DALUWARSA (VERJARING).
D. DALUWARSA (VERJARING).
Untuk semua pelanggaran dan kejahatan
D.1 Daluwarsa Penuntutan.
percetakan : sesudah 1 tahun; Untuk kejahatan yang diancam denda,
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh
daluwarsanya sesudah 6 tahun; beberapa pemikiran yaitu :
Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12
tahun; Dalam kenyataannya perputaran waktu
tidak hanya secara perlahan Untuk kejahatan yang diancam pidana mati
atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah menghapuskan akibat tindak pidana yang
18 tahun.
terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai Berjalannya waktu sekaligus
menghapuskan jejak-jejak tindak pidana berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, yang menyebabkan kesulitan pembuktian.
kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun
pasal tersebut yang menyangkut vorduurende menyembunyikan diri sudah cukup
delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan
pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2)
- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) perhitungan daluwarsa didasarkan pada
mulai berjalan tenggang daluwarsa yang waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;
baru, jadi selama terhentinya selama ada - Kejahatan terhadap kemerdekaan
seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), tindakan penuntutan tenggang waktunya daluwarsa dihitung keesokan hari setelah
tidak dihitung.
orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
b. Penangguhan (scorsing).
- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa tersebut dimasukkan dalam catatan
penuntutan tertunda/tertangguhkan register.
(geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut
D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.
hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat
a. Pencegahan (stuiting).
diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada
tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum tindakan penuntutan (daad van vervolging).
diadakannya penundaan, tetap Pada mulanya tindakan penuntutan
diperhitungkan terus. Hanya saja selama diartikan secara luas yaitu mencakup juga
acara hukum perdata berlangsung dan tindakan-tindakan pengusutan (daad van
belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian
pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi
menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu kesempatan untuk menunda-nunda
hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam
penyelesaian perkara perdatanya dengan acara pidana (misal menyerahkan perkara
perhitungan dapat dipenuhinya tenggang ke siding, mendakwa / mengajukan
daluwarsa penuntutan pidana.
D.2. Daluwarsa Pemidanaan.
“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa didasarkan kepada dua hal yaitu :
dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama
1. dalam kenyataannya perputaran waktu tidak dengan putusan hakim yang inkracht van hanya secara perlahan menghapuskan
gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi
Pada umumnya memang putusan hakim yang juga menghapuskan keinginan unutk berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan melakukan pembalasan
2. bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum menyembunyikan diri sudah cukup
keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek- terhukum dengan kehidupan yang tidak
vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa). tenang dan penuh kecemasan.
D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan
Pemidanaan.
pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
a. pencegahan (stuiting)
D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana. pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam hak untuk menjalankan / mengeksekusi pasal 84 (2), yaitu :
pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
1) Jika terpidana melarikan diri selama Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya
menjalani pidana.
5 tahun. Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat baru dihitung pada keesokan harinya pasal 78 ) ditambah sepertiga. setelah melarikan diri.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
2) Jika pelepasan bersyarat dicabut diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai
Tidak mengeksekusi seluruhnya, berlaku tenggang daluwarsa baru.
Hanya mengeksekusi sebagian saja Mengadakan komutasi yaitu jenis
Dengan demikian selama ada pencegahan, pidananya diganti, misal penjara diganti maka jangka lewat waktu yang telah dilalui
kurungan, kurungan diganti dengan denda, hilang sama sekali (tidak dihitung).
pidana mati diganti penjara seumur hidup. Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink
b. penagguhan (schorsing). adalah keadaan pada waktu hakim menjatuhkan
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa putusan tidak atau kurang diperhatikan atau hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi
mungkin pertimbangan dan yang bila (secara dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :
memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan
selama perjalanan pidana ditunda lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi menurut peraturan perundang-undangan
sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala yang berlaku;
hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan selama terpidana dirampas
mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu kemerdekaannya (ada calon tahanan),
sendiri.
walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-
A. Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal Menjalankan Pidana di luar KUHP.
2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara
E.1. Grasi. seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi /
I. Terpidana yang pernah ditolak (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana permohonan grasinya dan telah lewat
melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala penolakan permohonan grasi tersebut;
Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan
II. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan seumur hidup dan telah lewat waktu 2
salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang (dua) tahun sejak tanggal keputusan
memutus perkara pada tingkat pertama paling pemberian grasi diterima.
lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
haru terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa pasal 8, penagdilan tingkat pertama mengirimkan hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan
salinan permohonan dan berkas perkara persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali
terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati,
jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terhitung sejak tanggal diterimanya salinan terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6
permohonan dan berkas perkara sebagaimana ayat (3)).
dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Preisden. Presiden memberikan keputusan atas
pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis oleh permohonan grasi setelah memperhatikan
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu
kepada Presiden. Salinan permohonan grasi pemberian atau penolakan grasi sebagaimana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga)
disampaikan kepada pengadilan yang memutus bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat
kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi berupa pemberian atau penolakan grasi.
dan slinannya sebagaimana dimaksud pada ayat
E.2. Amnesti. dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan
sudah dimulai.
umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi
kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang
identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh
karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase
ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses
ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
E.3. Abolisi.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi
merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan
BAB XV
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan
RESIDIVE
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam
residivenya.
1. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana
2. Sistem Residive Khusus
dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim Menurut sistem ini tidak semua jenis yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (
pengulangan merupakan alasan pemberatan MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian
pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap melakukan tindak pidana lagi.
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah dalam tenggang waktu yang tertentu pula. pada Residive sudah ada putusan Pengadilan
berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan
pada Concursus Realis terdakwa melakukan
2. MENURUT KUHP
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak sang satu dengan yang lain belum ada putrusan
diatur secara umum tetapi diatur secara khusus Pengadilan yang MKHT.
untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive
syarat tenggang waktu pengulangan yang tertentu. ini, yaitu :
Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.
1. Sistim Residive Umum 1. Sistim Residive Umum
disebutkan dalam masing-masing pasal 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2),
yang bersangkutan.
208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila
3. RECIDIVE DI LUAR KUHP
ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam
Perlu diingat bahwa mengenai tenggang
Undang-Undang:
waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
i. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 waktu lima tahun. Ancaman pidana bis dan 321 tenggang waktunya
ditambah sepertiga
dua tahun ;
ii. Tindak Pidana Psikotropika (UU
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana tenggang waktunya lima tahun.
ditambah sepertiga.
iii. Sedangkan untuk residive yang
diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
b. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis
tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.