Tantangan Arabisasi melalui film-film Arab

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 15 Dua sub-bab berikut akan menyajikan kajian lebih mendalam dan analisa dalam hal bagaimana kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat Aceh menngekspresikan penentangannya terhadap administrasi syariah.

5. Tantangan Arabisasi melalui film-film Arab

Salah satu fenomena yang unik di Banda Aceh adalah tidak adanya gedung bioskop di kota sama sekali. Keberadaan ini berbeda jauh dengan kota-kota lain yang menjadi ibukota propinsi di Indonesia yang mana menonton film ke bioskop merupakan kebiasaan dari gaya hidup urban. Misalnya, ibukota propinsi tengga seperti Medan dan Padang memiliki setidaknya tiga gedung bioskop, umumnya di plaza dan mal. Banda Aceh, meskipun terjadi pembangunan berbagai proyek bisnis paska tsunami, tetapi tetap tidak memiliki gedung bioskop. Pada 1980-an dan 1990-an, dahulu, ada empat bioskop terkenal di Banda Aceh. Yang tertua adalah Teater Garuda terletak dekat taman bermain umum Blang Padang. Bahkan, Garuda Theatre adalah sebuah bangunan untuk pertunjukan seni dan merupakan salah satu warisan kolonial di Banda Aceh. Setelah kemerdekaan, bangunan dialihfungsikan sebagai bioskop komersial yang pertama di kota Banda Aceh. Pada tahun 2004, bangunan tersebut ikut disapu tsunami. Sekarang, telah dibangun kembali untuk keperluan lain, terutama untuk gedung pernikahan, dan tidak ada jadwal rutin baik untuk pertunjukan seni ataupun pemutaran film. Selanjutnya, ada bioskop yang didedikasikan untuk mengenang orang-orang Banda Aceh, termasuk Gajah Theatre, gedung bioskop Jelita dan Pas 21. Pas 21 dibakar selama konflik berlangsung pada tahun 2001 dan teater Jelita ditutup pada akhir 1990-an setelah situasi politik memburuk. Sekarang ini menjadi supermarket dan telah berganti nama menjadi Hermes Mall. Gajah Theatre adalah bioskop komersil yang tersisa di Banda Aceh, bahkan yang masih beroperasi selama konflik. Tetapi, gedung teater ini ditutup setelah bencana tahun 2004 dan sekarang digunakan sebagai gudang militer. Dengan demikian, saat ini tidak ada gedung bioskop di Banda Aceh. Ada kabar bahwa pihak otoritas syariah menganggap kehadiran bioskop di Aceh dianggap tidak sesuai dengan pelaksanaan ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 16 syariah. Tentu saja, otoritas menganggap bioskop bisa menjadi tempat potensial untuk pelanggaran syariah. Dalam artikelnya, Bioskop di Banda Aceh: Sejarah esek- esek , Sehat Ihsan Sadiq in menulis, ‘sudah jadi rahasia umum bahwa orang Banda Aceh pergi ke bioskop tidak hanya untuk menonton film tetapi juga untuk khalwat ’. 45 Menurut Sadiqin, hal ini adalah salah satu alasan mengapa Pemerintah setempat kemudian meminta pemilik bioskop untuk memisahkan pria dan wanita di dalam gedung. Dia juga mengakui gedung bioskop berkemungkinan menjadi tempat di mana pelanggaran syariah bisa saja terjadi. Namun, tidak jelas apakah Sadiqin setuju dengan kebijakan Pemerintah setempat terkait bioskop, karena ia juga menulis bahwa hiburan, termasuk film, adalah suatu keharusan dan tidak bertentangan dengan Islam. 46 Bahkan, sampai saat ini belum ada peraturan yang melarang orang dari usaha membuka atau pergi ke gedung bioskop dalam qanun Aceh. Tetapi sebelum tsunami, polisi syariah secara teratur datang melakukan razia kepada mereka yang dituduh melakukan khalwat saat menonton film di bioskop. Akibatnya, orang-orang tmenghindari bepergian ke bioskop dan pada akhirnya pengusaha gedung bioskop terpaksa menutup usahanya. Tak perlu dikatakan di sini, masyarakat Aceh sekarang menonton film melalui televisi atau vcd player. Fozan Santa, seorang filmaker asli Aceh, memiliki pendapat yang berbeda mengenai kebijakan syariah terkait gedung bioskop. Bersama dengan beberapa rekan- rekannya ia menjalankan sebuah organisasi lokal yang disebut Sekolah Menulis Dokarim. 47 Organisasi ini didirikan pada tahun 2003 oleh beberapa penulis Aceh, dan dikenal sebagai sekolah sastra alternatif bagi siswa Aceh yang tertarik dalam dunia literasi. Awalnya, program ini utamanya ditujukan tentang bagaimana menulis kreatif 45 Sehat Ihsa Sadi i , Bioskop di Ba da A eh: Seja ah Esek-Esek , http:hiburan.kompasiana.comfilm20100521bioskop-di-banda-aceh-sejarah-esek- esek. 46 Ibid. 47 Dokarim adalah nama panggilan penyair Abdul Karim yang hidup di akhir abd ke-19, penulis Hikayat Prang Kumpeni. Sedikit yang saya ketahui tentang dia ini didapat dari buku De Atjèhers karya Snouck Hurgronje Batavia and Leiden: Landsdrukkerij and Brill, 1893 –1894. ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 17 dan mengenal dunia penerbitan. 48 Fozan bergabung dengan organisasi tersebut pada Februari 2005, tak lama setelah tsunami. Dia sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Aceh dan, menurut dia, intensitas pelaksanaan syariah telah menghancurkan salah satu hal penting dalam hidup –hak atas hiburan. Fozan berpendapat bahwa film adalah media sangat efektif untuk pembelajaran dan bioskop merupakan ruang publik yang penting di mana orang-orang saling berbagi informasi dan budaya. Latar belakangnya sebagai sutradara film serta penulis naskah film mengakibatkan program Dokarim berubah dari menjadi ajang melatih para penulis dan juga ajang festival film tahunan di Banda Aceh tahunan. Festival tidak seperti festival film pada umumnya. Sejak Banda aceh tidak memiliki gedung bioskop,Fozan dan kawan-kawannya memasang layar dan vecd players di kampus-kampus, kafe-kafe dan di desa-desa untuk festivalnya. Uniknya, semua film yang diputar selama festival berkaitan dengan situasi Timur Tengah dan Afrika utara. Memang, Fozan dan anggota sekolah Dokarim-nya menamakan festivalnya dengan ‘Festival Film Arab’. Tapi mengapa harus festival film Arab? Fozan, yang lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berpendapat bahwa adanya syariah menyebabkan pemberlakuan budaya Arab di Aceh. Sebagai seorang muslim yang berpendidikan, ia membayangkan bahwa Islam dan syariah dalam definisi fundamental menurut dia akan memberikan kontribusi positif dalam membangun kembali abetter Aceh setelah konflik berdarah dan tsunami, tapi ia juga berpendapat bahwa Pemerintah telah mempolitisir Islam dan syariah untuk mendapatkan kekuasaan. Menurut dia lagi, akhir-akhir ini masyarakat Aceh kontemporer telah membedakan antara Islam dan budaya Arab. Melalui pengetahuan tentang Islam dan budaya umat muslim, ia ingin menggambarkan bahwa apa yang 48 Sekolah Menulis Dokarim adalah slah satu anggota Komunitas Budaya Tikar Pandan. Fozan, yang lulus dari iain Sunan Kalijaga, Yogyakarta, berpendapat bahwa Syariah telah menyebabkan pemberlakuan budaya Arab di Aceh. Sebagai seorang Muslim yang berpendidikan, ia membayangkan bahwa Islam dan Syariah dalam definisi fundamental mereka akan memberikan kontribusi positif untuk membangun kembali abetter Aceh setelah konflik berdarah dan tsunami, tapi ia berpendapat bahwa pemerintah telah dipolitisasi Islam dan Syariah untuk mendapatkan kekuasaan: lihat www.tikarpandan.org diakses pada 5 Agustus 2011. ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 18 terjadi di Aceh adalah proses Arabisasi ketimbang Islamisasi. Slogan dari festival ini adalah ‘Sinoe Aceh Sideh Arab, Sinoe Sideh Hana Rab’, yang secara harfiah bisa diartika n ‘Di sini Aceh, Di sana Arab; Di sini Aceh dan Di sana Dunia arab yang nun jauh dan sangat berbeda’. Maksudnya untuk menekankan bahwa ada banyak perbedaan antara dua budaya dimana satu budaya tidak bisa secara mudah menggantikan budaya lainnya. Berikut adalah beberapa judul film yang telah terbukti di festival: Di tahun 2009: 1. Condemnations, Walid Mattar, Tunisia, 2009, 15 menit 2. The Unknown Lady, Fajr Yacoub, Syria-Palestina, 2010, 22 menit 3. La Trappola, Lemnaouer Ahmine, Algeria, 2010, 62 menit 4. I am George, Mohsen Abdelghan, Mesir, 2010, 10 menit 5. Saba Flous, Anis Lassoude, Tunisia, 2010, 15 menit 6. Jasmin Bird, Sulafa Hijazi, Syria, 2009, 90 menit 49 Di tahun 2010: 1. Caramel, Nadine Labaki, Lebanon, 2007, 90 menit 2. The Stoning of Soraya M, Cyrus Nowraste, Iran, 2009, 110 menit 3. Baran, Majid Majidi, Iran, 2003, 98 menit 4. Le Grand Voyage, Ismael Ferroukhi, Maroko-Perancis, 2007, 108 menit 5. Shouf Shouf Habibi, Albert Ter Heerdt, Maroko-Belanda, 2008, 85 menit 6. Turtle Can Fly, Bahman Gohbadi, Iraq, 2007, 95 menit 50 Festival Film Arab, yang diselenggarakan oleh Sekolah Dokarim, merupakan fenomena unik dalam berlangsungnya proses penerapan Syariah. Di satu sisi, tampaknya bahwa program ini mendukung gagasan Syariah di Aceh. Banyak orang menghadiri festival dan berpartisipasi dalam serangkaian diskusi setelah pemutaran selesai. Fozan menyadari bahwa hal paling menjual di kalangan masyarakat Aceh 49 Reportase Dokarim, 2009. 50 Reportase Dokarim, 2010. ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 19 adalah ‘Arab’ dan ‘Islam’ sebagai sinonim. Segala sesuatu yang berasal dari dunia Arab dianggap Islam dan diperlakukan suci. Film Festival Arab yang digagas Dokarim ingin menunjukkan sebaliknya melalui film. Ia percaya bahwa film dapat mempengaruhi orang dengan cara damai untuk menyadari distorsi makna sebenarnya dari syariah. Ini adalah cara untuk mendukung ‘syariah’ dengan menolak syariah, pungkasnya.

6. Punk: Perlawanan terhadap syariah dari jalanan