Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Terhadap Negara-Negara Yang Berperang Menurut Hukum Internasional
Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa Iv Tahun 1949
Terhadap Negara-Negara Yang Berperang Menurut
Hukum Internasional
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
Rafika Mayasari Siregar NIM : 090200164
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa Iv Tahun 1949
Terhadap Negara-Negara Yang Berperang Menurut
Hukum Internasional
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
Rafika Mayasari Siregar NIM : 090200164
Departemen Hukum Internasional
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Internasional
Arif, SH. MH
NIP. 1964033001993031002
Pembimbing I Pembimbing II
Abdul Rahman, SH. MH Arif, SH. MH
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas limpahan nikmat dan karunia yang telah
diberikan-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa pula disampaikam kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, sebagai teladan bagi umat manusia.
Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, hal ini merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin
menyelesaikan perkuliahannya. Adapun judul yang penulis kemukakakan:
“Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Terhadap Negara-Negara Yang Berperang Menurut Hukum Internasional”.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan arahan serta motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:
1. Ayahanda tercinta dan tersayang Zulfan Basir Siregar SH yang selama ini
tidak pernah berhenti memberikan dukungan, bimbingan dan juga
nasehat-nasehat yang sangat luar biasa di dalam menjalani kehidupan ini. Sungguh
sangat besar jasa dan pengorbananmu di dalam mendidik, menyekolahkan,
memberikan cinta dan kasih sayang dari kecil hingga dewasa yang tidak akan
pernah bisa dibalas dan dibayar oleh apapun itu. Semoga Allah SWT
(4)
di hari tua nanti pika bisa memberikan kebahagiaan dengan membalas semua
jasa dan pengorbanan yang telah papa berikan walaupun jasa-jasamu tidak
akan bisa dibayar dengan apapun.
2. Ibundaku yang sangat kusayangi dan kucinta Zuly Mozasa. Sosok ibu yang
sangat luar biasa di dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sosok
ibu yang rela memberikan apapun demi kebahagiaan anak-anaknya. Sosok
ibu yang selalu menjaga anaknya dengan cara terus memberikan perhatian
dimanapun dan kapanpun tanpa mengenal lelah. Sungguh pika belum bisa
membayar jasa, perhatian dan pengorbanan yang mama berikan dari kecil
hingga dewasa seperti sekarang. Semoga Allah SWT juga memberikan
kesehatan sehingga berumur panjang kepada mama, agar pika bisa
memberikan kebahagiaan di hari tua mama yang walaupun sebesar apapun
kebahagiaan yang pika berikan tetap tidak akan bisa membayar jasa seorang
ibu kepada anaknya.
3. Abangku tersayang dan tercinta Imam Munawir Siregar SH, yang sehari-hari
bisa jadi sosok abang dan sahabat maupun teman di dalam berselisih
pendapat yang telah memberikan banyak motivasi dan dukungan di dalam
menjalani kehidupan ini. Juga terima kasih telah menjadi sosok yang selalu
memberikan keceriaan dan kebahagiaan dengan lawakan-lawakan yang selalu
bisa menjadi penghibur di saat sedih dan di saat penat. Tetaplah menjadi
sosok abang yang dewasa maupun sosok penghibur bagi pika sampai
(5)
4. Mehaga Bastanta Sinulingga SH, yang kukasihi dan kusayangi yang dengan
sabar, ikhlas dan penuh kasih sayang di dalam memberikan pengajaran,
bantuan dan dukungan yang sangat banyak di dalam penulisan skripsi ini.
Sungguh penulisan ini akan terasa sangat berat tanpa bantuanmu. Terima
kasih telah menjadi sosok yang selalu memberikan motivasi dan semangat di
dalam mengejar cita-cita. Dan terima kasih telah menjadi kekasih yang sangat
penyabar dan pengertian selama ini. Dirimu cukup berarti bagiku.
5. Marini Noviandri yang merupakan sepupuku yang sangat kusayangi yang
sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri yang sudah sangat sabar
dan sangat banyak meluangkan waktunya untuk membantuku di dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada uwakku tersayang Dr. Chairul
Bariah Mozasa SH.,M.Hum yang juga telah meluangkan waktunya di tengah
kesibukannya untuk membantuku dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
Juga terimakasih kepada Annisa Yulindri SH sepupu yang kusayangi yang
sudah banyak memberikan informasi-informasi yang sangat dibutuhkan di
dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Keluarga Besar Mozasa dan Nawawi Siregar yang telah memberikan
dukungan dan semangat untuk terus berjuang dan jangan menyerah di dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat di Fakultas Hukum yang sangat kusayangi Amalia Geralda
Harahap, Putri Henry, Rizki Zalila Dalimunthe, dan Ojita Abdy yang telah
menjadi teman seperjuangan di dalam melewati hari-hari yang sulit maupun
(6)
telah menjadi sahabat yang banyak memberikan motivasi dan dukungan
bagiku, sahabat didalam berbagi cerita suka maupun duka, sahabat yang telah
memberikan pengalaman dan hari-hari yang sangat berarti bagiku di masa
perkuliahan selama ini. Semoga hubungan pertemanan kita berlangsung
selamanya dan tali silaturahmi diantara kita tak akan pernah putus sampai
kapanpun.
8. Teman-teman fakultas hukum stambuk 2009 yang telah banyak memberikan
dukungan dan semangat selama masa perkuliahan dan selama proses
penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk waktu-waktu berharga kita selama
ini baik susah maupun senang.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh
Mahasiswa/I demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di
lingkungan Fakultas Hukum USU.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan,
SH.,MH,DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, dan Bapak Muhammad Husni, SH.,MH. Selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
(7)
3. Bapak Arif, SH.MH selaku Ketua Jurusan Hukum Internasional, Bapak
selama ini dan Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris
Departemen Hukum Internasional, selama ini telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis.
4. Bapak Abdul Rahman, SH,MH, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang
telah memberikan banyak bantuan dan arahan untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Arif, SH.MH, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah
memberikan banyak bantuan dan arahan untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Dan buat semua kaum kerabat dan teman-teman yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih buat semuanya.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan hasil Penulisan Skripsi ini oleh
karena itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan
kritik&saran yang membangun guna memnghasilkan sebuah karya ilmiah yang
lebih baik lagi. Semoga Allah SWT melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua dan memuliakan kita dengan ilmu yang dimiliki.
Wassalam,
Penulis
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAKSI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3
D. Keaslian Penulisan ... 4
E. Tinjauan Pustaka ... 5
F. Metode Penelitian ... 5
G. Sistematika Penulisan ... 6
BAB II : PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Humaniter ... 9
B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 ... 11
C. Penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 ... 16
D. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang ... 34
BAB III : NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SERTA PERAN KOMITE PALANG MERAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS) A. Pengertian Negara-Negara Yang Sedang Berperang Menurut Hukum Internasional ... 42
(9)
B. Negara-Negara Yang Telah Mengalami Perang Dalam Hukum Internasional ... 49
C. Peran Komite Palang Merah Internasional (International
Committee of the Red Cross) Terhadap Negara Yang Sedang Berperang Dalam Hukum Internasional ... 54
BAB IV : KEBERADAAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA- NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Pelaksanaan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Sumber Hukum Bagi Negara Yang Berperang ... 65
B. Bentuk Pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Oleh Negara-Negara Yang Berperang ... 76
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 86
B. Saran ... 88
(10)
ABSTRAKSI
Rafika Mayasari Siregar1 Abdul Rahman2
Arif3
Perang timbul karena adanya permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) dan adanya pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih. Dari kedua negara yang sedang berperang dan di dalam peperangan dan sengketa bersenjata tersebut penduduk-penduduk sipil selalu menjadi korbannya. Peperangan yang terjadi diantara kedua Negara yang sedang berperang menyebabkan penduduk-penduduk sipil mengalami luka ringan, luka berat, dan bahkan kematian.
Permasalahan yang saya paparkan adalah bagaimana perlindungan bagi penduduk sipil pada saat berperang menurut Konvensi Jenewa IV Tahun 1949,
bagaimana peran Komite Palang Merah Internasional (International Committee of
the Red Cross) terhadap negara yang sedang berperang dalam Hukum Internasional dan bagaimana bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh negara-negara yang sedang berperang.
Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu Penelitian
Kepustakaan (Library Research), dengan cara mengumpulkan data-data yang
bersumber dari kepustakaan. Sumber-sumber yang terdapat di dalam penelitian kepustakaan ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, kamus, koran, data elektronik, juga data primer seperti konvensi yang digunakan sebagai bacaan di dalam tulisan ini. Penelitian hukum normatif yaitu meneliti dengan cara membaca, menelaah, menafsirkan, membandingkan dan juga menerjemahkan berbagai sumber-sumber yang dimana sumber-sumber tersebut berhubungan dengan penulisan ini.
Konvensi Jenewa IV berisi tentang perlindungan penduduk sipil di waktu perang. Konvensi ini seluruhnya terdiri dari 159 pasal dan tiga buah lampiran. Beberapa kelompok penduduk sipil yang harus dilindungi adalah orang asing di wilayah pendudukan atau yang juga bisa disebut dengan warganegara sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa, kemudian orang yang tinggal di wilayah pendudukan yang disebut juga dengan penduduk sipil di wilayah yang diduduki dan juga interniran sipil yang dimana penduduk sipil yang dilindungi tersebut dapat diinternir. Komite Palang Merah Internasional meiliki peran terhadap negara-negara yang berperang dengan cara memberikan bantuan kemanusiaan. Terdapat beberapa pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh negara-negara yang sedang berperang.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
(11)
ABSTRAKSI
Rafika Mayasari Siregar1 Abdul Rahman2
Arif3
Perang timbul karena adanya permusuhan antara dua negara (bangsa, agama, suku, dan sebagainya) dan adanya pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih. Dari kedua negara yang sedang berperang dan di dalam peperangan dan sengketa bersenjata tersebut penduduk-penduduk sipil selalu menjadi korbannya. Peperangan yang terjadi diantara kedua Negara yang sedang berperang menyebabkan penduduk-penduduk sipil mengalami luka ringan, luka berat, dan bahkan kematian.
Permasalahan yang saya paparkan adalah bagaimana perlindungan bagi penduduk sipil pada saat berperang menurut Konvensi Jenewa IV Tahun 1949,
bagaimana peran Komite Palang Merah Internasional (International Committee of
the Red Cross) terhadap negara yang sedang berperang dalam Hukum Internasional dan bagaimana bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh negara-negara yang sedang berperang.
Penulis melakukan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu Penelitian
Kepustakaan (Library Research), dengan cara mengumpulkan data-data yang
bersumber dari kepustakaan. Sumber-sumber yang terdapat di dalam penelitian kepustakaan ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, kamus, koran, data elektronik, juga data primer seperti konvensi yang digunakan sebagai bacaan di dalam tulisan ini. Penelitian hukum normatif yaitu meneliti dengan cara membaca, menelaah, menafsirkan, membandingkan dan juga menerjemahkan berbagai sumber-sumber yang dimana sumber-sumber tersebut berhubungan dengan penulisan ini.
Konvensi Jenewa IV berisi tentang perlindungan penduduk sipil di waktu perang. Konvensi ini seluruhnya terdiri dari 159 pasal dan tiga buah lampiran. Beberapa kelompok penduduk sipil yang harus dilindungi adalah orang asing di wilayah pendudukan atau yang juga bisa disebut dengan warganegara sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa, kemudian orang yang tinggal di wilayah pendudukan yang disebut juga dengan penduduk sipil di wilayah yang diduduki dan juga interniran sipil yang dimana penduduk sipil yang dilindungi tersebut dapat diinternir. Komite Palang Merah Internasional meiliki peran terhadap negara-negara yang berperang dengan cara memberikan bantuan kemanusiaan. Terdapat beberapa pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh negara-negara yang sedang berperang.
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perang timbul karena adanya permusuhan antara dua negara (bangsa,
agama, suku, dan sebagainya) dan adanya pertempuran besar bersenjata antara
dua pasukan atau lebih.4 Dari kedua negara yang sedang berperang dan di dalam
peperangan dan sengketa bersenjata tersebut penduduk-penduduk sipil selalu
menjadi korbannya.
Penduduk-penduduk sipil yang menjadi korban peperangan tersebut
adalah pria, wanita, bahkan anak-anak kecil yang tidak berdosa. Peperangan yang
terjadi diantara kedua Negara yang sedang berperang menyebabkan
penduduk-penduduk sipil mengalami luka ringan, luka berat, dan bahkan kematian.
Peperangan ini tidak hanya menimbulkan luka fisik tetapi juga
menimbulkan luka mental atau trauma. Luka mental atau trauma ini jelas dialami
oleh anak-anak kecil karena kondisi jiwa mereka yang belum stabil, melihat usia
mereka yang masih sangat muda tetapi harus menjadi korban di dalam sebuah
peperangan besar, dan tentu saja hal ini dapat menimbulkan trauma yang
berkepanjangan sampai mereka dewasa. Peperangan ini selain menimbulkan luka
fisik dan mental atau trauma tetapi juga menyebabkan kesedihan yang
berkepanjangan bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarganya akibat
meninggal di saat peperangan dan sengketa bersenjata terjadi.
4
(13)
Banyaknya penduduk sipil yang menjadi korban dalam peperangan dan
sengketa bersenjata ini maka sesungguhnya tidak sesuai dengan isi Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang isinya setiap negara berkewajiban untuk tidak
melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan di dalam hubungan
internasionalnya terhadap kedaulatan keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik
dari sesuatu Negara, atau dengan cara apapun lainnya yang bertentangan dengan
Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.5
Latar belakang sejarah kelahiran Konvensi Jenewa IV 1949 tidak bisa
dipisahkan dengan peristiwa Perang Dunia II yang berakhir Tahun 1945.
Peperangan yang berskala luas dan kejam itu menumbuhkan kesadaran dunia
internasional untuk melindungi korban peperangan, khusunya warga sipil. Oleh
karena itu, akhirnya negara-negara bersepakat untuk membuat Konvensi Jenewa
IV 1949 yaitu Konvensi mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil Pada Waktu
Perang.
Kewajiban negara untuk melindungi penduduk sipil terdapat dalam Pasal
4 Konvensi Jenewa IV 1949. Perlindungan tersebut tidak boleh membedakan
nasionalitas, ras, agama, atau pandangan politik (Pasal 13 Konvensi Jenewa IV
1949). Bentuk kewajiban itu lalu diperinci dalam Pasal 27-34 Konvensi Jenewa
IV 1949 yang berisi perlindungan penduduk sipil atas tindakan yang
menimbulkan penderitaan jasmani, menjatuhkan hukum kolektif, intimidasi,
5
Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) Dan Bukan Internasional (Protokol II), Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban
Sengketa-Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol - I), Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Pengayoman, Jakarta, 2006, hal. 1.
(14)
terror, dan perampokan, pembalasan, dijadikan sandera serta tindakan yang
menumbuhkan penderitaan jasmani dan pembasmian. Kewajiban yang
dibebankan Konvensi Jenewa IV 1949 kepada negara peserta atas perlindungan
penduduk sipil cukup tinggi. Kewajiban perlindungan yang diberikan oleh
Konvensi Jenewa IV 1949 harus dijalankan tanpa syarat oleh negara peserta.6
B. Perumusan Masalah
Berikut ini adalah permasalahan yang akan dibahas oleh penulis di dalam
penulisan skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana perlindungan bagi penduduk sipil pada saat berperang menurut
Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 ?
2. Bagaimana peran Komite Palang Merah Internasional (International
Committee of the Red Cross) terhadap negara yang sedang berperang dalam Hukum Internasional ?
3. Bagaimana bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh
negara-negara yang sedang berperang ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, penulisan skripsi ini juga
memiliki tujuan untuk :
6
http://senandikahukum.com/karateristik-legalisasi-hukum-humaniter-suatu-analisa-terhadap-hukum-Jenewa-1949/, Karakteristik Legalisasi Hukum Humaniter: Suatu Analisa Terhadap Hukum Jenewa 1949, 2 April 2012.
(15)
1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap korban perang menurut Konvensi
Jenewa IV 1949.
2. Untuk mengetahui peran masyarakat internasional terhadap negara yang
sedang berkonflik dalam Hukum Internasional.
3. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV 1949 oleh
negara-negara yang sedang berkonflik.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui peraturan
yang terdapat di dalam Hukum Internasional khususnya tentang Konvensi Jenewa
IV 1949 yang mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat
perang, dan sekiranya dapat membantu para pihak yang ingin menambah
pengetahuan tentang Hukum Internasional terlebih mengenai perlindungan
terhadap penduduk sipil pada saat berperang.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi mengenai Konvensi Jenewa 1949 sesungguhnya
memang telah banyak dibahas, tapi penulisan tentang “Tinjauan Yuridis
Konvensi Jenewa IV 1949 Terhadap Negara-Negara Yang Berkonflik Menurut
Hukum Internasional” yang akan dibahas dan akan diangkat menjadi judul
skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang sebelumnya judul
ini telah diperiksa di bagian Administrasi Fakultas hukum Universitas Sumatera
Utara khususnya di bagian Departemen Hukum Internasional dan dinyatakan
(16)
Penulisan ini disusun dengan referensi buku-buku, media elektronik, dan juga
pihak-pihak lain yang turut membantu proses penulisan ini.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan terhadap masalah seperti yang telah disebutkan di atas,
penulis di dalam penulisan skripsi ini memakai data sekunder yang dimana di
dalam data sekunder ini memiliki kekuatan yang mengikat ke dalam dimana
dapat dibedakan dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari
sumber-sumber Hukum Internasional dan dari ketentuan peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan dengan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder ini bersumber dari buku-buku dan
internrt. Dan yang terakhir adalah bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang
dapat memberikan penjelasan tehadap bahan hukum primer juga dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder.
F. Metode Penelitian
Penulis di dalam melakukan penulisan skripsi ini melakukan suatu metode
penelitian, dimana metode penelitian ini adalah metode Penelitian Kepustakaan
(Library Research), yaitu suatu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari kepustakaan. Sumber-sumber yang terdapat di dalam
penelitian kepustakaan ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, karya ilmiah, kamus,
majalah, koran, data elektronik, juga data primer seperti konvensi yang digunakan
(17)
Penelitian hukum normatif yaitu merupakan suatu penelitian yang
meneliti bahan-bahan yang ada di dalam penulisan skripsi ini dengan cara
membaca, menelaah, menafsirkan, membandingkan dan juga menerjemahkan
berbagai sumber-sumber yang dimana sumber-sumber tersebut berhubungan
dengan Tinjauan Yuridis Konvensi Jenewa IV 1949 Terhadap Negara-Negara
Yang Berperang Menurut Hukum Internasional.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam sebuah penulisan suatu karya tulis ilmiah pembahasan secara
sistematis sangat diperlukan, begitu juga di dalam penulisan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini ditulis dengan penyusunan secara sistematis yang terdiri dari 5 bab dan
terbagi menjadi bab per bab yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang
bermaksud untuk memudahkan proses penulisan skripsi ini. Berikut ini adalah
sistematika penulisan skripsi ini yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan ini memberikan gambaran umum yang mendasari penulisan
skripsi ini. Pada bab ini terdapat latar belakang judul skripsi, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode
penulisan, dan yang terakhir sistematika penulisan.
BAB II : PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
(18)
Pada bab ini akan dipaparkan dan dibahas tentang pengertian Hukum
Humaniter, latar belakang lahirnya Konvensi Jenewa IV Tahun 1949, kemudian
juga akan membahas tentang penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 itu
sendiri. Selanjutnya selain itu akan dibahas tentang Konvensi Jenewa IV Tahun
1949 sebagai pelindung terhadap korban perang.
BAB III : NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SERTA PERAN KOMITE PALANG MERAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS)
Pada bab ini akan dipaparkan tentang pengertian negara-negara yang
sedang berperang menurut Hukum Internasional, kemudian negara-negara yang
telah mengalami perang dalam Hukum Internasional dan peran Komite Palang
Merah Internasional (International Committee of the Red Cross) terhadap negara
yang sedang berperang dalam Hukum Internasional.
BAB IV: KEBERADAAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 TERHADAP NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Bab ini akan membahas tentang pelaksanaan konvensi Jenewa IV Tahun
1949 sebagai sumber hukum bagi negara yang berperang dan membahas tentang
bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 oleh negara-negara yang
(19)
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab penutup dari keseluruhan bab-bab sebelumnya
yang di dalam bab ini berisikan kesimpulan yang akan dibuat penulis yang
didasarkan dari uraian terhadap pokok permasalahan dari bab-bab sebelumnya
dan selanjutnya adalah saran dari penulis tentang langkah-langkah yang diambil
untuk mengatasi segala bentuk permasalahan yang telah disebutkan dan telah
(20)
BAB II
PERAN KONVENSI JENEWA IV TAHUN 1949 DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A. Pengertian Hukum Humaniter
Dalam kepustakaan Hukum Internasional istilah hukum humaiter
merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sejak sekitar
Tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government on the
Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada Tahun 1971.
Selanjutnya, pada Tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic
Conference on the Reaffirmation and Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.
Sebagai bidang baru dalam Hukum Internasional, maka terdapat berbagai
rumusan atau defenisi mengenai Hukum Humaniter dari para ahli, dengan ruang
lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah :
“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.
2. Esbjorn Rosenbland, merumuskan Hukum Humaniter Internasional dengan
(21)
The Law Armed Conflict, berhubungan dengan: a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Pendudukan wilayah lawan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.
Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup:
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.
3. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan
Perundang-undangan merumuskan sebagai berikut :
“Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang
dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang”.
Dengan mencermati pengertian dan atau defenisi yang disebutkan di atas,
maka ruang lingkup Hukum Humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya,
menganut pengertian Hukum Humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu
bahwa Hukum Humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan
(22)
menurutnya Hukum Humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan
Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa
Hukum Humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. 7
B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi Jenewa IV Tahun 1949
Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban
Perang (Geneva Convention of 1949 for the Protection of Victims of war) terdiri
atas 4 Konvensi, yaitu :8
1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam
Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field, of August 12, 1949).
2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata di
Laut yang Luka, Sakit, dan Korban Karam (Geneva Convention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).
3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention
relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949).
4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu Perang
(Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in time of War, of August 12, 1949).
7
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal.8-10.
8
Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman,
(23)
Yang dimana keempat konvensi tersebut di atas awal mulanya dibentuk
pada Tahun 1864. Pembentukan Konvensi Jenewa 1864, dalam sejarahnya
berkaitan dengan pembentukan Komite Internasional Palang Merah atau
International Committee of the Red Cross (ICRC). Pembentukan Konvensi
Jenewa 1864, sedikit banyak, dipengaruhi dari ide yang terpublikasi dari buku “A
Memory of Solferino” yang ditulis oleh salah satu pendiri ICRC, yaitu Henry Dunant. Dalam buku tersebut, Henry Dunant menggambarkan pengalamannya
menyaksikan penderitaan para tentara yang menjadi korban dan tidak
memperoleh pertolongan di medan bekas pertempuran di Solferino. Cerita Henry
Dunant tidak terlalu terfokus pada hal-hal yang mengerikan akibat perang, tetapi
justru kepada permasalahan tidak cukupnya pertolongan untuk tentara korban
tersebut. Ia juga menceritakan upaya spontannya mengumpulkan para wanita
setempat untuk menolong para korban tersebut dengan fasilitas seadanya.
Dua dari ide yang termuat dalam buku tulisan Henry Dunant terealisasi
pada Tahun 1863 dan 1864. Tahun 1863 adalah Tahun pembentukan organisasi
sukarelawan yang dipersiapkan untuk membantu korban perang yang kemudian
dikenal dengan ICRC. Tahun 1864 adalah Tahun pembentukan perjanjian
internasional untuk melindungi korban perang dan pihak yang bertugas menolong
korban perang. Adapun konferensi diplomatik yang membahas dan mengadopsi
perjanjian tersebut diselenggarakan oleh negara Swiss atas himbauan dari Henry
Dunant dan para pendiri ICRC.
Konvensi Jenewa 1864 menjadi instrumen hukum pertama tentang
(24)
perjanjian pertama yang terbuka bagi setiap negara untuk ikut serta di dalamnya.
Setelah itu cukup banyak pertemuan diplomatik dan antarnegara yang
diselenggarakan secara teratur dan menghasilkan perjanjian-perjanjian lainnya di
bidang Hukum Humaniter Internasional.
Dalam perjalanannya, pembentukan perjanjian Hukum Humaniter
Internasional dan norma-norma hukum yang disepakati di dalamnya banyak
dipengaruhi oleh kebutuhan yang dirasakan karena peristiwa peperangan yang
terjadi pada waktu itu. Di antaranya, juga dipengaruhi oleh kenyataan
perkembangan teknologi dan sistem persenjataan atau metode peperangan yang
digunakan. Peristiwa Perang Dunia I dan II serta berbagai perang atau
konflik-konflik dalam negeri, seperti yang terjadi di Amerika Latin yang melibatkan
upaya dekolonisasi dan teknik gerilya sampai pembersihan etnis di Former
Yugoslavia dan genosida di Rwanda, turut memberikan kontribusi bagi
pembentukan dan penyempurnaan Hukum Humaniter Internasional.
Sebelum masa Perang Dunia I, telah terbentuk berbagai perjanjian Hukum
Humaniter Internasional berkenaan dengan larangan dan pembatasan penggunaan
senjata dan metode perang tertentu, yaitu Deklarasi St Petersburgh Tahun 1868
yang melarang penggunaan proyektil eksplosif tertentu pada saat perang dan
beberapa Konvensi Den Haag 1899-1907 berkenaan dengan peperangan di darat
dan laut serta larangan penggunaan racun, gas mencekik, peluru mengembang,
berikut pembatasan pengiriman proyektil tertentu melalui balon udara.
Setelah masa Perang Dunia II, yaitu Tahun 1945-1948, dunia melihat
(25)
dan Nurmberg atas prakarsa para pemenang perang. Sementara itu, Konvensi
Jenewa 1864 mengalami perbaikan dan penyempurnaan terakhir dengan
terbentuknya empat Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan
perlindungan korban perang.
Tahun 1977 ditandai dengan terbentuknya dua perjanjian internasional
yang merupakan tambahan atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Perjanjian
Hukum Humaniter Internasional tersebut adalah Protokol Tambahan I/1977
tentang Perlindungan Korban Perang pada situasi sengketa bersenjata
internasional dan Protokol Tambahan II/1977 tentang Perlindungan Korban
Perang pada Situasi Sengketa Bersenjata non-internasional Protokol I antara lain,
memuat referensi Hukum Humaniter Internasional bagi perang melawan kolonial
dan pembatasan penggunaan metode perang gerilya.9
Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk Sipil dalam waktu
Perang merupakan konvensi yang sama sekali baru. Konvensi ini yang mengatur
kedudukan penduduk sipil pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam daerah
pertempuran maupun daerah pendudukan serta di negara-negara netral,
seluruhnya meliputi 159 pasal dan tiga buah lampiran.
Persiapan untuk Konvensi Jenewa IV 1949 sudah dimulai oleh Konferensi
Internasional Palang Merah yang ke XV yang diadakan di Tokyo diTahun 1934.
Konferensi ini telah menyetujui suatu rancangan konvensi mengenai
perlindungan penduduk sipil di negara musuh atau di negara yang diduduki
musuh yang terdiri dari 40 pasal, yang dibuat untuk memenuhi rekomendasi
9
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 32-34.
(26)
konferensi diplomatik yang diadakan di Jenewa diTahun 1929 untuk
memperbarui Konvensi I dan menyusun Konvensi mengenai Perlakuan Tawanan
Perang.
Rancangan konvensi mengenai perlindungan penduduk sipil ini yang
dikenal juga dengan nama rancangan Tokyo, yang merupakan rancangan pertama
bagi Konvensi Jenewa IV yang sekarang, mula-mula akan diajukan pada suatu
konferensi Diplomatik yang akan diadakan di Jenewa pada Tahun 1940.
Pecahnya Perang Dunia II membatalkan niat ini.
Maksud untuk memperbaharui ketiga konvensi lainnya yaitu Konvensi I,
II, dan III lahir setelah Perang Dunia II berakhir diTahun 1945. Di Tahun 1946
Komite Internasional Palang Merah mengadakan suatu konferensi pendahuluan di
Jenewa yang dihadiri oleh utusan-utusan Palang Merah nasional untuk membahas
Konvensi-Konvensi Jenewa dan masalah-masalah yang bertalian dengan Palang
Merah. Konferensi ini membahas ketiga rancangan konvensi yang sebelumnya
telah dipersiapkan oleh suatu konferensi para ahli yang diadakan di Jenewa
diTahun 1945.
Pekerjaan persiapan di atas dilanjutkan dalam Tahun 1947 dengan
diadakannya suatu konferensi di Jenewa antara ahli-ahli dari berbagai negara
untuk mempelajari Konvensi- Konvensi mengenai Perlindungan Korban Perang,
yang kemudian disusul dengan konsultasi antara Komite Internasional dengan
beberapa pemerintah yang tidak mengirimkan wakilnya. Hasil
pekerjaan-pekerjaan persiapan tersebut di atas berupa empat buah rancangan Konvensi
(27)
di Stockholm diTahun 1948. Rancangan-rancangan ini diterima dengan beberapa
perubahan. Rancangan konvensi-konvensi inilah yang menjadi bahan
perbincangan (working documents) daripada Konferensi Diplomatik yang
diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949, dan yang
akhirnya menghasilkan keempat konvensi mengenai perlindungan korban perang
dalam bentuknya yang dikenal sekarang.10
C. Penjelasan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949
Penjelasan Konvensi Jenewa IV 1949 mengenai perlindungan terhadap
penduduk sipil yang menjadi korban perang diatur di dalam bagian II yang berisi
tentang perlindungan umum.
1. Perlindungan Umum
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum yang diberikan
kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala
keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluargaan,
kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan
tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27-34.11
Isi Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV adalah :
1. Orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan berhak akan
penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan,
keyakinan dan praktek keagamaan, serta adat istiadat dan kebiasaan mereka.
10
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi DJenewa TH. 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta Bandung, 1968, hal. 3-4.
11
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal. 170.
(28)
Mereka selalu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, dan harus
dilindungi khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau
ancaman-ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek
tontonan umum.
Wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap serangan atas
kehormatannya, khususnya terhadap perkosaan, pelacuran yang dipaksakan,
atau setiap bentuk serangan yang melanggar kesusilaan.
Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keadaan
kesehatan, umur dan jenis kelamin mereka, maka semua orang yang
dilindungi harus diperlakukan dengan cara yang sama oleh Pihak dalam
sengketa dalam kekuasaan mana mereka berada, tanpa perbedaan merugikan
yang didasarkan terutama pada suku, agama atau pendapat politik.
Akan tetapi Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengambil tindakan-tindakan
pengawasan dan keamanan berkenaan dengan orang-orang yang dilindungi,
yang mungkin diperlukan sebagai akibat perang (Pasal 27).
2. Adanya seseorang yang dilindungi tidak boleh digunakan untuk menyatakan
sasaran-sasaran atau daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer (Pasal
28).
3. Pihak-pihak dalam sengketa bertanggung jawab atas perlakuan yang
diberikan oleh alat-alat kelengkapannya kepada orang-orang yang dilindungi
yang ada dalam tangannya, lepas dari tanggung jawab perseorangan apapun
(29)
4. Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh setiap fasilitas untuk
berhubungan secara tertulis dengan Negara Pelindung, dengan Komite
Palang Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan Palang Merah
Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah) dari negara-negara
tempat mereka berada, demikian pula dengan setiap organisasi yang dapat
memberi bantuan kepada mereka.
Organisasi-organisasi ini harus diberikan fasilitas-fasilitas untuk maksud itu
oleh penguasa-penguasa, dalam batas-batas yang ditentukan oleh
pertimbangan militer atau keamanan.
Di samping kunjungan-kunjungan dan utusan-utusan Negara Pelindung serta
Komite Palang Merah Internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 143,
maka Negara Penahan atau Negara Pendudukan harus sebanyak mungkin
memudahkan kunjungan-kunjungan kepada orang-orang yang dilindungi
oleh wakil-wakil organisasi-organisasi lain yang bertujuan memberikan
bantuan spiritual atau pertolongan materil kepada orang-orang trsebut (Pasal
30).
5. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh dilakukan paksaan phisik atau
moral, terutama untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka atau
dari pihak ketiga (Pasal 31).
6. Pihak-pihak Peserta Agung teristimewa sepakat bahwa mereka
masing-masing dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya menimbulkan
penderitaan-penderitaan jasmani atau pemusnahan orang-orang yang
(30)
terhadap pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan, pengudungan serta
percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah yang
tidak diperlukan oleh perawatan kedokteran daripada seorang yang
dilindungi, akan tetapi juga berlaku terhadap setiap tindakan kekuasaan
lainnya, baik yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun militer (Pasal
32).
7. Orang yang dilindungi tidak boleh dihukum untuk suatu pelanggaran yang
tidak dilakukan sendiri olehnya. Hukuman kolektif dan semua perbuatan
intimidasi atau terorisme dilarang. Perampokan dilarang. Tindakan
pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya adalah
dilarang (Pasal 33).
8. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera (tanggungan) dilarang (Pasal
34).
Yang dapat disimpulkan isi dari pasal 27-34 tersebut tentang perlindungan
umum terhadap penduduk sipil yaitu adalah :12
Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh
keterangan;
1. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;
2. Menjatuhkan hukuman kolektif;
3. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;
4. Melakukan pembalasan (reprisal);
5. Menjadikan mereka sebagai sandera;
12
(31)
6. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan
terhadap orang yang dilindungi.
Demikian besarnya perhatian yang diberikan Konvensi Jenewa untuk
melindungi penduduk sipil dalam sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah sakit dan
daerah-daerah keselamatan (safety zones), dengan persetujuan bersama antara
pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 14 Konvensi Jenewa IV).
Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 14 Konvensi Jenewa IV :
Dalam waktu damai, Pihak-pihak Peserta Agung dan setelah pecahnya
permusuhan, pihak-pihak dalam permusuhan itu dapat mengadakan dalam
wilayah mereka sendiri dan apabila perlu, dalam daerah yang diduduki,
daerah-daerah serta perkampungan-perkampungan rumah sakit dan keselamatan, yang
diorganisir sedemikian rupa sehingga melindungi yang luka, sakit dan
orang-orang tua, anak-anak di bawah lima belas Tahun, wanita-wanita hamil serta
ibu-ibu dari anak di bawah tujuh Tahun dari akibat-akibat perang.
Pada waktu pecahnya dan selama berlangsungnya permusuhan,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengadakan persetujuan-persetujuan tentang
pengakuan bersama daripada daerah dan perkampungan yang telah mereka
adakan.
Untuk maksud ini mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan dan
Rencana Persetujuan yang dilampirkan pada Konvensi ini, dengan
(32)
Negara-negara Pelindung serta Komite Palang Merah Internasional
diundang untuk memberikan jasa baik mereka guna memudahkan penetapan dan
pengakuan atas rumah sakit dan daerah-daerah keselamatan serta
perkampungan-perkampungan.
Pembentukan kawasan ini terutama ditujukan untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang sipil yang rentan terhadap akibat perang, yaitu
orang yang luka dan sakit, lemah, perempuan hamil atau menyusui, perempuan
yang memiliki anak-anak balita, orang lanjut usia dan anak-anak. Daerah
keselamatan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Daerah-daerah kesehatan hanya boleh meliputi sebagian kecil dari wilayah
yang diperintah oleh negara yang mengadakannya.
2. Daerah-daerah itu harus berpenduduk relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan kemungkinan-kemungkinan akomodasi yang terdapat disitu.
3. Daerah-daerah itu harus jauh letaknya dan tidak ada hubungannya dengan
segala macam objek-objek militer atau bangunan-bangunan industri dan
administrasi yang besar.
4. Daerah-daerah seperti itu tidak boleh ditempatkan di wilayah-wilayah yang
menurut perkiraan, dapat dijadikan areal untuk melakukan peperangan.
Berkaitan dengan perlakuan terhadap orang-orang yang dilindungi,
perlakuan khusus harus diberikan terhadap anak-anak. Para pihak yang
bersangkutan diharuskan untuk memelihara anak-anak yang sudah yatim piatu
(33)
Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa
kelompok orang-orang sipil yang perlu dilindungi, seperti :
(1) Orang asing di wilayah pendudukan
Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di
wilayah negara musuh, maka orang-orang asing ini merupakan warga negara
musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan
perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi
Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika
permohonan mereka ditolak, mereka penolakan tersebut dipertimbangkan
kembali. Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau badan
administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu. 13
Berikut adalah isi lengkap dari Pasal 35 Konvensi Jenewa IV:
Semua orang yang dilindungi yang berkehendak meninggalkan wilayah
pada permulaan, atau selama berlangsungnya suatu sengketa, boleh berbuat
demikian, kecuali apabila keberangkatannya itu bertentangan dengan
kepentingan-kepentingan nasional dari negara itu. Permohonan-permohonan
orang tersebut untuk berangkat harus diputuskan sesuai dengan
prosedur-prosedur secara teratur dan keputusan harus diambil secepat mungkin.
Orang-orang yang diizinkan untuk berangkat dapat melengkapi diri mereka dengan
dana-dana yang diperlukan untuk perjalanan mereka dan membawa serta satu
jumlah yang pantas dari milik dan barabg-barang untuk pemakaian pribadi.
13
(34)
Apabila ada seorang ditolak permintaannya untuk meninggalkan wilayah
itu, maka ia berhak supaya penolakan itu dipertimbangkan kembali selekas
mungkin oleh sebuah pengadilan atau dewan administratif, yang ditunjuk oleh
Negara Penahan untuk maksud itu.
Atas permintaan, maka wakil-wakil Negara Pelindung harus, kecuali
apabila bertentangan dengan alasan-alasan keamanan, atau apabila orang-orang
yang bersangkutan berkeberatan, diberitahu alasan-alasan penolakan dari tiap
permohonan izin untuk meninggalkan wilayah dan kepada wakil-wakil itu harus
diberi secepat mungkin nama-nama semua orang yang tidak diberi izin untuk
berangkat.
Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang
yang berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan
minimum atas hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka
harus dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya,
menerima bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara
penahan juga diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat
laporan regular ke kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika
keadaan keamanan yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk
berpindah tempat tinggal (Pasal 42 Konvensi Jenewa IV).14
Berikut ini adalah isi lengkap dari Pasal 42 Konvensi Jenewa IV :
14
(35)
Penginterniran orang-orang yang dilindungi atau penempatan mereka di
tempat-tempat tinggal yang ditunjuk hanya dapat diperintahkan apabila keamanan
Negara Penahan betul-betul memerlukannya.
Apabila seseorang, melalui wakil-wakil Negara Pelindung, dengan
sukarela mohon penginterniran dan apabila keadaannya menyebabkan perlu
diambil tindakan tersebut, maka ia akan diinternir oleh kekuasaan dalam tangan
siapa ia pada waktu itu berada.
Mereka juga dapat dipindahkan ke negara asal mereka kapan saja, dan
apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada saat terakhir setelah
berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui negara ketiga. Harus
pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke pengadilan karena
keyakinan politik atau agama yang mereka anut.
(2) Orang yang tinggal di wilayah pendudukan
Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi.
Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang
berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di
wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu,
perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku (secara
de jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa
Pendudukan (secara de facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah di
wilayah yang diduduki, termasuk pengadilannya, harus diperbolehkan untuk
(36)
Orang-orang sipil di wilayah ini harus dihormati hak-hak asasinya;
misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak
boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa Pendudukan
bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah sakit dan
bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-tugasnya. Penguasa
Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-anak, serta menjamin
kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk (Pasal 50 Konvensi Jenewa IV);
dan bila Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka
mereka harus mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri, sesuai
dengan Pasal 59-61 dan sebagainya.15
Berikut adalah isi lengkap dari pasal 50,59,60 dan 61 Konvensi Jenewa
IV:
Kekuasaan Pendudukan, dengan bantuan penguasa-penguasa nasional dan
lokal, harus membantu kelancaran bekerja semua lembaga yang bertujuan untuk
perawatan dan pendidikan anak-anak.
Kekuasaan Pendudukan harus mengambil segala tindakan yang perlu
untuk memudahkan identifikasi anak-anak dan pendaftaran dari asal-usul mereka.
Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga, tidak boleh merubah kedudukan
pribadi mereka, atau memasukkan mereka dalam kesatuan-kesatuan atau
organisasi-organisasi kekuasaannya.
15
(37)
Apabila lembaga-lembaga setempat tidak mencukupi untuk tujuan itu,
maka Negara Pendudukan harus mengatur pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yatim piatu atau anak-anak-anak-anak yang terpisah dari ibu bapaknya sebagai akibat
peperangan, dan yang tidak dapat dipelihara dengan baik oleh kerabat atau
kawan. Pemeliharaan dan pendidikan ini jika mungkin dilakukan oleh
orang-orang yang sama kebangsaan, bahasa dan agamanya.
Suatu seksi khusus dari Biro yang didirikan sesuai dengan Pasal 136, akan
bertanggung jawab atas segala tindakan yang perlu diambil untuk
mengidentifikasi anak-anak yang identitasnya diragukan. Keterangan-keterangan
mengenai ibu-bapak atau keluarga mereka yang dekat, selalu harus dicatat apabila
ada.
Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menghalang-halangi diadakannya
tindakan-tindakan istimewa mengenai makanan, pengobatan dan perlindungan
terhadap akibat-akibat perang yang mungkin telah diadakan sebelum pendudukan
dan yang telah diadakan untuk manfaat anak-anak di bawah lima belas Tahun,
wanita hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak di bawah tujuh Tahun (Pasal 50).
Apabila seluruh atau sebagian dari penduduk sesuatu wilayah yang
diduduki tidak mempunyai persediaan-persediaan cukup, maka Kekuasaan
Pendudukan harus menyetujui rencana-rencana pemberian bantuan bagi
penduduk tersebut, dan harus membantu rencana-rencana tersebut, dengan segala
kesanggupan yang ada padanya.
Rencana-rencana bantuan tersebut, yang mungkin diadakan, atau oleh
(38)
seperti Komite Palang Merah Internasional, terutama harus berisikan
pemberian-pemberian kiriman bahan makanan, persediaan obat-obatan dan pakaian.
Semua Pihak Peserta harus mengizinkan lalul lintas bebas daripada
kiriman-kiriman ini, dan harus menjamin perlindungannya.
Akan tetapi suatu negara yang mengizinkan perjalanan bebas
kiriman-kiriman yang menuju ke wilayah yang diduduki oleh pihak lawan dalam
sengketa, berhak untuk memeriksa kiriman-kiriman itu untuk mengatur
perjalanannya sesuai dengan waktu dan rencana perjalanan yang telah ditentukan,
dan berhak untuk mendapat jaminan sepantasnya dari Negara Pelindung bahwa
kiriman-kiriman itu akan dipergunakan untuk menolong penduduk yang
membutuhkannya dan tidak akan dipergunakan untuk keuntungan Kekuasaan
Pendudukan (Pasal 59).
Kiriman-kiriman sumbangan sekali-sekali tidak akan membebaskan
Kekuasaan Pendudukan dari kewajiban dan tanggung jawab apapun dibawah
Pasal 55, 56 serta Pasal 59. Kekuasaan Pendudukan bagaimanapun juga tidak
boleh membelokkan kiriman-kiriman sumbangan itu dari tujuannya yang
dimaksudkan semula, kecuali dalam hal-hal keperluan yang mendesak, guna
kepentingan-kepentingan penduduk wilayah yang diduduki dan dengan
persetujuan Negara Pelindung (Pasal 60).
Pembagian kiriman-kiriman sumbangan yang tercantum dalam pasal-pasal
di atas, harus diselenggarakan dengan kerja sama dan di bawah pengawasan
Negara Pelindung. Kewajiban ini, dengan persetujuan dari Kekuasaan
(39)
Netral, kepada Komite Palang Merah Internasional atau kepada setiap badan
kemanusiaan lain yang tidak memihak.
Kiriman-kiriman tersebut harus dibebaskan dari segala biaya,
kewajiban-kewajiban pajak atau bea dalam wilayah yang diduduki, kecuali apabila hal itu
diperlukan demi kepentingan ekonomi wilayah itu. Kekuasaan Pendudukan harus
memberi kelonggaran-kelonggaran untuk membantu pembagian yang cepat
daripada kiriman-kiriman itu.
Segenap Pihak Peserta Agung harus berusaha untuk mengizinkan lalu
lintas dan pengangkutan yang bebas biaya dari pada kiriman-kiriman sumbangan
tersebut dalam perjalanan kiriman-kiriman itu menuju wilayah yang diduduki
(Pasal 61).
Sebaliknya Penguasa Pendudukan, berdasarkan ketentuan pasal 64
Konvensi Jenewa IV, dapat membentuk peraturan perundang-undangan sendiri.
Mereka, berdasarkan pasal 66 Konvensi Jenewa IV, juga dapat membentuk
pengadilan militer yang bersifat non-politis.16
Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 64 dan 66 Konvensi Jenewa IV :
Perundang-undangan hukum pidana wilayah yang diduduki akan tetap
berlaku, dengan pengecualian bahwa undang-undang tersebut dapat dicabut atau
ditangguhkan pelaksanannya oleh Kekuasaan Pendudukan dalam hal-hal dimana
undang-undang ini merupakan suatu ancaman terhadap keamanannya atau
merupakan penghalang bagi pelaksanaan Konvensi ini. Dengan mengingat
pertimbangan yang disebut terakhir di atas dan untuk menjamin pelaksanaan
16
(40)
peradilan yang efektif, pengadilan wilayah yang diduduki harus terus melakukan
tugasnya berkaitan dengan segala kejahatan yang diatur oleh undang-undang
hukum pidana termaksud.
Akan tetapi Kekuasaan Pendudukan boleh menggunakan
ketentuan-ketentuan hukum atas penduduk wilayah yang diduduki, yang perlu untuk
memungkinkan Kekuasaan Pendudukan memenuhi kewajiban-kewajibannya
menurut Konvensi ini, untuk memelihara pemerintahan yang teratur dari wilayah
dan untuk menjamin keamanan Kekuasaan Pendudukan, anggota dan harta milik
angkatan perang atau pemerintah pendudukan dan pula untuk keamanan
gedung-gedung dan saluran-saluran perhubungan-perhubungan yang mereka pergunakan
(Pasal 64).
Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum
pidana yang ditetapkan berdasarkan paragraf kedua dari Pasal 64, maka
Kekuasaan Pendudukan dapat menyerahkan si tertuduh kepada
pengadilan-pengadilan militer yang non politis dan yang dibentuk dengan sewajarnya,
dengan syarat bahwa pengadilan tersebut bersidang di wilayah negara yang
diduduki. Pengadilan-pengadilan banding sebaiknya bersidang di wilayah yang
diduduki (Pasal 66).
Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan
kewajibanPenguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai
dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban, dan untuk
menjaga segala infra struktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi
(41)
Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum
(general principles of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa
hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan
(Pasal 67 Konvensi Jenewa IV); pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap
kasus pelanggaran berat, seperti mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer,
atau karena pelanggaran yang disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman
mati menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 68 Konvensi
Jenewa IV).17
Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 67 dan 68 Konvensi Jenewa IV :
Pengadilan-pengadilan itu hanya boleh menggunakan ketentuan-ketentuan
hukum yang telah berlaku sebelum pelanggaran yang dituduhkan, dan yang
sesuai dengan azas-azas hukum umum, terutama azas bahwa hukuman harus
seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengadilan-pengadilan itu harus
turut mempertimbangkan hal bahwa yang tertuduh seorang warga negara
Kekuasaan Pendudukan (Pasal 67).
Orang-orang yang dilindungi yang telah melakukan suatu pelanggaran
yang khusus ditujukan untuk merugikan Kekuasaan Pendudukan akan tetapi yang
tidak merupakan suatu percobaan atas jiwa dan raga anggota-anggota tentara atau
administrasi pendudukan, yang juga tidak merupakan suatu bahaya kolektif besar,
maupun yang tidak merusak dengan hebat harta milik tentara dan administrasi
pendudukan atau instalasi-instalasi yang dipakai mereka, dapat dikenakan
interniran atau hukuman penjara biasa, asal saja lamanya interniran atau hukuman
17
(42)
penjara itu seimbang dengan pelanggaran yang telah dilakukan. Selanjutnya,
penginterniran atau hukuman penjara untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut,
merupakan tindakan satu-satunya yang boleh dipakai untuk merampas kebebasan
orang-orang yang dilindungi.
Pengadilan-pengadilan yang dimaksudkan oleh Pasal 66 dari Konvensi ini
dapat, atas kebijaksanaan sendiri, merubah hukuman penjara menjadi interniran
untuk jangka waktu yang sama.
Peraturan-peraturan hukum pidana yang diumumkan oleh Kekuasaan
Pendudukan sesuai dengan Pasal-pasal 64 dan 65 hanya dapat menetapkan
hukuman mati atas diri seseorang yang dilindungi, dalam hal-hal dimana orang
itu bersalah melakukan pekerjaan mata-mata, perbuatan sabotase yang berat
terhadap instalasi-instalasi militer Kekuasaan Pendudukan, atau karena
pelanggaran-pelanggaran yang disengaja yang dapat dihukum dengan kematian di
bawah hukum wilayah yang diduduki yang berlaku sebelum pendudukan dimulai.
Hukuman mati itu tidak boleh dijatuhkan atas diri seorang yang
dilindungi, kecuali jika pengadilan sudah memperhatikan terutama hal bahwa
karena yang tertuduh itu bukan warga negara Kekuasaan Pendudukan, yang
bersangkutan tidak terikat pada Kekuasaan Pendudukan oleh kewajiban
kesetiaan.
Bagaimanapun juga, hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas diri
seorang yang dilindungi yng berumur di bawah delapan belas Tahun pada waktu
pelanggaran itu dilakukan (Pasal 68).
(43)
Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan
tentang perlakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal
79-135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan
perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang
riil dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya
bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan
administratif. Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun
mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat
melaksanakan hak-hak sipil mereka (Pasal 80 Konvensi Jenewa IV).18
Berikut ini adalah isi lengkap dari pasal 80 Konvensi Jenewa IV :
Orang-orang yang diinternir tetap memiliki kedudukan dan kemampuan
sipil mereka sepenuhnya dan akan dapat melaksanakan hak-hak attendance yang
bersangkutan dengan kedudukan sipil yang mereka miliki.
Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah :
a) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang perlu
diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan;
b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan
suka rela menghendaki untuk diinternir; atau karena keadaannya menyebabkan
ia diinternir;
c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa
Pendudukan menghendaki mereka perlu diinternir karena alas an mendesak;
18
(44)
d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum yang secara khusus
bettujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan.
Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh ditempatkan di dalam
daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer
memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI =
Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau system penandaan lainnya yang
disepakati. Pengurusan para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan,
termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan
dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat
interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang
bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau
pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan.
Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi
Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting,
penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut.
Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan
kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk
melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara
para pihak yang bersengketa.19
19
(45)
2. Perlindungan Khusus
Di samping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil
dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula
sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus.
Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi
social yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu
penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata. Mereka adalah penduduk
sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota
Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.
Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat social (sipil), biasanya mereka
dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan khusus),
maupun lambing-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya,
mereka harus dihormati (respected) dan dilindung (protected). ‘Dihormati’ berarti
mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada
waktu sengketa bersenjata; sedangkan pengertian ‘dilindungi’ adalah bahwa
mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.20
D. Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 Sebagai Pelindung Bagi Penduduk Sipil Pada Saat Berperang
Berbeda dari ketiga Konvensi Jenewa Tahun 1949, Konvensi mengenai
Perlindungan Penduduk Sipil di waktu perang bukan merupakan penyempurnaan
daripada Konvensi-Konvensi yang telah ada, melainkan adalah suatu Konvensi
20
(46)
yang sama sekali baru. Ini tidak berarti bahwa sebelumnya kedudukan dan
hak-hak penduduk sipil belum pernah diatur dalam hukum perang yang tertulis.
Ketentuan-ketentuan inilah yang berlaku ketika Perang Dunia II terjadi,
disamping azas hukum perang yang melarang penyerangan atas penduduk sipil
yang tak bersenjata, sebagai orang yang berdiri diluar perang. Pengalaman selama
Perang Dunia II ini, baik di Eropa maupun di Asia menunujukkan betapa kurang
sempurnanya ketentuan-ketentuan tersebut di atas bagi perlindungan penduduk
sipil terhadap tindakan sewenang-sewenang dari pihak lawan. Kenyataan bahwa
perang modern merupakan perang yang total, mengakibatkan bahwa
perlindungan yang diberikan oleh hukum perang tradisionil secara negatif dengan
menempatkannya diluar perang jelas tidak memadai lagi. Kenyataan perang
modern menunjukkan bahwa penduduk sipil tidak bisa lagi dianggap berdiri
diluar perang. Mereka membutuhkan perlindungan yang lebih positif dari
netralisasi dari perbuatan musuh yang hanya menghindarkan mereka dari
serangan yang langsung.
Untuk sebagian perlindungan ini memang telah diberikan oleh Peraturan
Den Haag tersebut di atas. Akan tetapi ketentuan-ketentuan ini jauh dari lengkap,
karena hanya mengatur perlindungan penduduk dipil di wilayah yang diduduki.
Peraturan Den Haag tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan dan
perlindungan hak penduduk sipil musuh di wilayah pihak dalam pertikaian
sendiri, dan juga tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai perlakuan
(47)
Sebagai tindakan darurat maka dalam Perang Dunia II, atas usul Komite
Internasional Palang Merah, interniran sipil di wilayah pihak yang berperang
diperlakukan sesuai dengan ketentuan –ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1929
mengenai Perlakuan Tawanan Perang, yang sayang sekali tidak diperluas pada
perlakuan terhadap interniran sipil di wilayah yang diduduki.
Kekurangan-kekurangan dalam ketentuan-ketentuan yang memberikan perlindungan kepada
penduduk sipil di waktu perang ini telah menimbulkan banyak korban dan
penderitaan, terutama sebagai akibat deportasi, penyanderaan dan penahanan di
kamp-kamp konsentrasi.
Konvensi ini yang disusun berdasarkan pengalaman yang menyedihkan
itu bertujuan untuk menghindarkan berulangnya bencana tersebut di atas.
Kenyataan bahwa Konvensi ini untuk sebagian mengatur hal yang sama dengan
apa yang telah diatur oleh Peraturan Den Haag, bahkan mengandung ketentuan
yang bersamaan, tidak berarti bahwa Konvensi ini menggantikan
ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam Peraturan Den Haag.
Ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan
Penduduk Sipil di Waktu Perang merupakan tambahan dan penyempurnaan
daripada Seksi II dan III Peraturan Den Haag mengenai Hukum dan Kebiasaan
Peperangan di Darat.21
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 adalah konvensi pertama yang secara
khusus mengatur tentang korban penduduk sipil selama peperangan. Banyak
ketentuan pasalnya berkaitan dengan akibat dan perlakuan buruk terhadap
21
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968, hal. 75-76.
(48)
penduduk sipil yang berada di wilayah Penguasa Pendudukan, daripada
pasal-pasal yang mengatur tentang aturan berperang.
Konvensi ini menjawab tantangan timbulnya suatu trauma akibat
pemboman yang dilakukan melalui udara (terjadi pada 1939 dan 1945), yang
merupakan realitas buruk yang harus diterima akibat dibomnya kota berpenduduk
padat. Hal ini mungkin merupakan suatu konsekuensi dari kegagalan Draft Rules
on Air Warfare yang dirancang di Den Haag pada Tahun 1923. Penolakan terhadap Draft ini dan meletusnya Perang Dunia II, menggambarkan bahwa
negara-negara belum siap menerima larangan untuk menyerang dan menteror
penduduk sipil musuh. Oleh karena itu, menurut Konvensi Jenewa, orang-orang
sipil biasa tetap harus mendapatkan perlindungan ketika peperangan sedang
berlangsung. Hal ini dapat kita lihat antara lain dalam pasal 18 Konvensi Jenewa
I dan pasal 19 Konvensi Jenewa IV yang mengatur tentang perlindungan terhadap
petugas sipil medis dan rohaniawan, dan perlindungan umum untuk
melaksanakan tugas-tugas medis.
Walaupun negara-negara secara umum mengakui bahwa suatu serangan
harus hanya ditujukan kepada sasaran militer, namun tidak ada defenisi yang
dapat disetujui mengenai apa saja yang termasuk dalam sasaran-sasaran militer.
Kenyataannya, selama Perang Dunia II dan selama sengketa-sengketa bersenjata
yang terjadi setelah itu, setiap belligerent menentukan sendiri apa yang harus
disetujui tentang sasaran-sasaran militer. Harus dicatat bahwa gagasan
negara-negara seringkali berbeda, tergantung dari sudut pandang mana mereka
(49)
tergantung dari apakah suatu daerah itu wilayah mereka atau wilayah musuh, atau
merupakan wilayah sekutu yang diduduki pihak musuh. Oleh karena itu, suatu
defenisi yang bersifat restriktif diperlukan apabila hendak membedakan
kombatan dan penduduk sipil serta sasaran militer dan obyek sipil. Namun,
defenisi demikian belum terakomodasi dalam Konvensi Jenewa 1949.22
Di dalam Konvensi Jenewa IV pengertian orang-orang yang dilindungi
adalah lain sekali dengan pengertian orang-orang yang dilindungi dalam arti
ketiga Konvensi Jenewa lainnya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir
daripada pasal 4 yang mengatakan bahwa orang-orang yang dilindungi oleh
Konvensi Jenewa ke-I, II, dan III tidak dapat dipandang sebagai orang yang
dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV. Dengan perkataan lain, unsur pokok
daripada pengertian orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah
bahwa ia itu adalah penduduk sipil.
Jika demikian, apakah seluruh penduduk sipil suatu negara itu merupakan
orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV ? Pasal 4 yang
mengatur soal ini memuat batasan (defenisi) sebagai berikut :
“Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam
suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan
dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu Pihak dalam sengketa
atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka.
Warga negara suatu Negara yang tidak terikat oleh Konvensi tidak
dilindungi oleh Konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah
22
Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan, Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Op.Cit., hal. 202-203.
(50)
yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak
akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka
mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka
berada
Akan tetapi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13, ketentuan-ketentuan
Bagian II mempunyai lingkungan berlaku yang lebih luas.
Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan
Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran
Darat tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa untuk Perbaikan
Keadaan Anggota-anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan
Korban Karam tanggal 12 Agustus 1949, atau oleh Konvensi Jenewa tentang
Perlakuan Tawanan Perang tanggal 12 Agustus 1949, tidak akan dipandang
sebagai orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi ini.”
Secara mudah dapatlah dikatakan bahwa orang-orang yang dilindungi
menurut pasal 4 adalah penduduk sipil negara dalam pertikaian yang telah jatuh
kedalam kekuasaan musuh, atau apabila dilihat dari sudut pihak yang menguasai
mereka, orang-orang yang dilindungi dalam arti Konvensi Jenewa IV adalah
penduduk sipil musuh. Karena selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam
perang juga berkuasa di wilayah musuh yang diduduki oleh angkatan perangnya,
dapat juga orang-orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV itu
dirumuskan sebagai :
1. Warganegara sipil musuh di wilayah negara pihak dalam pertikaian.
(51)
a.) Warganegara negara pendudukan sendiri.
b.) Warganegara negara sekutu.
c.) Warganegara negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik
dengan negara pendudukan.
d.) Warganegara negara bukan peserta konvensi.
Pengertian yang tepat tentang apa yang diartikan dengan orang-orang
yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV perlu kita miliki karena untuk
mereka itulah Konvensi ini telah disusun. Seluruh Konvensi Jenewa IV
didasarkan atas pengertian orang-orang yang dilindungi tersebut di atas, kecuali
sebagian kecil yaitu Bagian II (pasal 13 sampai dengan 26) yang berlaku untuk
seluruh penduduk wilayah yang dikuasai Pihak dalam pertikaian.
Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan di atas yang diberikan
Konvensi kepada orang-orang yang dilindungi tersebut diatur dalam pasal 5.
Pasal ini mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam pertikaian
atau wilayah yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau
terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang merugikan keamanan Negara, kehilangan
hak-haknya sebagai orang yang dilindungi dibawah Konvensi ini. Termasuk di
dalamnya orang-orang yang melakukan atau dicurigai melakukan pekerjaan
mata-mata dan sabotase. Walaupun demikian, mereka tetap harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan dan apabila diadili, mereka berhak memperoleh
jaminan-jaminan peradilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini. Karena
hilangnya hak-hak sebagai orang-orang yang dilindungi merupakan sanksi yang
(52)
5 menetapkan, bahwa mereka secepat-cepatnya akan diberi kembali hak-hak
dibawah Konvensi ini apabila hal itu tidak bertentangan dengan keselamatan
Negara atau Kekuasaan Pendudukan.
Ketentuan di atas yang telah dimuat untuk menjaga kepentingan militer
pihak-pihak dalam pertikaian, dapat dipahamkan karena tanpa pembatasan
demikian hak-hak dan perlakuan istimewa, mudah disalahgunakan untuk
tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kepentingan militer pihak lawan. Akibat
daripada perang modern yang bersifat total adalah bahwa tidak saja perlindungan
yang diberikan hukum perang harus diluaskan pada penduduk sipil, tetapi juga
bahwa kepada pihak-pihak dalam pertikaian harus diberikan jaminan yang lebih
banyak bahwa perlindungan demikian tidak akan disalahgunakan.23
23
(53)
BAB III
NEGARA-NEGARA YANG BERPERANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SERTA PERAN KOMITE PALANG MERAH INTERNASIONAL (INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED
CROSS)
A. Pengertian Negara-Negara Yang Sedang Berperang Menurut Hukum Internasional
Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat
adalah perang dan damai. Peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema
utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar
antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a
respite between wars menunjukkan, situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interkasi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip Holsti,
menunjukkan bahwa sejak Kongres Viena 1815 hingga Tahun 1976, telah terjadi
827 macam konflik; 210 di antaranya terjadi di abad ke-19, dan sisanya 617
terjadi di abad ke-20. Dalam buku edisi sebelumnya, Holsti mengutip data
Quincy Wright yang mengidentifikasi perang di negara-negara Barat sejak 1480
hingga 1490 sebanyak 278 peristiwa. Dari kedua data ini, Wright dan Maoz
mempunyai kesimpulan yang sama, yaitu bahwa periode paling damai terjadi
pada masa setelah Perang Napoleon sampai dengan Perang Dunia I. Lebih lanjut,
Maoz menyimpulkan periode paling tinggi tingkat konfliknya terjadi setelah
(54)
Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik
antarmanusia. Dalam Hukum Internasional, perang secara tradisional adalah
penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem
internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan
saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa
tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan. Dalam arti yang luas, perang
menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi
gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan terror.24 Dalam pengertian umum,
perang yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan
angkatan bersenjata mereka, tujuan akhir dari setiap kontestan atau
masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan atau
kontestan-kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.25
Selanjutnya perang juga ada yang termasuk ke dalam perang tradisional,
bahwasanya perang sebagai salah satu bentuk dari konflik bersenjata ini adalah
sangat luas skopenya, dapat bersifat nasional (sebagaimana yang diatur dalam
pasal 3 Konvensi IV Jenewa 1949) dan bersifat internasional (sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 2 Konvensi Jenewa IV 1949). Perang saudara yang juga
disebut dengan pemberontakan merupakan konflik bersenjata yang sifatnya
adalah nasional, tetapi bilamana pihak pemberontak telah memperoleh status
sebagai pihak yang berperang atau status Belligerent, maka hubungan antara
pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur selanjutnya oleh Hukum
Internasional mengenai perang dan netralitas; karena dengan demikian sifat intern
24
Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaiter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 1-3.
25
(55)
suatu pemberontakan telah berubah menjadi konflik yang bersifat internasional.
Demikian juga halnya pemberontakan tersebut mengakibatkan intervensi pihak
asing, maka sifat konflik bersenjata tadi berubah dari nasional menjadi
internasional. Hal itu dikarenakan pihak asing yang bersangkutan berhadapan
langsung dengan pemerintah de jure, yang timbul karena intervensinya dan
pemerintahan de jure ini mengadakan penyelesaian sengketa tersebut secara
internasional. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka negara yang
mengadakan intervensi menentukan syarat-syarat atau cara yang dikehendakinya
untuk menyelesaikan konflik bersenjata tersebut.
Intervensi yang sifatnya memaksa ini dilakukan dengan maksud untuk
mengadakan tekanan kepada salah satu pihak ataupun kepada kedua belah pihak
dalam pertikaian tersebut, dan karenanya membuat pihak ketiga ini menjadi pihak
(terlibat) dalam pertikaian tersebut. Misalnya intervensi dapat terjadi bilamana
dua negara dalam pertikaian telah memutuskan untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat dengan berperang, akan tetapi negara ketiga meminta kepada mereka
dengan tekanan, untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan jalan arbitrase.
Intervensi dalam bentuk ikut campur tangan secara paksaan itu, juga dapat terjadi,
bilamana suatu negara mengadakan usaha yang ditujukan untuk memaksa
negara-negara dalam pertikaian menyelesaikan perselisihan mereka secara bersahabat,
dengan memberikan kepada negara-negara yang sedang bertikai antara lain
berupa jasa-jasa baik (Good Offices) atau dalam bentuk perantaraan (Mediation).
Dalam Piagam PBB juga tercantum pengaturan tentang intervensi dibawa
(1)
antar manusia, dimana menyangkut konsep-konsep krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukkan, pendudukan bahkan terror. Terdapat 44 negara-negara yang mengalami Konflik Bersenjata dengan Korban lebih dari 1.000 sejak Konflik berlangsung, dimana konflik bersenjata yang memakan jumlah korban lebih dari 1.000 orang ini hampir semuanya (kecuali di UK dan Rusia) terjadi di dalam negara-negara berkembang atau negara baru merdeka dan sebagian negara yang terjadi konflik disebabkan oleh konflik internal. Komite Palang Merah Internasional juga berperan pada negara-negara yang berperang yakni memberikan bantuan kemanusiaan seperti menolong korban perang dengan menyediakan obat-obatan seperti pada warga sipil di Gaza, mencari korban yang hilang pada konflik antara irak dan iran, memberikan alat-alat kebersihan dan obat-obatan pada konflik di Suriah, dan bantuan-bantuan kemanusiaan lainnya pada negara-negara yang berperang.
3. Pelaksanaan Konvensi Jenewa IV sebagai sumber hukum bagi negara yang berperang, dimana negara-negara yang sedang berperang harus memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa IV yaitu Ketentuan Umum, Ketentuan Hukum Terhadap Pelanggaran dan Penyalahgunaan serta Ketentuan Pelaksanaan dan Ketentuan Penutup. Sedangkan bentuk pelanggaran Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 yaitu pada konflik Israel terhadap Palestina, dimana pada konflik ini melanggar beberapa ketentuan Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 yaitu pasal 47 dan
(2)
pasal 54. Berikutnya pada Konflik Balkan 1992 yakni melanggar pasal 3, pasal 23 dan pasal 24 Konvensi Jenewa IV Tahun 1949.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan di dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bahwa sebisa mungkin perang itu dihindari oleh suatu negara yang sedang mengalami konflik internal di dalam negaranya sendiri maupun konflik antar satu negara dengan negara lainnya agar penduduk sipil tidak menjadi korbannya seperti wanita, pria, maupun anak-anak yang masih kecil yang seharusnya bisa menjadi penerus cita-cita dari suatu negara tetapi harus menjadi korban pada usia yang masih sangat muda.
2. Perang seharusnya tidak menjadi jalan penyelesaian dari konflik internal yang terjadi di dalam suatu negara ataupun konflik di antar negara. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan seperti perundingan maupun negosiasi yang dimana cara tersebut tidak menggunakan cara kekerasan yang dapat menyebabkan penduduk sipil menjadi korban jiwa.
3. Negara-negara yang ikut dalam Konvensi Jenewa IV yaitu Konvensi yang berisi tentang perlindungan penduduk sipil di waktu perang harus benar-benar mematuhi dan melaksanakan sepenuhnya isi Konvensi tersebut dan jangan mengabaikannya agar penduduk sipil yang berada di dalam wilayah negara yang berperang merasa aman dan dilindungi oleh negara di tempat dimana mereka berada. Dengan dilaksanakannya dan dipatuhinya isi Konvensi Jenewa IV tersebut oleh negara-negara yang ikut di dalamnya,
(3)
maka penduduk sipil yang berada di dalam negara yang berperang tidak akan menjadi korban jiwa.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, Ramdhany, D., Rusman, R., Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949, Pengayoman, Jakarta, 1999
Haryomataram, K. G. P. H., Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Kusumaatmadja, M., Konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai Perlindungan Korban Perang, Binatjipta, Bandung, 1968
Kusumaatmadja, M., Agoes, E. R., Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, 2003
Miall Hugh, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution.
Permanasari, A., Wibowo, A., Agus, F., Romsan, A., Mansyur, S., Nainggolan, M. G., Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999
Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) Dan Bukan Internasional (Protokol II), Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban Sengketa-Sengketa Bersenjata Internasional (Protokol - I), Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Pengayoman, Jakarta, 2006
Rudy, T. M., Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2002
Syahmin, A. K., Hukum Internasional Humaniter 1 Bagian Umum, Armico, Bandung, 1985
(5)
http:icrcjakarta.info/berita/icrc-bantu-warga-sipil-di-gaza#more-2929, ICRC Bantu Warga Sipil di Gaza, 6 Desember 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/iran-irak-berjuang-mengakhiri-ketidakpastian-kabar-keluarga-yang-hilang-akibat-perang/, Iran / Irak: Berjuang Mengakhiri Ketidakpastian Kabar Keluarga yang Hilang Akibat Perang, 24 May 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/suriah-bantuan-bagi-yang-masih-butuh/, Suriah: Bantuan bagi Yang Masih Butuh, 24 April 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/icrc-tegaskan-komitmen-penuh-bantu-somalia/, ICRC Tegaskan Penuh Bantu Somalia, 3 Februari 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/puluhan-warga-sipil-dalam-pertempuran-sengit-di-abyan-yaman/, Puluhan Warga Sipil dalam Pertempuran Sengit di Abyan, Yaman, 21 May 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/sudan-selatan-pertempuran-di-pibor-mengakibatkan-ribuan-korban-terluka-dan-mengungsi/, Sudan Selatan: Pertempuran di Pibor Mengakibatkan Ribuan Korban Terluka dan Mengungsi, 9 Januari 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/republik-demokratik-kongo-icrc-evakuasi-korban-perang-di-kivu-selatan/, Republik Demokratik Kongo: ICRC evakuasi korban perang di Kivu Selatan, 17 Januari 2012.
http://icrcjakarta.info/berita/minggu-sibuk-icrc-di-kolombia/, Minggu Sibuk ICRC di Kolombia, 28 Februari 2013.
http://syafiie.blogspot.com/2011/04/historisitas-konflik-dan-pelanggaran.html, Historisitas Konflik dan Pelanggaran Hukum Pendudukan Israel Terhadap Palestina, 11 April 2011.
(6)
http://deitaardhetyaoemar.wordpress.com/konflik-balkan-1992-dan-pelanggaran-terhadap-konvensi-Jenewa/, Konflik Balkan1992 Dan Pelanggaran Terhadap Konvensi Jenewa.
http://senandikahukum.com/karateristik-legalisasi-hukum-humaniter-suatu-analisa-terhadap-hukum-Jenewa-1949/, Karakteristik Legalisasi Hukum Humaniter: Suatu Analisa Terhadap Hukum Jenewa 1949, 2 April 2012.