Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Kegagalan suatu perusahaan khususnya yang bergerak dalam bidang perbankan dapat dilihat dan diukur antara lain melalui kinerja keuangan, yaitu dengan cara menganalisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan posisi keuangan perusahaan serta hasil-hasil yang telah dicapai sehubungan dengan pemilihan strategi perusahaan yang akan diterapkan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, maka pimpinan perusahaan dapat mengetahui keadaan serta perkembangan finansial perusahaan beserta hasil- hasil yang telah dicapai di waktu lampau dan di waktu yang sedang berjalan. Selain itu, dengan melakukan analisis keuangan di waktu lampau maka dapat diketahui kelemahan-kelemahan perusahaan maupun hasil-hasil yang dianggap cukup baik serta untuk mengetahui potensi kegagalan perusahaan. Dengan diketahuinya kemungkinan kesulitan keuangan yang akan terjadi sedini mungkin, maka pihak manajemen dapat melakukan antisipasi dengan mengambil langkah- langkah yang dianggap perlu dilakukan untuk mengantisipasinya. Meskipun demikian, informasi lain yang berhubungan dengan variabel makro juga sangat perlu diperhatikan dan dijadikan pertimbangan. Krisis moneter yang dimulai pada pertengahan tahun 1997, dimana nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dollar Amerika Serikat menyebabkan sebagian 2 besar perusahaan tidak mampu membayar pinjamannya kepada pihak perbankan, sedangkan di sisi lain pihak perbankan juga menghadapi resiko tidak mampu membayar kewajibannya yang sebagian besar dibiayai oleh pinjaman luar negeri dan dana masyarakat. Besarnya cadangan kredit dan kerugian sebagai akibat selisih nilai tukar menyebabkan menurunnya modal perbankan sehingga sebagian besar bank tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya terhadap kecukupan modal, akibat selanjutnya adalah menurunnya kinerja perbankan yang dapat diidentifikasi dalam bentuk analisa laporan keuangan dengan menggunakan rasio- rasio keuangan seperti rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas, dan rasio keuangan yang lainnya. Permasalahan keuangan ini sering dikenal sebagai financial distress yang menurut Platt dan Platt 2002 didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Sinyal- sinyal akan terjadinya distress pada beberapa perusahaan misalnya adalah kesulitan dalam membayar gaji karyawan, kualitas pelayanan yang menurun, dan pembayaran kewajiban lain yang tersendat. Dengan diketahuinya sinyal-sinyal ini diharapkan seluruh stakeholder waspada dan berusaha untuk mengatasinya. Dengan alasan tersebut, model sistem peringatan awal untuk mengantisipasi adanya financial distress perlu dikembangkan, karena model ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan untuk memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis. Kurangnya penelitian tentang financial distress terjadi karena kesulitan dalam mendefinisikan secara obyektif awal periode dari terjadinya suatu financial 3 distress yang dialami perusahaan. Yang ada dalam publikasi adalah tanggal bahwa suatu perusahaan dinyatakan bangkrut sehingga data keuangan sebelum tanggal tersebut dapat diperoleh untuk mengkaji financial distress. Beberapa peneliti memproksi kondisi financial distress dengan pengukuran karakteristik keuangan perusahaan sebagai indikatornya secara berbeda-beda, contohnya Platt dan Platt, 2002, Lau 1987 dan Hill 1996 menggunakan layoff , restrukturisasi restructuring, atau penundaan pembayaran deviden missed devidend payments; Asquith, Gertner, dan Scharfstein 1994 menggunakan interest coverage ratio; dan Whitaker 1999 menggunakan tahun pertama dimana cash flow kurang dari current maturities of long-term debt ; serta John, Land dan Netter 1992 menggunakan perubahan dalam equity price. Sementara itu, Platt dan Platt 2002 sendiri dalam penelitiannya yang menggunakan sampel perusahaan memproksi karakteristik keuangan perusahaan-perusahaan yang mengalami financial distress dengan sinyal-sinyal seperti EBIT, net income, atau cash flow yang negatif. Dari sisi rasio keuangan, kesehatan bank dapat diukur dari rasio permodalan capital, rasio assets assets quality, manajemen management, rasio laba earning, dan rasio likuiditas liquidity. Rasio permodalan yang lazim digunakan untuk mengukur kesehatan bank adalah Capital Adequacy Ratio CAR. Namun perlu diingat bahwa CAR bukanlah satu-satunya rasio yang dipakai sebagai pengukuran kinerja perbankan, melainkan masih banyak faktor fundamental lain yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan kinerja perbankan. Besarnya CAR diukur dari rasio antara modal sendiri terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko ATMR. Sesuai dengan SE BI No. 265BPP 4 tanggal 29 Mei 1993, besarnya CAR yang harus dicapai oleh suatu bank minimal 8 sejak akhir tahun 1995. Tetapi karena kondisi perbankan nasional sejak akhir 1997 terpuruk yang ditandai dengan banyaknya bank yang dilikuidasi, maka sejak Oktober tahun 1998 besarnya CAR diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok. Klasifikasi bank sejak 1998 dikelompokkan dalam : 1 Bank sehat dengan kualifikasi A, jika memiliki CAR lebih dari 4. 2 Bank take over atau dalam penyehatan oleh BPPN Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan klasifikasi B, jika bank tersebut memiliki CAR antara -25 sampai dengan dari 4. 3 Bank Beku Operasi BBO dengan klasifikasi C, jika memiliki CAR kurang dari -25. Bank dalam kualifikasi C inilah yang mengalami likuidasi Faisal, 2003. Melihat sangat pekanya pengaruh kebijakan pemerintah maupun perubahan makro ekonomi terhadap dunia perbankan, untuk itu dirasa perlu untuk lebih jauh mengupas faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap Capital Adequacy Ratio . Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memprediksi kegagalan maupun kesehatan bank. Penelitian untuk memprediksi kegagalan suatu usaha antara lain dilakukan oleh Beaver 1996,1968, Altman 1968,1984, Altman et al 1976, Dambolena dan Khoury 1980, dan Ohlson 1980, Platt dan Platt 2002. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya menggunakan model analisa rasio keuangan, karena rasio keuangan terbukti berperan penting dalam evaluasi kinerja keuangan dan dapat digunakan untuk memprediksi kelangsungan suatu usaha baik itu usaha yang sehat maupun tidak sehat, termasuk usaha perbankan. 5 Di Indonesia Surifah 1999 menguji manfaat rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan bank dengan model CAMEL. Sugiyanto dkk 2002 menunjukkan bahwa enam rasio keuangan yaitu : return on equity, ratio cost of fund, net interest margin, loan to deposit ratio, rasio pendapatan bunga dalam penyelesaian terhadap hasil bunga, dan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional mampu memprediksi kebangkrutan bank nasional di Indonesia yang diproksi melalui CAR satu tahun sebelum gagal. Indira 2002 dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa net interest margin, return on assets, Core, Insider, dan Overhead mampu memprediksi CAR pada satu tahun sebelum mengalami kebangkrutan. Sri Haryati 2001 menunjukkan bahwa ROA, cumulative profitability, debt service ratio, ratio equity multiplier, dan ratio liquidity mampu memprediksi CAR untuk periode kurang dari satu tahun. Haryati 2001 menunjukkan bahwa ROA, rasio efisiensi, dan LDR mampu membedakan CAR pada bank yang diindikasikan bangkrut dan sehat. Etty dan Aryati 2000 menunjukkan bahwa diantara ETA, RORA, ALR, NPM, OPM, ROA, ROE, dan BOPO rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional, PBTA, EATAR dan LDR, hanya OPM yang mampu membedakan CAR bank yang sehat dan gagal. Sedangkan Mas’ud 1999 menunjukkan bahwa rasio gross profit margi, net profit margin dan net income mampu memprediksi laba periode satu tahun mendatang. Dari berbagai macam rasio keuangan terdapat 2 kelompok likuiditas dan profitabilitas yang merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan bank. Likuiditas yang tercermin dalam giro wajib minimum GWM 6 dan Loan to Deposit Ratio LDR merupakan posisi likuiditas untuk menjaga kesehatan bank, terutama dalam posisi jangka pendek. Bahkan bagi dunia perbankan likuiditas merupakan faktor fundamental. Sebesar apapun assets suatu bank jika kondisi likuiditasnya terancam, maka pada saat itu juga bank akan mengalami kesulitan dalam penarikan dana yang dilakukan oleh pihak deposan. Terlebih dalam menghadapi rush penarikan dana serentak oleh para deposan bank harus siap dana likuiditas. Contoh kasus yang terjadi pada bank Summa Indira, 2002, dimana bank tersebut total asetnya termasuk the big five kelompok lima besar bank swasta nasional di Indonesia . Tetapi pada saat itu Bank Summa terpaksa harus dilikuidasi, karena kondisi likuiditasnya terancam LDR 110 dan GWM , 5 Rasio profitabilitas yang tercermin dalam ROA, ROE, BOPO dan NIM menunjukkan tingkat kemampuan bank untuk memperoleh laba dari aktivitas usahanya. Jika tingkat laba suatu bank semakin tinggi, maka akan berdampak pada meningkatnya modal sendiri dengan asumsi besarnya laba yang diperoleh ditanamkan kembali ke dalam modal bank dalam bentuk laba yang ditahan. Dengan meningkatnya modal sendiri maka kesehatan bank yang terkait dengan permodalan CAR semakin meningkat. Sejak periode krisis sampai dengan saat ini CAR menjadi acuan utama dalam menentukan kesehatan bank SK Dir BI, April 1999. Hal ini juga disebabkan karena rata-rata CAR selama periode krisis sampai dengan akhir 2001 hanya mencapai 4 dan sejak awal 2002 bank diwajibkan memenuhi CAR minimal 8. Kebijakan ini berawal dari kebijakan bank dunia World Bank yang ditindaklanjuti oleh pihak Bank Indonesia dengan 7 kebijakan 29 Mei 1993 PakMei, 1993. Besarnya CAR minimal 8 tersebut berlaku bagi seluruh bank secara internasional. Kinerja perbankan nasional yang buruk dianggap berperan terhadap munculnya krisis moneter di Indonesia. Salah satu ukuran untuk melihat kinerja perbankan adalah melalui CAR. Pemilihan variabel CAR sebagai variabel dependen dikarenakan CAR merupakan indikator yang paling penting menurut Bank Indonesia dalam menjaga tingkat kesehatan bank Samsul dan Roni, 2001. CAR dipengaruhi oleh banyak faktor selain rentabilitas, seperti likuiditas dan solvabilitas. Manullang 2002 mengatakan bahwa ROA dan ROE tidak signifikan untuk meningkatkan nilai CAR pada Bank Tabungan Pensiunan Nasional BTPN. Penelitian ini juga memperluas hasil penelitian dari Manullang 2002 yang menguji pengaruh rasio rentabilitas terhadap peningkatan CAR dan tidak menguji pengaruh rasio likuiditas terhadap peningkatan CAR, padahal rasio likuiditas merupakan rasio yang penting dalam memprediksi tingkat kesehatan bank Sugiyanto dkk, 2002. ROA dan ROE yang merupakan indikator dari rasio profitabilitas dijadikan variabel independen yang mempengaruhi CAR didasarkan atas logika teori dari Brigham dan Gapenski 1997 yang mengemukakan bahwa perusahaan yang tingkat pengembalian investasinya tinggi akan menggunakan hutang yang kecil agar tingkat biaya modal yang mengandung rsiko relatif kecil sedangkan modal sendiri bank relatif tinggi sehingga dapat meningkatkan CAR. BOPO dijadikan variabel independen yang mempengaruhi CAR didasarkan atas logika teori dari Muljono 1995 yang menyatakan bahwa semakin kecil BOPO 8 menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya, karena biaya operasi yang harus ditanggung lebih kecil dari pendapatan operasinya sehingga aktivitas operasional bank menghasilkan keuntungan, dimana hal tersebut mampu meningkatkan modal bank dan dan meminimumkan tingkat resikonya sehingga BOPO yang relatif rendah mampu meningkatkan CAR. NIM dijadikan variabel independen yang mempengaruhi CAR didasarkan atas logika teori dari Muljono 1995 yang menyatakan bahwa semakin tinggi NIM menunjukkan semakin efektif bank dalam penempatan aktiva produktif dalam bentuk kredit. LDR dijadikan variabel independen yang mempengaruhi CAR didasarkan atas logika teori Muljono 1995 yang menyatakan bahwa semakin tinggi LDR menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah LDR menunjukkan kurangnya efektivitas bank dalam menyalurkan kredit, sehingga semakin tinggi LDR maka CAR semakin menurun likuiditas terancam. Sedangkan GWM dijadikan variabel independen yang mempengaruhi CAR didasarkan atas logika teori dari Muljono 1995 yang menyatakan bahwa semakin tinggi GWM maka semakin besar likuiditas bank dijamin oleh Bank Indonesia, sehingga jika terjadi kesulitan likuiditas, bank tersebut dapat meminjam secara langsung kepada Bank Indonesia, sehingga semakin tinggi GMW, maka likuiditas semakin baik dan hal ini akan berdampak pada meningkatnya CAR. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh beberapa rasio keuangan, ROA, ROE, BOPO, NIM, LDR dan GWM terhadap CAR pada bank umum di Indonesia periode 2001 sampai dengan 2004. 9

1.2 Perumusan Masalah