Hari Keenam adalah nimpa. Hari Ketujuh, yang disebut dengan Rebu.

4. Hari Keempat, Mantem atau Motong.

Pada hari tersebut atau sehari menjelang hari perayaan puncak, pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk. Kulit kerbau kuli mbok –mbok dikeringkan sebagai penanam padi atau disatukan dengan bibit padi, yang bertujuan agar bibit padi tersebut tumbuh subur dan dapat memperoleh hasil yang lebih banyak lagi. 5. Hari Kelima, Matana. Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya diadakan di los atau jambur, adalah semacam balai tempat perayaan pesta. Acara di los atau jambur dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah berhias dengan memakai pakaian adat menarikan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tersebut tetapi dimeriahkan oleh masyrakat atau kerabat dari luar kampung yang diundang untuk menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu kegiatan yang paling utama dianjurkan untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan berupa nasi dan lauk pauk, dan setiap kali berkunjung ke rumah kerabat, aturannya wajib makan.

6. Hari Keenam adalah nimpa.

Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa dan rires, ini merupakan makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah Universitas Sumatera Utara tepung pulut, gula merah, dan kelapa parut, dan dibungkus dengan daun singkut sejenis tumbuhan yang tumbuh di hutan. Cimpa tersebut biasanya, selain untuk hidangan tambahan setelah makan, maka tidak lengkap rasanya guro-guro aron tanpa kehadiran cimpa. Cimpa atau rires daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu, cimpa atau rires banyak dibuat dan cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu yang datang dari luar kampung.

7. Hari Ketujuh, yang disebut dengan Rebu.

Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu adalah tidak saling menegur, hari itu adalah hari menenangkan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besoknya telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya. Guro –guro merupakan sebuah perayaan suku Karo di Tanah Karo. Konon Guro- guro aron tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara panen padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda- Universitas Sumatera Utara mudi sebagai arena mencari jodoh. Setiap acara gendang guro-guro aron menampilkan tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan acara guro –guro aron pada bulan yang berbeda. Misalnya Desa Batu Karang dibuat pada bulan satu, kecamata Tiga Binaga dibuat pada bulan enam, kecamatan Tiga Panah dibuat pada bulan tujuh, sedangkan pada bulan delapan ada daerah yang mengadakan acara guro – guro aron sekaligus memperigati hari tujuh belas Agustus misalnya daerah Juma Raja, dan pada bula sepuluh di kecamatan Berastagi. Walau pun berbeda bulan pelaksananya tapi tujuanya tetap sama yaitu ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang telah diberikanNya. Pada saat dulu pelaksanan guro – guro aron ini harus berdasarkan perhitunggan hari atau dan ditetapkan pada hari yang baik yang maksudnya adalah hari yang membawa berkah. Perhitungan hari ini dilakukan oleh orang yang pintar atau yang disebut dalam bahasa Karonya adalah meniktik wari. Sedangkan pada saat sekarang berdasarkan tanggal atau harinya ditetapkan oleh warga desa dengan Kepala desa tersebut atau pun bedasarkan oleh biduan yang telah dipilih untuk menghibur warga desa tersebut. Acara Guro- guro aron ini dilaksanakan setahun sekali seperti acara perayan tahun baru. Kalau pada saat dulu masyarakat Karo mengadakan acara guro-guro aron tersebut selama tujuh hari lamanya, seperti yang telah diuraikan di atas, dan itu dilaksanakan setelah selesai panen di ladang. Sedangkan jika kita lihat pada saat sekarang ini maka acara guro-guro aron tersebut hanya diadakan selama dua hari saja lamanya. Walaupun hanya dua hari lamanya maka kesempatan tersebut digunakan sebaik- baik mungkin untuk bisa berkumpul dengan keluarga, terutama Universitas Sumatera Utara keluarga yang jauh tempat tinggalnya. Acara ini diadakan dengan harapan agar panen padi yang ditanam dapat memberikan hasil yang baik dan mencukupi kebutuhan. Perubahan pelaksanan guro-guro aron ini disebabkan oleh penggaruh masuknya agama pada masyarakat Karo. Selain itu perubahan terjadi akibat masyarakat Karo yang pola pikirnya terhadap penggunan waktu, terlihat dengan menggunakan waktu yang efisien untuk memperoleh penghasilan yang lebih banyak mengingat kebutuhan dalam kehidupan yang sekarang ini lebih banyak lagi. Selain itu perubahan fungsi gendang guro-guro aron terjadi adalah akibat terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Karo sebagai masyarakat pendukung. Demikian pula terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Karo adalah disebabkan faktor-faktor perkembangan sumber mata pencaharian, adanya alat musik yang baru, dengan masuk dan berkembangannya agama, kemajuan teknologi pengeras suara, dan pengaruh perkembangan repertoar yang ditampilkan. Dengan demikian pelaksanaan gendang guro-guro aron pada saat ini terjadi perubahan yang tentunya akan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi gendang guro-guro aron. Perubahan fungsi gendang guro-guro aron akibat perubahan kebudayaan masyarakat Karo, bukan berarti membuat gendang guro- guro aron tersebut tidak lagi diminati oleh masyarakatt Karo, akan tetapi secara kuantitas, pertunjukan gendang guro guro aron dapat dikatakan terjadi peningkatan bahkan pelaksanaan gendang guro-guro aron semakin menjamur di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Akan tetapi bila ditinjau secara kualitas fungsi gendang guro-guro aron itu sendiri sangat menurun bahkan Universitas Sumatera Utara memprihatinkan. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mendapat perhatian, agar fungsi gendang guro-guro aron tersebut tidak hilang begitu saja. Guro – guro aron ini, dapat juga dikatakan sebuah pesta yang merupakan simbol kejayaan ekonomi orang Karo. Ketika guro –guro aron ini dilaksanakan tentu terdapat padi yang tersisa di keben lumbung untuk bahan makanan, serta terdapat ternak peliharan sebagai lauk pauk.

4.1.2. Peserta Dalam Acara Guro - Guro Aron