Minyak ikan lemuru imunomodulator dan penambahan vitamin E untuk meningkatkan kekebalan tubuh ayam broiler

(1)

MINYAK IKAN LEMURU SEBAGAI IMUNOMODULATOR

DAN PENAMBAHAN VITAMIN E UNTUK MENINGKATKAN

KEKEBALAN TUBUH AYAM BROILER

DENNY RUSMANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008

Denny Rusmana NIM. D061020041


(3)

DENNY RUSMANA. Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler. Dibimbing oleh : WIRANDA GENTINI PILIANG, AGUS SETIYONO dan SLAMET BUDIJANTO

Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk oleh kesalahan pemberian ransum. Imbangan asam lemak n-3 : n-6 dalam ransum jarang menjadi perhatian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan minyak ikan lemuru untuk meningkatkan imbangan asam lemak n-3 : n 6 dalam ransum dan dikombinasikan dengan vitamin E, untuk mengetahui responnya terhadap imunomodulator dan daya tahan tubuh ayam broiler.

Tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dalam ransum (0, 3, dan 6 %) menghasilkan peningkatan imbangan asam lemak n-3 : n-6 dalam ransum (0.05, 0.031 dan 0.56). Tingkat penggunaan minyak ikan lemuru yang dikombinasikan dengan suplementasi vitamin E (0, 100 dan 200 ppm), memberikan interaksi terhadap konsumsi ransum, namun tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan. Tingkat penggunaan minyak ikan 6 % dan suplementasi vitamin E 200 ppm menyebabkan penurunan konsumsi ransum, sehingga konversi ransum menjadi rendah. Terhadap sistem imun tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E tidak mempengaruhi titer antibodi setelah vaksin ND yang pertama, tetapi berpengaruh dalam peningkatan titer antibodi setelah vaksin ND yang kedua. Titer antibodi yang tertinggi dicapai pada tingkat penggunaan 6 % minyak ikan lemuru yang di suplementasi 200 ppm vitamin E. Suplementasi vitamin E meningkatkan titer antibodi setelah vaksin IBD. Peningkatan pengunaan minyak ikan menyebabkan peningkatan limfosit.

Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru yang disuplementasi 200 ppm vitamin E dapat mengurangi dampak peradangan akibat uji tantang virus ND dan IBD, namun ayam harus tetap diberi vaksin. Hal ini ditunjukkan oleh perbaikan kinerja berupa pertambahan bobot badan dan konversi pakan. Pemberian ransum tersebut juga dapat mengurangi dampak peradangan berupa lesio dari organ limfoid bursa fabricius, limpa dan timus.


(4)

DENNY RUSMANA. Lemuru Fish Oil as Immunomodulator and Vitamin E Supplementation to Increase Immunity of Broiler Chicken. Under direction of WIRANDA GENTINI PILIANG, SLAMET BUDIJANTO and AGUS SETIYONO

The performances of animals that are infected by diseases are poor due to improper diets. The ratio of n-3 : n-6 fatty acid has never been a priority in formulating chicken diets . This research was aimed to increase the ratio of n-3 :n-6 fatty acids by supplementing lemuru fish oil and vitamin E as an immunomodulator and as an immune system respectively for broiler chicken.

Level of lemuru fish oil in the diet (0, 3, and 6 %) increased the ratio of n3 : n-6 fatty acid in the diet (0.05, 0.31, and 0.56). The combinations of lemuru fish oil and vitamin E supplementation (0, 100, and 200 ppm) in the diet showed an interaction effect on feed consumption, but did not effect the body weight gain. The combination of 6 % lemuru fish oil with 200 ppm vitamin E decreased the feed consumption, and therefore lowering the feed coversion. The effect of the diet on the immune system, did not affect the antibody titer after the first ND vaccination, but affected the anti body titer after the second ND vaccination. The highest titer antibody after the second ND vaccination was showed by the chicken fed diet with the combination of 6 % lemuru fish oil and 200 ppm vitamin E. The supplementation of vitamin E in the diet up to 200 ppm increased the titer antibody after the IBD vaccination. The level of lemuru fish oil up to 6 % in the diet increased the lymphocyte.

Feeding the diet containing 6 % of lemuru fish oil and 200 ppm of vitamin E in the diet decreased the inflammatory reaction of the chicken infected by the ND or IBD virus. The diet containing 6 % of lemuru fish oil and 200 ppm of vitamin E gave the best body weight gain and feed conversion. The lesio of lymphoid organ (bursa Fabricius, spleen, and thymus) decreased by this diet.


(5)

DENNY RUSMANA. Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, SLAMET BUDIJANTO dan AGUS SETIYONO

Salah satu tantangan paling berat dibidang peternakan adalah pencegahan penyakit. Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk oleh kesalahan penyusunan ransum. Asam lemak n-3 jarang menjadi perhatian dalam penyusunan ransum. Senyawa tersebut merupakan perkusor dari senyawa prostaglandin seri E3 (PGE3) yang secara farmakologi dapat mempengaruhi sistem imun. Minyak atau lemak dari ikan salah satu bahan yang kaya asam lemak n-3. Minyak ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan lemuru. Minyak ikan lemuru merupakan hasil sampingan pembuatan tepung ikan dan pengalengan ikan lemuru (Sardinella longiceps).

Penelitian dilaksanakan ke dalam dua tahap penelitian. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui peranan suplementasi minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3. Faktor pertama adalah tingkat penggunaan minyak ikan lemuru (0, 3, dan 6 %), faktor kedua adalah tingkat suplementasi vitamin E (0, 100, 200 ppm). Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa; 1) Terdapat interaksi (P<0.05) antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E terhadap konsumsi ransum, namun tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan; Tidak terdapat interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E terhadap konversi ransum, tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E masing-masing mempengaruhi konversi ransum (P<0.05). 2) Tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi Newcastle diseases (ND) yang pertama, tetapi terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi ND yang kedua, kombinasi penggunaan 6 % minyak ikan lemuru dan suplemenasi 200 ppm vitamin E dalam ransum menunjukkan titer antibodi yang paling tinggi. Tidak terdapat interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum terhadap respon titer antibodi setelah vaksinasi Infectious Bursa

Diseases (IBD). Suplementasi vitamin E sampai 200 ppm nyata (P<0.05)

meningkatkan titer antibodi setelah vaksinasi IBD, tetapi penambahan minyak ikan lemuru tidak memberikan pengaruh yang nyata. 3) Pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap masing-masing komponen sel darah putih menunjukkan tidak adanya interaksi antara tingkat penggunaan minyak ikan dan suplementasi vitamin E. Suplementasi vitamin E nyata (P<0.05) menurunkan persentase eosinofil. Peningkatan persentase limfosit nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh pemberian minyak ikan, sedangkan heterofil tidak dipengaruhi oleh suplementasi minyak ikan maupun vitamin E.

Peneltian tahap kedua bertujuan untuk mengetahui peranan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap daya tahan tubuh ayam broiler terhadap penyakit ND dan IBD. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Peneltitian tahap dua terdapat delapan perlakuan : 1) Pemberian ransum yang mengandung 6% minyak ikan


(6)

tidak divaksin ND, dan diuji tantang virus ND; 4) Pemberian ransum R9, divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus ND ; 5) Pemberian ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E (R0), divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus ND; 6) Pemberian ransum R9, tidak divaksin IBD, dan diuji tantang virus IBD; 7) Pemberian ransum R9, divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus IBD; 8) Pemberian ransum R0,divaksin ND dan IBD, dan diuji tantang virus IBD. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Data skor lesio dari organ limfoid dianalisis dengan Uji Kruskal-Walis yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan.

Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa ; 1) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND ataupun IBD tidak mempengaruhi konsumsi ransum akibat uji tantang virus ND ataupun IBD; 2) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi dampak penghambatan pertambahan bobot badan akibat uji tantang virus IBD; 3) Pemberian ransum yang mengandung 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi dampak peningkatan nilai konversi ransum sebagai akibat uji tantang virus IBD; 4) Respon organ limfoid akibat uji tantang virus ND ataupun IBD, yang lebih baik ditunjukan oleh pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan disuplementasi 200 ppm vitamin E dan dibari vaksin ND dan IBD dengan besarnya nilai berat relatif limpa terhadap bobot badan; 5) Pemberian ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E 200 ppm dan diberi vaksin ND dan IBD dapat mengurangi patogenitas dari virus ND dan IBD akibat uji tantang virus ND atau IBD ditunjukkan dengan rendahnya skor lesio histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, Limpa, dan timus)

Dari hasil penelitian tahap pertama dan kedua dapat disimpulkan bahwa 1) Tingkat penggunaan 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E 200 ppm dalam ransum ayam broiler dapat berperan sebagai imonumodulator yaitu sebagai imunostimulan; 2) Tingkat penggunaan 6% minyak ikan lemuru dan suplementasi 200 ppm vitamin E dalam ransum ayam broiler, dan ayam diberi vaksin dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Ferry Poernama, MSc


(9)

DAN PENAMBAHAN VITAMIN E UNTUK MENINGKATKAN

KEKEBALAN TUBUH AYAM BROILER

DENNY RUSMANA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

Judul Disertasi

Nama NIM

: Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler

: Denny Rusmana : D061020041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Sc Dr. Drh. Agus Setiyono, M.S. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan disertasi, dengan judul Minyak Ikan Lemuru sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler

Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr .Ir. Wiranda Gentini Piliang, M.Sc,

sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Sc dan Dr. Drh. Agus Setiyono, MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing

yang telah menyediakan waktu, dan dengan penuh kesabaran serta keikhlasan dalam proses pembimbingan selama penulis menempuh pendidikan S3.

Ucapan terima kasih penulis, disampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Rektor Universitas Padjadjaran, dan pengelola beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan belajar dan bantuan biaya pendidikan dan penelitian kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Ketua Program Studi Ilmu Ternak (PTK) beserta staf dan pegawai, atas kelancaran administrasi, serta kepada semua pihak yang telah terlibat dalam membantu penyelesaian studi.

Penghargaan penulis disampaikan kepada Bapak Yaman, Bapak Jondri, Bapak Iwan, Lala, Hapali, dan Fihir, yang telah membantu selama pengumpulan data pada penelitian tahap I, Ogan dan Bapak Albert yang telah membantu selama penelitian tahap II, serta Bapak Kasnadi, Bapak Endang, Bapak Soleh yang telah membantu nekropsi dan persiapan preparat histologi demikian juga kepada Ketua Laboratorium Patologi dan Histopatologi Fakultas Kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor atas fasilitas laboratoriumnya.

Rasa haru dan terima kasih yang tulus disampaikan kepada seluruh keluarga atas bantuan dan dukungan moril maupun materil kepada penulis, serta kepada Istri tercinta Astri Nita Rianti dan anakku tersayang Dea Cherunissa Rusmana, atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan kasih sayang yang diberikan selama mendampingi penulis dalam menyelesaikan pendidikan S3 ini.

Akhirnya, semoga disertasi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan khususnya dalam bidang peternakan.

.

Bogor, Januari 2008 Denny Rusmana


(12)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Oktober 1967, sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari pasangan Ohan Rohandi dan Ida Djubaedah. Pada tahun 1997 menikah dengan Ir. Astri Nita Rianti, dan dikaruniai satu orang anak, yakni Dea Chaerunissa Rusmana.

Pendidikan sarjana telah ditempuh di Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1993. Penulis menamatkan Magister Sains di Program Studi Ilmu Ternak Program Pascasarjana IPB Bogor tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.

Pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1995 penulis berkesempatan bekerja di PT. Charoen Pokphand Indonesia Animal Feedmill, Jakarta. Sejak tahun 1995 sampai dengan sekarang penulis adalah sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung dengan bidang kajian yang diminati nutrisi ternak unggas.


(13)

Halaman DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN……… PENDAHULUAN... Latar Belakang………... Tujuan Penelitian………... Kerangka Pemikiran... Hipotesis... Kegunaan Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA... Ikan Lemuru... Minyak Ikan Lemuru... Sumber Asam Lemak n-3 dan n-6... Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh... Metabolisme AA dan LNA... Sistem Kekebalan Tubuh (Imunitas)... Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) terhadap Respon Kekebalan... Pengaruh Metabolisme AA pada Jaringan Limfoid ... Peranan ( n-3) PUFA terhadap Respon Kekebalan... Pengaruh Perbandingan Asam Lemak n-3 : n-6 tehadap Respon Kekebalan... Interaksi PUFA dengan Vitamin E terhadap Respon Kekebalan...

MATERI DAN METODE... Penelitian Tahap I...

Bahan Penelitian... Metode Penelitian... Peubah yang Diamati... Analisis Data... Penelitian Tahap II... Bahan Penelitian... Metode Penelitian... Peubah yang Diamati... Analisis Data...

HASIL DAN PEMBAHASAN... Penelitian TahapI... Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru………... Komposisi Asam Lemak Ransum………. Performan Produksi Ayam Broiler………...

Konsumsi Ransum………... Pertambahan Bobot Badan……… Konversi Ransum………. xii xiii xv 1 1 3 3 6 6 7 7 7 8 10 11 13 14 14 15 17 18 19 19 19 21 21 22 24 24 25 25 27 29 29 29 30 31 31 33 35


(14)

Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin ND…. Pengaruh Perlakuan Terhadap Titer Antibodi setelah Vaksin IBD… Pengaruh Perlakuan terhadap Diferensiasi Sel Darah Putih... Penelitian Tahap II...

Performans Sebelum dan Sesudah Ditantang Virus IBD atau ND Konsumsi Ransum... Pertambahan Bobot Badan... Konversi Ransum... Berat Relatif Organ Limfoid... Berat Relatif Bursa Fabricius... BeratRelatif Limpa... BeratRelatif Timus... Skor Lesio Histopatologi Organ Limfoid... Skor Lesio Histopatologi Bursa Fabricius... Skor Lesio Histopatologi Limpa... Skor Lesio Histopatologi Timus...

PEMBAHASAN UMUM...

KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran...

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN... 36 40 42 44 44 44 47 51 55 55 57 59 61 61 64 69

73

82 82 82

83


(15)

Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Komposisi asam lemak pada minyak jagung...

Sumber asam lemak n-3 dari berbagai ikan...

Komposisi ransum penelitian...

Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru...

Kandungan asam lemak n-3 dan n-6 dalam ransum...

Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum...

Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan...

Pengaruh perlakuan terhadap konversi ransum...

Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ND primer dan ND sekunder

Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi IBD...

Pengaruh perlakuan terhadap diferensiasi sel darah putih...

Konsumsi ransum sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...

Pertambahan bobot badan sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...

Konversi ransum sebelum dan sesudah ditantang virus IBD atau ND...

Berat relatif bursa Fabricius sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD...

Berat relatif limpa sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD ...

Berat relatif timus sebelum dan sesudah ditantang virus ND atau IBD...

Skor lesio histopatologi bursa Fabricius...

Skor lesio histopatologi limpa...

Skor lesio histopatologi timus... 8 9 20 29 31 32 33 35 37 40 42 45 48 53 56 58 60 61 65 69


(16)

Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Rantai karbon beberapa Asam Lemak n-6 dan n-3 (Sumber : Kreutler 1980)... Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh. (Sumber: BNF 1994)………. Dasar biokimia dari pengaruh potensi n-3 dan n-6 PUFA terhadap inflammation; +++ pro-inflammatory sangat kuat; + pro-inflammatory lemah; (Sumber: BNF 1994)... Diagram alir penelitian tahap I... Diagram alir penelitian tahap II... Grafik hubungan antara tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum dengan titer antibodi IBD... Grafik hubungan antara tingkat suplementasi vitamin E dalam ransum dengan titer antibodi IBD... Grafik hubungan antara tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum dengan kandungan limfosit... Grafik pertumbuhan ayam broiler pada berbagai perlakuan... Grafik pertambahan bobot badan kumulatif pasca uji tantang virus ND atau IBD ... Grafik konversi ransum pasca uji tantang virus ND atau IBD...

9 11 12 23 28 41 41 43 49 50 54 12. 13

Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E, divaksin ditantang virus ND (Pembesaran objektif 4X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E, divaksin, ditantang virus ND (12 hari setelah infeksi) limfonodulus terjadi deplesi berat. (Pembesaran objektif 4x)...

Fotomikrograf bursa Fabricius ayam (1) diberi ransum mengandung 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E,divaksin , ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi) plika utuh, limfonodulus tidak terjadi deplesi (pembesaran objektif 4X); (2) diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E ,divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah infeksi), tanda adanya oedema. (Pembesaran objektif 4x). Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)...

62


(17)

14.

15.

16

17.

18.

Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, tidak ditemukan sel radang, (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin IBD, ditantang virus IBD, ditemukan sel radang (SR); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)...

Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi vitamin E 200 ppm, divaksin ND ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) utuh; Pulpa Merah (PM), (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND; Pulpa putih (PP) deplesi berat; Pulpa merah (PM) terlihat lebih luas. Pewarnaan HE. (Pembesaran objektif 10 X)... Fotomikrograf limpa ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, tidak divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi kongesti (K), (2) yang diberi ransum tanpa minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin ND, ditantang virus ND, terjadi perdarahan yang menutupi pulpa merah (PM); Pewarnaan HE (Pembesaran objektif 40 x)

Fotomikrograf timus ayam (1) yang diberi ransum 6 % minyak ikan lemuru, suplementasi 200 ppm vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD, (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit tidak terjadi deplesi; pembesaran objektif 4 X; (2) yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus IBD (18 hari setelah uji tantang) (K) korteks yang terdiri dari sel myeloid dan sel limfosit terjadi deplesi berat; pembesaran objektif 4 X ; Pewarnaan HE...

Fotomikrograf timus ayam yang diberi ransum tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E, divaksin dan ditantang virus ND (12 hari setelah uji tantang) (1) (D) Deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit dan terdapat bercak-bercak kongesti pada medulla (struktur retikuler); (Pembesaran objektif 4 X) dengan pewarnaan HE; (2) (K) Kongesti. (Pembesaran objektif 20 X); Pewarnaan HE………

66

66

67

70


(18)

Latar Belakang

Salah satu tantangan paling berat di bidang peternakan adalah pencegahan penyakit. Daya tahan tubuh ternak merupakan benteng utama untuk mencegah terjangkitnya penyakit. Daya tahan adalah kemampuan tubuh untuk menangkal dan melawan penyakit. Daya tahan terkait erat dengan sistem pertahanan kekebalan (imunitas) tubuh yang ditunjang oleh sel imun serta antibodi.

Kinerja dan penampilan ternak yang terjangkit penyakit akan diperburuk oleh kesalahan penyusunan ransum. Selama ini, penyusunan ransum pada dasarnya hanya ditekankan kepada terpenuhinya kebutuhan energi, protein vitamin dan mineral. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) jarang menjadi perhatian dalam penyusunan ransum, padahal PUFA merupakan prekursor dari beberapa zat yang mempengaruhi sistem imun. Asam lemak n-6 merupakan prekursor dari prostaglandin E2 (PGE2), dan prostasiklin I2 (PGI2), sedangkan asam lemak n-3 merupakan prekursor dari prostaglandin E3 (PGE3), dan prostasiklin I3 (PGI3).

Terhadap sistem pertahanan tubuh, aktivitas PGE2 menyebabkan imunosupresif yang secara anatomis diperlihatkan oleh atrofi organ limfoid (Husband 1995). Hal ini bergantung pada kekuatan aktifitas prostasiklin I2 yang mempunyai peran sebagai imunostimulan dalam jaringan organ limfoid (Lowenthal et al. 1994). PGE2 dan PGI2 disintesa dari asam arakhidonat (AA) yang metabolismenya meningkat pada reaksi pertahanan tubuh.

Metabolisme AA dihambat oleh asam linolenat (LNA), karena keduanya dikatalisis oleh enzim yang sama. Sifat penghambatan ini menjadi kuat jika LNA sudah dimetabolisme menjadi asam eikosa pentaenoat (EPA) (Hwang et al. 1988). Dalam mengadakan sistem pertahanan tubuh EPA akan dimetabolisme lebih lanjut menghasilkan senyawa prostaglandin seri tiga diantaranya adalah PGE3, yang bersifat anti radang dan PGI3 yang mempunyai peran sama dengan PGI2 tetapi bersifat lebih lemah (Beaur 1993)

Perlu dipertimbangkan penambahan asam lemak n-3 ke dalam ransum ayam broiler, karena lebih dari 50 % bahan pakan dalam ransum ayam broiler adalah jagung. Pakan jagung kaya akan asam lemak n-6, sehingga dengan ditambahkannya minyak yang kaya asam lemak n-3 diharapkan dapat menekan metabolisme asam lemak n-6. Minyak ikan dapat dijadikan salah satu alternatif


(19)

pakan sumber asam lemak n-3. Rusmana et al. (2000), melaporkan bahwa penambahan minyak ikan tuna sebesar 6 % dalam ransum ayam kampung dapat meningkatkan kandungan asam lemak n-3, EPA dan asam dokosa heksaenoat (DHA), dan menekan kandungan AA dalam jaringan.

Minyak ikan yang sangat potensial di Indonesia adalah minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps). Minyak ikan lemuru merupakan salah satu sumber asam lemak n-3 (Cahyanto et al. 1997). Minyak ikan lemuru merupakan hasil sampingan pembuatan tepung ikan dan pengalengan ikan lemuru. Proses pengalengan ikan lemuru diperoleh rendemen berupa minyak sebesar 5% (b/b) dan dari proses penepungan sebesar 10% (b/b) (Setiabudi 1990).

Penambahan minyak ikan yang kaya asam lemak n-3 sampai 2 % dalam ransum yang berbasis pakan jagung tidak meningkatkan titer antibodi yang dihasilkan ayam broiler yang divaksinasi, tetapi pada tingkat tersebut dapat menekan efek peradangan apabila diinfeksi (Korver & Klasing 1997; Wander et al. 1997). Pada tingkat penambahan minyak ikan sampai 7 % dalam ransum respon titer antibodi terhadap eritrosit domba lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan lemak hewan, minyak jagung, dan minyak kelapa (Fristsche et al. 1991a). Penambahan minyak ikan yang tinggi dalam ransum memberikan efek yang kurang menguntungkan. Asam lemak tak jenuh ganda sangat mudah teroksidasi, berdasarkan hasil penelitian Wander et al. (1997) pemberian asam lemak tak jenuh ganda menurunkan vitamin E dan meningkatkan peroksidasi lemak dalam plasma. Pada gilirannya defisiensi vitamin E akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin E telah menunjukkan penekanan respon imun pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya, peningkatan konsentrasi vitamin E dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak n-3.

Berdasarkan pemikiran diatas serangkaian penelitian perlu dilakukan, mengenai peranan minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator dan pengaruhnya terhadap daya tahan tubuh ayam broiler.


(20)

Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk :

1. Mempelajari pengaruh interaksi penambahan minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap imunomodulator.

2. Mengetahui kombinasi penambahan minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E yang optimum yang dapat meningkatkan daya tahan ayam broiler terhadap penyakit

Kerangka Pemikiran:

Penggunaan bahan pakan jagung tidak dapat dihindari penggunaannya dalam penyusunan ransum ayam. Jagung adalah sumber energi utama dalam penyusunan ransum, lebih dari 50 % bahan pakan dalam ransum ayam broiler adalah jagung. Selain penyumbang energi dalam ransum, jagung juga penyumbang asam lemak esensial yaitu asam lemak linoleat (LA). Asam lemak LA yang dikandung dalam lemak jagung bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995). Lemak yang dikandung jagung bisa mencapai 4 % (NRC 1994), sehingga dengan penggunaan 50 % jagung dalam ransum, kandungan LA dalam ransum bisa mencapai 1.2 %.

Asam lemak LA dalam tubuh ternak dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi AA . AA merupakan perkursor dari beberapa ecosanoid yaitu PGE2, PGI2, TXA2, dan LTA4. Didalam jaringan otot, AA dimetabolisme melalui dua buah jalur. Melalui jalur siklooksigenase AA dimetabolisme menjadi prostaglandin endoperoksida (PGH2) yang selanjutnya oleh enzim PGH2-PGE2 isomerase, PGH2-PGD2 isomerase, PGH2-PGF2α reduktase, PGI2 sintase dan TXA2 berturut-turut berubah menjadi PGE2, PGD2, PGF2α , PGI2 dan Tromboxan A2 (TXA2). Melalui jalur lipooksigenase, AA dimetabolisme menjadi leukotrine A4 (LTA4).

Terhadap sistem pertahanan tubuh, aktivitas PGE2 menyebabkan imunosupresif yang secara anatomis diperlihatkan oleh atrofi organ limfoid (Husband 1995). Hal ini bergantung pada kekuatan aktifitas prostasiklin I2 yang mempunyai peran sebagai imunostimulan dalam jaringan organ limfoid (Lowenthal et al. 1994).

Metabolisme AA dihambat oleh LNA, karena keduanya dikatalisis oleh enzim yang sama. Sifat penghambatan ini menjadi kuat jika LNA sudah


(21)

dimetabolisme menjadi EPA ( Hwang et al. 1988). EPA pada keadaan tubuh aktif dalam mengadakan reaksi pertahanan akan dimetabolisme lebih lanjut menghasilkan senyawa prostaglandin seri tiga diantaranya adalah PGE3, yang bersifat anti radang dan PGI3 yang mempunyai peran sama dengan PGI2 tetapi bersifat lemah (Beaur 1993).

Salah satu sumber bahan yang banyak mengandung EPA adalah minyak ikan lemuru. Ikan mampu mensintesa EPA walaupun prazatnya harus diperoleh dari makanan, sedang tumbuhan walaupun dapat mengautosintesa LNA tetapi belum ada bukti bahwa tumbuhan dapat mengautosintesa EPA.

Sumber lemak dan komposisi asam lemak yang dikonsumsi oleh ayam broiler, bisa mempengaruhi komposisi jaringan limfoid dan fungsi sel imun (Fritsche et al. 1991a; Fritsche et al. 1991b; Fritsche & Cassity 1992). Korver dan Klasing (1997) melaporkan peningkatan penambahan minyak ikan (0.5 , 1.0 , dan 2 %) dalam ransum meningkatkan performans dan dapat menurunkan dampak respon peradangan tetapi tidak mengubah respon imun pada ayam yang sedang tumbuh.

Respon minyak ikan terhadap antibodi dilaporkan oleh Fritsche et al. (1991 a), bahwa ayam yang diberi ransum mengandung 7 g menhaden oil/100 g ransum mempunyai respon antibodi tertinggi terhadap eritrosit domba dibanding ayam yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau minyak kanola. Respon sel imun yang diukur dengan antibody dependent cell cytotoxicity dari splenocytes pada broiler yang diberi makan 7g minyak ikan lebih rendah dibanding yang diberi 7 g minyak jagung/100g ransum, meskipun cytotoxicity dari peripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan tersebut ( Fritsche & Cassity 1992).

Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek pengaturan immunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi terhadap eritrosit domba pada tikus yang diberi 17 g minyak ikan + 3 g minyak jagung/100g ransum dan disuplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100 g ransum nyata lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung minyak jagung dengan suplementasi vitamin E yang sama (Fritsche et al. 1992). Pada tikus yang tidak diinfeksi, pemberian (n-3) PUFA yang tinggi dalam ransum (20 g minyak ikan/100 g ransum) menghasilkan persentase sel T yang tertinggi ,tetapi pada tikus yang diinfeksi dengan Listeria, pemberian ransum ini menghasilkan persentase sel T terendah dibandingkan dengan tikus yang diberi


(22)

ransum yang mengandung minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh pemberian lemak pada tikus yang tidak diinfeksi, tetapi pemberian minyak ikan menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang diinfeksi (Huang et al. 1992). Pada manusia, penambahan minyak ikan 0.54 % dari total energi pada ransum rendah lemak menurunkan proliferasi sel T dibandingkan dengan penambahan minyak ikan 0.13 % dari total energi ransum bila direspon oleh Concanavalin A dan PHA, dan pada level minyak ikan yang tinggi delayed-type hypersensivity menurun dibanding tanpa minyak ikan, tetapi tidak ada perubahan pada level minyak ikan yang rendah (Meydani et al 1993).

Penambahan minyak ikan yang kaya asam lemak n-3 sampai 2 % dalam ransum yang berbasis pakan jagung tidak meningkatkan titer antibodi yang dihasilkan ayam broiler yang divaksinasi, tetapi pada tingkat tersebut dapat menekan efek peradangan apabila diinfeksi (Korver & Klasing 1997; Wander et al. 1997). Pada tingkat penambahan minyak ikan sampai 7 % dalam ransum respon titer antibodi terhadap eritrosit domba lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan lemak hewan, minyak jagung, dan minyak kelapa (Fristsche et al. 1991a). Penambahan minyak ikan yang tinggi dalam ransum memberikan efek yang kurang menguntungkan. Asam lemak tak jenuh ganda sangat mudah teroksidasi, berdasarkan hasil penelitian Wander et al. (1997) pemberian asam lemak tak jenuh ganda menurunkan vitamin E dan peningkatan peroksidasi lemak dalam plasma. Pada gilirannya defisiensi vitamin E akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin E telah menunjukkan penekanan respon imun pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya, peningkatan konsentrasi vitamin E dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak n-3.

Menurut Piliang (2002), kebutuhan vitamin E untuk ayam periode starter adalah 30 IU/kg, sedangkan periode sedang tumbuh 10 IU/kg. Pemberian vitamin E yang melebihi kebutuhan normal dapat mempengaruhi mekanisme resistensi tubuh secara positif yakni dengan jalan meningkatkan pembentukan cairan antibodi secara efisien pada ayam muda maupun ayam dewasa. Dosis efektif penambahan vitamin E untuk meningkatkan titer antibodi tersebut adalah 130 – 150 ppm pada ransum yang telah mengandung 35 – 60 ppm (Parakkasi, 1988). Ayam yang diberi tambahan 150 – 300 ppm vitamin E ransum dapat meningkatkan proteksi terhadap Escherichia Coli (Parakkasi 1988).


(23)

Hipotesis

1. Terdapat interaksi positif antara penambahan minyak ikan lemuru dengan penambahan vitamin E dalam ransum ayam broiler terhadap sistem imunomodulator

2. Kombinasi penambahan minyak ikan dengan vitamin E dalam ransum ayam broiler dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi peranan minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator dalam upaya meningkatkan daya tahan tubuh ternak.


(24)

Ikan lemuru adalah salah satu jenis ikan pelagis yang banyak ditangkap di selat Bali termasuk dalam sub genus Sardinella yang terdiri dari 12 spesies yang umum terdapat di perairan Pasifik (Dwiponggo 1982).

Berdasarkan Dwiponggo (1982), klasifikasi ikan lemuru adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordate Class : Osteicyes Ordo : Malacoptorygii Famili : Clupeidae Genus : Sardinella

Sub : Genusardinella CV Spesies : Sardinella Longiceps

Ciri-ciri umum ikan lemuru adalah bentuk badan bulat memanjang, perut agak menipis dengan sisik duri yang menonjol. Warna badan bagian atas biru kehijauan, bagian bawah putih keperakan serta terdapat noda samar-samar dibawah pangkal sirip punggung bagian depan, sedangkan sirip lainnya tembus cahaya dengan moncong agak kehitam-hitaman. Ikan lemuru dapat mencapai ukuran panjang 23 cm. Makanan utamanya adalah plankton, ikan lemuru dilengkapi dengan tapis insang (gill rakers) untuk menapis atau menyaring plankton

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru merupakan limbah atau hasil samping dari proses pengalengan maupun penepungan ikan lemuru. Proses pengalengan ikan lemuru diperoleh rendeman berupa minyak sebesar 5% (b/b) dan dari proses penepungan sebesar 10% (b/b). Pengalengan satu ton ikan lemuru akan diperoleh 50 kg limbah berupa minyak ikan dan selanjutnya dari satu ton bahan mentah sisa-sisa penepungan akan diperoleh kurang lebih 100 kg hasil samping berupa minyak ikan lemuru (Setiabudi 1990).

Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan ikan pada umumnya berwarna kuning dengan bau khas minyak ikan, sedangkan dari proses penepungan umumnya berwarna coklat gelap dan baunya menyengat. Proses asal minyak ikan dapat mempengaruhi kandungan asam lemak n-3. Minyak ikan


(25)

yang berasal dari proses pengalengan ikan kandungan total asam lemak n-3 lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari proses pembuatan tepung ikan, namun demikian kandungan EPA tidak nyata berbeda. Kandungan total asam lemak n-3 dari proses pengalengan ikan adalah 29.68%, sedangkan yang berasal dari proses pembuatan tepung ikan adalah 25.84% (Dewi 1996).

Kandungan asam lemak n-3 dalam minyak ikan juga dipengaruhi oleh umur simpan. Minyak ikan yang diperoleh dari proses pengalengan dan penepungan selama satu bulan mengandung asam lemak n-3 masing-masing 19.35% dan 12.15%, setelah disimpan selama tiga bulan kandungan asam lemak n-3 turun menjadi 17.15% dan 11.15% (Setiabudi 1990)

Sumber Asam Lemak n-3 dan n-6

Asam lemak tak jenuh ganda adalah asam lemak yang jika terdapat dua atau lebih ikatan ganda. Minyak yang berasal dari biji-bijian, seperti minyak jagung, kaya akan asam lemak tak jenuh ganda. Komposisi asam lemak jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak pada minyak jagung

Asam Lemak Komposisi g/100g metil ester C 14 : 0

C 16 : 0 C 16 : 1 C 18 : 0 C 18 : 1 n-9 C 18 : 2 n-6 (LA) C 18 : 3 n-3 (LNA) C 20 : 1 n-9 C 20 : 5 n-3 (EPA) C 22 : 5 n-3 C 22 : 6 n-3 (DHA)

0.0 0.4 0.1 1.8 28.2 57.2 0.9 0.3 0.0 0.0 0.0 Sumber : Suprijana 1995

Pada tanaman, tidak seperti hewan, dapat menyisipkan ikatan tak jenuh dalam asam oleat (C18 : 1 n-9) antara ikatan tak jenuh pada posisi ke-9 dari gugus metil. Enzim 12-desaturase dapat mengubah asam oleat menjadi bentuk LA (18 : 2 n-6) yang dapat mengalami penjenuhan lebih lanjut pada posisi karbon ke 3 (n-3) oleh enzim 15-desaturase yang menghasilkan LNA (18 : 3 n-3) (BNF 1994).

Lokasi ikatan rangkap ganda pada rantai karbon dari asam lemak tak jenuh ganda menyebabkan perbedaan yang besar bagaimana asam lemak


(26)

tersebut dimetabolisme. Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke 3 dari gugus metil dinamakan asam lemak omega 3 (n-3). Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke-6 dari gugus metil dinamakan asam lemak omega 6 (n-6). Kebanyakan asam lemak n-3 adalah LNA, EPA, dan DHA. LA adalah sebagian besar dari n-6. LNA dan LA ditemukan dalam minyak tanaman, sedangkan EPA dan DHA dijumpai pada hewan laut, terutama bangsa ikan yang mengkonsumsi fitoplankton (Kreutler 1980).

Asam linoleat (LA) : n-6(C18:2)

CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH=CH-CH2-CH= CH-CH2- CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-COOH

Asam linolenat (LNA) : n-3(C18 : 3)

CH3-CH2-CH= CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-CH2-COOH

5,18,11,14,17-asam eikosapentaenoat (EPA): (C20 : 5 n-3)

CH3-CH2-CH= CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)3-COOH 4,7,10,13,16,19-asam dokoheksaenoat (DHA) (C22 : 6 n-3)

CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)2

-COOH

Gambar 1. Rantai karbon beberapa Asam Lemak n-6 dan n-3 (Sumber : Kreutler 1980)

Tabel 2. Sumber asam lemak n-3 dari berbagai Ikan

Sumber Ikan Lemak Total 18 : 2 n-6 20 : 4 n-6 20 : 5 n-3 22 : 6 n-3

Tuna (albacore) Anchovy Herring Mackerel Salmon Tuna (bleufin) Halibut Flounder Cod Haddock 6.80 6.40 6.20 9.80 13.80 4.70 2.00 1.20 0.73 0.66 0.15 0.12 0.29 0.14 0.13 0.05 0.02 0.01 - 0.01 g/100g 0.14 0.02 0.03 0.12 0.06 0.02 0.08 0.04 0.02 0.01 0.63 0.69 0.33 0.65 1.00 0.28 0.11 0.11 0.08 0.05 1.70 1.20 0.58 1.10 0.72 0.88 0.20 0.11 0.15 0.10 Sumber : Lands 1986

Lands (1986), melaporkan bahwa jumlah asam lemak lemak n-3 dan n-6 yang ada dalam beberapa jenis ikan pemakan fitoplankton dapat dilihat dalam Tabel 2. Baik kadar n-3 maupun n-6 tidak selamanya konstan dalam daging ikan, kadar tersebut antara lain dipengaruhi oleh musim (Lands 1986; Ackman 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa golongan asam lemak PUFA n-3, seperti C18 : 3 n-3, C18 : 4 n-3, C20 : 3 n-3, dan C22 : 6 n-3 terlihat semakin penting kedudukannya dalam mempertahankan rantai makanan antara kehidupan ikan laut, tanaman dan bakteri.


(27)

Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh

Hati dari jaringan adiposa adalah organ yang sangat penting dalam biosintesis asam lemak. Reaksi biosintesis dikatalisasi oleh kelompok enzim dalam bentuk multi komplek enzim yakni “Fatty acid Synthetase”. Produk akhir yang dihasilkan adalah asam palmitat (C16 : 0) dan asam stearat (C18 : 0) (BNF 1994).

Sel-sel tubuh manusia dan hewan tidak dapat mensintesis asam lemak n-3 dan n-6. Sel-sel tubuh manusia dan hewan hanya dapat menghasilkan karbon-karbon ikatan rangkap pada asam lemak setelah karbon-karbon ke-9 dari gugus metil, oleh karena itu hewan dan manusia untuk memperoleh asam lemak n-3 dan n-6 harus disediakan dari makanan (Kreutler 1980).

Ada beberapa enzim yang berperan dalam proses metabolisme asam lemak yang berperan dalam memperpanjang rantai karbon yaitu enzim “elongase” dan enzim yang berperan menambah ikatan tak jenuh dari asam lemak yaitu 9-desaturase, 6-desaturase, 5-desaturase, dan 4-desaturase. Asam lemak n-3 dan n-6 lebih lanjut dimetabolisme dalam sel. LA dalam sel akan diperpanjang menjadi 20 karbon dan dapat mengalami penjenuhan, ikatan rangkap bertambah, menghasilkan AA. LNA dapat diperpanjang menjadi 20 karbon dan 2 ikatan rangkap bertambah menjadi EPA. Pada beberapa kejadian AA dan EPA akan diperpanjang lagi dan ikatan rangkap bertambah seperti EPA dimetabolisme menjadi DHA (Kreutler 1980).

Transformasi metabolik antara asam lemak tak jenuh n-3 dan n-6 yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh akan mengalami kompetisi. Hasil penelitian Leece dan Allman (1996), menunjukkan bahwa imbangan asam lemak EPA : AA yang dibentuk dalam tubuh akan meningkat dengan meningkatnya imbangan LNA : LA yang dikonsumsi.

Asam lemak tak jenuh ganda seperti AA dan EPA akan dimetabolisme lebih lanjut menjadi bentuk yang mempunyai aktivitas biologis yang dinamakan “eicosanoids” seperti prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan leukotrine (Kreutler 1980).


(28)

Enzim Biosintesis atau

Konsumsi

Konsumsi Konsumsi

9-Desaturase

18 : 0 Stearat

6-Desaturase

18 : 1 n-9 Oleat

18 : 2 n-6 LA

18 : 3 n-3 Alpha linolenat (LNA)

Elongase

18 : 2 n-9 18 : 3 n-6 Gamma Linolenat

18 : 4 n-3

5-Desaturase

20 : 2 n-9 20 : 3 n-6 Dihomogamma

Linolenat

20 : 4 n-3

Elongase

20 : 3 n-9 20 : 4 n-6 AA

20 : 5 n-3 EPA

?4-Desaturase

22 : 4 n-6 22 : 5 n-3

22 : 5 n-6 Dokosa pentaenoat

(DPA)

22 : 6 n-3 DHA

Gambar 2. Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh. (BNF 1994).

Metabolisme AA dan LNA

Jika membran sel dirangsang misalnya oleh ikatan antigen-antibodi kompleks atau karena sesuatu yang menyebabkan kerusakan membran, AA terlepas dari ikatannya, masuk ke dalam sitoplasma dan mengalami metabolisme lebih lanjut menghasilkan metabolit-metabolit (Smith & Borgeat 1985). Didalam jaringan otot, AA dimetabolisme melalui dua buah jalur. Melalui jalur siklooksigenase AA dimetabolisme menjadi prostaglandin endoperoksida (PGH2) yang selanjutnya oleh enzim PGH2-PGE2 isomerase, PGH2-PGD2 isomerase, PGH2-PGF2α reduktase, PGI2 sintase dan TXA2 berturut-turut berubah menjadi PGE2, PGD2, PGF2α , PGI2 dan Tromboxan A2 (TXA2). Melalui jalur


(29)

lipooksigenase, AA dimetabolisme menjadi leukotrine A4 (LTA4) yang kemudian bereaksi dengan glutation membentuk LTC4. Dampak kerja metabolit-metabolit tersebut, kecuali PGF2α, meningkatkan degradasi protein yang mekanismenya melalui induksi aktivitas enzim protease lisosomal (Rodenamm & Goldberg 1982). PGE2 disamping mempunyai kerja tersebut, berikatan dengan reseptornya yang ada di intisel, menginduksi pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP) yang kemudian bekerja mengaktifkan proses glikogenolisis, glikolisis dan menghambat sintesis protein (Schmidt et al. 1995)

Gambar 3. Dasar biokimia dari pengaruh potensi n-3 dan n-6 PUFA terhadap inflammation; +++ inflammatory sangat kuat; + pro-inflammatory lemah; (Sumber: BNF 1994).

Seperti LA, LNA merupakan asam lemak tak jenuh yang tidak diautosintesa oleh tubuh hewan. Hasil metabolisme LNA adalah EPA yang akan dimetabolisme lebih lanjut menjadi prostaglandin diantaranya adalah PGE3 yang bersifat anti radang dan PGI3 yang bersifat seperti PGI2 tetapi bersifat lebih lemah (Beaur 1993; BNF 1994)

PGE1 + PGE2 +++ PGE3 +

PGH1 PGH2 PGH3

TXA2 PGI2 Siklo-oksigenase TXA3 PGI3 DGLA 20:3 n-6 AA 20:4 n-6 EPA 20:5 n-3 Asam Gamma linolenat (GLA) 5-lipoksigenase 15-hidroksi DGLA 15-hydroksil derivate 15-hydroksil derivate

LTA4 LTA5

LTB4

+++

LTB5

+

LTC4 LTC5


(30)

Dalam proses metabolisme LNA dapat menghambat proses metabolisme AA. Hal ini disebabkan enzim yang bekerja pada metabolisme AA juga bekerja pada LNA. Oleh karena LNA mempunyai ikatan rangkap yang lebih banyak, enzim-enzim tersebut cenderung bekerja lebih cepat pada LNA (Smith & Borgeat 1985).

Sistem Kekebalan Tubuh (Imunitas)

Istilah imun secara klasik didefinisikan sebagai daya tahan relatif inang terhadap reinfeksi mikroba tertentu. Definisi imunitas sekarang ini mencakup semua mekanisme fisiologis yang membantu hewan untuk mengenal benda-benda asing pada dirinya untuk menetralkan, menyisihkan, atau memetabolisasi benda asing tersebut dengan atau tanpa kerusakan pada jaringan itu sendiri. Respon imun dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : (1) respon imun non spesifik, dan (2) respon imun spesifik. Respon imun spesifik tergantung pada adanya benda asing, pengenalan selanjutnya, dan kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya respon imun non spesifik terjadi setelah pemaparan inisial dan pemaparan selanjutnya terhadap benda asing dan sementara terjadi diferensiasi selektif self dan nonself. Respon imun non spesifik tidak tergantung pada pengenalan spesifik, contoh respon imun non spesifik yaitu inflamasi dan fagositosis. Respon imun spesifik merupakan reaksi inang terhadap benda asing yaitu mencakup rangkaian interaksi seluler yang diekspresikan dengan penyebaran produk-produk sel spesifik. Ada dua jenis mekanisme efektor yang menengahi respon imun spesifik: (1) imunitas humoral, yaitu yang diperantarai oleh produk sel jaringan limfosit yang disebut antibodi, dan (2) imunitas selular, yaitu yang diperantarai oleh limfosit sendiri yang tersensititasi secara spesifik (Belanti 1993).

Secara garis besar kekebalan yang diperoleh hewan dapat terjadi secara alami dan buatan. Kekebalan secara alami mencakup penghalang secara fisik dan fisiologis yang mencegah masuknya agen infeksi seperti kulit, saliva, asam lambung, dan anti bakteri seperti lysozyme. Kekebalan alami yang terjadi pada jaringan dan sirkulasi diperantari sel efektor yang disebut fagosit dan sel “natural killer (NK)”. Selain itu ada juga protein komplemen darah yang mendukung fagositosis dan melisiskan patogen. Kekebalan secara buatan biasanya diperoleh secara aktif melalui infeksi alami atau dengan vaksinasi. Kekebalannya akan berkembang setelah beberapa hari atau minggu setelah pemaparan dan diperantarai oleh limfosit (Decker 2000).


(31)

Sistem kekebalan tubuh harus selalu dalam keadaan seimbang, sebetulnya tubuh memiliki zat yang secara otomatis akan menormalkan sistem imun. Kalau respon imunnya kurang maka ditingkatkan, kalau respon imunnya terlalu tinggi diturunkan. Namun, ada kalanya tubuh tidak berhasil menormalkan sistem imunnya sendiri. Cara menormalkan sistem imun tubuh dari luar adalah dengan imunomodulator. Imunomodulator adalah zat yang dapat memodulasi (mengubah atau mempengaruhi) sistem imun tubuh menjadi ke arah normal. Produk imunomodulator dapat berperan menguatkan sistem imun tubuh (imuno stimulator) atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imuno suppresan) (MFI 2007)

Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) terhadap Respon Kekebalan

Sumber lemak dan komposisi asam lemak yang dikonsumsi oleh ayam broiler, bisa mempengaruhi komposisi jaringan limfoid dan fungsi sel imun (Fritsche et al. 1991a; Fritsche et al. 1991b; Fritsche & Cassity 1992). Defisiensi PUFA mengurangi proliferasi limfosit, produksi Interleukin-2 (IL-2), monosit dan polymorphhonuclear (PMN) cell chemotaxix pada mamalia (Kinsella et al. 1990; Lefkowith 1990). Rendah dan tingginya konsumsi PUFA berhubungan dengan menurunnya produksi antibodi dan proliferasi limfosit, sedangkan optimal respon kekebalan terjadi pada konsumsi LA sebanyak 47 % dari total asam lemak (Friedman & Sklan 1995). Hasil penelitian Friedman dan Sklan (1997), menunjukkan bahwa produksi antibodi berhubungan secara kuadratik terhadap konsentrasi LA dan total n-6 PUFA serum. Respon produksi antibodi yang optimal terjadi pada konsentrasi LA plasma 40 – 50 % dari total asam lemak.

Pengaruh Metabolisme AA pada jaringan Limfoid

Jaringan limfoid unggas terdiri atas timus, bursa Fabricius, limpa dan jaringan-jaringan limfatik yang menyebar di beberapa organ tubuh misalnya yang ada di saluran cerna atau pada mata. Diantara jaringan limfoid tersebut yang berbentuk organ adalah timus, bursa Fabricius dan limpa, sedangkan lainnya oleh karena bentuknya sering dinamakan foki limfatik. Ditinjau dari fungsinya timus dan bursa Fabricius digolongkan ke dalam jaringan limfoid pusat sedang lainnya termasuk jaringan limfoid perifer.


(32)

Gambaran mikroskopis organ limfoid memperlihatkan folikel-folikel yang merupakan tempat sebagian besar aktivitas limfosit mengadakan mitosis. Aktivitas mitosis di dalam timus dan bursa Fabricius meliputi konversi gen pada limfositnya yang terjadi tanpa rangsangan mutagen (Glick & Olah 1993; Marsh 1993). Aktivitas mitosis di dalam organ limfoid perifer berhubungan dengan reaksi pertahanan tubuh. Pada keadaan ini, makrofag yang aktif melakukan fagositosis mensekresi sitokin yang mempunyai reseptor pada inti limfoid T, yang dinamakan nuclear localization sequences, NLS (Grenfell et al. 1991) Ikatan antara sitokin makrofag dengan inti limfosit merangsang limfosit untuk mensintesis sitokin yang bekerja merangsang pendewasaan limfosit B sehingga mampu mensekresi imunoglobulin (Lowenthal et al 1994; Pendino et al. 1992). Hal ini memberi gambaran yang berbeda yaitu pada aktivitas yang terjadi tanpa rangsangan antigen menyangkut perubahan ukuran folikel sedangkan aktivitas yang terjadi karena mekanisme pertahanan tubuh selain menyangkut ukuran folikel juga membentuk folikel baru yang dinamakan germinal center atau folikel sekunder, yaitu daerah berwarna pucat yang tumbuh di dalam folikel dan mempunyai fungsi sebagai penghambat penyebaran antigen. Pada limpa ayam yang diinfeksi oleh virus tetelo, folikel sekunder sudah terlihat sejak empat hari setelah infeksi (Hamid et al. 1991)

Di dalam organ lomfoid hasil metabolisme AA yang mempunyai peran nyata adalah PGE2 dan PGI2. PGE2 bekerja sebagai imunosupresif yang mekanisme kerjanya melalui induksi cAMP (Kizaki et al. 1990). Secara makroskopis dampak kerja PGE2 menyebabkan atrofi organ limfoid, secara mikroskopis hal ini ditandai oleh penyusutan folikel-folikelnya (Husband 1995; Rompanen 1982). PGI2 bersifat imunostimulan yang mekanisme kerjanya melalui penghambatan pembentukan cAMP (Schmidt et al. 1995). Hal ini menyebabkan aktifitas organ limfoid bergantung pada keduanya. Walaupun PGE2 disekresi lebih banyak dari pada PGI2, PGE2 segera dikatabolisme menjadi 13, 15 hidro 15 keto PGF1α yang tidak mempunyai aktivitas biologis,

sedang PGI2 disamping tidak segera dikatabolisme, mempunyai penyebaran yang merata sehingga aktivitas biologisnya lebih nyata (Pendino et al. 1992)

Peranan (n-3) PUFA terhadap Respon Kekebalan

Peningkatan penambahan minyak ikan (0.5 , 1.0 , dan 2.0 %) dalam ransum meningkatkan performans dan dapat menurunkan dampak respon


(33)

peradangan tetapi tidak mengubah respon imun pada ayam yang sedang tumbuh (Korver & Klasing 1997). Fritsche et al. (1991 a), melaporkan bahwa ayam yang diberi ransum mengandung 7 g minyak ikan manhaden/100 g ransum mempunyai respon antibodi tertinggi terhadap eritrosit domba dibanding ayam yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau minyak kanola. Respon sel imun yang diukur dengan antibody dependent cell cytotoxicity dari splenocytes pada broiler yang diberi makan 7 g minyak ikan lebih rendah dibanding yang diberi 7 g minyak jagung/100g ransum, meskipun cytotoxicity dari peripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan tersebut ( Fritsche & Cassity 1992).

Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek pengaturan immunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi erotrosit domba pada tikus yang diberi 17 g minyak ikan + 3 g minyak jagung/100 g ransum dan disuplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100 g ransum nyata lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung minyak jagung dengan suplementasi vitamin E yang sama (Fritsche et al. 1992). Pada tikus yang tidak diinfeksi, pemberian (n-3) PUFA yang tinggi dalam ransum (20 g minyak ikan/100 g ransum) menghasilkan persentase sel T yang tertinggi ,tetapi pada tikus yang diinfeksi dengan Listeria, pemberian ransum ini menghasilkan persentase sel T terendah dibandingkan dengan tikus yang diberi ransum yang mengandung minyak biji bunga matahari dan minyak kelapa. Populasi sel B tidak dipengaruhi oleh pemberian lemak pada tikus yang tidak diinfeksi, tetapi pemberian minyak ikan menghasilkan persentase sel B tertinggi pada tikus yang diinfeksi (Huang et al. 1992). Aktivitas sel splenocyte natural killer pada tikus yang diberi minyak ikan 10 g/100 g ransum turun sebesar 25 % dibanding yang diberi minyak jagung dengan konsentrasi yang sama, tetapi tidak mempengaruhi cell –mediatedcytotoxicity dari cytotoxic T lympocytes dan sel peritoneal (Fritsche & Johnston 1990). Pada manusia, penambahan minyak ikan 0.54 % dari total energi pada ransum rendah lemak menurunkan proliferasi sel T dibandingkan dengan penambahan minyak ikan 0.13 % dari total energi ransum bila direspon oleh Concanavalin A dan PHA. Pada level minyak ikan yang tinggi

delayed-type hypersensivity menurun dibanding tanpa minyak ikan, tetapi tidak


(34)

Pengaruh Perbandingan (n-3) : (n-6) PUFA terhadap Respon Kekebalan Komposisi asam lemak membran phospholipid pada sel imun dapat mempengaruhi tingkat respon peradangan, baik secara in vitro (Billiar et al. 1988; Prescot 1984) atau secara in vivo (German et al. 1987). Penambahan minyak ikan dalam makanan menunjukkan peningkatan proporsi (n-3) PUFA terhadap (n-6) PUFA dalam jaringan manusia (Schmidt et al. 1991), tikus besar (Billiar et al. 1988), tikus (German et al. 1987; Whelan et al. 1991) dan unggas (Chanmugan et al. 1992; Friedman & Sklan 1995; Fritsche et al. 1991b; Rusmana et al. 2000). Membran sel imun yang kaya akan PUFA n-3 akan menekan pelepasan PUFA n-6 sehingga mediator penyebab peradangan menjadi rendah (Billiar et al. 1988; Prescott 1984). Mediator ini, eicosanoid, berkaitan dalam pelepasan dan fungsi cytokines yang menyebabkan peradangan seperti “tumor necrosis factor α (TNF)”(Scales et al. 1989), dan interleukin-1(IL-1) ( Knudsen et al. 1986), dan IL-6(Navarra et al. 1992). Dua eicosanoid,yang penting dalam respon peradangan adalah prostaglandin seri E (PGE) dan leukotriene seri B (LTB).

Interleukin-1 menyebabkan demam (Dinarello 1988), dan pada IL-6 dan TNF, mensintesis protein fase akut seperti hemopexin (Baumann & Gauldie 1994) dan metallothionein (Bremner & Beattle 1990; Klasing 1984). Respon peradangan dapat menurunkan konsumsi pakan, pertumbuhan protein otot, dan meningkatkan kecepatan metabolik, sintesis protein fase akut, (Klasing & Korver 1997) .

Penambahan minyak ikan dalam makanan pada hewan mamalia meningkatkan humoral immunity dan memperbaiki penekanan respon sel imun yang disebabkan oleh PGE2 (Fritsche et al. 1992; Schmidt et al. 1991). Konsumsi asam lemak (n-3) menunjukkan penurunan produksi interleukin 1 dan tumor necrosis factor pada kultur sel mononuclear manusia (Endres et al. 1989). Meskipun sebagian besar peneliti menggunakan minyak ikan pada level yang tinggi (>5 g/100 g) dalam makanan, pada tikus tampaknya perbandingan 3 : n-6 PUFA lebih penting dalam mengatur biosintesis eicosanoid dari pada konsentrasi n-3 PUFA dalam ransum (Boudreau et al. 1991; Broughton et al. 1991).


(35)

Interaksi PUFA dengan Vitamin E Terhadap Respon Kekebalan

Meskipun memberikan pengaruh positif, suplementasi minyak ikan bisa juga memberikan pengaruh negatif seperti meningkatnya oksidasi lemak (Meydani et al. 1991; Wander et al. 1996b; Wander et al. 1997). Lebih lanjut Meydani et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan peroksidasi lemak lebih besar terjadi pada wanita yang tua dibanding yang muda.

Efek dari meningkatnya oksidasi lemak berdampak buruk terhadap fungsi kekebalan tubuh. Zoshke dan Messner (1984), melaporkan bahwa mitogenesis limfosit di tekan oleh produk oksidasi. Meningkatnya lemak yang teroksidasi akibat asam lemak n-3 dapat mengakibatkan menurunnya respon “DTH skin tes” yang dilaporkan oleh Meydani et al. (1993) dan Wander et al. (1997). Virella et al. (1989), mempelajari “peripheral blood mononuclear cell cultures”, menemukan bahwa produksi B-cell immunoglobulin, respon dari “pockweed mitogen secara invitro ditekan oleh penambahan EPA.

Peningkatan metabolit oksidasi lemak bisa disebabkan oleh menurunnya status vitamin E dalam plasma yang mempunyai peran sebagai antioksidan. Menurunnya status vitamin E akibat pemberian minyak ikan dilaporkan oleh beberapa peneliti (Alexander et al. 1995; Wander et al. 1996a; Wander et al. 1997). Pada gilirannya defisiensi konsumsi vitamin E akan mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi konsumsi vitamin E telah menunjukkan penekanan imun respon pada semua spesies (Meydani 1995). Konsekuensinya, peningkatan konsentrasi α-tocopherol dibutuhkan ketika mengkonsumsi asam lemak (n-3).


(36)

Penelitian Tahap I

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan interaksi pemberian minyak ikan lemuru dan penambahan vitamin E terhadap beberapa indikator respon kekebalan ayam broiler yang divaksin Newcastle Diseases (ND)

dan Infectious Bursa Diseases (IBD), komposisi komponen sel darah putih, dan

performans (Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum). Hasil perlakuan pada penelitian tahap I yang menunjukkan indikator parameter terbaik, akan dipilih untuk dilakukan pengujian lebih lanjut pada penelitian tahap II

Bahan penelitian

Penelitian menggunakan 216 ekor ayam broiler umur satu hari (DOC), berbobot badan rata-rata 44.14 g/ekor, dengan koefisien variasi 7.00 %. DOC broiler diperoleh dari PT. Charoen Phokpand dengan kode CP 707.

Ayam dipelihara dalam kandang percobaan dengan sistem litter, dengan ukuran 90 x 90 x 80 cm. Masing-masing unit kandang diisi oleh enam ekor DOC. Setiap kandang dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu masing-masing 60 watt yang berfungsi sebagai brooder. Setelah umur 14 hari lampu berperan sebagai penerang. Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur temperatur ruangan higrometer, dan timbangan untuk menimbang ransum, sisa ransum dan bobot ayam.

Ayam dipelihara selama 42 hari, ayam divaksinasi ND dan IBD. Vaksinasi ND yang pertama dilakukan pada umur empat hari melalui tetes mata. Vaksinasi ND yang ke dua dilakukan pada umur 18 hari melalui air minum. Vaksinasi IBD dilakukan pada umur 11 hari melalui air minum.

Ransum perlakuan diberikan pada ayam mulai dari umur sehari sampai umur 42 hari. Terdapat sembilan perlakuan dalam penelitian tahap ini. Perlakuan merupakan kombinasi tingkat pemberian minyak ikan lemuru (0 %, 3 % dan 6 %), dan tiga tingkat penambahan vitamin E (0, 100,dan 200 ppm).


(37)

Tabel 3. Komposisi ransum penelitian

Bahan makanan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9

Jagung (%) 50 50 50 50 50 50 50 50 50

B. Kedelai (%) 39 39 39 39 39 39 39 39 39

M. Kelapa sawit (%) 6 3 0 6 3 0 6 3 0

M. Ikan (%) 0 3 6 0 3 6 0 3 6

*V+M+AA (%) 1 1 1 1 1 1 1 1 1

CaCO3 (%) 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16

**DCP (%) 2.14 2.14 2.14 2.14 2.14 2.14 2.14 2.14 2.14

Metionin (%) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

NaCl (%) 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4

Vitamin E (ppm) 100 100 100 200 200 200

100 100 100 100 100 100 100 100 100

EM (kkal/kg)*** 3061 3056 3052 3061 3056 3052 3061 3056 3052

PK (%)**** 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46

LK (%)**** 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21 8.21

SK (%)**** 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83 3.83

Ca (%)**** 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24 1.24

P available (%)*** 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59 0.59

Vitamin E (ppm)**** 17.88 16.83 15.78 117.88 116.83 115.78 217.88 216.83 215.78

Lisin (%)**** 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18

Metionin (%)**** 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63 0.63

Metionin + sistin**** 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98

* Campuran Vitamin, mineral,dan Asam amino ** Dicalcium Phosphat

*** Hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien dan EM pakan dari NRC (1994) **** Hasil perhitungan berdasarkan kandungan nutrien hasil analisis

R1 : Ransum 0 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E R2 : Ransum 3 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E R3 : Ransum 6 % minyak ikan lemuru + 0 ppm vitamin E R4 : Ransum 0 % minyak ikan lemuru + 100 ppm vitamin E R5 : Ransum 3 % minyak ikan lemuru + 100 ppm vitamin E R6 : Ransum 6 % minyak ikan lemuru + 100 ppm vitamin E R7 : Ransum 0 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E R8 : Ransum 3 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E R9 : Ransum 6 % minyak ikan lemuru + 200 ppm vitamin E

Ransum disusun dengan kandungan energi berkisar 3052 – 3061 kkal/kg, dengan protein 21.46 %. Kebutuhan asam amino vitamin dan mineral sesuai yang dianjurkan oleh National Research Council of Poultry (1994). Pakan penyusun ransum terdiri dari jagung, bungkil kedelai, minyak kelapa sawit, minyak ikan. vitamin-mineral, CaCO3 , dicalcium phosphat (DCP), metionin, NaCl, Vitamin E. Minyak ikan diperoleh dari Muncar Banyuwangi, yang sebelum digunakan dilakukan proses pemurnian terlebih dahulu. Vitamin E dalam bentuk α-tocopherol diperoleh dari BASF. Susunan dan kandungan nutrien ransum dapat dilihat pada Tabel 3.


(38)

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 3 x 3 dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah tingkat pengunaan minyak ikan lemuru dalam ransum (0, 3,dan 6 %). Faktor kedua adalah tingkat suplementasi vitamin E (0, 100, 200 ppm). Model matematis analisis data hasil percobaan adalah sebagai berikut :

Yijk = u + αi + βj + (αβ)ij + ∈ijk Yijk

u

αi βj (αβ)ij ∈ijk

= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B) = nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)

= pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A = pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B

= pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B

= pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij

Asumsi yang paling mendasar dari model di atas adalah galat percobaan harus timbul secara acak, menyebar secara bebas dan normal dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam σ2 atau dituliskan sebagai

ijk∼ NI (0, σ2). Peubah yang diamati

Komposisi asam lemak minyak ikan lemuru dan ransum

Preparasi asam lemak metil ester dengan NaOH metanolik 05 N (AOCS official Method Ce 1-62 1990) Asam lemak metil ester dianalisis dengan gas chromatography (GC 9-A Shimadzu) menggunakan “DB-23 capillary column”. Pembanding asam lemak standar 74 dan 84 (Nu-Chek-Prep. Inc) digunakan untuk mengidentifikasi Asam lemak

Performan ayam :

1. Pertambahan bobot badan (diamati setiap minggu) 2. Konsumsi ransum (diamati setiap minggu)

3. Konversi ransum

Konsumsi Ransum (g/minggu) Pertambahan Bobot Badan (g/minggu) Konversi ransum =


(39)

Respon kekebalan tubuh :

1. Pengukuran titer antibodi ND primer

Pada hari ke 14 setelah diberi vaksin ND pertama (umur 18 hari) masing-masing kandang diambil tiga ekor ayam untuk diambil sampel darahnya. Sampel darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk diukur titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda HI .

2. Pengukuran titer antibodi ND sekunder

Pada hari ke14 setelah diberi vaksin ND kedua (umur 32 hari) masing-masing kandang diambil tiga ekor ayam untuk diambil sampel darahnya. Sampel darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk diukur titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda HI .

3. Pengukuran titer antibodi IBD

Pada hari ke14 setelah diberi vaksin IBD (umur 25 hari) masing-masing kandang diambil dua ekor ayam untuk diambil sampel darahnya. Sampel darah diambil sebanyak 1 ml melalui pembuluh darah vena untuk diukur titer antibodi. Metoda yang digunakan adalah metoda ELISA .

Analisis Diferensiasi Sel Darah Putih

Ayam umur 40 hari diambil sampel darah. Setiap kandang diambil 2 ekor. Sampel darah ditampung dalam tabung EDTA ukuran 2 ml. Selanjutnya sampel darah dihitung komposisi komponen sel darah putih dengan pengamatan preparat ulas dibawah mikroskop

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analysis of varian (anova), untuk membandingkan perbedaan rataan perlakuan digunakan uji jarak berganda duncan (Steel & Torrie 1980). Data diuji pada taraf nyata 5 %.


(40)

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor 6 ekor

Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap I Keterangan : MIL : Minyak Ikan Lemuru

Ayam Broiler 0 % MIL + 0 ppm Vit E 3 % MIL + 0 ppm Vit E 6 % MIL + 0 ppm Vit E 0 % MIL + 100 ppm Vit E 3 % MIL + 100 ppm Vit E 6 % MIL + 100 ppm Vit E 0 % MIL + 200 ppm Vit E 3 % MIL + 200 ppm Vit E 6 % MIL + 200 ppm Vit E

Perlakuan selama 42 hari

Peubah :

1. Pertambahan bobot badan 2. Konsumsi ransum

3. Konversi ransum

4. Titer antibodi ND pertama 5. Titer antibodi ND kedua 6. Titer antibodi IBD

7. Diferensiasi sel darah putih


(41)

Penelitian Tahap II

Tujuan penelitian tahap II untuk mengetahui efek hasil perlakuan yang terpilih pada tahap I terhadap daya tahan penyakit.

Bahan penelitian

Penelitian menggunakan DOC sebanyak 320 ekor, berbobot badan rata-rata 49.70 g/ekor, dengan koefisien variasi 7.48 %. DOC broiler diperoleh dari PT. Charoen Phokpand dengan kode CP 707.

Ayam dipelihara dalam kandang percobaan dengan sistem litter, dengan ukuran 90 x 90 x 80 cm. Terdapat 32 unit kandang percobaan. Masing-masing unit kandang diisi dengan sepuluh ekor DOC. Setiap kandang dilengkapi tempat makan, minum, dan lampu masing-masing 60 watt yang berfungsi sebagai brooder. Lampu berperan sebagai penerang setelah ayam berumur 14 hari. Peralatan lain yang digunakan adalah alat pengukur temperatur ruangan higrometer, dan timbangan untuk menimbang ransum, sisa ransum dan bobot ayam.

Ayam dipelihara selama 42 hari. Selama pemeliharaan dari DOC sampai umur 42 hari ayam diberi ransum perlakuan yang terpilih pada penelitian tahap I dan kelompok ayam yang diberi ransum tanpa minyak ikan dan tidak disuplementasi vitamin E

Pada penelitian ini ada kelompok ayam yang divaksin dan yang tidak divaksin. Vaksinasi yang diberi adalah vaksin ND umur 4 hari (melalui tetes mata) dan umur 18 hari (melalui air minum). Vaksin IBD diberikan pada umur 11 hari (melalui air minum).

Untuk mengetahui daya tahan ayam terhadap penyakit sebagai akibat pemberian ransum perlakuan dan vaksinasi, pada penelitian tahap II ayam di tantang penyakit dengan cara ditantang virus IBD pada umur 24 hari melalui mulut, dan ditantang virus ND pada umur 30 hari yang ditetes melalui mulut. Kombinasi perlakuan pada penelitian tahap II adalah :

1. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin ND maupun IBD.

2. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan IBD

3. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin ND dan ditantang virus ND


(42)

4. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan IBD , ditantang virus ND

5. Pemberian ransum yang tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E (R1), divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus ND

6. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, tidak divaksin IBD dan ditantang virus IBD

7. Pemberian ransum yang terpilih pada penelitian tahap I, divaksin ND dan IBD , ditantang virus IBD

8. Pemberian ransum yang tanpa minyak ikan lemuru dan tidak disuplementasi vitamin E (R1), divaksin ND dan IBD, dan ditantang virus IBD

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap delapan perlakuan dengan empat ulangan. Model matematis analisis data hasil percobaan adalah sebagai berikut :

Yij = u + τi + ∈ij Yij

u

τi ∈ij

= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i.

= nilai tengah umum (rata-rata populasi) = pengaruh perlakuan ke-i

= pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i Asumsi yang dibutuhkan untuk analisis ini adalah :

a. Komponen-komponen u, τi, dan ∈ij bersifat aditif b. Nilai-nilai τi (i = 1,2,...) tetap, ∑τi = 0; E (τi) = τi i

c. ∈ij timbul secara acak, menyebar secara normal dengan nilai tengah nol dan ragam σ2 atau dituliskan sebagai ∈ijk∼ NI (0, σ2).

Peubah yang Diamati Performan ayam :

1. Pertambahan bobot badan (diamati setiap minggu) 2. Konsumsi ransum (diamati setiap minggu)


(43)

Konsumsi Ransum (g)/minggu Pertambahan Bobot Badan (g)/minggu

Berat relatif organ limfoid

Pengambilan organ limfoid dilakukan setelah nekropsi secara berturut-turut pada umur 14, 28, 35, dan 42 hari. Setiap unit kandang percobaan (ulangan) diambil satu ekor ayam untuk setiap pengambilan sampel, sehingga terdapat empat ekor ayam untuk setiap perlakuan. Organ bursa Fabricius, limpa, dan timus ditimbang untuk setiap pengambilan sampel.

Berat organ limfoid (g)

Bobot Badan (g) Pengamatan Histopatologi

Organ bursa Fabricius, limpa dan timus yang telah ditimbang selanjutnya difiksasi dan dilanjutkan proses pembuatan preparat histologi dan diwarnai dengan Hematoxilin-Eosin (HE).

Pengamatan Mikroskop

Preparat diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 40 x sebanyak 10 lapang pandang. Pengamatan dilakukan terhadap kerusakan pada organ bursa Fabricius, limpa, dan timus dengan sistem skor. Skor histopatologi berdasarkan penelitian sebelumnya (Hasmawati 2005) dengan dilakukan modifikasi. Skor dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Skor 0

a. Bursa Fabricius b. Limpa

c. Timus

: plika utuh, limfonodulus normal tidak ada kerusakan : batas antara pulpa putih dan pulpa merah masih jelas : tidak diketemukan kelainan baik pada korteks

mau-pun medula 2. Skor 1

a. Bursa Fabricius b. Limpa

c. Timus

: vakuolisasi pada plika, deplesi ringan pada limfonodulus : pulpa putih mulai deplesi

: deplesi ringan sel myeloid dan sel limfosit 3. Skor 2

a. Bursa Fabricius

b. Limpa c. Timus

: kerusakan ringan pada plika, deplesi agak berat pada limfonodulus

: deplesi pulpa putih, adanya sel radang : deplesi sel myeloid dan sel limfosit, oedema Konversi ransum =


(44)

4. Skor 3

a. Bursa Fabricius b. Limpa

c. Timus

: nekrosa pada plika, deplesi berat pada limfonodulus : deplesi pulpa putih dan batas mulai tidak jelas,

terjadi kongesti yang meluas pada pulpa merah : deplesi berat sel myeloid dan sel limfosit, terjadi

kongesti

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analysis of varian (anova), untuk data skor lesio histopatologis organ limfoid digunakan Uji Kruskal-Walis. Untuk membandingkan perbedaan rataan perlakuan digunakan uji jarak berganda duncan (Steel & Torrie 1980). Data diuji pada taraf nyata 5%.


(45)

10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor

10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor

10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor

10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor 10 ekor

Keterangan : *R9 = Ransum yang mengandung 6 % minyak ikan lemuru + suplementasi 200 ppm vitamin E

**R1 = Ransum yang tidak mengandung minyak ikan lemuru, tidak disuplementasi vitamin E

Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap II

Ayam Broiler *R9 + Non vaksin ND & IBD (P1)

Perlakuan selama 42 hari Peubah :

1. Konsumsi ransum pasca uji tantang virus ND/IBD

2. Pertambahan bobot badan pasca uji tantang virus ND/IBD 3. Konversi ransum pasca uji tantang virus ND/IBD

4. Bobot relatif organ limfoid (bursa Fabricius, limpa, dan timus) 5. Skor lesio histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, limpa,

dan timus) *R9 + vaksin ND & IBD (P2) *R9 + Non vaksin ND + Tantang ND (P3) *R9 + vaksin ND & IBD + Tantang ND (P4) **R1 + vaksin ND & IBD + Tantang ND (P5) *R9 + Non vaksin IBD + Tantang IBD (P6) *R9 + Vaksin ND & IBD + Tantang IBD (P7) **R1 + Vaksin ND & IBD + Tantang IBD (P8)


(46)

Penelitian Tahap I

Komposisi Asam Lemak Minyak Ikan Lemuru

Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 4. Asam lemak pada minyak ikan lemuru mulai dapat di identifikasi dimulai pada panjang rantai karbon 16 sampai 22. Asam lemak didominasi oleh asam lemak jenuh yang mencapai 23.75 % yang didominasi oleh asam palmitat. Asam lemak tak jenuh tunggal mencapai 17.50 % yang didominasi oleh asam cis 19 oleat (C 18-1). Asam lemak tak jenuh ganda ditemukan dalam bentuk asam lemak n-6 (LA dan AA) dan asam lemak n-3 (EPA dan DHA).

Tabel 4. Kandungan asam lemak minyak ikan lemuru

Rataan

mg/g %

Asam Palmitat (C16 :0) 155.66 15.57

Asam Palmitoleat (C16:1) 13.16 1.32

Asam Stearat (C18:0) 60.83 6.08

Asam Trans 9 Elaidat (C18:1) 6.90 0.69

Asam Cis 9 oleat (C18:1) 129.84 12.98

LA (C18:2) n-6 43.39 4.34

LNA(C18:3) n-3 22.84 2.28

Asam Arakhidat (C20:0) 20.99 2.1

Asam Eicosanoat (20:1) 25.08 2.51

AA (C20:4) n-6 79.86 7.99

EPA (C20:5) n-3 80.58 8.06

Asam Beheneat (C22:0) 0 0

Asam Erurik (C22:1) 28.92 2.89

DHA (C22-6) n-3 55.41 5.54

Keterangan : Dianalisis di laboratorium Kimia Pangan Pusat Antar Universitas , Institut Pertanian Bogor (2005)

Asam lemak n-6 didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon 20 yaitu AA yang mencapai 7.99 % sementara asam lemak dengan rantai karbon 18 yakni LA yang mencapai 4.34 %, sehingga asam lemak n-6 dalam minyak ikan lemuru mencapai 12.33 %. Asam lemak n-3 didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon 20 (EPA) dan rantai karbon 22 (DHA), masing-masing mencapai 8.06 % dan 5.54 %. Asam lemak tak jenuh ganda pada minyak ikan lemuru didominasi oleh asam lemak dengan rantai karbon lebih 18, lain halnya dengan minyak yang berasal dari tanaman panjang rantai karbon tidak lebih dari 18, misalnya pada minyak jagung asam lemak jenuh ganda didominasi oleh LA yang bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995).


(47)

Adanya asam lemak n-3 dalam minyak ikan laut tergantung pada apa yang dikonsumsi ikan. Ikan sendiri tidak mampu untuk mensintesis asam lemak n-3, sehingga harus tersedia dalam pakannya. Asam lemak EPA dan DHA dijumpai pada hewan laut, terutama bangsa ikan yang mengkonsumsi fitoplankton (Kreutler 1980). Jenis dominasi asam lemak n-3 bergantung pada jenis ikan untuk minyak ikan lemuru didominasi oleh EPA, lain halnya dengan minyak ikan tuna didominasi oleh DHA (Rusmana 2000).

Baik kadar asam lemak n-3 maupun n-6 tidak selamanya konstan dalam daging ikan, kadar tersebut antara lain dipengaruhi oleh musim (Lands 1986; Ackman 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa golongan asam lemak PUFA n-3, seperti C18 : 3 n-3, C18 : 4 n-3, C20 : 3 n-3, dan C22 : 6 n-3 terlihat semakin penting kedudukannya dalam mempertahankan rantai makanan antara kehidupan ikan laut, tanaman dan bakteri.

Komposisi Asam Lemak Ransum

Komposisi asam lemak tak jenuh ganda dari ransum dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan asam lemak n-3 meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan minyak ikan lemuru dalam ransum. Penambahan minyak ikan lemuru sampai 6 % dapat meningkatkan asam lemak n-3 sampai 1.024 %, sementara yang tidak diberi minyak ikan lemuru hanya mencapai 0.082 %.

Asam lemak lemak n-3 yang terdapat dalam ransum tanpa minyak ikan lemuru diperoleh dari minyak kelapa sawit, seperti yang dilaporkan oleh Rusmana et al. (2000) dan Hardoko (1998) dalam minyak sawit ditemukan asam lemak n-3. Minyak sawit pada umumnya dipakai sebagi tambahan dalam ransum ayam broiler untuk meningkatkan kandungan energi dalam ransum. Perlunya penambahan minyak dalam ransum ayam broiler mengingat kebutuhan energi yang tinggi dalam ransum untuk pertumbuhan ayam broiler. NRC (1994) merekomendasikan kebutuhan energi metabolis untuk ayam broiler sebesar 3200 kkal/kg, kebutuhan ini tidak mungkin dapat tercapai bila hanya mengandalkan dari biji-bijian seperti jagung.

Asam lemak n-6 (LA, dan AA) dalam ransum baik yang disuplementasi maupun yang tidak disuplementasi minyak ikan lemuru relatif hampir sama yaitu berkisar antara 1.730 – 1.833 %. Asam lemak n-6 dalam ransum didominasi oleh LA. Sumbangsih LA dalam ransum berasal dari jagung, mengingat 50 % dari ransum adalah jagung. Kandungan LA dalam minyak jagung sendiri bisa mencapai 60 % (Suprijana 1995)


(1)

Lampiran 22. Skor lesio histopatologi limpa

Umur (minggu)

2 4 5 6

R9 non vaksin 0 0.50 0.50 0.45 R9 vaksin 0 0.87 0.83 0.38 R9 non vaksin ND+tantang ND 0 0.38 2.00 1.85 R9 vaksin + tantang ND 0 0.63 0.75 0.85 R0 vaksin + tantang ND 0 0.63 2.10 1.97 R9 non vaksin IBD+tantang IBD 0 0.70 0.75 1.60 R9 vaksin+tantang IBD 0 0.68 0.53 0.80 R9 vaksin+tantang IBD 0 0.67 1.03 1.73

Uji kruskal walis skor lesio limpa umur 4 mg

1 2 3 4 5 6 7 8

9.5 28.5 9.5 22.5 9.5 26 4 4 9.5 26 1 22.5 22.5 15.5 15.5 15.5 4 19.5 9.5 9.5 15.5 15.5 26 28.5

15.5 4 4 19.5 22.5

Ri 38.5 74 24 58.5 47.5 76.5 68 48

Ri 2

1482.25 5476 576 3422.25 2256.25 5852.25 4624 2304 Ri

2

/ni 370.5625 1825.333 144 855.5625 752.0833 1463.063 1156 768

H = [12/(30 x 31)] x Σi Ri2/ni – 3 x 31

H = [12/(30 x 31)] x7334.604 – 3 x 31 H = 8.166954

χ2

0.05; db 7 = 14.1; H > χ 2

0.05; db 7

Uji kruskal walis skor lesio limpa umur 5 mg

1 2 3 4 5 6 7 8

3.50 12.50 24.00 26.00 28.00 12.50 19.00 21.00 6.00 25.00 28.00 1.50 21.00 16.50 6.00 23.00 9.50 6.00 21.00 9.50 28.00 12.50 3.50 16.50 12.50 16.50 30.00 1.50 16.50 8.00

Ri 31.5 60 103 38.5 77 58 36.5 60.5

Ri 2

992.25 3600 10609 1482.25 5929 3364 1332.25 3660.25 Ri

2

/ni 248.0625 900 2652.25 370.5625 1976.333 841 333.0625 1220.083

H = [12/(30 x 31)] x Σi Ri 2

/ni – 3 x 31

H = [12/(30 x 31)] x 8541.354 – 3 x 31 H = 17.21102

χ2

0.05; db 7 = 14.1; H> χ 2


(2)

Perlakuan

Perbedaan Antar Perlakuan SSR 0.05

LSR 0.05

Signifi- kansi

5 2.10 a

3 2.00 0.10 2.93 0.8 ab 8 1.03 1.07 0.97 3.08 0.9 bc 2 0.83 1.28 1.18 0.21 3.17 0.9 c 4 0.75 1.35 1.25 0.28 0.08 3.24 0.9 c 6 0.75 1.35 1.25 0.28 0.08 0.00 3.29 0.9 c 7 0.53 1.58 1.48 0.51 0.30 0.23 0.23 3.32 1 c 1 0.50 1.60 1.50 0.53 0.33 0.25 0.25 0.03 3.35 1 c Uji kruskal walis skor lesio limpa umur 6 mg

1 2 3 4 5 6 7 8

1.50 11.50 5.50 9.00 30.00 11.50 3.50 24.00 15.00 3.50 29.00 18.00 23.00 27.50 20.00 21.00 11.50 7.50 25.00 7.50 17.00 27.50 15.00 22.00 1.50 5.50 26.00 19.00 15.00 11.50

Ri 29.5 28 85.5 53.5 70 81.5 50 67

Ri 2

870.25 784 7310.25 2862.25 4900 6642.25 2500 4489 Ri2/ni 217.5625 196 1827.563 715.5625 1633.333 1660.563 625 1496.333

H = [12/(30 x 31)] x Σi Ri 2

/ni – 3 x 31

H = [12/(30 x 31)] x 8371.917 – 3 x 31 H = 15.02473

χ2

0.05; db 7 = 14.1; H > χ20.05; db 7

Uji jarak berganda Duncan skor lesio limpa umur 6 minggu Perlalakuan

Perbedaan Antar Perlakuan SSR 0.05

LSR 0.05

Signifi- kansi

5 1.97 a

3 1.85 0.12 2.93 0.99 ab 8 1.73 0.24 0.12 3.08 1.04 ab 6 1.60 0.37 0.25 0.13 3.17 1.07 abc 4 0.85 1.12 1.00 0.88 0.75 3.24 1.09 bc 7 0.80 1.17 1.05 0.93 0.80 0.05 3.29 1.11 bc 1 0.45 1.52 1.40 1.28 1.15 0.40 0.35 3.32 1.12 c 2 0.38 1.60 1.48 1.36 1.23 0.48 0.43 0.08 3.35 1.13 c


(3)

Lampiran 23. Skor lesio histopatologi timus

Umur (minggu)

2 4 5 6

1 0 1 1 1

R9. Non Vaksin 2 1 0 1 1

3 1 2 1 3

4 0 2 0 2

Rataan 0.50 1.25 0.75 1.75

1 0 1 1 1

R9. Vaksin 2 0 1 0 1

3 1 0 0 1

4 0 1

Rataan 0.33 0.67 0.25 1.00

1 0 2 1 3

R9. Non Vaksin ND + infeksi

ND 2 1 1 1 3

3 0 0 1 3

4 1 2 0 3

Rataan 0.50 1.25 0.75 3.00

1 1 1 1 1

R9. Vaksin + infeksi ND 2 0 0 1 2

3 0 0 2 2

4 0 0 1 2

Rataan 0.25 0.25 1.25 1.75

1 0 0 1 3

R0. Vaksin + infeksi ND 2 0 0 1 2

3 1 1 1 1

4

Rataan 0.33 0.33 1.00 2.00

1 0 1 2 2

R9. Non Vaksin IBD + infeksi

IBD 2 0 1 2 2

3 1 0 1 3

4 1 0 1 2

Rataan 0.50 0.50 1.50 2.25

1 1 0 1 2

R9. Vaksin + infeksi IBD 2 0 1 1 1

3 0 0 2 2

4 0 2 1

Rataan 0.33 0.25 1.50 1.50

1 0 1 2 3

R0. Vaksin + infeksi IBD 2 0 2 2 2

3 1 1 2 2

4


(4)

Lampiran 23. Skor lesio histopatologi timus

Umur (minggu)

2 4 5 6

R9. Non Vaksin 0.50 1.25 0.75 1.75

R9. Vaksin 0.33 0.67 0.25 1.00

R9. Non Vaksin ND + infeksi ND 0.50 1.25 0.75 3.00

R9. Vaksin + infeksi ND 0.25 0.25 1.25 1.75

R0. Vaksin + infeksi ND 0.33 0.33 1.00 2.00

R9. Non Vaksin IBD + infeksi IBD 0.5 0.50 1.50 2.25

R9. Vaksin + infeksi IBD 0.33 0.25 1.50 1.50

R0. Vaksin + infeksi IBD 0.33 1.33 2.00 2.33 Uji Kruskal-Walis skor lesio histipatologi timus umur 2 minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

9 9 9 23 9 9 23 9

23 9 23 9 9 9 9 9

23 23 9 9 23 23 9 23

9 23 9 23

Ri 64 41 64 50 41 64 41 41

Ri 2

4096 1681 4096 2500 1681 4096 1681 1681 Ri

2

/ni 1024 560.3333 1024 625 560.3333 1024 560.333 560.333

H = [12/(28 x 29)] x Σi Ri2/ni – 3 x 29

H = [12/(28 x 29)]x 5938.333 - 3 x 29 H = 0.758621

Hterkoreksi = H/ {1 – [Σ T/(n-1)n(n+1)]}

Hterkoreksi = 0.758621/0.716475

Hterkoreksi =1.058824; χ 2

0.05; db 7 = 14.1; Hterkoreksi < χ 2

0.05; db 7

Uji Kruskal-Walis skor lesio histipatologi timus umur 4 minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

19 19 27 19 7 19 7 19 7 19 19 7 7 19 19 27

27 7 7 7 19 7 7 19

27 27 7 7 7

Ri 80 45 80 40 33 52 40 65

Ri2 6400 2025 6400 1600 1089 2704 1600 4225

Ri2/ni 1600 675 1600 400 363 676 400 1408.333

H = [12/(29 x 30)] x Σi Ri2/ni – 3 x 30

H = [12/(29 x 30)] x7122.333 – 3 x 30 H = 8.23908

Hterkoreksi = H/ {1 – [Σ T/(n-1)n(n+1)]}

Hterkoreksi = 8.23908/0.851232

Hterkoreksi =9.679012; χ 2

0.05; db 7 = 14.1; Hterkoreksi < χ 2


(5)

Uji Kruskal-Walis skor lesio histipatologi timus umur 5 minggu

1 2 3 4 5 6 7 8 14 14 14 14 14 26.5 14 26.5 14 3 14 14 14 26.5 14 26.5 14 3 14 26.5 14 14 26.5 26.5

3 3 3 14 14 26.5

Ri 45 23 45 68.5 42 81 81 79.5

Ri 2

2025 529 2025 4692.25 1764 6561 6561 6320.25 Ri

2

/ni 506.25 132.25 506.25 1173.06 588 1640.25 1640.25 2106.75

H = [12/(30 x 31)] x Σi Ri 2

/ni – 3 x 31

H = [12/(30 x 31)] x 8293.063 – 3 x 31 H = 14.00726

Hterkoreksi = H/ {1 – [Σ T/(n-1)n(n+1)]}

Hterkoreksi = 14.00726/0.795328

Hterkoreksi =17.61192; χ20.05; db 7 = 14.1; Hterkoreksi > χ20.05; db 7

Uji jarak berganda Duncan skor lesio histipatologi timus umur 5 minggu Perla-

kuan

Ra- taan

Perbedaan Antar Perlakuan

SSR 0.05

LSR 0.05

Signifi- kansi

8 2 a

6 1.5 0.5 2.93 0.70 ab 7 1.5 0.5 0 3.08 0.73 ab 4 1.25 0.75 0.25 0.25 3.17 0.76 ab 5 1 1 0.5 0.5 0.25 3.24 0.77 bc 1 0.75 1.25 0.75 0.75 0.5 0.25 3.29 0.78 bc 3 0.75 1.25 0.75 0.75 0.5 0.25 0 3.32 0.79 bc 2 0.25 1.75 1.25 1.25 1 0.75 0.5 0.5 3.35 0.80 c Uji Kruskal-Walis skor lesio histipatologi timus umur 6 minggu

1 2 3 4 5 6 7 8 5.5 5.5 27 17 5.5 17 17 27 5.5 5.5 27 17 17 17 5.5 17 27 5.5 27 17 5.5 27 17 17 17 5.5 27 17 17 5.5

Ri 55 22 108 68 28 78 45 61

Ri 2

3025 484 11664 4624 784 6084 2025 3721 Ri2/ni 756.25 121 2916 1156 261.333 1521 506.25 1240.33

H = [12/(30 x 31)] x Σi Ri 2

/ni – 3 x 31

H = [12/(30 x 31)] x 8478.167 – 3 x 31 H = 16.3957

Hterkoreksi = H/ {1 – [Σ T/(n-1)n(n+1)]}

Hterkoreksi = 16.3957/0.869855

Hterkoreksi =18.84876; χ 2

0.05; db 7 = 14.1; Hterkoreksi > χ 2


(6)

Uji jarak berganda Duncan skor lesio histipatologi timus umur 6 minggu Perla-

kuan

Rata- an

Perbedaan Antar Perlakuan

SSR 0.05

LSR

0.05

Signifi-3 3.00 a

8 2.33 0.67 2.93 0.8788 ab 6 2.25 0.75 0.08 3.08 0.9238 ab 5 2.00 1.00 0.33 0.25 3.17 0.9508 b 4 1.75 1.25 0.58 0.50 0.25 3.24 0.9718 bc 1 1.75 1.25 0.58 0.50 0.25 0.00 3.29 0.9868 bc 7 1.50 1.50 0.83 0.75 0.50 0.25 0.25 3.32 0.9958 bc 2 1.00 2.00 1.33 1.25 1.00 0.75 0.75 0.50 3.35 1.0048 c


Dokumen yang terkait

Morfopatologi Usus Broiler Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E sebagai Imunomodulator dan Paparan Virus Infectious Bursal Disease

0 12 58

Morfopatologi Usus Broiler Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E Yang Ditantang Virus Newcastle Disease

0 8 54

Gambaran Histopatologi Hati Ayam Broiler yang Ditantang Virus Infectious Bursal Disease Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E

0 20 49

Gambaran Histopatologi Hati Broiler yang Ditantang Virus Newcastle Disease setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E.

1 27 66

Pengaruh Penambahan Vitamin E dan Selenium (Se) Terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler Di Lingkungan Tropis

0 6 33

Pengaruh Subtitusi Minyak Sawit Oleh Minyak Ikan Lemuru Dan Suplementasi Vitamin E Dalam Ransum Ayam Broiler Terhadap Performans - The Effect Of Subtitution Palm Oil By Lemuru Fish Oil And Vitamin E Supplementation In Broiler Ration On Performance.

0 0 8

Pengaruh Ransum Mengandung Minyak Ikan Lemuru Dan Suplementasi Vitamin E Terhadap Bobot Badan Akhir, Persentase Karkas Dan Lemak Abdominal Ayam Broiler - The Effect Of Diets That Containing Lemuru Fish Oil And Vitamin E To Final Body Weight, Carcas Percen

0 1 6

Pengaruh Pemberian Ransum Mengandung Minyak Ikan Lemuru Dan Vitamin E Terhadap Kadar Lemak Dan Kolesterol Daging Ayam Broiler - The Effect Of Giving Ration Containing Sardinella Oil And Vitamin E On Fat And Cholesterol Of Meat In Broiler Chicken.

0 0 9

PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK IKAN TUNA DALAM RANSUM BASAL TERHADAP KUALITAS KARKAS AYAM BROILER.

0 0 9

pengaruh penambahan minyak ikan tuna dalam ransum basal terhadap performan ayam broiler.

0 0 3