Pemilihan Pasangan bagi Anak Perempuan Menurut Santri Perempuan dan Laki-Laki

Tabel 3. Pemilihan Pasangan bagi Anak Perempuan Menurut Santri Perempuan dan Laki-Laki

Santri

Santri Laki-Laki Pandangan Santri

Santri Perempuan

Yang memilih pasangan itu orang tua

Yang memilih pasangan itu si

anak

Wali mujbir boleh

memaksakan pilihan meski

anak tidak setuju

Wali mujbir tidak boleh

memaksakan pilihannya

Anak boleh menolak pilihan

wali mujbir

Anak tidak boleh menolak

pilihan wali mujbir

Anak boleh mengajukan

calonnya sendiri

Anak tidak boleh mengajukan

calonnya sendiri

Keterangan: Tanda “ * “ dengan catatan bahwa pilihan anak lebih baik dari pilihan wali mujbir ; tanda “ ** “ dengan catatan terjadi pada kondisi-kondisi yang khusus

atau kondisional, contohnya si anak tadi kehilangan kemampuan dalam menentukan pilihan, seperti anak tersebut gila (kurang berakal) ataupun masih kanak-kanak.

Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas santri berpandangan bahwa yang berhak menentukan calon bagi anak perempuan adalah orang tua, dalam hal ini tidak terbatas pada wali mujbir saja, namun juga dari pihak perempuan (ibu, saudara perempuan seibu dan seayah, dan nenek) dan wali mukhtar . Hanya ada satu orang, yakni RHN, yang menolak dengan tegas bahwa bukan orang tua yang berhak menentukan pilihan, namun si anak lah yang berhak menentukan pilihan hidupnya. Pada point apakah anak perempuan yang berhak menentukan pasangannya, terlihat dengan jelas, apakah itu santri perempuan ataupun santri laki-laki tidak memiliki pandangan yang sama. Mayoritas santri perempuan lebih menekankan bahwa anak perempuan pun memiliki hak untuk menentukan pasangan hidupnya, sedangkan hanya separuh dari santri laki-laki yang berpendapat seperti itu.

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa pandangan santri perempuan pun tidak homogen. Pada persoalan hak ijbar contohnya, terdapat tiga orang santri perempuan yang memperbolehkan wali mujbir untuk menggunakan hak ijbar , sedangkan lima orang lainnya menolak penggunaan hak tersebut. Adalah fakta yang sangat menarik ketika seorang santri perempuan, Amg, memberikan kebolehan bagi wali mujbir untuk melaksanakan hak ijbar dengan suatu catatan: bahwa anak perempuan tersebut kehilangan kemampuannya dalam menentukan pilihan, apakah anak perempuan tersebut gila ataupun kehilangan keperawanannya selain dengan sebab pernikahan.

Pandangan ini serupa dengan yang dikemukakan oleh al Jaziri, bahwa pelaksanaan hak ijbar sangat bergantung pada kondisi si anak perempuan, jika memang anak perempuan tersebut dapat dipaksa secara syarak, maka hak ijbar dapat dilakukan tanpa keraguan (lihat al Jaziri, 1969 4:42-46). Pandangan yang serupa dengan Amg pun terlihat dalam pandangan santri laki-laki. Baik Ayn maupun Arf sama-sama meyakini bahwa hak ijbar hanya dapat dilakukan dengan kondisi yang sangat situasional, meskipun Ayn lebih menekankan bahwa hak ijbar hanya dapat dilakukan pada anak perempuan yang masih di bawah umur, dengan demikian, Ayn secara tidak langsung lebih memilih untuk mendukung pernikahan bagi anak di bawah umur dengan paksanaan dari wali mujbir . Pandangan Ayn jelas menarik, secara legal, yang dimaksud dengan ‘anak’ adalah orang yang belum berusia delapan belas tahun (lihat UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lihat juga UU No.23

Tentang Perlindungan Anak). Jika merujuk pada UU Perkawinan, maka jelas penggunaan hak ijbar pada anak di bawah delapan belas tahun dianggap tidak sah.

Pada poin apakah wali mujbir tidak boleh menggunakan hak ijbar -nya, maka jelas santri perempuan lebih berteriak dengan lantang. Mayoritas santri perempuan menolak penggunaan hak tersebut, meskipun lagi-lagi Amg menolak dengan memberikan catatan yang berat pada pelaksanaan hak tersebut, hanya Anh dan Fzh yang terang-terangan mendukung hak ijbar tersebut. Hal yang berbeda justru datang dari santri laki-laki, di mana mayoritas mereka mendukung penggunaan hak ijbar , hanya ada dua orang yang memberikan catatan, yakni Ayn dan Arf, sedangkan sisanya seperti Amd, Hrw dan Amr menolak penggunaan hak ijbar tersebut.

Persoalan lain yang juga sangat menarik apakah si anak perempuan boleh menolak pilihan wali mujbir , lagi-lagi santri perempuan mendukung si anak untuk menolak pilihan wali mujbir , hanya Fzh yang dengan tegas menolak bahwa si anak perempuan tidak boleh menolak pilihan wali mujbir . Meskipun demikian, pandangan para santri perempuan pun di bayangi dengan keraguan, bahwa si anak berhak menolak adalah keputusan si anak, namun hal tersebut hanya dapat terjadi jika si anak memiliki calon yang lebih baik ketimbang pilihan wali mujbir . Hal serupa pun terjadi di kubu santri laki-laki. Amd dan Hrw terang menolak memberikan hak bagi anak perempuan untuk menolak pilihan wali mujbir , Ayn nampak lebih bersikap hati-hati dengan memberikan catatan bahwa si anak tidak kehilangan kemampuannya dalam menentukan suatu pilihan hukum, sedangkan sisanya memberikan kebolehan untuk menolak pilihan wali mujbir .

Pada point terakhir, yakni apakah si anak perempuan boleh mengajukan calonnya sendiri, beberapa santri lebih bersikap hati-hati dalam menentukan pilihannya. Dari kubu satri perempuan, Fzh lebih bersikap keras, yakni dengan menghapus hak si anak perempuan untuk mengajukan calonnya, hal yang sama juga di kubu santri laki-laki diwakili oleh Amd dan Hrw. Santri perempuan seperti Sry dan Mnt lebih memilih untuk memberikan catatan bahwa calon si anak lebih baik ketimbang calon dari wali mujbir , sedangkan sisanya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Di pihak santri laki-laki, Arn dan Amr pun bersikap sama yakni memberikan catatan bagi pilihan anak perempuan tersebut, sedangkan sisanya memilih untuk memberikan keleluasaan bagi anak perempuan untuk mengajukan calonnya sendiri.

Permasalahan yang paling krusial di sini adalah tidak adanya standardisasi dari suatu kelayakan calon pasangan. Anak perempuan boleh saja menolak pilihan wali mujbir dengan mengajukan calonnya sendiri, itu pun dengan catatan bahwa calonnya lebih baik ketimbang pilihan wali mujbir . Di sini lah letak permasalahan sebenarnya, yakni tidak adanya ukuran yang jelas mengenai kriteria ‘lebih baik’ tersebut. Jika merujuk pada kitab kuning, maka standar yang dapat digunakan adalah adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, atau dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah kafaah.

Membincangkan hukum dari bawah, refleksi atas pandangan para santri

Penelitian ini, yang kemudian saya tuangkan dalam makalah ini, dimulai dari suatu pertanyaan sederhana: benarkah pondok pesantren menjadi dalang atas marginalisasi posisi perempuan?; dan benarkah kaum pesantren justru mendukung hegemoni patriarki? Penelitian mengenai dikursus gender di pondok pesantren memang agak sulit dilakukan, mengingat betapa kompleksnya persoalan yang akan dibahas, dan fakta bahwa kaum pesantren agak “alergi” terhadap istilah gender. Oleh karena itu, saya merasa bahwa cara paling mudah untuk mengetahui adanya diskursus gender di pondok pesantren adalah dengan mengetahui pandangan dari para santri, baik itu santri laki-laki dan perempuan mengenai gender. Perkawinan menjadi topik yang dipilih berdasarkan berbagai alasan dan pertimbangan, dan hasil yang didapat, sedikit-banyak memberikan gambaran mengenai diskursus gender di pondok pesantren, khususnya di lokasi tempat penelitian ini dilangsungkan.

Adalah fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa sebagian besar kitab kuning, terutama kitab yang diajarkan di kedua pondok ini sarat dengan muatan bias gender. Bagaimana kitab kuning melakukan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, bagaimana perempuan dipingit dalam ruang-ruang domestik dan bagaimana laki-laki berkuasa di ruang publik, dan semuanya dilegalkan oleh kitab- kitab tersebut. Adalah fakta yang tidak disangkal pula bahwa agama, atau lebih tepatnya interpretasi ajaran agama yang menjadi sumber atas marginalisasi perempuan, di mana para ahli kebanyakan memang laki-laki dan cenderung memberikan kebebasan pada laki-laki ketimbang perempuan. Interpretasi ajaran agama menjadi begitu penting ketika membahas mengenai diskursus gender di pondok pesantren, karena interpretasi ini lah yang secara nyata dipelajari oleh para santri yang belajar di pondok pesantren. Interpretasi ajaran agama yang dipelajari sangat mungkin melembaga dalam kehidupan santri dan termanifestasikan dalam pandangannya.

Secara umum dapat dapat saya katakan bahwa santri laki-laki cenderung skriptualistik atau tekstualis. Dalam pandangannya, sangat jelas bahwa mereka menjadikan teks sebagai rujukan utama, dimana mereka tidak terlalu memperhatikan konteks yang terjadi masyarakat. Mereka pun tidak terlalu menjadikan diri mereka sebagai rujukan, ‘nothing personal, just business’. Kiranya tepat bahwa mereka tidak menganggap persoalan yang diajukan secara pribadi, bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa pandangan mereka adalah pandangan yang sangat umum ditemukan di masyarakat, sehingga mereka tidak menganggap bahwa pandangan mereka sarat dengan bias gender. Berbeda dengan santri laki-laki, santri perempuan cenderung kontekstual dalam melihat suatu persoalan. Dalam pandangan santri perempuan, konteks lebih diutamakan, meskipun mereka juga tetap menggunakan teks sebagai rujukan. “everything is personal” adalah kalimat yang cocok menggambarkan posisi santri perempuan. Segala sesuatu dilihat dari kacamata pribadi, dan hal ini lah yang membuat pandangan santri perempuan sangat berbeda dengan santri laki-laki. Palam pandangannya, sedapat mungkin mengakomodir kebutuhan istri (perempuan) tanpa menghilangkan peran suami (laki-laki), sebagaimana mereka mengakomodir hak anak perempuan ketika berhadapan dengan walinya.

Perbincangan mengenai hukum perkawinan pada dasarnya sangat luas dan kompleks. Hukum perkawinan tidak lah semata-mata hanya berdasarkan teks wahyu yang diturunkan, sebab bagaimana pun wahyu membutuhkan sebuah penafsiran untuk dapat dimengerti. Dalam konteks ini lah perbincangan ini menjadi sangat relevan. Relevansi perbincangan mengenai hukum perkawinan di antara santri setidaknya dapat dilihat pada dua hal: Pertama, perbincangan ini membuka sebuah fakta bahwa para santri yang belajar di kedua pondok ini secara intens membahas mengenai isu gender, khususnya mengenai hukum perkawinan. Kedua, intensitas ini muncul sebagai konsekuensi dengan dimasukkannya materi mengenai hukum perkawinan. Kebijakan pondok pesantren untuk memasukkan secara formal pembahasan mengenai hukum perkawinan patut mendapatkan apresiasi, mengingat persoalan pelik semacam ini tidak lah mudah dipahami jika tidak diajarkan secara serius.

Di sisi yang berbeda, perbincangan mengenai hukum perkawinan tidak lah semata atas dasar pengetahuan mereka atas hukum itu sendiri. Kondisi lingkungan sosial dan budaya tempat di mana mereka berasal turut andil pula dalam membentuk pandangan-pandangan mereka terhadap hukum tersebut. Pandangan para santri laki- laki maupun santri perempuan sedikit-banyak merefleksikan hal tersebut. Bagaimana para santri perempuan berupaya mengakomodir kebutuhan perempuan, terutama pemberian hak yang lebih luas, merupakan gambaran betapa kondisi lingkungan sosial dan budaya di sekitar mereka mempengaruhi pandangan-pandangan mereka mengenai hukum perkawinan.

Perbincangan hukum dari bawah, dalam konteks ini lebih difokuskan pada pandangan santri atas hukum perkawinan, merupakan sebuah pengalaman baru. Merupakan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa para santri rupanya menikmati perbincangan mengenai hukum perkawinan, terlepas bahwa pembahasan mengenai hukum perkawinan adalah materi yang wajib mereka pelajari. Dalam konteks yang lebih spesifik, pondok pesantren memiliki andil yang besar terhadap terbukanya perbincangan ini. Tidak hanya dikarenakan pesantren memiliki potensi membuka perbincangan ini dengan memasukkan materi hukum pernikahan dalam kurikulum formal, namun juga kemampuan mendorong para santri yang mempelajari hukum perkawinan untuk secara bebas dan terbuka membincangkan hal tersebut. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dua kebijakan yang berlangsung di kedua pondok ini, yakni membuka ruang diskusi dengan mengadakan bahsul masail yang umumnya membahas isu-isu menarik yang berkembang di masyarakat, dan membuka akses yang luas terhadap kitab kuning.

Perbincangan mengenai hukum perkawinan di tingkat santri setidaknya membuka sebuah kesempatan yang lebih luas untuk membuka pintu diskusi hukum di tingkat masyarakat (atau komunitas). Perbincangan mengenai hukum perkawinan, dengamn seluruh aspek yang melingkupinya dapat menjadi jalan baru terhadap penguatan posisi perempuan. Dengan dipahaminya hukum perkawinan, maka setiap pihak diharapkan mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat tanpa harus merasa superior dengan mensubordinatkan pihak lainnya. Dengan dipahaminya hukum perkawinan, maka setiappihak diharapkan mampu mengimplementasikan hukum tersebut, tidak hanya secara legal formal per se , namun juga Perbincangan mengenai hukum perkawinan di tingkat santri setidaknya membuka sebuah kesempatan yang lebih luas untuk membuka pintu diskusi hukum di tingkat masyarakat (atau komunitas). Perbincangan mengenai hukum perkawinan, dengamn seluruh aspek yang melingkupinya dapat menjadi jalan baru terhadap penguatan posisi perempuan. Dengan dipahaminya hukum perkawinan, maka setiap pihak diharapkan mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat tanpa harus merasa superior dengan mensubordinatkan pihak lainnya. Dengan dipahaminya hukum perkawinan, maka setiappihak diharapkan mampu mengimplementasikan hukum tersebut, tidak hanya secara legal formal per se , namun juga

Daftar Referensi

Abdullah, Irwan dan Azyumardi Azra. 2002. "Islam dan Akomodasi Kultural" dalam Taufik Abdullah [et.al] (ed.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam . Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Jilid 5. Hlm. 27-39.

Anwar, Ali. 2006. Ulama Pejuang: Biografi K.H. Noer Alie . Bekasi: Yayasan Attaqwa

Chaeruddin, H.A. 2002. "Perkawinan" dalam Taufik Abdullah [et.al] (ed.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam . Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Jilid 4. Hlm. 65-103.

Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam . Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Ensiklopedi Hukum Islam. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam . Jakarta: PT Ichtiar Baru

van Hoeve Fajri, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. t.t. Kamus Bahasa Indonesia . Jakarta : Difa

Publisher Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2 Jaringan Asia . Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan . Jakarta:

Penerbit Paramadina Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al Munawwir . Yogyakarta: Pondok

Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia . Jakarta: INIS

Poerwadarminta, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga . Cetakan pertama. Jakarta: Balai Pustaka

al Qarḍawi, Yusuf. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1 . Jakarta: Gema Insani Press

Shihab, M. Quraish. 2006. Membumikan al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat . Cetakan ke-29. Bandung: Mizan

Yayasan Attaqwa. t.t. Sejarah Ringkas Yayasan Attaqwa . Bekasi: Sekretariat Yayasan Attaqwa

Kitab Kuning al Babusi, Salwa Abdul Mun’im. t.t. Ahk ām ‘Aqdu al Zauj fi asy Syari’ati al

Islāmiyyati. Cairo: Kulliah ad Dirāsat al Islamiyyah wa al ‘Arabiyyah al Gazi, Muḥammad bin Qasim. t.t. Fatḥul Qarīb al Mujīb. Jakarta: Dārul Iḥya al

Kutub al ‘Arabiyah Jamal, A.M. 1994. Yasalunaka . Beirut: Darul Ihya al 'Ulum

al Jaziri, Abdurraḥman. 1969. Kitāb al Fiqhi 'ala al Mażāhibi al Arba'ah. Beirut: Dārul Fikr.

al Muḥilly, Jalaluddin Muḥammad dan Jalaluddin Abdurraḥman as Suyuṭi. 1981. Tafsīr al Qurān al Aẓīm. Beirut: Dārul Fikr

an Nawawi, Muḥammad bin `Umar. 2000. Syaraḥ ‘Uqud al Lujayn fī Bayāni Huquq az Zaujain . Jakarta: Pustaka Amani

Sabiq, Sayid. 1983. Fiqh as Sunnah . Beirut: Darul Fikr Zuhaili, Wahbah. 1997. al Fiqhul Islamī wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr.