ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO
1
8. Perlawanan Kultural terhadap Syariatisme di Aceh
Oleh: Reza Idria Dialihbahasakan oleh: Agung Mazkuriy
1. Introduksi
Dalam kontribusi ini, saya akan menganalisa beberapa bentuk hambatan kultural penerapan syariah
1
di masyarakat Aceh. Tidak akan mungkin untuk mengkaji Aceh hingga akar pelaksanaan syariah di Aceh kontemporer, propinsi yang terletak di
bagian barat dari salah satu pulau Indonesia, tanpa mengacu pada situasi politik di Indonesia setelah jatuhnya Jenderal Suharto. Turbulensi politik telah mengakhiri
kekuasaan rezim Orde Baru –rezim terlama yang berkuasa dalam sejarah modern
Asia Tenggara – pada 21 Mei 1998. Pengunduran diri Suharto yang dramatis diikuti
oleh lepasnya Timor Leste Timor Timur, menimbulkan tantangan serius terhadap integrasi Republik. Beberapa propinsi menuntut referendum jika masih ingin
dijadikan bagian wilayah dari Republik atau sepenuhnya independen, termasuk di antaranya Aceh, Papua, Banten, Maluku dan Riau.
Yang terjadi di Aceh, segera setelah lengsernya rezim Suharto, adalah serangkaian demonstrasi berlangsung menuntut referendum untuk lebih menyuarakan
1
Sharia adalah istilah dala ahasa A a , se a a ke ahasaa adalah
ata ai , seda gka e u ut pe ge tia aga a ke aji a te hadap Tuha . Cf. M.B. Hooke ,
Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law Singapore: iseas Publishing, 2008, ix. Secara umum syariah berarti praktik hukum legal practices atau
hukum yang hidup, semacam cara hidup menurut tuntunan Islam berdasar dua sumber utama Islam, Al-Quran dan Hadis. Namun, perumusan Syariah berbeda dari satu negara
Muslim dari negara Muslim yang lain.Dalam konteks Aceh, syariah bisa menjadi istilah yang ambigu, karena berkaitan dengan 1 syariah dalam arti normal, yaitu hukum Islam;
dan 2 syariah dalam arti kebijakan dan peraturan dalam kaitannya dengan urusan keagamaan oleh Pemerintah. Perlawanan terhadap syariah yang merupakan fokus dari
bab ini utamanya merujuk pada istilah kedua. Intinya, perlawanan terhadap syariah yang dibahas di sini bukan perlawanan terhadap Islam dan syariah itu sendiri, melainkan
perlawanan terhadap interpretasi pihak berwenang dan dalam merumuskannya dalam regulasi Daerah, yang mana pihak berwenang melabelinya sebagai syariah dan sesuai
dengan ajaran Islam.
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO
2
keinginan mereka guna memisahkan diri dari Republik.
2
Kelompok separatis, Gerakan Aceh Merdeka GAM, mendulang popularitas.
3
Sejak lahirnya era Reformasi di seluruh Indonesia pada tahun 1998, GAM telah mengintensifkan
pemberontakan di berbagai wilayah di Aceh. Tak perlu dikatakan di sini, militan GAM memiliki banyak keuntungan dari situasi politik yang tidak stabil di tingkat
nasional. Serangkaian serangan gerilya pada militer Indonesia, serta propaganda besar-besaran tentang akan datangnya era kemerdekaan di Aceh, penyebaran hal ini
adalah penyebabnya. Lepasnya Timor Timur paska referendum memaksa pemerintah Indonesia mencari solusi
‘lunak’ lainnya. Pemerintah Pusat, dengan demikian menghindari segala opsi baik menerima permintaan Aceh untuk referendum atau
menggunakan opresi militer sekali lagi guna mengatasi permasalahan Aceh.
4
Kedua opsi tidak akan menguntungkan pemerintah Jakarta pada saat itu. Secara khusus,
pilihan pertama bisa memicu tuntutan serupa di daerah-daerah lain. Jakarta mungkin juga mengerti bahwa hampir semua orang Aceh sangat menentang Pemerintah Pusat
yang di belakangnya di dorong oleh GAM pada saat itu. Menyadari hal tersebut,
2
Terjadi pada 8 November 1992, dua juta warga Aceh berkumpul di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, untuk menuntut referendum bagi Aceh. Dipimpin oleh
beberapa asosiasi aktivis mahasiswa Aceh dan SIRA Sentral Informasi Referendum Acheh, tindakan provokatif ini memaksa Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengambil
langkah-langkah lanjutan untuk mengurangi potensi kekacauan.
3
Gerakan Aceh Merdeka GAM, juga dikenal dengan istilah Aceh Sumatera National Liberation Front ASNLF, didirikan oleh Hasan Muhammad di Tiro pada tahun 1976.
Terkait formulasi kepengurusan awal gerakan pemeberontak ini, lihat Hasan Muhammad di Tiro, The Unfinished Diary of Tgk. Hasan Tiro, ASNLF, 1981; lihat juga Tim Kell, The
Roots of Acehnese Rebellion 1989 –1992 Ithaca: Cornell Indonesian Modern Project,
1995. Untuk kajian komprehensif tentang akar konflik dan proses perdamaian di Aceh paska tsunami 2004, lihat Anthony Reid, Verandah of Violence, the Background to the
Aceh Problem NUS Publishing Seattle: Singapore University Press University of Washington Press, 2006.
4
Dalam upaya memberantas GAM, Suharto menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer DOM. Selama periode tersebut 1989-1998, beberapa daerah di Aceh
seperti Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur menjadi ladang pembunuhan massal. Ribuan orang terbunuh, diperkosa dan disiksa. Lihat Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah:
Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer dom di Aceh 1989 –1998
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998. Kemudian, Presiden Megawati juga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di wilayah tersebut setelah dia menyatakan Darurat Militer
di Provinsi Aceh pada tahun 2003.
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO
3
karenanya, identitas keagamaan, yang secara kesejarahan dan kebudayaan adalah hal penting bagi Aceh, menjadi aset berharga untuk
‘digarap’ oleh pemerintah Indonesia, seperti presiden Indonesia pertama Indonesia, Soekarno, yang memainkan dua hal
tersebut untuk menekan pemberontakan di Aceh pada tahun 1960-an.
5
Memahami situasi politik, baik yang terjadi di masa lalu dan yang akan datang, akan
membimbing dalam memahami kenapa banyak orang muslim Aceh sekarang ini memperjuangkan ‘hukum Islam’.
Untuk memahami mengapa usulan penerapan syariah menjadi bagian integral dari respon terhadap situasi politik di Aceh, terutama setelah jatuhnya Suharto, salah
satu yang harus dilihat secara jeli adalah apa yang jadi motif Gerakan Aceh selama perang. Meskipun banyak peneliti berpendapat bahwa GAM sudah berubah menjadi
sebuah gerakan non-keagamaan,
6
tampaklah jelas pada saat konflik yang banyak pejuang lokal GAM untuk selalu coba yakinkan ke rakyat Aceh adalah perjuangan
mereka adalah perjuangan di jalan Allah jihad fi sabilillah, yang berusaha untuk membawa kemenangan bagi agama Islam di Aceh.
7
Pada ruang berbeda, pelabelan
5
Sebagaimana pada tahun 1953, Aceh mulai membangkang Pemerintah Indonesia. Teungku Daud Beureueh memimpin perlawanan dan menyatakan Aceh menjadi bagian
dari Darul Islam atau Negara Islam Indonesia DITII di bawah pimpinan Kartosoewirjo. Konflik berakhir setelah Soekarno menawarkan status Istimewa bagi Aceh, termasuk hak
Pemerintah Daerah untuk menerapkan hukum Islam. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, The Republican Revolt: a Study of the Acehnese Rebellion Institute of Southeast Asian
Studies, 1985. Lihat juga C. van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia The Hague: M. Nijhoff, 1981.
6
Tentang konsep transformasi gerakan pemberontak lihat misalnya Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia California: Stanford University
Press, 2009; lihat juga Kirsten E. Schulze, The Free Aceh Movement gam, Anatomy of a Separatist Organization Washington DC: East-West Center, 2004. Para pentolan GAM
yang berada di Eropa, terutama di Swedia dan Norwegia, keberatan dengan penggunaan istilah Islam dan jihad dan menunjukkan sikap keragu-raguan tentang penerapan hukum
sya iah di A eh. Ke a yaka da i e eka e akai istilah kesadaran sejarah atau
histo i al duty , jika ditanya tentang semangat yang melatarbelakangi perjuangan untuk kemerdekaan. Namun, menurut beberapa wawancara yang saya lakukan sebelum
Perjanjian Damai Helsinki, banyak pejuang lokal menekankan keyakinan ke dalam masyarakat mereka tentang jihad dan kemenangan bagi Islam sebagai tujuan dari
kemerdekaan.
7
Namun, kita juga bisa berpendapat bahwa bentuk jihad sebagaimana yang dipahami oleh GAM berbeda dari jihad Aceh yang dilancarkan melawan Belanda pada masa
ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO
4
sebagai kelompok separatis Islam semacam ini harus diingkari oleh pihak GAM jika ingin mendapatkan dukungan internasional. Sebaliknya, di tingkat lokal, mereka
membutuhkan identitas keislaman untuk menarik pengikut. Jelaslah bahwa kontradiksi dan ambiguitas propaganda GAM patut dipertimbangkan oleh Pemerintah
Pusat ketika merumuskan strategi ‘serangan balik’ untuk mendelegitimasi
pemberontakan. Mempertimbangkan hal di atas, Pemerintah Pusat mengusulkan pendekatan
khusus untuk Propinsi Aceh. Pertama, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang UU No. 441999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menyangkut tentang keagamaan, adat istiadat dan pendidikan. Kebijakan
ini dua tahun kemudian diikuti oleh Undang-Undang No. 182001
tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Undang-Undang yang terakhir memberikan otonomi khusus untuk Aceh yang memungkinkan penerapan hukum syariah.
8
Dua UU baru tersebut telah melimpahkan kewenangan lebih luas kepada Pemerintah Daerah Propinsi Aceh untuk
menerapkan apa yang d isebut ‘hukum Islam secara komperhensif’ atau penegakan
syariah syariah Islam dan pelimpahan hak khusus untuk membentuk Pengadilan Syariah Mahkamah Syariah dan Dinas Syariat Islam. UU ini juga mengubah nama
propinsi dari Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut beberapa elit lokal, nama baru tersebut terdengar lebih Islami, damai dan independen. Sayangnya, regulasi-
regulasi baru dan status baru ini tak memberikan kontribusi apa-apa guna menghentikan konflik.
2. Satu dekade syariah: melihat dari dalam