26

c. Suatu Hal Tertentu

Menurut Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata menyebutkan barang-barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian.

d. Suatu Sebab Yang Halal

Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337

KUHPerdata.27

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

28

25

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Op.Cit. hal 25

26 Ibid 27

Ibid. hal 26

28

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hal 93


(31)

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan;

2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek

perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang

lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya29

Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

.

29


(32)

Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah

ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.30

C. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian,

yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta

sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:31

30

Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 21 Juni 2013.

31

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983, hlm. 108-119.


(33)

1. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak), artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik tercapinya kesepakatan. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yakni adanya perjanjian riil misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai sampai habis (Pasal 1754 KUHPerdata).

2. Kebebasan berkontrak (partij otonomi) Kebebasan berkontrak adalah salah

satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan : “semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan kata “semua”, Pasal tersebut berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, dan perjanjian itu akan mengikat para pihak yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat persetujuan harus menaati hukum yang sifatnya memaksa tersebut. Selain itu, meskipun setiap orang bebas untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, namun isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.


(34)

3. Asas kepercayaan. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya. Tanpa ada kepercayaan pada kedua belah pihak maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak.

4. Asas kekuatan mengikat. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata. Mengikat artinya masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

5. Asas persamaan hukum. Asas ini menempatkan para pihak di dalam

persamaan derajat dan tidak ada perbedaan di hadapan hukum. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

6. Asas Keseimbangan. Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi

dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.

7. Asas kepastian hukum. Menurut asas ini perjanjian harus mengandung


(35)

ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

8. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu

perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagi panggilan dari hati nuraninya.

9. Asas kepatutan. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas

ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

10.Asas kebiasaan. Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata.

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

Menurut Komariah :“Setiap perjanjian dinyatakan sudah sah atau mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Isi perjanjian yang mengikat tersebut kemudian akan berfungsi

sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.” 32

D. Akibat Hukum Dalam Perjanjian

32


(36)

Mengenai akibat hukum perjanjian yang sah, pengaturannya dapat dijumpai pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya sematamata perjanjian bernama, tetapi

juga meliputi perjanjian tidak bernama.33

Pasal 1338 KUH Perdata tersebut harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal 1339 KUH Perdata. Selanjutnya, istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum (Pasal 1320 KUH Perdata) berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan

pelaksanaannya harus dengan itikad baik.34

1. Berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak Para pihak yang membuat

perjanjian harus mentaati perjanjian sama seperti mentaati undang-undang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akibat hukum perjanjian yang sah, antara lain:

33

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal 82.

34


(37)

Apabila ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, mereka dianggap sama dengan melanggar undang-undang. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu diharuskan membayar ganti kerugian (Pasal 1243 KUH Perdata), perjanjiannya dapat diputuskan atau onbinding (Pasal 1266 KUH Perdata), menanggung beban resiko (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata), dan membayar biayaperkara itu jika sampai diperkirakan di

muka pengadilan (Pasal 181 HIR / Herzeine Indlands Reglement, Hukum

Acara Perdata).35

2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Perjanjian yang telah dibuat

secara sah mengikat para pihak yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan perjanjian tersebut harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, sehingga diperjanjikan lagi. Namun, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik

kembali.36

3. Pelaksanaan dengan itikad baik (in good faith, te goeder trouw) Itikad baik

yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Artinya, pelaksanaan perjanjian tersebut harus

35

Ibid. hal 97

36 Ibid


(38)

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Undang-undang tidak memberikan rumusan mengenai maksud kepatutan dan kesusilaan. Namun, jika dilihat arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Berdasarkan arti kata tersebut, kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan

juga “kebiasaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.37

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik olehpara pihak.38

Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentu undang-undang menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan

bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum.39

37

Ibid hal. 49

38

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 168

39

Ibid, hlm. 107

Secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah menimbulkan


(39)

suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara kedua belah pihak.

Menurut Pasal 1381 KUHPerdata terdapat 10 (sepuluh) cara berakhirnya

perjanjian, yakni:40

40


(40)

1. Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh. Yang dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukan sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, bagaimanapun sifat dari prestasi tersebut. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah pembayaran.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan diatur di dalam Pasal 1404 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian kreditur tidak bersedian menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur. Untuk membebaskan diri dari perikatan tersebut, maka kreditur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai. Prosedur penawaran tersebut diatur pada Pasal 1405 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai tersebut diikuti dengan penitipan dari benda atau uang yang akan diserahkan di Pengadilan Negari.

3. Pembaharuan utang (novasi)

Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk untuk melaksanakan pembaharuan utang (novasi), yaitu:


(41)

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang

berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seseorang berpiutang

ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi

Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berhutang satu pada yang lain dengan mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua orang tersebut telah terjadi suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (Pasal 1425 KUHPerdata)

Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menetapkan berdasarkan Pasal 1427 KUHPerdata, yaitu utang tersebut :

a. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau

b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan

barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.

c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

d. Pencampuran utang

Pencampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Pencampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum. Dalam hal ini demi hukum hapuslah


(42)

perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak tersebut (Pasal 1436 KUHPerdata).

6. Pembebasan utang

Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan utang, maka hapuslah hubungan utang-piutang antara kreditur dan debitur. Pembebasab utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.

7. Musnahnya barang yang terutang

Menurut Pasal 1444 KUHPerdata, jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus. Dengan syarat musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitur) dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan prestasi kepada kreditur. Namun ketentuan tersebut hanya adil pada perjanjian cuma-cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban menurut Pasal 1445 KUHPerdata, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur harus tetap melakukan prestasi kepada kreditur. Artinya debitur tetap memberikan hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi kepada kreditur.

8. Batal atau pembatalan

Batal atau pembatalan yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada satu


(43)

perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus.

Suatu perjanjian dapat dimohonkan pembatalan apabila:

a. Tidak memenuhi syarat subjektifnya (sepakat dan cakap bertindak dalam

hukum),

b. Salah satu pihak melakukan wanprestasi (tidak memenuhi perjanjian),

c. Karena adanya action pauliana (gugatan untuk membatalkan suatu

perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para krediturnya).

9. Berlakunya syarat batal

Berlaku syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.

10. Lewatnya waktu atau verjaring

Lewat waktu atau daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk dibebaskan dari perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan “daluarsa extintif”.


(44)

Ketentuan mengenai daluarsa diatur pada Pasal 1967 KUHPerdata. Menurut Komariah, Pasal 1382 KUHPerdata mengatur tentang orang-orang selain debitur sendiri dan dapat melaksanakan pembayaran, yakni :

a. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan berhutang dan

seorang penanggung, yaitu mereka yang mempunyai hubungan dengan pihaik debitur dan isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur.

b. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asalkan orang

ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur.41

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi menurut Pasal 1413 KUHPerdata terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan perjanjian lama

dihapuskan.

b. Apabila terjadi penggantian debitur, maka dilakukan penggantian

perjanjian dengan mana debitur lama dibebaskan dari perikatannya.

c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka dilakukan penggantian

perjanjian dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya.

41


(45)

Menurut Pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan novasi haruslah tegas, yaitu dengan sebuah akte. Dalam hal pencampuran utang, pencampuran kedudukan dapat terjadi berdasarkan alas hak umum, misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai satu-satunya ahli waris yang ditinggalkannya adalah debitur dan sebaliknya, atau juga dapat terjadi berdasarkan

alas hak khusus, misalnya jual beli.42

42


(46)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA

A. Ketentuan mengenai Perjanjian Kerjasama

1. Setiap perusahaan/instansi yang berminat, wajib mengisi dan

menandatangani lembar surat perjanjian kerjasama, disertai uang muka sebesar 20% dari total biaya yang disepakati.

2. Pelunasan pembayaran dilakukan pada saat penyerahan hasil pembuatan

iklan setelah melalui proses yang telah disepakati

3. Pembatalan kerjasama hanya dapat dilakukan selambat-lambatnya 2 hari

setela penandatanganan surat perjanjian kerjasama, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pembatalan dari Pihak Pertama

b. Uang muka yang telah dibayarkan menjadi milik Pihak Kedua

c. Menandatangani surat pembatalan kerjasama.

d. Pembatalan dari Pihak Kedua :

e. Uang muka dikembalikan sepenuhnya kepada Pihak Pertama

f. Menandatangani surat pembatalan kerjasama.

4. Keterlambatan penyelesaian dalam pembuatan iklan dari Pihak Kedua,

uang muka yang telah dibayarkan kepada Pihak Kedua akan dikembalikan sepenuhnya kepada Pihak Pertama. Hal ini tidak berlaku apabila keterlambatan pembuatan iklan disebabkan oleh adanya revisi / perbaikan yang dilakukan oleh Pihak Pertama.


(47)

5. Revisi / perbaikan terhadap iklan hanya dapat dilakukan sebanyak dua kali pada saat proses pembuatan iklan atau setelah iklan yang telah disepakati selesai dikerjakan. Revisi / perbaikan terhadap hasil iklan yang telah selesai dikerjakan Pihak Kedua hanya dapat dilakukan dalam waktu tujuh hari terhitung sejak diserahkan kepada Pihak Pertama. Revisi / perbaikan terhadap iklan yang memerlukan biaya tambahan pada proses pembuatannya, biaya tambahan tersebut akan dibebankan kepada Pihak Pertama

6. Hasil akhir iklan yang telah dibuat oleh Pihak Kedua menjadi milik

sepenuhnya Pihak Pertama.

7. Pihak Kedua diperbolehkan menggunakan iklan yang telah dibuat untuk

Pihak Pertama sebagai contoh hasil karya.

B. Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerjasama

Hukum kontrak yang ada di Indonesia diatur di dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 bab dan 631 pasal. Yang dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian.

Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjajian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya’’.


(48)

Ketentuan di dalam Pasal 1338 KUH Perdata tersebut memberikan kebebasan bagi para pihak untuk dapat:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian

2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun

3. Menentuka isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya

4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

Namun sistem pengaturan hukum kontrak yang bersifat sistem terbuka tersebut tidak lantas memberikan pengertian bagi para pihak untuk dapat melakukan segala bentuk perjanjian yang diinginkannya. Sebab kontrak atau perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dan memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat dinyatakan sah dan berlaku bagi para pihak didalamnya agar mentaati dan mematuhi isi dari kontrak tersebut sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan para buruh/pekerja. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan, perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-Undang ketenagakerjaan perjanjian kerja Pasal 52 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) yakni :

1. Perjanjian kerja dibuat atas dasar

a. Kesepakatan kedua belah pihak

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum


(49)

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.

3. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum

Pasal 53 Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk selanjutnya disebut UUK berbunyi segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan olej dan menjadi tanggung jawab pengusaha.

Dalam Pasal 54 UUK :

1. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha

b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh

c. Jabatan atau jenis pekerjaan

d. Tempat pekerjaan

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja / buruh

g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja


(50)

i. Tanda-tanda para pihak dalam perjanjian kerja

2. Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama dan peraturan perundang-undang yang berlaku.

3. Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat

sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerjaa / buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

C. Proses pelaksanaan perjanjian kerjasama.

Pada dasarnya dalam melakukan perjanjian kerjasama suatu kontrak terdapat beberapa unsur-unsusr pokok yang meliputi :

1. Bagian Pembukaan, yang memuat identias dari pihak-pihak serta

penjelesan umum latar belakang kontrak yang diadakan diantara mereka;

2. Ketentuan-ketentuan pokok yang berisi pokok hubungan hukum serta hak

dan kewajiban utama para pihak yang terbit dari kesepakatan yang dibentuk oleh parap ihak dalam kontrak;

3. Ketentuan-ketentuan penunjang, yang memuat tata cara pelaksaan hak dan

kewajiban para pihak sertsa hal-hal lain yang dianggap perlu untuk mendukung pelaksaan hak dan kewajiban para pihak;

4. Ketentuan-ketentuan tentang aspek formalitas, yang dianggap perlu

mendapat perhatian demi keabsahan hukum dan kemungkinan pelaksaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak;


(51)

5. Bagian Penutup kontrak, yang mengakhiri batang tubuh kontrak dengan identias pihak-pihak dalam transaksi seta hal-hal yang dianggap perlu dimuat untuk memberikan keabsahan yuridis pada kontrak yang bersangkutan;

6. Lampiran-lampiran kontrak, yang mungkin dianggap perlu dibuat untuk

memuat detil-detil teknis operasional yang berkenaan langsung dengan pelaksaan hak dan kewajiban utama para pihak tetapi yang dianggap tidak mungkin untuk tidak efisien untuk dimuat di dalam pasal-pasal kontrak;

1. Bagian Pembukaan (Preamble)

Bagian Pembukaan dalam suatu kontrak selalu mengawali suatu dokumen kontrak dan di dalamnya memuat informasi tentang:

1.1 Judul Kontrak (Heading / Contract Title)

Judul kontrak adalah nama yang digunakan oleh para pihak untuk mengidentifikasikan inti dari transaksi yang syarat-syaratnya akan diatur di dalam

kontrak. Misalnya; kontrak jual beli, joint venture agreement, perjanjian

pemborongan, dan sebagainya.

Dalam penentuan judul kontrak, biasanya diserahkan kepada kebebasan para pihak, namun tetap menjaga adanya korelasi dan relevansi antara judul yang digunakan dengan pokok perjanjian. Hal lain yang perlu dibuat dalam kata dengan bagian judul adalah nomor kontrak. Penomoran kontrak sering kali


(52)

kontrak, korespondensi diantara para pihak, serta nomor referensi yang digunakan dalam lampiran-lampiran kontrak.

1.2 Deskripsi/ Identitas Para Pihak (Komparisi)

Sebelum identitas para pihak dirumuskan didalam kontrak, sangat diajurkan bahwa kalimat pembuka suatu kontrak memuat informasi tentang tempat dan tanggal pembuatan kontrak.

Pada bagian ini terutama harus dirumuskan identitas para pihak yang antara lain, meliputi:

a. Nama lengkap dari pihak-pihak (subjek hukum) yang mengadakan

perjanjian;

b. Status hukum, kedudukan hukum, pekerjaan dari para pihak;

c. Alamat atau tempat kedudukan resmi yang digunakan para pihak dalam

kontrak;

d. Kaidah-kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan atau dasar

hukum lain yang mendukung kedudukan hukum dan kewenangan dari para pihak;

e. Sebutan yang akan digunakan untuk menunjuk para pihak di dalam

seluruh kontrak (termasuk lampiran-lampirannya).

f. Bila pihak-pihak yang yang mengadakan perjanjian adalah suatu badan

hukum (perusahaan), maka perumusan identitas para pihak dapat dilakukan dengan cara:

1) Merumuskan nama, alamat dan identitas lain dari perusahaan, dan


(53)

bertindak untuk dan atas nama perusahaan itu. Untuk kemudian diakhiri dengan sebutan yang akan dugunakan di dalam kontrak.

2) Merumuskan terlebih dahulu nama dari orang yang bertindak untuk

dan atas nama badan hukum/perusahaan tertentu, dan baru diikuti oleh identitas badan hukum/perusahaan tersebut, dan diakhiri dengan sebutan yang akan digunakan dalam kontrak.

3) Pertimbangan-pertimbangan Latar Belakang Kontrak (Recitals)

Pada bagian mengakhiri, pembukaan kontrak dan memuat pertimbangan-pertimbangan umum dan latar belakang dari maksud para pihak sehingga akhirnya mereka bersepakat untuk mengadakan

kontrak (general intentions of the parties). Pada bagian ini sebaiknya

dimuat pertunjuk bahwa setelah melalui proses penawaran, penerimaan

tawaran, negosiasi (offer, acceptance and negosiations) para pihak

sepakat untuk mengadakan kontrak yang bersangkutan. Pada bagian ini memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan konsideran atau menimbang dalam suatu peraturan perundang-undangan.

1.4 Ruang Lingkup Perjanjian (Scope of Agreement)

Pada bagian ini dirumuskan persyaratan secara umum mengenai inti dari transaksi yang diadakan oleh para pihak sebagai kesimpulan dari pertimbangan-pertimbangan mereka. Hal ini dapat dirumuskan secara khusus (terpisah dari


(54)

2. Ketentuan-Ketentuan Pokok Kontrak

Dalam hal ini, pasal-pasal kontrak mulai dirumuskan, pada saat perbincangan memasuki rumusan kententuan tentang inti hubungan hukum dan persyaratan-persyaratan yang disepakati para pihak. Hal yang terpenting yang harus dimuat dalam pasal-pasal kontrak adalah pasal-pasal yang memuat inti hubungan hukum dan inti perjanjian yang diadakan oleh para pihak, ini yang sering dimaksudkan dengan ketentuan-ketentuan pokok kontrak. Pasal-pasal yang harus dirumuskan dalam kaitan ini memuat hak-hak dan kewajiban-kewajiban pokok yang terbit dari transaksi yang dibuat oleh para pihak.

2.1 Ketentuan-ketentuan Umum

Bagian penting yang sangat dianjurkan untuk dirumuskan terlebih dahulu sebelum perumusan kententuan-ketentuan pokok, adalah ketentuan umum yang memuat pembatasan istilah dan pengertian yang digunakan di dalam seluruh kontrak.

Di dalam ketentuan umum dirumuskan definisi-definisi atau pembatasan pengertian dari istilah-istilah yang dianggap penting dan sering digunakan dalam kontrak, yang disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kesepakatan semacam ini, maka perselisihan yang timbul karenan perdebatan perbedaan pengertian atau penafsiran diantara para pihak dapat di minimalisir.

2.2 Ketentuan-ketentuan Pokok Lain

Isi, bentuk dan corak dari ketentuan-ketentuan kokok suatu kontrak akan sangat tergantung dari isi trnaskasi yang disepakati para pihak. Substansi dari ketentuan pokok inilah yang menggambarkan ciri khas suatu kontrak dan


(55)

membedakannya dengan kontrak yang lain. Misalnya; ketentuan-ketentuan pokok dari suatu kontrak sewa beli berbeda dengan ketentuan ketentuan pokok dari kontrak jual beli dengan cicilan.

Beberapa hal utama yang sebaiknya dimuat di dalam pasal-pasal tentang kententuan pokok, misalnya tentang:

a. Perincian lebih lanjut tentang hubungan kontraktual para pihak dalam

wujud pasal-pasal tentang hak dan kewajiban dan kewenangan pokok para pihak yang terbit dari kontrak yang mereka adakan;

b. Dasar-dasar kualitas dari objek kontrak, spesifikasi teknis dari pekerjaan

atau objek kontrak, penetapan wilayah dan sebagainya. Detil atau perincian lebih lanjut megenai hal ini biasanya dimuat di dalam lampiran kontrak;

c. Pasal-pasal tentang persyaratan megenai jumlah barang dan nilai

ekonomisnya/harga yang disepakati para pihak (terms of quantity and

price);

d. Pasal-pasal tentang persyaratan dan tata cara pembayaran (terms and

method of payment);

e. Pasal-pasal tentang jaminan-jaminan dan tanggung jawab para pihak

terhadap resiko-resiko kerugian yang mungkin timbul dalam pelaksanaan kontrak;

f. Kententuan tentang masa berlakunya kontrak dan persyaratan-persyaratan

mengenai pengakhiran, pembatan dan atau pemutusan kontrak oleh salah satu pihak.


(56)

g. Hal-hal lain yang secara langusng berkaitan dengan pelaksanan janji-janji para pihak;

3. Ketentuan-ketentuan Penunjang

Pasal-pasal yang dikategorikan sebagi ketentuan penunjang berisi ketentuan-ketentuan yang dibutuhkan untuk menjadi pedoman pada pihak dalam opersional / pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak yang telah ditetapkan di dalam pokok perjanjian. Artinya, tanpa adanya ketentuan-ketentuan kontrak praktis tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pihak.

Isi dari pasal-pasal penunjang ini dapat dibedakan dari satu kontrak ke kontrak yang lainnya, tegantung pada jenis transaksi yang disepakati oleh para pihak.

a. Tata cara pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum

dari pelaksanaan isi perjanjian. Dalam kategori ini adalah pasal-pasal yang secara langsung mengatur tentang perilaku para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajbiannya dalam kontrak. Seperti persyaratan tentang tata cara penyerahan barang, tentang dokumen-dokumen yang harus disiapkan salah satu pihak sebagai syarat pembayaran, tentang kualitas prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak dan sebagainya.

b. Dalam hal ini, merancang dan menganalisa kontrak perlu disadari benar

kategori transaksi yang dibuat oleh para pihak, ditinjau dari kualitas prestasi yang harus direalisasikan oleh para pihak.

c. Pasal-pasal tentang pembebasan diri dari tanggunjawab, dari hak atau

kewajiban hukum tertentu (pasal yang mengenyampingkan keharusan pengajuan perkara ke pengadilan bila salah satu pihak hendak mengakhiri


(57)

kontrak secara sepihak, atau pasal yang melepaskan tanggunjawab salah satu pasal yang melepaskan tanggungjawab salah satu pihak dari cacat-cacat tersembunyi yang tidak diketahui pada saat pernjanjian dibuat.

d. Pasal-pasal tentang wanprestasi (breach of contract atau non

performance) yang memuat tentang hal atau situasi apa yang disepakati para pihak berikut akibat-akibat yang timbul bila salah satu pihak mengingkari janjinya serta hak dan kewenangan apa yang terbit pada pihak lain yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut.

e. Pasal-pasal tentang jaminan yang dibuat oleh salah satu pihak untuk

kepentingan paihak yang lain, seperti jaminan bebas dari tuntutan pihak ke tiga, jaminan atas kualitas barang, jaminan pelaksanaan dan sebagainya.

f. Ketentuan tentang keadaan memaksa (force majeur) dan akibat-akibat

hukumnya terhadap pelaksaan kontrak. Secara umum force majeur

diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh para pihak, yang dapat menghambat pelaksanaan kontrak, sehingga dapat dijadikan dasar bagi pihak yang mengalami perisitiwa itu untuk dibebaskan dari tanggungjawab atas dasar wanprestasi. Dalam praktek adakalanya pengertian force majeur ini dibedakan ke dalam:

1) Perisitiwa-peristiwa alam yang dianggap sebagai bencana (acts of

god), dan;

2) Perisitiwa-peristiwa yang tidak dapat dikategorikan sebagai bencana


(58)

atau tidak memungkinkan pelaksaan kontrak, seperti perubahan nilai mata uang, kebijakan negara di bidang ekonomi dan sebagainya.

g. Ketentuan tentang ada/ tidaknya kemungkinan bagi para pihak untuk

megalihkan kedudukannya kepada pihak ke tiga dan tata cara pelaksanaannya.

h. Ketentuan tentang pemilihan domisili, pemilihan forum dan tata cara

penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari pelaksanaan kontrak

(dispute settlement clause).

i. Petentuan tentang kondisi-kondisi tertentu yang digunakan untuk memulai

atau mengakhiri pelaksanaan kontrak (conditions precedent/subsequent).

j. Pasal-pasal tentang kemungkinan perubahan atas isi dan persyaratan

kontrak dan tata cara pelaksanaannya.

k. Akibat-akibat dari tidak sahnya bagian –bagian tertentu kontrak terhadap

keabsahan keseluruhan kontrak.

l. Pasal-pasal yang menentukan kekuatan hukum dari

kesepakatan-kesepakatan yang dibuat pada saat negosiasi (sebelum kontrak dibuat) atau

yang disepakati para pihak setelah kontrak dibuat (merger clause).

m. Pasal-pasal tentang pihak-pihak yang harus mengurus perizinan (misalnya

izin eksport, izin import, izin usaha, dan sebagainya).

n. Khusus untuk kontrak-kontrak transnasional (kontrak-kontrak yang

berkenaan dengan pihak-pihak dan/ atau elemen-elemen asing) perlu diperhatikan pula pasal-pasal penunjang khusus tentang:


(59)

o. Hukum yang dipilih oleh para pihak untuk ,mengatur dan menafsirkan

pengertian-pengertian dalam kontrak mereka (choice of law);

p. Bahasa resmi yang digunakan untuk kontrak-kontrak yang dianggap sah

dan untuk menafsirkan kontrak seandainya terjadi perselisihan dalam penafsiran kontrak;

q. Mata uang, yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam pelaksanaan

kontrak;

r. Masalah-masalah lain yang sudah disinggung sebelumnya yang dlaam

praktek menghendaki penyelsaian berdasarkan kaidah-kaidah dari slaah satu sistem hukum yang relevan dnegan kontrak, melalui pendekatan hukum perdata internasional;

4. Ketentuan-Ketentuan Tentang Aspek-aspek Formal Kontrak

Dalam memenuhi unsur formalitas kontrak pada dasarnya memuat pasal-pasal tentang hal-hal tertentu yang harus diperhatikan oleh para pihak agar

kontrak yang dibuat menjadi sah (valid) dan dapat dilaksanakan secara yuridis.

Ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya :

a. Pasal-pasal yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan, dan

pihak-pihak yang bertanggungjawab atas proses pendaftaran atau perolehan izin khusus (yang diterbitkan oleh badan publik).

b. Pasal yang memuat alamat-alamat dan format korespondensi yang

akan digunakan oelh para pihak secara resmi dalam pelaksnaan kontrak. Ketentuan semacam ini akan berguna khususnya dikaitkan


(60)

dengan alamat yang harus digunakan dalam pengiriman peringatan-peringatan tertulis yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain

5. Bagian Penutup

Pada bagian ini mengakhiri batang tubuh kontrak dengan identitas pihak-pihak dalam transaksi serta hal-hal lain yang dianggap perlu dimuat untuk meberikan keabsahan yuridis para kotrak yang bersangkutan.

Pada bagian akhir, dari kontrak umumnya dimuat berbagai informasi penutup, seperti misalnya:

1. Tanggal dan tempat penandatanganan kontrak oleh para pihak (bila hal

ini belum disebut dibagian pembukaan);

2. Kolom-kolom untuk tandatangan para pihak atau wakil-wakil resmi

dari para pihak;

3. Tanda pengenal atau cap dari pihak-pihak (khususnya bila para pihak

adalah badan-badan hukum);

4. Materai yang ditempel dan dibubuhi tanggal pada saat kontrak

ditandantangani. Kewajiban ini tidak perlu di lakukan apabila kontrak dibuat diatas kertas segel yang sah;

6. Lampiran-lampiran Kontrak

Terhadap kontrak-kontrak yang dibuat untuk mengatur transaksi bisnis yang agak rumit dan mencakup persoalan-persoalan teknis atau hal-hal lain secara detil, seringkali membutuhkan lampiran-lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kontrak. Agar secara yuridis lampiran-lampiran itu melekat


(1)

pada peraturan undang-undang tersebut, harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.

Hak dan Kewajiban para pihak yang membuat perjanjian

(1) Pihak Pertama berkewajiban melatih peserta pelatihan berbasis kompetensi sebanyak 32 orang

(2) Pihak Kedua berkewajiban mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak pertama

(3) Pihak Pertama melaksanakan uji kompetensi bagi peserta didik yang sudah menyelesaikan program pembelajaran..

Akibat adanya hak dan kewajiban, maka konsekuensinya adalah menimbulkan tanggung jawab hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban hukum.

“Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari segala peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk mengukuti peraturan hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk mengikuti peraturan-peraturan hukum tersebut”.52

52


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, yaitu :

1. Perjanjian Kerjasama perjanjian kerjasama antara balai besar latihan kerja industri (BBLKI) sebagai penyedia jasa pelatihan dengan PT. Inalum sebagai peserta tertuang dalam Perjanjian Nomor BA.125/BBLKI-MDN/IV/2012 yang dibuat pada tanggal 21 April 2012 dan bermaterai cukup dengan para pihak yang menandatangani adalah: Nurman Sinaga, MM, yang bertindak atas nama Balai Besar Latihan Kerja Industri Medan, sebagai Pihak Pertama. Ir. Herman, yang bertindak untuk dan atas nama Inna Engineering PT. Inalum sebagai Pihak Kedua Subyek dari perjanjian ini adalah BBLKI sebagai Pihak Pertama dan PT. Inalum sebagai Pihak Kedua. Adapun Obyek dari Perjanjian adalah Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) bagi pegawai PT. Inalum.

2. Dalam perjanjian ini bertindak atas nama peserta pelatihan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat mengadakan perjanjian kerjasama dengan ketentuan sebagai berikut : Pihak Pertama akan melatih peserta pelatihan berbasis kompetensi (PBK) sebanyak 32 (tiga puluh dua) orang dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2012 sampai dengan selesai (240 jam pelajaran) di Balai Besar Latihan


(3)

Kerja Industri Medan, Jalan Gatot Subroto Km 7,8. Kurikulum dan silabus pelatihan yang akan dilaksanakan disusun oleh Pihak Pihak Pertama selama 240 jam pelajaran (jam pelajaran) @ 45 menit.

3. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian disamping perikatan lahir dari undang-undang, hak dan kewajiban timbul berdasarkan perjanjian, setiap perjanjian berisi kewajiban pokok yang menjadi dasar perjanjian tersebut. Suatu perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap yang berjanji untuk mematuhi prestasi kepada pihak lainnya harus memperoleh pula pemenuhan prestasiyang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu

B. Saran

Setelah mempelajari dan mengkaji berbagai fakta dan data yang ada, kami memberikan saran :

1. BBLKI diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap kepada peserta pelatihan sehingga mereka dapat mengerti akan hak dan kewajibannya

2. Sering kendala yang ditemui dalam melakukan perjanjian kerjasama dan analisa kontrak datangnya dari para pihak itu sendiri. Kecendrungan para pihak untuk memakai draf kontrak yang telah disusun atau disiapkan oleh pihak lain tidak ada peluang untuk melakukan analisa terhadap format dan ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kontrak yang baik, sehingga


(4)

dengan sikap seperti itu tentunya akan menimbulkan sengketa dikemudian hari.

3. Dengan adanya hubungan kerjasama antara BBLKI dengan PT. Inalum sehingga pelatihan yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan kinerja karyawan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Kadir Muhammad Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung : 1990. ---, Hukum Perikatan, Sumur, Bandung, 1991.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.

________________, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994

________________, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Djamin, Djanianus, Syamsul Arifin. Pengantar Ilmu Hukum. 1991. Medan. Djumadi, Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

H.S,.Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal.173-174

Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung : Nuansa Aulia, 2007.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Muljadi, Kartini, Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian , Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006

Naja, Daeng, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,

Cet 2, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas – asas Hukum Perjanjian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984

Reksoprodjo Muki, Manajemen Rumah Sakit dan Pihak Pembayar, Seminar Nasional VIII PERSI, Seminar Tahunan –I Patient Safety, Hospital Expo XX, Jakarta 5-8 September 2007.


(6)

Syaufii, Syamsuddin Mohd., Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005.

Subekti R. Hukum Perjanjian. Pembimbing Masa. Jakarta.1980

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986

Wijaya, Gunawan, Ahmad Yani, inan Fidusia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1999.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

C. Internet

Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh.blogspot.com/2012/02

/syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, diakses pada tanggal 11 Juni 2013, Pukul 19.30 Wib

Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, diakses pada tanggal 21 Juni 2013 Pukul 21.00 Wib

Ade Didik Irawan, Pengantar Ilmu Hukum,

http://www.mypulau.com/adedidikirawan/

blog/731632, diakses tanggal 20 Juni 2013. Pukul 21.36 Wib