Istilah dan Pengertian

A. Istilah dan Pengertian

KUHP memakai istilah bermacam-macam :

a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”,

(wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1),

b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai

hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa izin”

(zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan

melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa

mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh

peraturan umum” (pasal 429).

Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam

undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-

“tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak

sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau

dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan

dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu,

ialah masing-masing unsur dari rumusan delik. mungkin dipidana pula.

Pengecualian atas tasbestand mer male, Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga

dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi pendirian:

rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin

1. bertentangan dengan hukum (Simons) ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya

2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan

lain (Noyon) perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :

3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).

1) regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati,

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338

unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum.

suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan

2) Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu

melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang

melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam

dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut tidak ada unsur melawan hukum.

hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran adat ini, maka Mamak dari

Di dalam kedua contoh tersebut hal yang perempuan ini bersama-sama dengan orang lain

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan mendatangi orang tersebut untuk dimintai

terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki

kasus : itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu

tidak mau membuka pintu rumahnya pintu - seorang ayah memukul seorang pemuda yang

didobrak.

memperkosa anak-anaknya - seorang menembak mati temannya atas

Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan

cs melanggar pasal KUHP (merusak ketentraman tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter,

rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan

dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan - seorang bioloog membedah binatang-binatang

(vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah. - Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933

Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang

sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :

dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan

- Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936 sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan

itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik

Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum

ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana

keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua

Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan

sudut pandang yaitu :

pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan peternakan. Putusan

1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-

undang ternak tidak dapat diterapkan kepada suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain :

apabila perbuatan diancam pidana dan “tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang

dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang- melakukan perbuatan yang diancam pidana itu

undang; sedang sifat melawan hukumnya mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri

perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya

suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali

ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum

atau bertentangan dengan undang-undang tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan

(hukum tertulis).

meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa

dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam

ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat

yang bersangkutan tidak berlaku terhadap melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat

perbuatan yang secara letterlijk memenuhi melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di

rumusan delik”. dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu rumusan delik”. dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu

meteriil ialah :

tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga

a) Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan alasan yang disebut dalam undang-undang tidak

terhadap kepentingan hukum hanyalah boleh diartikan lain daripada secara limitatief.

bersifat melawan hukum materiil (materiel

2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum (den

Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, Zwecken der das Zusammenleben regelnden

tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang Recht sordnung widerspricht); kalau tidak

(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak

berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis.

bersifat melawan hukum.

Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-

b) Zu Dohna mengatakan :

nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga

Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber

perbuatan itu merupakan upaya yang haq gezetzlich).

untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke). Contohnya ialah seorang

Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama yang memukulpemuda yang memperkosa

dengan bertentangan dengan undang-undang anak perempuannya. Di sini menurut Zu

(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat

hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan

melawan hukum.

sebagainya sebagaimana para sarjana yang

c) M.E. Mayer mengatakan :

Perbuatan itu melawan hukum materiil atau dengan itu menurut hemat saya (mer van tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan

Hattum) telah diterima ajaran sifat melawan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti

hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan bertentangan dengan kulturnorm yang diakui

telah dipecahkan persoalan mer azas-azas oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai

yang boleh dikatakan benar dalam ajaran dengan kulturnorm itu maka sifat melawan

“penentuan hukum” dewasa ini (in de hukumnya hapus.

hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist).

d) Zevenbergen Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus dilakukan secara hati-

Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, hati, dan istimewa hakim harus membuka diri

obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal

ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan abortus protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak

delik dalam undang-undang, tetapi mengenai melanggar hukum berdasarkan petunjuk

hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian eugenetisch atau sosial. (Eugenetiek adalah

yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ajaran yang mempelajari perbaikan ras /

ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan

keturunan).

mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.

Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi

e) Van Hattum rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi

bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan Dengan adanya keputusan Hoge Raad

tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan : tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan :

dapat menghapuskan kekuatan berlakunya formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan

peraturan yang tertulis dsb.

hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat c). Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil

masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang dan luar hukum yang tertulis.

tertulis, yang dibuat dengan sah.

Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap- perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus

tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari mempertimbangkan :

keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat

a). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang

tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat

yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata,

betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat

dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang menangkap apa yang sedang terjadi dalam

dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang masyarakat, agar supaya putusannya tidak

adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh

juga dipandang adil / benar oleh seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas

masyarakat pada umumnya. kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun

b). Apabila ada persoalan mengenai hukum yang

secara materiil.

tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-

Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas itu perlu dibedakan :

menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya

- dalam fungsinya yang negatif yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari

diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam

nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan

ini dimana juga masih tercantum azas seperti adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang

tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi

mengakui azas nullum delictum dalam arti yang rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai

sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat alasan penghapus sifat melawan hukum.

melawan hukum yang materiil dalam fungsinya - dalam fungsinya yang positif

yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan bahwa B telah membunuh C kakak dari A.

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil Memang di daerah yang bersangkutan ada

dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur

perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun

dengan nyawa.

tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan

B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum

hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan

undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak

delik :

tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan

2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik- dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang delik semacam itu ada perbedaan paham :

menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.

a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur mempunyai fungsi yang positif untuk

sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak sesuatu delik (artinya ada delik kalau

dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu perbuatan itu bersifat melawan hukum),

tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel (acara maka harus dibuktikan. Sifat melawan

pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan hukum disini sebagai unsur konstitutif.

pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju,

b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap mempunyai fungsi yang negatif (artinya :

dengan diam-diam ada, kecuali jika dibuktikan tidak ada unsur sifat melawan hukum pada

sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya perbuatan merupakan pengecualian untuk

dengan mencocoki rumusan undang-undang sifat adanya suatu delik), maka tidak perlu

melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula. dibuktikan.

Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.

Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif (merupakan unsur

C. Putatif Delik

konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini

menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini

yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict,

“ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu

pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan

BAB V

hukum.

KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab

(Zurechnungsfahigkeit –

Toerekeningsvatbaarheid)

Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung- jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu

bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.

Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-

jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak

memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.

Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung- diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian,

jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya

hidupnya dengan cara yang patut.

pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga

orangnya”. kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah

Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :

hidupnya dengan cara yang patut” ?

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum

secara negative menyebutkan mengenai kemampuan

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan bertanggung jawab itu, antara lain demikian : kesadaran tersebut.

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah

suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan

a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :

antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- perbuatannya sendiri

undang.

b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu

b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan

sedemikian rupa, sehingga tidak dapat

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan perbuatannya-perbuatannya itu c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan perbuatannya-perbuatannya itu

2. Kesalahan

perbuatannya.

2.1. Pengertian Kesalahan

Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam

membuktikan bahwa orang itu telah melakukan praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk

bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal

memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk

tidak dibenarkan (an objective breach of a penal menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa

provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan

untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.

dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan

Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm- Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat

adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika

terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat

bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam

pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana). hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA

KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen

straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan).

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas

(taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan

dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi

ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6

artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4

kesalahan pada si pelaku.

/ 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam

pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur

pembuktian yang sah menurut undang-undang, kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di

mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim

dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan (asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau

yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil

sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt

dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah, melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent

seleh” (yang bersalah pasti salah). Untuk adany (kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).

pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di

2.2. Dasar Pemikiran

atas mempunyai sejarahnya sendiri. Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan

Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat

pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada

kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht pemikiran tentang hubungan antara perbuatan

atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan

diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak

a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

indeterminisme, yang pada dasarnya

perbuatannya.

berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini merupakan

Justru karena tidak adanya kebebasan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa

kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab ada kebebasan kehendak maka tidak ada

dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan,

terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada

tindakan (maatregel) untuk ketertiban pemidanaan.

masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti

b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh determinisme mengatakan, bahwa manusia

si pelaku.

tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan

c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak

tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk (dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam

hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-

Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan motif ialah perangsang-perangsang yang datang

ada dan tidak adanya kehendak bebas dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan

watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang,

1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana tidak dapat dicela atas perbuatannya atau

dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia

Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang

dalam suatu delik merupakan pengertian ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai

psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si penulis.

pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan

a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah jawab dalam hukum (Schuld is de verant

keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk

woordelijkheid rechtens)”.

adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku

d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder

kesalahan yang paling luas memuat semua unsur Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen

dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan personlichen Verwurf gegen den Tater

menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang begrunden).

melawan hukum, meliputi semua hal, yang

b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai bersifat psychisch yang terdapat dapat

pengertian yang “sociaal ethisch” dan keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk

mengatakan antara lain : si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat

complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en “Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab

deswege een strafbare dader).

dalam hukum pidana ia berupa keadaan

e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa” psychisch dari si pelaku dan hubungannya

mengatakan : “Pengertian salah dosa terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa

mengandung celaan. Celaan ini menjadi berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu

dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum perbuatannya dapat dicelakakan kepada si

pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa pelaku”.

berada, jika perbuatan dapat dan patut berada, jika perbuatan dapat dan patut

beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan mengandung perlawanan hak; perbuatan itu

dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut : harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun

- Pengertian kesalahan yang normatif dengan salah”.

f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada Pandangan yang normatif tentang kesalahan

pelanggaran norma yang dilakukan karena ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu berdasar sikap batin atau hubungan batin antara

merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu

hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, harus ada unsur penilaian atau unsur normatif

yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya

kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara

Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang

sipelaku dengan perbuatannya.

sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin

“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan,

dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat pada kesengajaan hubungan batin itu berupa

dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan

diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.

bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)

dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala keadaan batin berupa kehendak terhadap

orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka perbuatan atau akibat perbuatan.

yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang

tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat

Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya

ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan

diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische

dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti

pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk

mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan

bertanggungjawab dan tidak adanya alasan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat,

penghapus kesalahan. bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak-

tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati

1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama

Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.

a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid)

1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana

b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian

dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang

yaitu :

melawan hukum

a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah

dapat disamakan dengan pengertian dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur

“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di

2. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang

(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi

seluas-luasnya)

apabila dikatakan, bahwa orang bersalah Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan

melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi :

bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan

a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada (sculdvorm) yang berupa :

sipelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa

1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah

intention) atau orang tertentu menjadi “normadressat” yang

2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid,

mampu.

fahrlassigkeit atau negligence).

b. hubungan batin antara sipelaku dengan

c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.

atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini

kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah

seseorang pelaku terhadap perbuatannya.

“kealpaan”.

c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang

Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan

luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku

perbuatannya, maka berubahlah pengertian sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan

kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).

adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa (ps. 49 KUHP)

menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan ialah adanya :

Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau

1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga

het feit)

bisa dipidana.

2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya

(strafbaarheid van de persoon).

Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang

bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.

Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak

melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku.

Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya

mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.

BAB VI

mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu

KESENGAJAAN

kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.

(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)

1. Teori-teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan

Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas- mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum

luasnya (pertanggungjawaban pidana) adalah hubungan pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut:

batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa

a. Teori kehendak (wilstheorie)

berupa kesengajaan atau kealpaan. Inti kesengajaan adalah kehendak untuk

Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan

tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui undang-undang (Simons, Zevenbergen)

arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet)

b. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling- sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en

theorie)

wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa Sengaja berarti membayangkan akan akibat

sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa

dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan menghendaki akibat, melainkan hanya dapat

sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu membayangkannya. Teori ini menitikberatkan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu membayangkannya. Teori ini menitikberatkan

c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia

eventualis atau voorwaardelijk-opzet) akan berbuat. (Frank).

Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua

kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui

sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk

dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori

akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya

beserta akibatnya.

saja. Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B

2. Bentuk Kesengajaan

agar B tidak membohong.

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap

motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari

mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel kesengajaan sebagai berikut :

dsb.

a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat); dolus

kausa yang menghubungkan perbuatan dengan directus

akibat (kausalitas) dimana :

b. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met

1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat zekerheidsbewustzijn atau

merupakan delik tersendiri atau tidak. noodzakkelijkheidbewustzijn

2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan

Contoh 2 :

suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no.

A hendak membalas dendam B yang bertempat

1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi. tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun

Contoh 1 :

dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga

A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya,

duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap

terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan

restoran itu. dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam

batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan

baginya.

tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406 KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan

Jadi dalam kasus ini :

kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan.

Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan

Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)

merupakan diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar

Contoh 3 :

terjadi merupakan resiko yang harus diemban Seorang yang melakukan penggelapan, merasa

sipelaku. bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin

menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak

3. Dolus Eventualis

kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana

dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang. sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki

Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana,

(1 ton) itu dapat dibayarkan kepada soprnya. akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat

Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. mengelak dari suatu keadaan tertentu. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan

Contoh:

seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang diperkuat

Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding

lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan

sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain

ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa sebagai berikut:

menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya

Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang- itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada

penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh,

ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia

perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki

mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan

ketika menjadi Jaksa Tinggi (Officier van Justitie) kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia

pada R.v.J di Semarang. mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima pada R.v.J di Semarang. mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima

batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu

Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori

bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In

perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen

menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar

theorie”).

kemungkinan (dolus eventualis) ? Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie

Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku “atau”op de koop toe nemen theorie”) keadaan batin si

menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai

menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun

berikut:

nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut

a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan

benci atau takut akan kemungkinan timbulnya itu.

akibat itu

b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui /

namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul, apa membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat

boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak

berani memikul resiko.”

mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu.

Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. batin yang berupa kesengajaan (atau kealpaan) itu Menteri Modderman mengatakan, bahwa

benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat “voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada,

secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain, apabila kehendak kita langsung ditujukan pada

lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui

orang ini berbuat.

bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan

kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran.

terjadinya hal yang telah kita ketahui itu. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan

Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan

banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan

kesengajaan itu.

sadar kemungkinan.

Contoh Van Bemmelen:

Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang

A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat

meter.

bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan

Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap

kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap perbuatannya.

akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang

Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi

kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap

yang mengatakan (dalam bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman

Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan, 169), bahwa: Kesengajaan senantiasa ada

sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat hubungannya dengan dolus molus, dengan

berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul

tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini berhubungan adanya kesadaran mengenai sifat melawan

dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya

itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada

dilarang (bersifat melawan hukum) ? sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya

dilarang dan/atau dapat dipidana

Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang

b. Kesengajaan tidak berwarna

mengatakan bahwa: Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak

a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya

melakukan sesuatu perbuatan mencakup kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu

pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak

melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat

antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan

melawan hukum.

hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk

Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut pendirian

sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu

bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya

termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu keliru.

Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada

Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, “boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian :

meskipun pada kenyataannya ia melakukan perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia

“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu

tidak dapat dipidana.

apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata

4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP

susila tidak dibenarkan (zadelijk ongeoorlooid) ? M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara

Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak

perlukah adanya “kesengajaanj jahat” (boos opzet) dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja)

dikuasai atau diliputi olehnya”.

Jawabnya tidak akan lain dari pada itu. Oleh karena itu pembentuk undang-undang

Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan itu berwarna ialah akan merupakan beban yan

“opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan

bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua adanya kesengajaan, tiap kali ia harus

pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka membuktikan bahwa pada terdakwa ada

perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan” kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya

(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa

kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa

terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal

sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana apa saja ? Pecahkanlah sendiri !

hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran

Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak

pada teks tersebut.

berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan,

Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met yang disebut di belakang perkataan sengaja,

het oogmerk om ........ (dengan tujuan untuk), diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa

misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut

surat (ps. 263), ialah yang disebut “Tendenz-delikte” yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu

atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau

tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya

unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini umum atau bahaya maut tersebut”.

memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.

Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi

Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam

het oogmerk om..............(dengan tujuan untuk.........), teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks

misalnya dalam delik pencurian (pasal 362), resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh

pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang disebut karena itu teknik perundang-undangan dalam

“Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak

bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan,

itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.

dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam keadaan

4.1. Kata “dan” tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang,

maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan

yang bisa membebaskan.

sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan: Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig

- Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe

hukum (wederrechtelijk) hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of

- Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa

wegmaakt, wordt.....................

kata dan - Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan

Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi

demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan merumuskan sebagai “sengaja dan melawan

hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).

kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga pandangan:

Contoh:

a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk

yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu van devrijhiid berooft of berooft houdt..............

ditujukan kepada sifat melawan hukumnya Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi

perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain

hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan, kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada

Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan

mendapat perintah dari pemilik rumah untuk asas, bahwa semua unsur yang terletak di

membongkar rumahnya, tetapi sebelum belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya.

melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut

olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia

membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan sama sekali tidak mengetahui sifat melawan

dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana. hukumya perbuatan yang ia lakukan.

b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya. Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat

yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen, Semua delik yang menurut unsur “sengaja

Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan

Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. melawan hukum”, yang berarti dua hal yang

21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain,

unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada meskipun tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut :

perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak Dalam hukum, pendapat ini diragukan.

diliputi oleh kesengajaan.

c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara

Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum” pendapat ini justru mengartikan sengaja dan

tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu

melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan hukum.

secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan.

5. Kesengajaan Menurut Doktrin

b. dolus determinatus dan indeterminatus

Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan :

Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus

a. dolus premeditatus

determinatus, pelaku misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada dolus

Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang indeterminatus pelaku misalnya menembak ke

mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih arah gerombolan orang atau menembak

dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak

yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air

delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340,

minum, dan sebagainya.

342 KUHP.

c. dolus alternativus

Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau

Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk

B, akibat yang satu atau yang lain

“voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada “voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk dapat dikatakan “ada

dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya. Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana,

Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama

bahwa semua akibat dari perbuatan yang sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di

disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus

tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus

ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan

eventualis”.

tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang. Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal

e. dolus directus

Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak

perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan

sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.

juga kepada akibat perbuatannya.

Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang

f. dolus generalis

sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa menganggap hal ini sebagai suatu pengertian

Pada delik materiil harus ada hubungan kausal yang tidak baik.

antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang.

Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada ajaran kuno (hukum kanonik) tentang

Misalkan seseorang yang bermaksud untuk pertanggung-jawab, ialah versari in re

membunuh orang lain, telah melakukan illicita.menurut ajaran ini seseorang yang

serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan melakukan perbuatan terlarang juga

kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut

tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku, dilempar ke air ia belum mati.

namun karena akibat yang dikenhendaki telah terjadi, maka disini menurut von Hippel ada

Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von

ialah harapan dari terdakwa secara umum agar Hippel ada pembunuhan yang direncanakan.

orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat

tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini. H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.

Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama (mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan

pembunuhan”, sedang perbuatan kedua (melempar ke kali) merupakan perbuatan yang

terletak / di luar lapangan hukum pidana atau “menyebabkan matinya orang karena kealpaannya”.

Contoh :

Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari

bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan

tetapi air pasangnya tidak setinggi yang diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan

BAB VII

menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita

KEALPAAN (CULPA)

Pasal 359

: Karena kealpaannya menyebabkan

matinya orang

Pasal 360

: Karena kealpaannya menyebabkan

orang luka berat dsb.

(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID,

: Karena kealpaannya menyebabkan RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT,

Pasal 409

alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) SEMBRONO, TELEDOR).

hancur dsb.

Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada

sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk

beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang

sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau sedemikian membahayakan keamanan orang atau

kurang penduga-duga. barang, atau mendatangkan kerugian terhadap

seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang

diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa

terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam

(teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang :

menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de Pasal 188

: Karena kealpaannya menimbulkan algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in

gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya sipenyimpan

peletusan, kebakaran dst

bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de

b. Van hamel

gaan”)

Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)

1. tidak mengadakan penduga-duga Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan

sebagaimana diharuskan oleh hukum. benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan

2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan

diharuskan oleh hukum.

merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang

ringan.

c. Simons:

Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:

Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :

a. Hazenwinkel – Suringa

1. Tidak adanya penghati-hati, di samping Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden

2. dapat diduganya akibat

mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:

d. Pompe.

1. kekurangan penduga – duga atau Ada 3 macam yang masuk kealpaan

2. kekurangan penghati-hati.

(anachtzaamheid): (anachtzaamheid):

1. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya

boleh orang yang paling cermat, paling hati-

2. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der hati, paling ahli dan sebagainya. mogelijkheid)

b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus

3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus kennen van de mogelijkheid)

memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan

seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya,

Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan

atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya

kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri

(=untuk tidak melakukan perbuatan).

harus didahulukan”.

Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara Apabila seorang pengendara dalam hal ini

normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang

Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin diatur itu, maka apabila perbuatannya itu

seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain

haruslah ditetapkan dari luar bagaimana luka berat, maka ia dapat dikatakan karena

seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran kealpaannya mengakibatkan orang lain

sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam

(Pasal. 360 (1) K.U.H.P)

situasi yang sama dengan si-pelaku itu.

Dalam hubungan ini VOS mengemukakan,

2. Bentuk kealpaan

bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara

hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak

sendiri. berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat

Ia menyatakan antara lain “Memang culpa

dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu

tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,

a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) namun culpa menunjukkan kepada tidak

patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang

tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia

mungkin perbuatan itu perbuatan yang percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya

abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.

tidak akan terjadi

Dalam delik culpoos tidak mungkin

b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). diajukan alasan pembenar (rechtvaar

digingsgrond). Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya

c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat

kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi

menduga sebelumnya.

harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang

tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang

penerbit).

mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).

pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya.

Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan

“diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan

“sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus

bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi

kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.

salah satu unsur dari delik itu.

3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa” - Pada delik penadahan ditujukan kepada hal

“bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188,

kejahatan”.

409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang - Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal

sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima

dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata,

kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.

bahwa belum mampu dikawin”.

Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik - Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “

yang salah satu unsurnya diculpakan. belum cukup umur dari orang yang sama kelamin

Misalnya:

itu”. - Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484

Pasal 480 (penadahan) ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang Pasal 480 (penadahan) ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang

betul mempunyai dugaan atau tidak.

Dalam surat dakwaan: Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa. Contoh :

a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi

a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda),

karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga,

tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, bahwa diperoleh dari kejahatan”.

tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.

b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus

b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan

melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di ditetapkan oleh Hakim.

tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh

c. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus dilihat apakah terdakwa mengetahui.

ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan

Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan

membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini

membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila

“schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H) lampunya normal, maka seharusnya ia dapat

menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak,

dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga

maka ini merupakan kealpaan.

bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama

BAB VIII

Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana

KESALAHAN DALAM DELIK

menurut M.v.T. :

PELANGGARAN

Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya

kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut.

Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu

pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.

diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas

Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak

dan susu).

pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan

Duduk perkara;

tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu

apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D,

Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu

tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu

tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi

tidak perlu dibuktikan. Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever

susu dengan nama susu murni, padahal dicampur susu dengan nama susu murni, padahal dicampur

terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:

A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.

a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A

A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih

B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever kurang demikian:

susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.

a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47

b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah

bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah

mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa

tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil

mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu.

schuld) peraturan ini dapat diterapkan kepada.

b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D)

c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan

W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal tidaknya susu yang disuruh melevernya.

unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk

c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam Undang-undang menyetujui sistem, orang yang

dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-

murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak. undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama

sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).

d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang

BAB IX

bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam

PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM

hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata

PENITENSIER)

dalam rumusan delik.

Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka:

Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan

a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan. pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang

b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui

yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada

tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). seseorang yang secara sah telah melanggar hukum

pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the

criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga

(kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.

Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing

sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum

merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.

bagian yang menentukan:

Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan

1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan

terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana hukuman itu sendiri.

lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan

UU non pidana yang memuat sanksi pidana); pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi

2. Beratnya sanksi itu;

sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai

3. Lamanya sanksi itu dijalani;

bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran

4. Cara sanksi itu dijalankan;dan

terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang

5. Tempat sanksi itu dijalankan.

mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan

merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran

dipelajari oleh hukum penitensier.

terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya

ISTILAH

berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman,

Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan

Punishment, dan Jinayah.

dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai

Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan

menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk

Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al: hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang

1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang

untuk pelaku pembakar/pembunuh) telah melanggar UU Hukum Pidana.

2. Dimatikan dengan suatu keris

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur

3. Dicap bakar.

atau ciri-ciri pidana meliputi:

4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)

1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-

5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara akibat lain yang tidak menyenangkan;

6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.

2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);

3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana

peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa:

rumusan delik/pasal). terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan

SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang

Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak (pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap

Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana

1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan

1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi). terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).

Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang

Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan

berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku

Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin

untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh

1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang

penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan

Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal

yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh

kejahatan dengan demikian orang yang salah harus negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang

dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif), dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari

hukuman harus memenuhi 3 syarat:

sudut subyektif);

a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang

etika)

berhak melakukan hal tersebut, mengingat;

b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi

1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh

(melanggar etika)

karena itu sangat logis jika negara diberi tugas

c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya mempertahankan tata tertib masyarakat;

delik.

2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat

2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa menjamin kepastian hukum.

penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman

pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat

memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan

 Merehabilitasi Pelaku

diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada

 Melindungi Masyarakat

treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan Saat ini sedang berkembang apa yang disebut

model medis. sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas

Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan

merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh

pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau

semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan

sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,

memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau

telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005. kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain

adalah memberikan perlindungan agar orang

Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP

lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak

tahun 2005:

disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami

Pasal 54

kejahatan.

(1) Pemidanaan bertujuan:

3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori

a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:

menegakkan norma hukum demi pengayoman  masyarakat;

Pembalasan, membuat pelaku menderita  Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak

pidana pidana

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

tindak pidana;

berguna;

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh

pembuat tindak pidana

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

h. Pengaruh pidana terhadap massa depan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

pembuat tindak pidana;

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau

e. memaafkan terpidana.

keluarga korban;

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan dan merendahkan martabat manusia .

/atau; k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana

Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman

yang dilakukan.

pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita. (2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau

keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang Pasal 55;

terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan

a. Kesalahan pembuat tindak pidana; tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

dan kemanusiaan.

c. Sikap batin pembuat tindak pidana; Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam

berencana; tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin

e. Cara melakukan tindak pidana; dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak e. Cara melakukan tindak pidana; dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak

1. Pencabutan beberapa hak tertentu pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan

2. Perampasan barang tertentu

resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk

3. pengumuman keputusan hakim

memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan

Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan

Pasal 65

pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

(1) Pidana pokok terdiri atas:

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

a. pidana penjara;

damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah

b. pidana tutupan

pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

c. pidana pengawasan

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP

menentukan berat ringannya pidana

Pasal 66

a. Hukuman Pokok:

1. Hukuman mati Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat

2. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup) khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

3. Kurungan

4. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)

Pasal 67

5. Tutupan (UU No.20/1946)

(1) Pidana tambahan terdiri atas:

b. Hukuman Tambahan: b. Hukuman Tambahan:

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

A. Dalam KUHP :

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

 Pembunuhan berencana

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau  Kejahatan terhadap keamanan negara kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

 Pencurian dengan pemberatan

masyarakat.

 Pemerasan dengan pemberatan

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama  Pembajakan di laut dengan pemberatan. dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan

B. Diluar KUHP;

pidana tambahan lain. (3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama

 Terorisme

dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri

 Narkoba

sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak

 Korupsi

tercantum dalam perumusan tindak pidana.  Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan

kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan

meluas dan sistematis.

pidananya. Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan

Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 : ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak

Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat

10 KUHP)

eksekusinya).

Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana

Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel,

mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah

menurut Utrecht :

dihukum menjadi gila dan wanita hamil.  Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh

menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar dan wanita tersebut telah melahirkan.

sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan:

Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam

terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan

KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)

tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain

Pasal 12 KUHP:  Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau

silent system, di mana para hukuman pada siang sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu

hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat

saling bicara, malam hari kembali ke sel. dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20

 Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di

system, menggunakan penilaian. Para hukuman indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan

mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara

menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut

keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan

menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).

memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya

dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave.

Tamping/building tender.

Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu

Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :

secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan

 Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.

1 orang/1 sel. Minimum security/maximum  Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum

security/Super Maximum Security (SMS) yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai

 Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki

dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok orang menjadi warga masyarakat yang berguna.

pagi. Ada jadwal kegiatannya.

Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih  Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan

pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi tidak baik ataupun melanggar aturan maka

terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan

dengan tutupan sunyi.

masyarakat.  Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama =  Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam

kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri kolam, kerja di bengkel LP untuk buat Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku

kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb. di Tangerang, Banten.

Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan dengan jam yang telah ditentukan.

Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda  Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB-

dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP. reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr

Pidana Tutupan (UU No.20/1946)

hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti

Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.

mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan  Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-

didasari oleh suatu motivasi yang patut sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :

dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun  diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh

Laki-laki dan perempuan membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape.  Orang dewasa dan anak di bawah umur

Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.  Orang yang dihukum/ditahan – orang yang

dihukum karena upaya preventif

 Orang militer dan orang sipil

Pidana kurungan

Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.

Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No.

BAB X

antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana.

PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

Percobaan yang dapat dipidana menurut

system KUHP bukanlah percobaan terhadap

I. PENGERTIAN

semua jenis tindak pidana. Yang dapat Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti

dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak beberapa istilah yang dipakai dalam kitab

pidana yang berupa “kejahatan” saja, undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti

sedangkan percobaan terhadap pelanggaran atau definisi mengenai apa yang dimaksud

tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya

pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP merumuskan batasan mengenai kapan

memperlihatkan adanya pemikiran dari para dikatakan adanya percobaan untuk melakukan

perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53

lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena (1) yang menyatakan :

itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika

Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan niat untuk itu telah ternyata dari adanya

umum dalam pasal 53 (1) diatas tidak berarti permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

bahwa percobaan terhadap semua kejahatan pelaksanaan itu, bukan semata-mata

dapat dipidana. Pengecualian tersebut disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

misalnya :

Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu  Percobaan duel / perkelahian tanding definisi, tetapi hanya merumuskan syarat-

(pasal 184 ayat 5);

syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas

 Percobaan penganiayaan ringan rumusan-rumusan delik. Dengan demikian terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);

menurut pandangan ini, percobaan tidak  Percobaan penganiayaan biasa (pasal

dipandang sebagai jenis atau bentuk delik 351 ayat 5);

yang tersendiri (delictum sui generis)  Percobaan penganiayaan ringan (pasal

tetapi dipandang sebagai bentuk delik 352 ayat 2);

yang tidak sempurna (onvolkomen

dekictsvorm). Termasuk dalam Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk

II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN

pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. delik khusus yang berdiri sendiri ataukah hanya

Hazewinkel-Suringa dan Porf. Oemar merupakan suatu delik yang tidak sempurna?

Seno Adji.

Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua

pandangan : (2). Percobaan dipandang sebagai (1). Percobaan dipandang sebagai

Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan

delik).

perluasan pertanggungjawaban pidana).

Menurut pandangan ini, seseorang yang Menurut pandangan ini, percobaan melakukan percobaan untuk melakukan

melakukan sesuatu tindak pidana suatu tindak pidana meskipin tidak

merupakan satu kesatuan yang bulat dan memenuhi semua unsur delik, tetap dapat

lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik dipidana apabila telah memenuhi rumusan

yang tidak sempurna, tetapi merupakan pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan

delik yang sempurna hanya dalam bentuk adalah untuk memperluas dapat

yang khusus/istimewa. Jadi merupakan dipidananya orang, bukan memperluas

delik tersendiri (delictum sui generis).

Termasuk dalam pandangan kedua ini sendiri dan merupakan delik ialah Prof. Pompe dan Prof. Moelyatno.

selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya

Alasan Prof. Moelyatno memasukkan belum selesai, jadi baru percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :

merupakan percobaan.

a. Pada dasarnya seseorang itu Misalnya delik-delik maker dipidana karena melakukan

(aanslagdelicten) dalam pasal suatu delik;

104, 106, dan 107 KUHP.

b. Dalam konsep “perbuatan pidana” (pandangan dualistis)

Mengenai contoh yang dikemukakan Prof ukuran suatu delik didasarkan

Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya pada pokok pikiran adanya sifat

dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. berbahayanya perbuatan itu

Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan sendiri bagi keselamatan

penganjuran (poging tot uitloking) atau yang masyarakat;

biasa juga disebut penganjuran yang gagal

c. Dalam hukum adat tidak dikenal (mislukte uit-lokking) tetap dapat dipidana, jadi percobaan sebagai bentuk delik

pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri. yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm), yang

Mengenai adanya dua pandangan tersebut ada hanya delik selesai.

diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa

d. Dalam KUHP ada beberapa pandangan pertama sesuai dengan alam atau perbuatan yang dipandang

masyarakat individual karena yang diutamakan sebagai delik yang berdiri

adalah strafbaarheid van de person (sifat adalah strafbaarheid van de person (sifat

percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan

masyarakat kita sekarang karena yang juga sifat berbahayanya perbuatan (segi

diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah dilakukan.

pendapat Langemeyer dan Jonkers. Namun karena dalam kenyataanya,

pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka

nampaknya lebih cendrung pada teori subyektif. Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan

III. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN

Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai ini, terdapat beberapa teori sbb:

penganut teori campuran. Menurut beliau

1. Teori Subyektif rumusan delik percobaan dalam pasal 53 KUHP Menurut teori ini, dasar patut dipidananya

mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat percobaan terletak pada sikap batin atau watak

untuk melakukan kejahatan tertentu) dan yang yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk

obyektif (kejahatan tersebut telah mulai penganut teori ini ialah Van Hamel.

dilaksanakan tetapi tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan

2. Teori Obyektif tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori Menurut teori ini, dasar patut dipidananya

obyektif dan teori subyektif karena jika demikian percobaan terletak pada sifat berbahayanya

berarti menyalahi dua inti dari delik percobaan perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat.

itu; ukurannya harus mencakup dua criteria Teori ini terbagi dua, yaitu :

tersebut (subyektif dan obyektif). Di samping itu

2.a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu

maupun obyektif, apabila dipakai secara murni terhadap tata hukum.

akan membawa kepada ketidak adilan.

2.b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik

beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu

IV. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN

terhadap kepentingan / benda hukum. Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas Penganut teori ini antara lain Simons.

terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah :

3. Teori Campuran.

IV.1. Niat.

Kebanyakan para sarjana berpendapat

1. Dalam hal percobaan selesai (percobaan bahwa unsur niat sama dengan sengaja

lengkap/voltoo-ide poging/completed dalam segala tingkatan/coraknya. Catatan

attempt), niat sama dengan kesengajaan; Prof. Moelyatno terhadap unsur niat :

2. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan

a. Niat jangan disamakan dengan terhenti atau tidak lengkap/geschorste kesenjangan, tetapi niat secara potensiil

poging/incompleted attempt), niat hanya dapat berubah menjadi kesenjangan

merupakan unsur sifat melawan hukum apabila sudah ditunaikan menjadi

yang subyektif (subyektif perbuatan yang dituju; dalam hal semua

onrechtselement).

perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat

Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila yang dilarang tidak timbul (percobaan

terdakwa telah melakukan semua perbuatan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100%

yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan, menjadi kesengajaan, sama kalau

tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi; mengahadapi delik selesai.

Misal : A bermaksud membunuh B dengan

b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi menjadi perbuatan maka niat masih ada

ternyata pistol tersebut tidak meletus atau dan merupakan sikap batin yang membari

tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve

ini, menurut Moelyatno, niat sudah berubah onrechtselement.

menjadi kesengajaan karena telah

c. Oleh karena itu niat tidak sama dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan. tidak bisa disamakan dengan

Tetapi apabila dalam contoh diatas, kesengajaan, maka isinya niat jangan

perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya diambilkan dari isinya kesengajaan

kejahatan belum dilakukan (misal : picu apabila kejahatan timbul; untuk ini

belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang diperlukan pembuktian tersendiri bahwa

juga belum ada maka dalam hal demikian isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat

dikatakan ada “percobaan tidak belum ditunakan jadi perbuatan.

selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam Dari delik percobaan dapat mempunyai dua

hal ini maka niat yang belum diwujudkan arti :

sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar)

HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana kepada suatu perbuatan yang melawan

yang lebih baru yang bertujuan memberantas hukum.

kejahatan sampai ke akar-akarnya. Dalam hal niat telah berubah menjadi

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan

yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat pendapat yang luas bahwa hal itu meliputi

sbb :

a. Pada delik formil, perbuatan kemungkinan.

juga kesenjangan sebagai keinsyafan

pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan

IV.2. Ada permulaan pelaksanaan.

delik;

Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok

b. Pada delik materiil, perbuatan dalam percobaan yang cukup sulit karena

pelaksanaan ada pabila telah baik secara teori maupun praktek selalu

perbuatan yang dipersoalkan batas antara perbuatan

dimulai/dilakukan

menurut sifatnya langsung dapat persiapan (voorbereidingshandeling) dan

menimbulkan akibat yang dilarang oleh perbuatan pelaksanaan

undang-undang tanpa mensyaratkan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan

adanya perbuatan lain.

masalah ini para sarjana menghubungkannya

Contoh untuk delik formil :

dengan teori atau dasar-dasar patut

A bermaksud melakukan pencurian dirumah dipidananya percobaan. Bertolak dari

B untuk melaksanakan aksinya, A telah pandangan atau teori percobaan yang

mempersipkan segala sesuatu peralatan subyektif, VAN HAMEL berpendapat bahwa

untuk mencuri, kemudian pada malam hari dikatakan ada perbuatan pelaksanaan

ia mendatangi rumah B. Sesampainya di apabila dilihat dari perbuatan yang telah

rumah B, ia mematikan lampu teras, dilakukan telah ternyata adanya kepastian

melepas kaca jendela dan baru saja A niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang

masuk rumah lewat jendela itu ia dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh

tertangkap.

VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap Apabila digunakan ukuran Van Hamel, batin yang jahat dan berbahaya dari si

maka dalam hal ini dikatakan sudah ada maka dalam hal ini dikatakan sudah ada

adanya ukuran Simons baru merupakan perbuatan

Dalam

menentukan

permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik persiapan, karena belum mulai melakukan

percobaan Prof Moelyatno berpendapat bahwa perbuatan seperti yang disebut dalam

ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu : rumusan delik (pencurian : pasal 362

1. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan KUHP) yaitu “ mengambil barang “. Apabila

2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya

A sudah mengambil barang dan pada saat Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut itu ketahuan dan tertangkap, barulah

beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 dikatakan pada saat itu A telah melakukan

syarat yaitu :

perbuatan pelaksanaan yang oleh

i. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan karenanya dapat dituntut telah melakukan

terdakwa harus mendekatkan kepada percobaan pencurian.

delik/kejahatn yang dituju atau dengan kata

Contoh untuk delik materiil :

lain, harus mengandung potensi untuk

A bermaksud membunuh B dengan

mewujudkan delik tersebut;

meledakkan mobil yang dikendarainya

ii. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, dengan dinamit di suatu tempat yang dilalui

harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang

B. A telah mempersiapkan dinamit dengan telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan segala peralatan yang diperlukan dengan

atau diarahkan pada delik/kejahatan yang rapid an menunggu di samping saklar

tertentu tadi;

sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada

iii. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai

terdakwa itu merupakan perbuatan yang dan akhirnya ditangkap, maka menurut

bersifat melawan hukum.

ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena untuk

V. PERCOBAAN

DALAM

BEBERAPA

meledakkan dinamit itu masih diperlukan

YURISPRUDENSI

perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan saklarnya.

Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.

Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H R (dengan persetujuan R).

baru merupakan perbuatan persiapan karena Pada malam yang telah ditentukan H masuk

belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang

melakukan pembakaran.

yang mudah terbakar di tiap kamar, yang Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD semuanya dihubungkan satu sama lain dengan

berpendapat bahwa perbuatan H baru merupakan sumbu yang akhirnya dihubungkan pada kompor

perbuatan persiapan, karena belum merupakan gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan.

perbuatan yang sangat diperlukan untuk Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali

pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar

dapat tidak menuju kearah dan langsung rumah yang terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-

berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan

juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju di tepi jalan menarik talinya maka pistol gas

pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas

pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah.

putusan Hof dan H dilepaskan dari segala Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H

tuntutan.

menyingkirkan benda-benda ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak

Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas orang berpendapat di dekat tali itu, sehingga H tak

dihubungkan pendapat para Sarjana yang telah mugkin menyelesaikan maksudnya.

dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa : - Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR,

Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) lebih cocok dengan teori atau pendapat di Her-togenbosch menyatakan bahwa perbuatan

Simons (Teori Obyektif Materiil);

H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan - Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar

pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil) pasal 53 jo 187 KUHP.

Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE

H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan

terdakwa H telah mulai dengan perbuatan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru

pelaksanaan pembakaran. Alasan yang merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung

dikemukakannya ialah : dikemukakannya ialah :

telah melakukan delik percobaan pembakaran delik;

seperti yang ditentukan dalam pasal 53 juncto

b. Jika HR menganggap perbuatan

pasal 187 KUHP”.

pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa

IV.3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-

adanya perbuatan lain, berarti jika tiap

mata karena kehendak pelaku sendiri.

perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan akibat terlarang, maka

Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan perbuatan pelaksanaan hanya ada

yang dituju bukankarena kehendak sendiri, percobaan lengkap saja, ini tidak tepat

dapat terjadi dalam hal-hal sbb :

karena di dalam teori dikenal juga adanya

a. Adanya penghalang fisik;

percobaan yang tidak lengkap. Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya

Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno disentakkan orang sehingga tembakan mengemukakan pendapatnya sbb :

menyimpang atau pistol terlepas. “Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau

Termasuk dalam pengertian dengan ukuran yang saya sarankan, maka

penghalang fisik ini ialah apabila mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan

adanya kerusakan pada alat yang adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan

digunakan (misal : pelurunya macet / terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang

tidak meletus, bom waktu yang jamnya dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu

rusak).

bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran,

b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu

tetapi tidak selesainya itu disebabkan apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat

karena akan adanya penghalang fisik. melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu

Misal : takut segera ditangkap karena di diami orang lain di waktu orangnya tidak ada,

gerak geriknya untuk mencuri telah hemat saya adalah perbuatan yang melanggar

diketahui oleh orang lain.

hukum. Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah

c. Adanya penghalang yang disebabkan dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan

oleh factor-faktor / keadaan-keadaan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan

minuman si korban, tetapi setelah Misal : daya tahan orang yang

diminumnya, ia segera memberikan ditembak cukup kuat sehingga tidak

obat penawar racun sehingga si mati atau yang tertembak bagian yang

korban tidak jadi meninggal. tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si

Sehubungan dengan masalah pengunduran pencuri telah berusaha

diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud mengangkatnya sekuat tenaga.

dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal

53 KUHP ialah :

Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu  Untuk menjamin supaya orang yang karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini

dengan kehendaknya sendiri secara dikatakan ada pengunduran diri sukarela,

sukarela mengrungkan kejahatan yang sering dirumuskan bahwa ada pengnduran

telah dimulai tetapi belum terlaksana, diri sukarela, apabila menurut pandangan

tidak dipidana;

terdakwa, ia masih dapat meneruskannya,  Pertimbangan dari segi kemanfaatan tetapi ia tidak mau meneruskannya.

(utilitas), bahwa usaha yang paling Tidak selesainya perbuatan karena kehendak

tepat (efektif) untuk mencegah sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :

timbulnya kejahatan ialah menjamin  Pengunduran diri secara sukarela

tidak dipidananya orang yang telah (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan

mulai melakukan kejahatan tetapi perbuatan pelaksanaan yang

kemudian dengan sukarela diperlukan untuk delik yang

mengurungkan pelaksanaannya. bersangkutan;

Dengan adanya penjelasan MvT tersebut,  Tindakan penyesalan (Tatiger Reue)

maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini yaitu meskipun perbuatan

merupakan :

pelaksanaan sudah diselesaikan,  Alasan pengahpus pidana yang tetapi dengan sukarela menghalau

diformulir sebagai unsur (Pompe). timbulnya akibat mutlak delik tersebut.

 Alasan pemaaf (van Hattum, Seno

Adji).

 Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, mengurngkan niatnya itu apabila telah Moelyatno).

menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.

Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini

Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam sebagai alasan pemaaf (fait d’ex-cuse)

perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua pendapat : maupun sebagai alasan pengahpus pidana,

a. Mempunyai konsekuensi materiil sebab perbuatannya tetap tidak baik (yang

Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur baik adalah tidak mencoba sama sekali)

yang melekat pada percobaan, jadi bersifat sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan

accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan ataupun membenarkan. Menurut beliau

perkataan lain, untuk adanya percobaan dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi

unsur ke-3 ini (tidak selesainya pelaksanaan stimulans bagi orang-orang lain yang

perbuatan bukan karena kehendak sendiri) mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk

harus ada. Ini berarti apabila ada ditengah-tengah mengundurkan diri secara

pengunduran diri secara sukarela, maka tidak sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas.

ada percobaan. Pendapat serupa ini terlihat Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan

dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait

1889 tentang kasus sumpah palsu. d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan

Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa maupun kesalahn tetap ada, tetapi tidak

saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas dituntutnya itu karena dipandang lebuh

sumpah telah meberikan keterangan yang berguna bagi masyarakat, seprti halnya

bertentangan dengan kenyataan (kesaksian dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP

palsu). Setelah Jaksa dan Hakim (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan

memperingatkan bahwa ia akan dituntut utilitas lain dikemukakan beliau ialah untuk

sumpah palsu, maka saksi tersebut mencabut menghemat tenaga dan biaya. Walaupun

kembali keterangan palsunya itu. Apakah Prof. Moelyatno memandang unsur ke-3 ini

saksi dapat dipidana karena percobaan sebagai alasan penghapusan penuntutan,

sumpah palsu?

namun beliau tidak berkeberatan untuk HR dalam putusannya berpendapat bahwa menuntut orang yang secara sukarela telah

saksi itu tidak dapat dipidana melakukan saksi itu tidak dapat dipidana melakukan

terlarang. Jadi pendapat kedua ini Begitu pula si penganjur tidak dapat dipidana

membedakan antara perbuatan yang dapat karena adanya pengunduran diri itu

dipidana (criminal act) dan pertanggung perbuatannya (saksi) tidak merupakan

jawaban pidana (criminal responsibility). perbuatan terlarang.

b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang

VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU

processuil) Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam

Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini pasal 153 maka unsur tersebut harus

timbul sehubungan dengan telah dilakukannya disebutkan didalam surat tuduhan dan

perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3

tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut ini tidak merupakan unsur yang melekat pada

undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia

delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat merupakan unsur yang berdiri sendiri.

disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini

: mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak tidak ada (yaitu karena adanya pengunduran

hamil, mencoba membunuh orang yang sudah diri secara sukarela) maka percobaan tetap

mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang dipandang ada. Jadi dalam kasus yang

ternyata kosong, dsb) atau karena tidak dikemukakan diatas, meskipun ada

mempunyai alat yang digunakan ( misal : mencoba pengunduran diri secara sukarela,

membunuh orang dengan gula yang dikiranya perbuatannya tetap dipandang sebagai

racun).

perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur

Pembeda antara percobaan mampu dan tidak adalah masalah pertanggunganjawab.

mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak

menganut teori percobaan yang obyektif, karena dipidana karena (menurut HR) disitu ada

hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya pengunduran diri secara sukarela, sedangkan

perbuatan. Para penganut teori yang subyektif sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah

tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih

mungkin ada delik percobaan. Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat Mengenai percobaan yang tidak mampu karena

bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari obyeknya, M.v.T mengemukakan :

dua segi :

“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 - Keadaan tertentu dari alat pada waktu si KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk

pembuat melakukan perbuatan melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II

- Keadaan tertentu dari orang yang dituju. KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu

Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak tersebut diperlukan adanya obyek, maka

mudah :

percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada

a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga

dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya : tidak ada percobaan”.

- Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat yang tidak mampu Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan

digunakan untuk membunuh, sedangkan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya

warangan (arsenicum) adalah mampu; percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.

- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu Mengenai percobaan yang tidak mampu karena

untuk membunuh (misal warangan) dapat alatnya, M.v.T membedakan antara :

menjadi alat yang tidak mampu apabila  Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat

jumlahnya tidak memenuhi dosis yang itu tidak pernah mungkin timbul delik

cukup mematikan (untuk arsenicum 5 selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada

mg).

b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat  Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat

delik percobaan.

secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena

dilihat dari keadaan konkrit tertentu. justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana

- Gula adalah alat yang tidak mampu si pembuat melakukan perbuatan atau

digunakan untuk membunuh orang pada justru karena keadaan tertentu dalam mana

umunya, tetapi dapat menjadi alat yang umunya, tetapi dapat menjadi alat yang

mampu dan tidak mampu ini dalah masalah - Warangan yang memenuhi dosis 5 mg,

hubungan kausal yang ada dalam lapangan merupakan alat yang mampu untuk

obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, membunuh, tetapi untuk orang yang

Pompe, Van Hattum) yang berusaha menentukan sudah biasa warangan sejumlah itu tidak

garis pembatas tersebut dengan menggunakan merupakan alat yang mematikan.

ukuran-ukuran dalam hubungan kausal. Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah

Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana teori generalisasi (adekuat) yang melihat secara yang menyatakan bahwa batas antara absolute

ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena dan relative itu tergantung dari kehendak orang

memang dalam hal percobaan, akibat yang yang menggunakan (willekeurig), tergantung dari

merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.

jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).

Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak yang tidak berpeluru.

mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu adalah sbb :

Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu,

1. SIMONS

tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah Ada percobaan yang mampu, apabila alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam

perbuatan yang menggunakan alat yang hal tertentu bersifat relative karena tidak ada

tertentu itu dapat membahayakan benda pelurunya.

hukum.

Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu,

Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata- maka para sarjana berusaha memberikan batas

nyata ada dalam keadaan khusus dimana atau ukuran antara percobaan yang mampu dan

perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan tidak mampu.

normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya normal, dengan alat tersebut tidaklah akan ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya

keseluruhan perbuatan yaitu membahayakan dan dengan sengaja pula alat

mencampurkan gula (yang diberikan itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat

oleh apotik) yang dikiranya warangan, itu tidak berbahaya akan lenyap dengan

kedalam makanan orang lain. diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.

3. VAN HATTUM

Dalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya

2. POMPE

Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau

hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada alat yang digunakan mempunyai kecendrungan

percobaan yang mampu, apabila perbuatan (strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk

terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat menimbulkan delik selesai.

dengan akibat yang dilarang oleh undang- Misal : - Mencoba membunuh orang dengan

undang.

mendoakan terus menerus supaya Dalam menggunakan hubungankausal yang mati, bukanlah percobaan yang

adekuat itu, menurut van Hattum yang penting mampu sebaliknya pemberian

adalah bagaimana merumuskan (memformulir) warangan pada orang yang normal

perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam adalah mampu jika jumlahnya

memformulir perbuatan terdakwa secara memang dapat mematikan orang yang

adekuat kausal itu, van Hattum memberikan normal.

ukuran/pedoman sbb :

- Ada orang membeli warangan di apotik

a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan untuk melakukan pembunuhan, tetapi

jangan dimasukan, karena rasa keadilan karena kekeliruan apotik, bukan

tidak membenarkan hal demikian member warangan yang diberikan tetapi gula

keuntungan kepada si pembuat; sehingga tidak menimbulkan kematian.

b. Hal-hal yang merintangi selesainya Dalam hal demikian, tetap dikatakan

kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, ada percobaan karena meskipun sifat

apabila pada hakekatnya perbuatan gula adalah tidak mampu secara apabila pada hakekatnya perbuatan gula adalah tidak mampu secara

dan menembakkannya” merupakan perbuatan Misal : Dengan maksud menembak musuhnya,

yang membahayakan benda hukum orang lain seseorang telah mengisi senapanya dengan

(berupa nyawa). Van Hattum menyatakan peluru dan kemudian meletakkannya di suatu

bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang tempat untuk menunggu saat yang baik.

dimasukkan dalam merumuskan perbuatan Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada

terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative orang lain mengososngkan senapanya itu,

akan menjadi ketidakmampuan yang absolut. sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain

4. MOELYATNO

(musuhnya itu). Dalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno

Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal janganlah perbuatan terdakwa diformulir

karena kenyataanya dalam percobaan tidak sebagai percobaan yang tidak mampu karena

sampai menimbulkan kejahatan yang dituju kenyataannya ia membunuh dengan alat yang

(tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang relative tidak mampu yaitu senapan yang

dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb :

patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya “mengarahkan senapan yang semula sudah

perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi diisi dengan peluru dan kemudian

ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, menembakkannya”. Perbuatan demikian

tetapi secara normatif.

merupakan yang pada umumnya dapat Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila menimbulkan akibat matinya orang lain (jadi

perbuatan terdakwa mendekatkan pada mempunyai hubungan kausal yang adekuat

terjadinya delik selesai sedemikian rupa untuk adanya pembunuhan). Dengan demikian

sehingga merupakan perbuatan yang melawan perbuatan terdakwa merupakan percobaan

hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau yang mampu. Tidak berbeda dengan

menganut ajaran sifat melawan hukum yang menembakkan senapan yang pelurunya macet.

materiil, maka perbuatan itu harus Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat

menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang

dilakukan.

Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan) yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952). Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong. Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut

masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum. Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.

5. MANGEL AM TATBESTAND

Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat dibedakan mengenai obyeknya maupun

Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang (hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benar- benar mengandung.

Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).

Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong.

Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :

a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa;

b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan melaksanakan delik yang dituju.

Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat anasir delik” yang harus dibedakan dengan pandangan yang subyektif tentang percobaan.

salah sangka tentang adanya undang-undang Sehubungan dengan masalah ini KARNI

(putatief delict).

membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan percobaan tidak mampu (istilah beliau

Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat “percobaan tak terkenan”). Dalam hal

Utrecht, delik putatief merupakan menggugurkan kandungan orang yang tidak

“rechtsdwaling” sedangkan Mangel am hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu

Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”. karena tujuan si pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini

VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN

bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:

Telah dikemukakan di muka bahwa menurut - Orang yang melarikan perempuan yang

system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah ternyata sudah cukup umur;

percobaan terhadap kejahatan, sedangkan - Orang yang mencuri barang yang

terhadap pelanggaran tidak dipidana.

ternyata sudah menjadi miliknya. Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya

maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang

pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP)

pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak

dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah

percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338 yang menurut Karni merupakan hakekat atau

KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. watak hukum dari Mangel am Tatbestand.

Bagaimanakah apabila kejahatan Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat

yangbersangkutan diancam pidana mati atau dipidana karena memang tidak ada pasal yang

penajara seumur hidup, seperti halnya dalam dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi

pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)? berlainan dengan van Hamel). Selanjutnya

Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am

dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara. Dengan Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang

demikian dapat disimpulkan bahwa menurut

KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan

BAB XI

adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana

PENYERTAAN

tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama

dengan kejahatan selesai.

A. BEBERAPA ISTILAH

1. Turut campur dalam peristiwa pidana

(Tresna).

2. Turut berbuat delik (Karni).

3. Turut serta (Utrecht).

4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris); Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation (Perancis).