2. TINJAUAN PUSTAKA
Jatropha curcas Linn.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar Ricinus communis, jarak bali Jatropha podagrica, jarak ulung Jatropha
gossypifolia dan jarak pagar Jatropha curcas. Di antara tanaman jarak tersebut, jenis yang memiliki potensi sebagai penghasil biofuel adalah jarak pagar J.
curcas karena bijinya memiliki kandungan minyak yang tinggi yakni sekitar 30- 50 Hariyadi, 2005.
Jatropha curcas merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Tanaman ini berbentuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang
tidak teratur, dan batangnya berkayu berbentuk silindris. Batang tanaman yang masih muda bergetah jernih. Warna batang muda hijau, sedangkan batang tua
berwarna cokelat Mahmud et al., 2006. Daun tanaman J. curcas lebar berbentuk jantung, bertangkai panjang dengan lekuk tunggal dan bersudut 3 atau 5. Bentuk
daun agak menjari 5-7 lekukan dengan panjang dan lebar 6-15 cm yang tersusun secara selang seling dengan panjang tangkai daun sekitar 4-15 cm. Jatropha
curcas mempunyai daun tunggal berwarna hijau muda sampai hijau tua dengan permukaan bagian bawahnya lebih pucat dibandingkan dengan bagian atasnya
Mahmud et al., 2006.
Jatropha curcas merupakan tanaman monoecious, bunganya bersifat uniseksual dan tersusun dalam rangkaian. Bunga memiliki 5 sepala dan 5 petala
yang berwarna hijau kekuningan atau coklat kekuningan. Bunga betina lebih besar dibandingkan dengan bunga jantan Hasnam, 2007. Jatropha curcas mempunyai
buah berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buahnya berbentuk kendaga, saat muda berwarna hijau,
apabila telah matang berwarna kuning dan berubah menjadi kehitaman jika telah masak dan kering. Buah J. curcas masak 40-50 hari setelah pembuahan Prastiwi
et al., 2006. Buah memiliki tiga rongga dengan setiap rongganya berisi satu biji Hambali, 2007.
Jatropha curcas menyerbuk silang, hal ini dikarenakan adanya perbedaan waktu mekarnya bunga jantan dan bunga betina yang biasa disebut protandri dan
protogeni Hasnam, 2007. Jatropha curcas merupakan spesies diploid dengan jumlah kromosom 2n=2x= 22. Karyotipe J. curcas tersusun atas 22 kromosom
metasentrik dan submetasentrik yang berukuran relatif kecil berkisar antara 1.71-
1.24 μm Carvalho et al., 2008. Ukuran genom J. curcas juga relatif kecil yaitu sekitar 286 Mb Sato et al., 2011.
Jatropha curcas tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1000 m dpl dengan curah hujan berkisar antara 300-600 mmtahun. Suhu yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman J. curcas adalah 26-30
o
C. Tanaman J. curcas merupakan tanaman tahunan, relatif tahan terhadap cekaman kekeringan karena
memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air. Tanaman ini dapat tumbuh pada tanah berpasir, tanah berbatu, tanah lempung, atau tanah liat. Tanaman ini
juga dapat beradaptasi pada tanah yang kurang subur, memiliki drainase baik, tidak tergenang, dan pH tanah 5.0-6.5 Hambali, 2007.
Produksi optimal tanaman J. curcas diperoleh pada tanah lempung berpasir, subur, solum dalam dengan pH 5.0 -6.5. Tanah cadas, tanah berat dengan
drainase jelek tidak cocok untuk pertumbuhannya. Jatropha curcas tidak tahan tergenang maupun pada tanah dengan kadar garam tinggi. Tanaman berproduksi
baik pada berbagai macam jenis tanah yang memiliki solum tanah dalam dan aerasi baik. Tanaman J. curcas toleran terhadap kondisi kering, sehingga tanaman
ini dapat tumbuh pada areal bercurah hujan 300-600 mmtahun. Apabila tiga bulan pertama penanaman cukup air, maka tanaman J. curcas pada musim
kemarau dapat tumbuh dan terus berbuah sepanjang tahun walaupun tanpa pengairan Soenardi, 2002.
Selain sebagai sumber energi domestik, J. curcas juga dapat dimanfaatkan sebagai minyak pelumas, pestisida, sabun dan bahan obat-obatan. Getah tanaman
J. curcas berfungsi sebagai desinfektan pada infeksi rnulut dan menghentikan pendarahan. Daunnya dapat digunakan sebagai obat malaria serta keperluan
memijat. Minyak yang dihasilkan dapat pula digunakan untuk obat penyakit kulit. Tanaman J. curcas juga dapat dimanfaatkan sebagai sekat bakar fire break untuk
mengurangi kerusakan hutan akibat terjadinya kebakaran serta dapat dimanfaatkan pula sebagai tanaman fitoremediasi pada lahan bekas tambang
Syaufina dan Mansur, 2005. Perbaikan genetik J. curcas dapat diarahkan pada jumlah bunga betina lebih banyak, produksi biji dan kandungan minyak tinggi,
genjah, tahan terhadap hama dan penyakit, toleran terhadap kekeringan, tanaman pendek dan percabangan banyak Divakara et al., 2010.
Embriogenesis Somatik
Proses pembentukan embrio embriogenesis pada tanaman dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu embriogenesis zigotik dan embriogenesis
somatik. Embriogenesis zigotik adalah proses pembentukan embrio dari zigot hasil pembuahan sel telur, sedangkan embriogenesis somatik adalah proses
perkembangan sel somatik menjadi tanaman lengkap melalui karakteristik stadia pembentukan embrio tanpa melalui peleburan sel gamet Santos et al., 2006.
Pada embriogenesis somatik, sel somatik dalam kondisi terinduksi akan menghasilkan sel-sel embriogenik, kemudian mengalami serangkaian perubahan
morfologi dan biokimia dan akhirnya terbentuk embrio somatik Jimenez, 2001. Semua sel somatik di dalam tanaman mengandung seri informasi yang dibutuhkan
untuk menghasilkan tanaman utuh dan fungsional, sehingga embriogenesis somatik merupakan bentuk dasar dari sifat totipotensi total genetic potential sel
Quiroz-Figueroa et al., 2006.
Embriogenesis somatik dapat diaplikasikan untuk memproduksi bibit bermutu secara masal yang seragam dan stabil, regenerasi tanaman transgenik,
dan produksi biji sintetis artificial seed Mamiya dan Sakamoto, 2001; Nieves et al., 2001; Brischia et al., 2002. Regenerasi tanaman melalui somatik
embriogenesis mempunyai tahapan inisiasi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik, pra-pendewasaan embrio somatik, pendewasaan embrio somatik,
dan perkecambahan Arnold et al., 2002.
1. Inisiasi Pro-embrio Kalus Embriogenik
Nitrogen merupakan salah satu hara makro yang dibutuhkan untuk memacu morfogenesis secara in vitro. Bentuk nitrogen reduksi dan beberapa
asam amino seperti glutamin dan kasein hidrolisat, sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang
terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi jaringan pada organ multiselular. Untuk inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan NH
4 +
dan NO
3 -
dengan konsentrasi yang tepat. Konsentrasi NO
3 -
yang terlalu tinggi dapat meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik
Vesco dan Guerra, 2001. Induksi
kalus embriogenik
umumnya dilakukan
dengan cara
menumbuhkan eksplan pada media yang mengandung auksin dengan konsentrasi antara 2.5-5 mgl. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang efektif
untuk induksi kalus embriogenik Hoque et al., 2007; Sisharmini et al., 2010; Manil dan Senthil, 2011. Untuk inisiasi kalus embriogenik dibutuhkan ekpresi
gen yang dikendalikan oleh auksin. Auksin penting dalam reaktivasi siklus sel dan inisiasi pembentukan embrio somatik. Auksin mampu mengaktivasi sinyal
tranduksi sehingga sel dapat melakukan pemograman kembali ekspresi gen yang diperlukan untuk menginduksi kalus embriogenik Arnold et al. 2002. Di
samping auksin, sitokinin seperti 6-Benzylaminopurine BAP, Thidiazuron TDZ atau Kinetin dapat diberikan secara bersamaan Carimi et al., 2005;
Arunyanart dan Chaitrayagun, 2005; Te-chato et al., 2006; Thengane et al., 2006; Yan et al., 2009; Manzila et al., 2010; Malabadi et al, 2011.
2 Proliferasi Kalus Embriogenik
Zat pengatur tumbuh merupakan faktor penting penentu keberhasilan embriogenesis somatik. Peran auksin dalam embriogenesis somatik antara lain
untuk inisiasi embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, dan proliferasi kalus embriogenik Manil dan Senthil, 2011.
Proliferasi kalus embriogenik dapat dilakukan pada media padat atau cair yang mengandung zat pengatur tumbuh yang sama dengan konsentrasi yang sama
atau lebih rendah dari tahap inisiasi. Media proliferasi kalus sangat bervariasi untuk setiap jenis tanaman, diantaranya ½ MS +0.5 µM TDZ untuk cabai Khan
et al., 2006; ½ MS + 13.62 mM TDZ atau 0.5 mgl BAP untuk Phalaenopsis Chen dan Chang, 2004; Gow et al., 2009; B5 + 1.5 mgl 2,4-D untuk Allium
chinense Yan et al., 2009; MS + 1,5-2.0 mgl 2,4-D untuk krisan Manil dan Senthil, 2011; MS + 4.52
μM 2,4-D + 2.27 μM TDZ untuk mangga Malabadi et al, 2011. Pada tahap proliferasi kalus embriogenik, kehadiran auksin masih
diperlukan. Auksin berfungsi untuk mencegah terjadinya diferensiasi sel ke tahap selanjutnya. Pada krisan media MS yang mengandung 1.5 mgl 2,4-D
menghasilkan proliferasi kalus tertinggi Manil dan Senthil, 2011.
Produksi embrio meningkat pada media bertekanan osmotik tinggi Percy et al., 2000. Tekanan osmotik dapat dipengaruhi oleh sukrosa, yang berfungsi
sebagai sumber karbon. Sukrosa juga dapat berfungsi sebagai molekul sinyal yang mengendalikan ekspresi gen dan proses perkembangan tumbuhan, meningkatkan
produksi embrio somatik dan mendukung pembentukan embrio somatik menjadi plantlet Sakhanokho et al., 2004, serta mempengaruhi morfogenesis embrio
somatik Bogunia dan Przywara, 2000. Konsentrasi sukrosa yang diberikan memiliki peran penting dalam tahap perkembangan embrio somatik. Besarnya
konsentrasi sukrosa yang diberikan secara signifikan mempengaruhi proliferasi dan regenerasi embrio somatik. Pada Tanaman Dianthus caryophyllus dan Acacia
sinuata pemberian sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi
induksi kalus embriogenik, perkembangan serta regenerasi embrio somatik Gerdakaneh, et al., 2009.
3 Pra-pendewasaan Embrio Somatik
Pra-pendewasaan merupakan tahap transisi dari proembrio menjadi embrio somatik. Tahap ini mencegah proses proliferasi kalus embriogenik dan
menstimulasi tahap awal pembentukan embrio somatik. Kalus embriogenik umumnya disubkultur pada media tanpa zat pengatur tumbuh atau media yang
mengandung sitokinin seperti BAP tanpa auksin. Auksin pada media menyebabkan kalus terus melakukan proliferasi sehingga konversi kalus menjadi
embrio menjadi terhambat. Pada krisan pra pendewasaan embrio somatik berhasil dilakukan pada media MS + 1 mgl BAP Manil dan Senthil, 2011. Gow et al.
2009 melaporkan bahwa untuk pra pendewasaan embrio pada Phalaenopsis amabilis dilakukan pada media ½ MS + 0.5 mgl BAP. Saxena et al. 2012
menyatakan bahwa tahap prapendewasaan embrio somatik J. curcas optimal pada media
yang mengandung 0.2 mgl indole-3-acetic-acid IAA yang
dikombinasikan dengan 1.5 mgl 6-benzil-amino-purin BAP.
4 Pendewasaan Embrio Somatik
Pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Penambahan Abscisic Acid ABA dan
sukrosa dengan konsentrasi 40-50 gl umumnya ditambahkan pada tahap ini Rai et al., 2008; Husni et al., 2010; Malabadi et al., 2011. Persentase pematangan
embrio somatik jambu meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi ABA 0.01-1.0 mgl Rai et al., 2008. Peningkatan sukrosa yang tinggi 5
berpengaruh terhadap pematangan embrio somatik Phalaenopsis amabilis Chen dan Chang, 2004. Pada tahap ini sering juga digunakan auksin dan atau TDZ
pada konsentrasi 0-1 mgl seperti pada cabai Khan et al., 2006 dan Garcinia indica Thengane et al., 2006.
5 Perkecambahan
Perkecambahan adalah fase dimana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Perkecambahan umumnya dilakukan pada media dengan kandungan zat
pengatur tumbuh rendah sampai 1 mgl atau bahkan pada media tanpa zat pengatur tumbuh Purnamaningsih, 2002; Arnold et al., 2002. Setiap jenis
tanaman membutuhkan media perkecambahan yang berbeda-beda, pada Phalaenopsis amabilis Chen dan Chang, 2004; Gow et al., 2009 dan mangga
Malabadi et al., 2011 dapat dilakukan pada media tanpa zat pengatur tumbuh. Pada tanaman bawang Yan et al., 2009, cabai Khan et al., 2006; Manzila et al.,
2010, padi Hoque et al., 2007, dan jeruk Husni et al., 2010, perkecambahan dilakukan pada media dengan penambahan zat pengatur tumbuh ABA.
Konsentrasi sukrosa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkecambahan embrio somatik jambu, pada media MS dengan sukrosa 3 dihasilkan kecambah
paling tinggi 87.5 dan peningkatan konsentrasi sukrosa menjadi 6-9 menurunkan persentase perkecambahan embrio somatik Rai et al.,2008.
Optimasi Pertumbuhan Tunas dan Pengakaran Planlet J. curcas Hasil
Regenerasi Embrio Somatik dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh.
Kehadiran sitokinin seperti Kinetin, 2-iP dan BAP sangat penting dalam pertumbuhan planlet dengan metode kultur jaringan. Meskipun demikian,
pemberian sitokinin secara berkepanjangan dapat menimbulkan hasil yang tidak diinginkan karena tunas dapat mengalami habituasi terhadap sitokinin yakni
kurangnya pembentukan akar dan terjadinya hambatan pada respon pembungaan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tunas pucuk yang berlebihan dan
mengakibatkan penghambatan pembentukan akar serta penundaan induksi pertumbuhan generatif Zulkarnain, 2009.
Planlet yang mengalami habituasi harus segera diberi perlakuan untuk menormalkan kondisi planlet. Perlakuan 123.03 µM IBA selama 4 minggu
terhadap kultur pucuk Kalmia latifolia yang mengalami habituasi sitokinin menghasilkan proporsi planlet normal yang tinggi, merangsang pertumbuhan akar
dan mengurangi pembentukan pucuk majemuk Rice at al., 1992; Zulkarnain, 2009.
Dalam kultur jaringan terdapat dua jenis zat pengatur tumbuh yang sangat penting yaitu sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan. Auksin banyak digunakan dalam kultur jaringan untuk perpanjangan sel, pembentukan akar adventif, dan
menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas ketiak. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang
diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat pengatur tumbuh
di dalam sel Rostiana dan Seswita, 2007. Jika rasio auksin endogen dalam tanaman seimbang dengan sitokinin, akan mengarah pada pembentukan kalus,
sementara jika auksin lebih tinggi daripada sitokinin organogenesis cenderung mengarah pada pembentukan akar. Konsentrasi hormon yang tinggi akan
menghambat pertumbuhan, meracuni bahkan mematikan tanaman George et al., 2007; Kristina dan Syahid 2012.
Auksin sintetik yang sering digunakan untuk menginduksi perakaran in vitro adalah 1-Naphthalen-eacetic-acid NAA dan Indole-3-butyric acid IBA
pada konsentrasi rendah. Konsentrasi yang diperlukan untuk menginduksi akar bervariasi, tergantung dari jenis tanaman, jenis eksplan dan jenis auksin yang
digunakan. Indole 3-Acetic Acid IAA digunakan pada kisaran konsentrasi 0.1 –
10 mgl, NAA antara 0.05 –1.00 mgl dan IBA antara 0.5–3.0 mgl Rostiana dan
Seswita, 2007. Setelah tahap perakaran, maka fase selanjutnya adalah aklimatisasi
tanaman di rumah kaca. Keberhasilan aklimatisasi selain dipengaruhi faktor perakaran tanaman, juga kemampuan mengendalikan kondisi lingkungan, dan
media tumbuh di rumah kaca Kristina dan Syahid 2012. Tinggi rendahnya konsentrasi auksin endogen di dalam tanaman turut menentukan keberhasilan
aklimatisasi. Pada tanaman Ruta graveolens, aklimatisasi pada media campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 1:2:1, mempunyai keberhasilan
tumbuh plantlet 90 yang berasal dari media dengan 0.5 mgl IBA, sementara plantlet dari media dengan NAA tidak mampu bertahan hidup Bohidar et al.,
2008.