Membincangkan hukum dari bawah Pandangan

Sekilas Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Putri dan informan

Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Pondok Pesantren Attaqwa Putri adalah dua pondok pesantren yang didirikan oleh K.H. Noer Alie. Pondok Pesantren Attaqwa Putra pada awalnya hanya lah pengajian kecil di dekat rumah K.H. Noer Alie pada tahun 1940 setelah beliau kembali dari belajar di Makkah. Pada tahun 1950, didirikan Madrasah Ibtidaiyah dan Pesantren Islam Bahagia setingkat Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 1956 dibentuk suatu yayasan untuk menaungi seluruh kegiatan belajar mengajar yang bernama Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I) yang tertuang dalam Akte Notaris Eliza Pondang SH. Pada tahun 1962 didirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA) yang merupakan perubahan sistem dari Pesantren Islam Bahagia, dengan lama pendidikan selama 6 tahun. Akhirnya pada tahun 1964 didirikan pesantren putri Albaqiyatussalihat yang menjadi cikal- bakal Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Tahun 1986, Madrasah Menengah Attaqwa berubah nama menjadi Pondok Pesantren Attaqwa Putra, dan pesantren putri Albaqiyatussalihat berubah nama menjadi Pondok Pesantren Attaqwa Putri (Anwar 2006, Yayasan Attaqwa, t.t.:4-5).

Pondok Pesantren Attaqwa saat ini dipimpin oleh KH. Nurul Anwar, Lc; sedangkan Pondok Pesantren Attaqwa Putri dipimpin oleh Hj. Atiqoh Noer Alie, MA. Kedua pondok ini terpisah secara lokasi maupun struktur organisasi. Sebagai akibat perbedaan struktur organisasi, masing-masing pondok memiliki kebijakan yang seringkali sangat berbeda, termasuk dalam kurikulum. Perbedaan dalam kurikulum lebih banyak terfokus pada penggunaan kitab yang diajarkan dan kebijakan internal pondok. Kedua pondok ini menggabungkan kurikulum nasional dan kurikulum pondok. Pada dasarnya, kurikulum yang digunakan di pondok ini adalah perpaduan antara kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan kurikulum lokal yang ditentukan oleh pihak pondok. Konsekuensinya adalah, setiap hari aktif belajar santri akan menerima dua macam materi pelajaran, yakni materi nasional dan materi Pondok Pesantren Attaqwa saat ini dipimpin oleh KH. Nurul Anwar, Lc; sedangkan Pondok Pesantren Attaqwa Putri dipimpin oleh Hj. Atiqoh Noer Alie, MA. Kedua pondok ini terpisah secara lokasi maupun struktur organisasi. Sebagai akibat perbedaan struktur organisasi, masing-masing pondok memiliki kebijakan yang seringkali sangat berbeda, termasuk dalam kurikulum. Perbedaan dalam kurikulum lebih banyak terfokus pada penggunaan kitab yang diajarkan dan kebijakan internal pondok. Kedua pondok ini menggabungkan kurikulum nasional dan kurikulum pondok. Pada dasarnya, kurikulum yang digunakan di pondok ini adalah perpaduan antara kurikulum nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan kurikulum lokal yang ditentukan oleh pihak pondok. Konsekuensinya adalah, setiap hari aktif belajar santri akan menerima dua macam materi pelajaran, yakni materi nasional dan materi

Informan dalam penelitian ini adalah santri tingkat Madrasah Aliyah, baik Pondok Pesantren Attaqwa Putra maupun Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Tercatat delapan orang santri Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan delapan orang santri Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Dari delapan orang tersebut, empat orang berasal dari kelas II Aliyah atau kelas XI, dan empat orang lainnya berasal dari kelas III Aliyah atau kelas XII. Adapun informan dari Pondok Pesantren Attaqwa Putra adalah AYN, ARN, AMD, dan ARF yang berasal dari kelas XII, dan RHN, DHM, HRW, AMR yang berasal dari kelas XI. Adapun informan dari Pondok Pesantren Attaqwa Putri adalah ANH, AMG, SRY, JMS yang berasal dari kelas XII, dan FZH, SRL, ERN, dan MNT yang berasal dari kelas XI.

Hukum perkawinan dalam lingkup kurikulum pesantren

Selah satu materi yang sama yang diajarkan, baik di Pondok Pesantren Attaqwa Putra maupun Pondok Pesantren Attaqwa Putri adalah tafsir Al Quran dan fikih. Meskipun memiliki perbedaan isu yang dibahas dan sumber referensi pembahasan, namun setidaknya kedua pondok ini membahas cakupan tema yang sama: hukum perkawinan.

Hukum perkawinan atau fikih munakahat memiliki posisi yang sangat penting dalam pembahasan hukum Islam secara keseluruhan. Fiqih munakahat acapkali memiliki jilid tersendiri, atau setidaknya bab tersendiri, yang berdampingan langsung dengan fiqih ibadat (membahas mengenai masalah ibadah), fiqih muamalat (membahas mengenai pergaulan), dan fiqih jinayat (membahas mengenai perkara

pidana). Fiqih munakahat memiliki pembahasan yang sangat luas, di antaranya adalah masalah pemilihan pasangan, mas kawin, hak dan kewajiban suami istri, perceraian, harta peninggalan (yang kemudian dijadikan kompilasi hukum tersendiri

sebagai fiqih mawaris [hukum yang membahas mengenai warisan]), hak pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Di sisi yang berbeda, pembahasan mengenai hukum perkawinan memiliki sumber referensi yang sangat luas, baik dari Al Quran maupun Hadis. Luasnya cakupan sumber tersebut memiliki pengaruh pada pembelajaran sumber-sumber tersebut, khususnya di pondok pesantren.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa salah satu ciri pondok pesantren adalah penggunaan kitab kuning. Hampir seluruh materi agama yang diajarkan di kedua pondok ini berasal dari kitab kuning. Pada dasarnya, terdapat empat kategori umum mata pelajaran yang menggunakan kitab kuning, baik di Pondok Pesantren Attaqwa Putra maupun Pondok Pesantren Attaqwa Putri, yaitu: (a) pelajaran ajaran Islam yang berkaitan dengan dogma atau ajaran. Termasuk dalam kategori ini adalah materi tafsir Sebagaimana telah diketahui, bahwa salah satu ciri pondok pesantren adalah penggunaan kitab kuning. Hampir seluruh materi agama yang diajarkan di kedua pondok ini berasal dari kitab kuning. Pada dasarnya, terdapat empat kategori umum mata pelajaran yang menggunakan kitab kuning, baik di Pondok Pesantren Attaqwa Putra maupun Pondok Pesantren Attaqwa Putri, yaitu: (a) pelajaran ajaran Islam yang berkaitan dengan dogma atau ajaran. Termasuk dalam kategori ini adalah materi tafsir

adalah ilmu tauhid, tasawuf

dan 4 , adab dan akhlaq ; (c) pelajaran yang berkenaan dengan ilmu alat dan bahasa. Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu

suluk

‘arudh 5 ; dan (d) pelajaran yang bersifat umum. Termasuk dalam kategori ini adalah 6 tarikh, dan ilmu falaq. Dari empat

nahwu , ilmu sharaf, balaghah , mantiq , dan

kategori tersebut, hanya pada kategori pertama di mana rujukan mengenai hukum perkawinan diajarkan.

Hukum perkawinan dijabarkan dalam dua materi pokok yang diajarkan di kedua pondok ini, yakni tafsir Al Quran dan fikih. Terutama di Pondok Pesantren Attaqwa Putri, terdapat satu materi lainnya yang juga membahas hukum perkawinan, yaitu materi Wanita Islam (WI). Materi tafsir Al Quran yang diajarkan, terutama pada saat penelitian ini dilangsungkan, di Pondok Pesantren Attaqwa Putra memfokuskan pada Al Anfal (Q.S.8) dan At Taubah (Q.S. 9), yang banyak berbicara mengenai hukum-hukum secara umum; sedangkan Pondok Pesantren Attaqwa Putri membahas mengenai Q.S. An Nisa (Q.S.3), At Taubah (Q.S.9), dan An Nur (Q.S.24) yang banyak membahas mengenai hukum, utamanya yang berkaitan dengan masalah hukum perkawinan. Materi fikih memiliki persamaan, yakni membahas mengenai hukum waris ( fiqih mawaris ) dan hukum pernikahan ( fikih munakahat ).

Pembahasan mengenai masalah hukum perkawinan, baik yang berupa materi fikih formal maupun sumber hukum yang berasal dari Al Quran, telah menjadi bagian integral dalam sistem kurikulum. Baik Pondok Pesantren Attaqwa Putra maupun Pondok Pesantren Attaqwa Putri secara sadar telah memasukkan pembahasan mengani hukum perkawinan dalam sistem kurikulum yang berlaku, dan telah secara sadar membuka ruang diskursus yang lebih intens bagi para santri untuk mempelajari

3 Tafsir al Quran, mempelajari makna dari suatu ayat dan penafsiran atau interpretasi yang diberikan oleh pengarangnya (mufassir). Ilmu Tafsir, berbeda dengan tafsir al Quran, pelajaran ini

membahas sejarah perkembangan tafsir dan metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan al Quran. Hadi , adalah seluruh perkataan, perilaku dan persetujuan Nabi Muhammad. Ilmu Hadi , mempelajari sejarah perkembangan Hadi , kategorisasi Hadi dan metode yang digunakan dalam memahami suatu Hadi . Fiqih, adalah cabang ajaran Islam yang berkaitan dengan pengambilan hukum suatu kejadian atau perkara. Ushul Fiqih, adalah ilmu yang mempelajari ushul atau kaidah-kaidah dasar yang digunakan dalam memutuskan suatu perkara dalam fikih

4 Tasawuf dan Suluk seringkali disebut sebagai mistisisme ala pesantren, mempelajari berbagai cara yang digunakan untuk mendekatkan diri dengan Allah SWT. Adab dan Akhlaq

mempelajari mengenai etika dalam berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia, dan hubungan dengan lingkungan sekitar

5 Ilmu Nahwu dan Ilmu araf mempelajari gramatika bahasa Arab, penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Balaghah, ‘Arudh dan Mantiq mempelajari bahasa Arab, cara penyampaian berupa semantik, hingga karya sastra dan prosa Arab berupa syair-syair, cara membaca syair, dan kritik

syair 6 Tarikh mempelajari sejarah Nabi Muhammad dan perkembangan ajaran dan syariat Islam,

seringkali disebut dengan Tarikh Tasyri’. Ilmu Falaq adalah Ilmu Astronomi, mempelajari bagaimana menentukan awal suatu bulan, penghitungan waktu sholat dan penentuan arah kiblat. Materi ini sangat jarang diajarkan, hanya beberapa pondok pesantren yang memasukkan materi ini dalam kurikulum yang digunakan.

sekaligus membahas mengenai hukum perkawinan dengan lebih terbuka dan leluasa.

Pemilihan pasangan dalam hukum perkawinan

Ketika penelitian ini dilangsungkan sepanjang tahun 2007, setidaknya saya mengangkat lima isu pokok terkait pandangan santri laki-laki dan santri perempuan terhadap hukum perkawinan, yaitu: (1) masalah pemilihan pasangan, (2) masalah hak dan kewajiban suami, (3) masalah hak dan kewajiban istri, (4) masalah nafkah, dan (5) masalah perceraian dan pengasuhan anak. Tulisan ini secara spesifik hanya membahas pada poin pertama, yakni pada masalah pemilihan pasangan dan hak wali di dalamnya, mengingat poin dua hingga lima telah banyak dibahas, oleh saya maupun orang lain.

Perkawinan merupakan salah satu institusi penting dalam kehidupan manusia. Dalam pengertian fikih, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah atau kawin atau yang semakna dengan hal itu (lihat Ensiklopedi Islam, 1994 4:32; Ensiklopedi Hukum Islam, 1996 4:1329). Secara umum, perkawinan memiliki tiga makna: pertama , makna secara bahasa; menurut pengertian bahasa, nikah berarti menghimpun dan mengumpulkan. Kedua , makna secara istilah, yaitu makna secara syarak atau agama. Ketiga , makna secara fikih, dan makna ini lah yang menjadi perdebatan di kalangan para ahli fikih. Perdebatan

muncul dari arti kata "nikah", namun para ahli fikih sepakat arti nikah secara syara’ (agama) adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari semua milik istri (badan dan kehormatan) untuk tujuan bersenang-senang (lihat al Jaziri, 1969 4:1-3; bandingkan dengan Sabiq, 1983 2:5-16; dan Jamal, 1994:322-325). Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 misalnya, perkawinan didefinisikan sebagai “....ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata nikah diartikan dengan: (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri dengan resmi/sah; (2) pernikahan; (3) hubungan seksual (Poerwadarminta, 2003:800-801). A l Quran sendiri menyebutkan kata ‘nikah’ dalam berbagai bentuknya, yang secara bahasa mempunyai arti “berhimpun” ditemukan sebanyak 23 kali, sedangkan kata “ zawwaja ” atau “ zauwj ” yang berarti “pasangan” untuk makna yang sepadan dengan nikah diulang sebanyak 80 kali (Shihab, 2006:191).

Perkawinan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh agama, bahwa agama Islam telah mengatur berbagai hal yang terkait dengan perkawinan adalah salah satu bukti di mana perkawinan memiliki posisi yang penting dalam Islam (lihat Sabiq 1983 2:11- 14). Perkawinan tidak hanya dimaksudkan sebagai ‘jalan resmi’ untuk melakukan hubungan seksual, lebih dari itu, perkawinan merupakan salah satu cara yang sangat dianjurkan agar dapat melanjutkan keturunan secara resmi dan diakui oleh agama. Perkawinan memiliki dua makna yang saling mendukung sekaligus sangat ambigu. Di satu sisi, nikah semata-semata dapat dipahami sebagai Perkawinan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh agama, bahwa agama Islam telah mengatur berbagai hal yang terkait dengan perkawinan adalah salah satu bukti di mana perkawinan memiliki posisi yang penting dalam Islam (lihat Sabiq 1983 2:11- 14). Perkawinan tidak hanya dimaksudkan sebagai ‘jalan resmi’ untuk melakukan hubungan seksual, lebih dari itu, perkawinan merupakan salah satu cara yang sangat dianjurkan agar dapat melanjutkan keturunan secara resmi dan diakui oleh agama. Perkawinan memiliki dua makna yang saling mendukung sekaligus sangat ambigu. Di satu sisi, nikah semata-semata dapat dipahami sebagai

Pernikahan memiliki berbagai dimensi yang saling terkait, salah satunya adalah syarat-syarat yang harus dilakukan sebelum pernikahan tersebut terjadi. Salah satu syarat utama dalam pernikahan adalah individu yang akan menikah, wali dan saksi. Wali adalah seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mengakadnikahkan seorang perempuan yang ada di bawah perwaliannya (Ensiklopedi Islam, 1994 4:35, al Jaziri, 1969 4:26, Sabiq, 1983 2:111, al Syarba i, 1977 3:95); menurut kesepakatan ulama, terutama Mazhab Syafi’i, seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri (al Gazi, t.t.:44). Dengan demikian, kehadiran seorang wali sebagai wakil perempuan sangat diperlukan.

Ulama fikih membagi perwalian dari sisi kekuasaan menjadi dua bentuk, yaitu: (1) al wilayah al ijbariyah (kekuasaan memaksa) dan (2) al wilayah al ikhtiyariyah (kekuasaan sukarela). Jika melihat dari sisi wali itu sendiri, para ulama

membedakannya menjadi wali al mujbir dan wali al mukhtar. Wali al mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya meskipun tanpa izin orang tersebut, yang termasuk dalam wali ini adalah ayah dan kakek. Sedangkan wali al mukhtar adalah wali yang tidak memiliki kekuasaan memaksa orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, dan yang termasuk dalam kategori ini adalah seluruh wali terkecuali ayah dan kakek (lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 1996 4:1336-40). Secara teori, jika seorang wali ingin mengakadnikahkan perempuan yang ada dalam perwaliannya, dia harus meminta izin dan persetujuan lebih dahulu kepada perempuan tersebut. Adapun mengenai permintaan izin dan persetujuan dari perempuan tersebut, hal ini dianggap sebagai sunnah , namun ada pula yang menganggap hal ini wajib (Chaeruddin, 2002:70; Ensiklopedi Islam, 1994 4:33).

Hak untuk memaksa ( hak ijbar ) yang dimiliki oleh ayah dan kakek tidak dapat dilakukan pada semua keadaan. Hak ijbar hanya berlaku bagi anak perempuan yang masih gadis atau belum pernah menikah ( al bikr ), di mana seorang gadis dapat dipaksa menikah dengan laki-laki pilihan ayah dan kakek. Jika anak perempuan sudah pernah menikah dan statusnya sebagai janda (tidak dipermasalahkan apakah itu janda cerai atau pun janda ditinggal wafat), maka hak ijbar tidak dapat dipergunakan (al Gazi, t.t.:45). Ayah dan kakek tidak boleh memaksakan pilihannya kepada perempuan

tersebut, namun harus seizin dan sesuai dengan keinginan perempuan tersebut. 7

7 Hak ijbar yang dimiliki oleh ayah dan kakek berlaku jika anak perempuan yang masih di bawah perwaliannya masih gadis dan/atau belum pernah menikah. Namun demikian, ada baiknya bagi

wali mujbir untuk menanyakan kepada anak perempuannya mengenai profil laki-laki yang akan menjadi calon suaminya, dan si anak gadis diperbolehkan untuk menyuarakan keinginannya, meskipun keputusan akhir tetap dipegang oleh wali mujbir . Salah satu hal yang menarik adalah, bahwa wali mujbir dapat mengambil kesimpulan bahwa si anak perempuan rela ia nikahkan dengan 'diamnya' anak perempuan tersebut, namun hal ini tidak berlaku jika anak perempuan tersebut berstatus janda, bahwa ia harus menyuarakan keputusannya dengan jelas apakah ia mau dinikahkan atau tidak. Jika

Masalah yang kemudian muncul adalah, bagaimana pelaksanaan hak ijbar yang dimiliki oleh ayah dan kakek bagi anak perempuan yang masih gadis atau belum pernah menikah. Hak ijbar hanya boleh digunakan pada orang-orang yang memang ‘dapat dipaksa’, yaitu: (a) orang yang tidak memiliki atau kehilangan kemampuan atau kecakapan bertindak hukum seperti anak kecil dan orang gila; (b) perempuan yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal; dan (c) perempuan yang telah kehilangan keperawanannya bukan dengan menikah, seperti akibat sakit ataupun akibat berzina (lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 1996 4:1339-1340; bandingkan dengan Nasution, 2002:170-186).

Hak ijbar atau hak untuk memaksa sebenarnya dibatasi penggunaannya, dalam artian bahwa meskipun ayah dan kakek memiliki kemampuan untuk memaksa anak perempuan, namun keinginan dari anak perempuan lah yang harus menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan hak ini. Sabiq (1983 2:16-23) memberikan ketentuan khusus, yakni jika wali melihat bahwa calon menantunya tidak setara atau se- kufu , maka ia berhak menolak calon yang diajukan oleh anak perempuannya yang masih gadis, terkecuali jika terjadi sebaliknya, maka wali mujbir tidak perlu menggunakaan kekuasaan yang dimilikinya.

Pemilihan pasangan tidak hanya hak yang dimiliki oleh anak perempuan, namun juga oleh anak lak-laki. Meskipun demikian, untuk laki-laki tidak dipersyaratkan berbagai hal dalam pemilihan pasangan kecuali dengan syarat-syarat

yang telah menjadi kebiasaan. 8 Sangat disayangkan, bahwa beberapa teks klasik tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai kriteria yang dapat dipergunakan oleh

perempuan dalam memilih laki-laki sebagai suaminya. 9 Pendapat yang agak lain datang dari al Ghazali (2003), bahwa ia menekankan bahwa pemilihan pasangan yang

tepat bagi anak perempuan adalah sangat penting, di mana anak perempuan tersebut nantinya akan terikat dengan pernikahan dan sulit untuk memutuskan ikatan tersebut. Sesungguhnya alasan terbesar dari pendapat al Ghazali tersebut adalah pada penekanannya ‘bahwa suami berhak untuk menjatuhkan talak pada istri pada keadaan apapun’. Berbagai teks klasik umumnya lebih menekankan pada laki-laki agar benar- benar memperhatikan kriteria yang tepat bagi perempuan yang kelak akan ia persunting.

perempuan tersebut menolak untuk dinikahkan, maka wali tidak dapat memaksakan kehendaknya (lihat al Jaziri, 1969 4:42-45; Zuhaili, 1997 9:6682-4).

8 Menjadi suatu kelaziman bahwa bagi laki-laki mempersyaratkan bagi calon mempelai perempuan empat hal pokok, yaitu: (a) kecantikan, (b) nasab atau garis keturunan, (c) kekayaan, dan

(d) agama. Persyaratan ini disandarkan pada Hadi Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang terjemahnya "Nikahilah perempuan karena empat hal: kekayaannya, garis keturunannya, kecantikannya, dan agamanya......" (lihat Sabiq, 1983 2:17).

9 Salah satu Hadi yang sering dipergunakan datang dari Aisyah yang berkata "Perkawinan itu bercampur, maka lihatlah kalian (wali) kemana akan diletakkan karimah -nya (kehormatan anak

perempuannya)"; dan juga dari Ibnu Hibban, bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda "Barangsiapa yang menikahkan anak perempuannya pada orang fasik (laki-laki), maka sungguh ia telah memutuskan kehormatannya (perempuan atas orang tuanya)". (lihat Sabiq, 1983 2:20; bandingkan dengan al Jaziri, 1969 4:54-60). Hadi ini menekankan akan pentingnya orang tua (wali) untuk mengetahui dengan pasti atas calon mempelai yang akan mempersunting anak perempuannya, dan hal ini pula yang menjadi dasar hukum atas pentingnya 'intervensi' orang tua dalam perkawinan anak perempuannya.

Perempuan adalah point penting dalam pembahasan mengenai pemilihan pasangan, di mana perbagai persyaratan yang sangat ketat diperuntukkan bagi perempuan. Perbedaan hak untuk memilih antara anak perempuan yang masih gadis dengan perempuan dengan status janda sebenarnya mudah dimengerti. Dalam banyak Hadi ṡ, Nabi Muhammad terang-terangan lebih menyukai jika ummatnya (laki-laki) menikah dengan anak perempuan yang masih gadis (perawan), dengan alasan bahwa

kedua belah pihak dapat saling menyenangkan satu sama lain. 10 Penekanan yang kuat pada anak perempuan pada gilirannya menjadikan hak untuk memilih pasangan lebih

banyak diberikan kepada laki-laki, di mana orang laki-laki diperbolehkan untuk menggunakan berbagai kriteria dalam memilih pasangan hidupnya. Perempuan lebih dibatasi dalam kepemilikan hak dalam pemilihan pasangan hidup, hal ini dikarenakan perempuan dianggap 'menjadi milik' dari laki-laki, sehingga tidak memerlukan hak apapun dalam pemilihan pasangan hidup.

Perempuan memang tidak memiliki hak yang pasti dalam menentukan pasangan, namun tidak berarti perempuan tidak memiliki hak tersebut sama sekali, hanya saja penggunaan hak tersebut amat terbatas sehingga diperlukan kondisi- kondisi khusus pada diri anak perempuan tersebut agar dapat mempergunakan hak tersebut. Salah satunya adalah kemampuan anak perempuan tersebut dalam memberikan nafkah baik untuk dirinya maupun keluarganya. Berbagai kitab kuning yang dipelajari membawa suatu isu yang hampir seragam, yakni bagaimana pentingnya intervensi orang tua – terutama ayah dan kakek dalam pemilihan pasangan bagi anak perempuannya. Anak perempuan dalam hal ini tidak dianggap memiliki kemampuan dalam memutuskan masalah jodohnya, mengingat orang tua tidak hanya mempertimbangkan kecocokan, namun juga pada persoalan kesetaraan atau kafaah .

Konsep ' kafaah ' (sepadan, sebanding, semisal atau setara) mengacu pada kondisi yang hampir sama atau setara antara anak perempuan dan keluarganya dengan calon mempelai laki-laki dan keluarganya atau sebaliknya. Kesetaraan ini setidaknya mengacu pada tiga hal, yaitu: (a) keyakinan agama, (b) garis keturunan, dan (c) status sosial – meskipun cukup banyak juga yang memberlakukan syarat keempat: (d) kekayaan (bandingkan dengan al Jaziri 1969 4:497, al Qar ḍawi 1995a:356). Bagi kalangan ulama, kafaah utamanya dimaksudkan dari segi ke- istiqamah -an dalam beragama dan akhlak ketimbang keturunan, kekayaan dan lain sebagainya (Ensiklopedi Islam, 1994 4:381). Meskipun demikian, beberapa ulama berbeda pendapat mengenai kriteria kafaah. Sabiq misalnya, menekankan kafaah pada enam hal, yaitu: (a) keturunan, (b) kemerdekaan, (c) agama, (d) profesi, (e) kekayaan, dan (f) keadaan jasmani (Sabiq, 1983 2:39). Keadaan yang setara antara suami dan istri penting artinya agar pergaulan sosial antara suami dan istri lebih menjamin tercapainya keharmonisan rumah tangga.

10 Salah satu alasan penting dari hal ini adalah Hadi Nabi, ketika seorang sahabat, Jabir bin Abdullah, menikahi janda, maka Nabi berkata "Nikahilah kalian akan gadis yang dapat engkau

bersenang-senang dengannya dan ia dapat menyenangkan engkau".

Pandangan santri laki-laki dan perempuan mengenai hak memilih pasangan

Hak memilih pasangan adalah sesuatu yang sangat krusial sebelum dilangsungkannya sebuah perkawinan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak memilih pasangan merupakan persoalan pelik yang jarang mendapat perhatian serius, padahal perbincangan mengenai hak memilih pasangan terdapat persoalan posisi anak perempuan di mata hukum. Hak untuk memilih pasangan secara leluasa, setidaknya dalam hukum perkawinan, hanya dimiliki oleh mereka yang telah menikah atau dalam hal ini janda, tidak dipermasalahkan apakah itu janda cerai atau tinggal mati. Dalam pemilihan pasangan, terdapat beberapa kesamaan maupun perbedaan pandangan antara santri laki-laki dan santri perempuan.

Sebagian santri laki- laki memilih ‘kutub ekstrem’ dalam menentukan posisinya, sebagian memilih jawaban yang lebih manusiawi. Seorang santri, Hrw menuturkan:

“....yang berhak menentukan pasangan untuk anak perempuan itu orang tua, di mulai dari urutan wali yang paling dekat....karena mereka itu orang-orang yang dekat, jika ada yang meninggal, maka yang paling dekat (dengan si anak secara urutan nasab atau sesuai dengan urutan wali) lah yang berhak.... wali mujbir boleh memaksakan si anak meskipun tanpa izin dari anak tersebut....dan anak perempuan tidak boleh menolak laki-laki pilihan wali mujbir . Suka atau tidak, si anak harus tetap menikah dengan laki-laki tersebut (pilihan wali mujbir ).... ”

Pandangan Hrw merepresentasikan kutub ekstrem, di mana Hrw dengan tegas dan lugas menyatakan bahwa hak memilihkan pasangan adalah orang tua, bahkan jika orang tua atau wali mujbir tidak ada – meninggal atau sebab lainnya – maka yang berhak memilihkan adalah wali mukhtar , yakni wali selain ayah dan kakek. Pendapat ini jelas sangat menyulitkan anak perempuan, jika wali mujbir tidak ada, maka yang menggantikan wali mukhtar , seperti saudara laki-laki sekandung ( akh syaqiq ), anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ibnu akh syaqiq ), saudara laki-laki sebapak ( ‘am lil ab), sudara laki-laki seibu (‘am lil umm), anak laki-laki saudara laki-laki sebapak ( ibnu ‘am lil ab) dan anak laki-laki saudara laki-laki seibu (ibnu ‘am lil umm ). Secara teoritis, jika wali mukhtar ikut dilibatkan dalam pemilihan pasangan, maka persoalan pemilihan pasangan akan melibatkan terlalu banyak pihak, dan akan semakin menyulitkan si anak perempuan tersebut. Lebih lanjut, Hrw juga memberikan hak bagi wali mujbir untuk menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah dengan calonnya meskipun tanpa seizin anak perempuan tersebut, dan anak perempuan tidak boleh menolak, apalagi mengajukan calonnya sendiri.

Pandangan Hrw jelas akan mendapatkan banyak tentangan dari santri perempuan, mengingat Hrw secara tegas menolak memberikan hak bagi anak perempuan untuk menentukan pilihannya. Pada dasarnya, hak ijbar adalah hak prerogratif yang dimiliki oleh wali mujbir , namun demikian, penggunaannya sedapat Pandangan Hrw jelas akan mendapatkan banyak tentangan dari santri perempuan, mengingat Hrw secara tegas menolak memberikan hak bagi anak perempuan untuk menentukan pilihannya. Pada dasarnya, hak ijbar adalah hak prerogratif yang dimiliki oleh wali mujbir , namun demikian, penggunaannya sedapat

“....yang berhak memilih pasangan itu si anak perempuan sendiri, sebab sekarang sudah bukan jamannya Siti Nurbaya. Namun jika ia (anak perempuan)

salah memilih, wali mujbir harus

meluruskannya....apakah wali mujbir boleh memaksa atau tidak, ya tergantung apakah anak perempuan itu gadis atau janda....kalau dia gadis, maka wali mujbir boleh memaksa meskipun tanpa seizinnya dan si anak perempuan tidak boleh menolak pilihan wali mujbir tersebut....”

Pandangan yang serupa juga datang dari Amd. Bagi Amd, boleh jadi roman Sitti Nurbaya menjadi inspirasi tersendiri. Meskipun demikian, tidak berarti Amd lepas tangan atas apa yang terjadi, ia juga memberikan hak kepada wali mujbir untuk ‘meluruskan’ si anak perempuan tadi jika salah dalam memilih pasangan. Nampaknya, tragedi Siti Nurbaya akan kembali terulang dengan diberikannya hak

pada wali mujbir untuk ‘meluruskan’ si anak perempuan. Pemberian hak pada wali mujbir untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh anak perempuan merupakan pemberian legitimasi bagi wali mujbir untuk dapat memaksakan pilihannya dengan dalih bahwa si anak perempuan salah dalam memilih pasangan hidup. Hal ini semakin di perparah dengan di perbolehkannya penggunaan hak ijbar oleh wali mujbir , dan anak perempuan tidak memiliki hak untuk menolak paksaan tersebut, kecuali anak perempuan tersebut berstatus janda.

Barangkali, jawaban yang cukup ‘manusiawi’ datang dari Ayn. Ia menjawab:

“....yang paling berhak dalam memutuskan pasangan untuk anak perempuan itu orang tua, karena orang tua yang paling tahu mana yang terbaik untuk anaknya. Tetapi anak perempuan juga punya hak untuk mengajukan calon pasangannya dengan syarat orang tua merestui....kalau mengenai hak ijbar , saya rasa boleh-boleh saja asal kan ada alasan yang tepat dan mendesak....tapi saya rasa, model perjodohan sudah tidak relevan, jaman sekarang, mana ada anak perempuan yang mau dijodohkan....nah, kalau menolak pilihan orang tua, sebenarnya sih dosa, karena menolak pilihan orang tua, tapi jaman sekarang, kalau orang tua terlalu memaksa, nanti dibilang melanggar

HAM, kan susah kalau begini....”

Pandangan Ayn barangkali merepresentasikan pandangan yang moderat dikalangan santri laki-laki. Bagi Ayn, hak untuk memilihkan pasangan bagi anak perempuan berada di tangan orang tua, dan Ayn pun memberikan hak bagi anak perempuan untuk mengajukan calonnya sendiri, dengan syarat bahwa calon yang diajukan direstui oleh orang tua. Mengenai hak ijbar , pada dasarnya Ayn memperbolehkan dipergunakan hak tersebut asalkan terdapat alasan yang jelas, tepat dan mendesak. Lebih jauh, Ayn juga mengaitkan penggunaan hak ijbar dalam konteks masa kini, di mana Ayn meragukan relevansi penggunaan hak ijbar , apalagi jika dikaitkan dengan Hak Asasi

Manusia. Bagi Ayn, penggunaan hak ijbar dapat dilakukan namun sifatnya sangat kondisional, seperti anak perempuan tersebut belum berakal sempurna (belum akil balig) atau hilang akal (baik temporer maupun permanen), jika kondisi ini tidak terjadi, maka hak ijbar sebaiknya tidak dipergunakan, mengingat pada masa sekarang, model pemaksaan dalam perjodohan tidak lagi relevan untuk dilakukan.

Jawaban dengan nada yang sama datang dari Rhn, ia menjawab: “Kalau buat saya, anak perempuan itu sendiri yang berhak

memutuskan pilihan, kan itu untuk kelangsungan hidupnya nanti.... hak ijbar tidak boleh digunakan oleh wali mujbir , sebab nanti akan berdampak pada kejiwaan anak perempuan tersebut, lagi pula lebih banyak mudharat nya (kerugian)....bagi saya, anak perempuan boleh menolak calon wali mujbir dan mengajukan calon sendiri, ya sebab kan kalau perempuan memilih seorang laki-laki, bisa dibilang perempuan itu tahu bahwa laki- laki tersebut baik bagi dirinya....”

Pandangan Rhn juga memberikan nuansa yang sama, yakni memberikan kebebasan bagi anak perempuan untuk menentukan jodohnya sendiri. Bagi Rhn, jika seorang perempuan telah menentukan jodohnya, maka perempuan tersebut mengetahui bahwa laki-laki tersebut baik untuk dirinya. Oleh karena itu, hak ijbar tidak perlu digunakan, sebab akan lebih banyak kerugiannya ketimbang manfaatnya, lebih jauh Ayn juga membolehkan anak perempuan menolak hak ijbar , apalagi Ayn juga mengaitkan hak ijbar dengan kondisi kejiwaan si anak perempuan.

Berbagai kriterium yang nampak dalam jawaban para santri laki-laki dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Pemilihan Pasangan Bagi Anak Perempuan Menurut Santri Laki-Laki

Santri

Pandangan Santri AYN ARN AMD ARF RHN DHM HRW AMR

Yang memilih pasangan

itu orang tua Yang memilih pasangan itu si anak

Wali mujbir boleh memaksakan pilihan

meski anak tidak setuju Wali mujbir tidak boleh

memaksakan pilihannya Anak boleh menolak

pilihan wali mujbir √*

Anak tidak boleh menolak pilihan wali

mujbir Anak boleh mengajukan

calonnya sendiri

Anak tidak boleh mengajukan calonnya

sendiri Keterangan: Tanda “ * “ dengan catatan bahwa pilihan anak lebih baik dari pilihan wali mujbir ; tanda “ ** “ dengan catatan terjadi pada kondisi-kondisi yang khusus atau kondisional contohnya si anak tadi kehilangan kemampuan dalam menentukan pilihan, seperti anak tersebut gila (kurang berakal) atau pun masih kanak-kanak.

Adalah penting untuk dicatat, bahwa sebanyak lima orang santri laki-laki membolehkan wali mujbir memaksa anak perempuannya menikah dengan laki-laki pilihannya, meskipun dua di antara mereka memberikan catatan bahwa laki-laki pilihan wali mujbir lebih baik ketimbang pilihan si anak perempuan. Namun demikian, terdapat ambiguitas jawaban para santri laki-laki. Meskipun mereka membolehkan wali mujbir menggunakan hak ijbar , namun mereka juga membolehkan si anak perempuan menolak pilihan wali tersebut atau mengajukan calonnya sendiri. Hanya terdapat dua orang yang bersikukuh pada pendapat bahwa wali mujbir boleh memaksa dan anak perempuan tidak boleh menolak pilihan wali mujbir , dan hanya satu orang yang sangat ekstrem dengan menambahkan bahwa anak perempuan tidak boleh menolak bahkan mengajukan calonnya sendiri.

Agak mirip dengan santri laki-laki, santri perempuan pun memberikan reaksi yang beragam mengenai hak pemilihan pasangan. Seorang laki-laki memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, mengingat dirinya lah yang bertindak aktif dalam pemilihan pasangan dan pelaksanaan ijab qabul . Namun tidak demikian halnya dengan perempuan. Bagi perempuan masih ada wali mujbir , yakni ayah dan kakek yang mampu memaksakan pilihannya pada anak perempuannya yang masih gadis, dan hal ini menjadi topik pembahasan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Seorang santri, Srl, menuturkan:

“Menurut saya, yang berhak memilihkan pasangan untuk anak perempuan itu orang tua, tidak mungkin orang tua mencarikan jodoh yang tidak benar. Pasti orang tua mencarikan calon suami terbaik untuk anak perempuannya....”

Ketika ditanyakan bolehkan wali mujbir menggunakan haknya dan bolehkah anak perempuan tersebut mengajukan calonnya sendiri, ia menjawab:

“ Wali mujbir tidak boleh (menggunakan haknya) seenaknya, karena walau bagaimana pun juga seorang perempuan mempunyai hak untuk menentukan siapa orang yang berhak menjadi pasangan hidupnya nanti.... ya boleh, kenapa engga ? Perempuan kan punya hak untuk menentukan laki-laki mana yang akan menjadi pendamping hidupnya, kan ia juga yang akan menjalani (pernikahan)....”

Pandangan Srl menunjukkan suatu hal yang menarik, bahwa wali mujbir tidak boleh menggunakan hak ijbar yang dimilikinya. Hak ijbar adalah hak prerogratif yang dimiliki oleh seorang wali untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya. Penggunaan hak ijbar dapat dilakukan meskipun tanpa meminta pertimbangan anak perempuan tersebut, dan hal ini lah yang ditolak oleh Srl. Dalam pandangannya, seorang anak perempuan memiliki hak penuh untuk menentukan dengan siapa ia akan menikah. Meskipun demikian, ia juga tidak melupakan peran

orang tua – atau dalam hal ini bukan hanya wali mujbir – dalam memilihkan pasangan untuk anak perempuan tersebut. Meskipun orang tua diperbolehkan untuk memilihkan pasangan untuk anak perempuan tersebut, namun keputusan apakah akan mengikuti pilihan orang tua atau justru menolak berada di tangan anak perempuan. Dalam hal ini, Srl mengemukakan pendapat bahwa penggunaan hak ijbar tidak boleh dilakukan karena yang akan menikah itu si anak perempuan, bukan wali mujbir . Dalam pandangannya, Srl lebih mengutamakan keadaan si anak perempuan yang

akan menikah, di mana penggunaan hak ijbar justru dianggap akan ‘mengganggu’ bahtera rumah tangga si anak perempuan.

Jawaban yang diberikan Srl ini didukung oleh santri lain, Anh. Meskipun Anh memberikan pandangan yang agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Srl, Anh menyatakan:

“Menurut saya sih , yang berhak memutuskan pilihan pasangan untuk anak adalah orang tua, terutama bapak....mengapa? Karena beliau yang paling punya hak terhadap anak sekaligus sebagai wali nikah, yang pasti kan bapak (orang tua) akan memilihkan yang terbaik untuk anaknya....buat saya sih , boleh-boleh aja si perempuan menolak calon pilihan orang tuanya atau mengajukan calon sendiri, si anak (perempuan) tadi punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri, karena ini menyangkut kehidupannya.... ya orang tua ( wali mujbir ) boleh aja menggunakan hak ijbar nya, karena mereka punya hak....tapi harusnya kan mereka lihat dulu siapa calonnya, kalau calon tersebut baik untuk anaknya kenapa engga , lagian saya yakin anak

perempuannya ga akan nolak kalau dibicarakan baik-baik, dan

pastinya wali mujbir pun memilihkan calon yang baik untuk anaknya....”

Anh memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Srl. Dalam pandangan Anh, penentuan jodoh berada di tangan orang tua, atau lebih tepatnya bapak. Bagi Anh, tidak mungkin seorang bapak akan memilihkan jodoh yang buruk bagi anaknya. Anh juga memberikan kebolehan bagi si anak perempuan untuk menolak calon yang diajukan oleh bapak bahkan mengajukan calonnya sendiri. Meskipun demikian, Anh nampaknya tidak melupakan hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir . Wali mujbir boleh menggunakan hak ijbar nya, hanya saja, penggunaan hak ijbar dibatasi, yakni jika wali mujbir melihat bahwa calon yang diajukan oleh anaknya dianggap tidak baik atau tidak layak bagi anak perempuan tersebut. Dalam hal ini, pandangan Anh jelas lebih ‘mengambang’ ketimbang jawaban yang diberikan oleh Srl. Anh berpendapat bahwa hak ijbar hanya dilakukan jika calonnya tidak Anh memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Srl. Dalam pandangan Anh, penentuan jodoh berada di tangan orang tua, atau lebih tepatnya bapak. Bagi Anh, tidak mungkin seorang bapak akan memilihkan jodoh yang buruk bagi anaknya. Anh juga memberikan kebolehan bagi si anak perempuan untuk menolak calon yang diajukan oleh bapak bahkan mengajukan calonnya sendiri. Meskipun demikian, Anh nampaknya tidak melupakan hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir . Wali mujbir boleh menggunakan hak ijbar nya, hanya saja, penggunaan hak ijbar dibatasi, yakni jika wali mujbir melihat bahwa calon yang diajukan oleh anaknya dianggap tidak baik atau tidak layak bagi anak perempuan tersebut. Dalam hal ini, pandangan Anh jelas lebih ‘mengambang’ ketimbang jawaban yang diberikan oleh Srl. Anh berpendapat bahwa hak ijbar hanya dilakukan jika calonnya tidak

Jawaban ini juga didukung oleh Sry. Mendapatkan pertanyaan siapa yang berhak memutuskan pilihan pasangan untuk anak perempuan, Sry menjawab:

“....bagi saya, tidak hanya orang tua yang berhak, anak pun berhak memilih pasangan....yang akan menikah itu kan anak, bukan orang tua. Kalau anak tidak diberi hak untuk memutuskan pilihan pasangannya, ditakutkan anak tersebut merasa terpaksa, akhirnya rumah tangga yang harusnya sakinah (tenang), mawaddah (penuh rasa cinta) wa rahmah (dan penuh rasa kasih sayang) malah ga terwujud....”

Ketika ditanyakan bolehkah wali mujbir memaksakan pilihannya, dan bolehkah si anak perempuan menolak pilihan wali mujbir , Sry menjawab:

“Sebenarnya sih , menikah itu kan hal yang sakral dan tidak boleh ada unsur paksaan. Tapi jika pilihan wali mujbir itu lebih baik dari pada pilihan anak, maka wali mujbir boleh memaksa namun dengan cara yang halus....tapi jika pilihan wali tersebut tidak cocok buat si anak, misalnya ada cacat, maka boleh si anak menolak pilihan tersebut....Islam kan tidak melarang pembatalan saat khitbah

(melamar)....”

Jawaban yang diberikan oleh Sry menarik untuk disimak. Dalam pandangan Sry, keadaan si anak jauh lebih penting, di mana pernikahan yang muncul dari keterpaksaan justru menyebabkan tujuan pernikahan, yakni menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah , dan rahmah tidak akan terwujud. Sry lebih memberikan hak yang lebih besar bagi si anak perempuan untuk menolak pilihan wali mujbir , bahkan membolehkan si anak untuk mengajukan calonnya sendiri. Hak ijbar , dalam pandangan Sry, hanya boleh digunakan jika pilihan si anak perempuan dirasakan

tidak layak maka wali mujbir boleh menggunakan hak ijbar- nya, itupun setelah melalui pembicaraan dengan si anak. Lebih jauh, Sry juga membolehkan si anak perempuan untuk menolak pilihan wali mujbir, meskipun wali tersebut telah menggunakan hak ijbar nya, jika pilihan yang dijatuhkan oleh wali mujbir terdapat cacat. Sangat disayangkan Sry enggan merinci lebih jauh mengenai cacat yang dimaksud, namun jika melihat konteks pembicaraan, maka saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa cacat yang dimaksud adalah cacat yang dapat menyebabkan terjadinya khiyar atau pembatalan dalam perkawinan.

Adanya kebolehan bagi anak perempuan untuk menolak pilihan wali mujbir pun mendapatkan persetujuan dari santri lain. Seorang santri lainnya, Jms menjawab:

“Kalau soal pemilihan pasangan buat anak perempuan, tentu yang paling berhak itu orang tua atau wali mujbir , tapi wali mujbir tidak “Kalau soal pemilihan pasangan buat anak perempuan, tentu yang paling berhak itu orang tua atau wali mujbir , tapi wali mujbir tidak

Dalam pandangan Jms, hak untuk pemilihan pasangan bagi anak perempuan berada di tangan orang tua atau wali mujbir , namun sebagaimana santri lainnya, Jms juga memperbolehkan si anak perempuan untuk menolak pilihan tersebut bahkan

mengajukan calonnya sendiri. Bagi Jms, masalah hak ijbar terletak pada kepatutan dan kelayakan calon suami bagi anak perempuannya. Jika calon yang diajukan wali mujbir lebih baik ketimbang calon yang diajukan si anak perempuan, maka si anak tidak boleh menolak pilihan wali mujbir . Namun jika pilihan si anak lebih baik, maka

wali mujbir tidak boleh menggunakan hak ijbar . Jms juga memberikan pandangan yang agak berbeda, bahwa meskipun pilihan si anak lebih baik ketimbang pilihan wali mujbir , namun wali mujbir dapat memilih untuk tidak menikahkan si anak tersebut dengan laki-laki pilihannya. Adalah hak seorang wali untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya, apakah ia akan menikahkan anak perempuan tersebut atau tidak. Namun demikian, jika ternyata wali mujbir enggan menikahkan anaknya dengan laki-laki pilihan anak tersebut, maka si anak dapat meminta pada wali mukhtar , atau langsung meminta perwalian pada hakim atau wali tahkim .

Islam memperbolehkan anak perempuan untuk meminta hakim menjadi wali dengan beberapa kondisi: (1) tidak ada wali (baik wali mujbir maupun wali mukhtar ), (2) wali tersebut tidak memenuhi syarat sebagai wali atau (3) wali mujbir enggan menikahkan anak perempuannya, padahal anak perempuan tersebut telah meminta kepada wali mujbir untuk dinikahkan berkali-kali, dan calon yang diajukan oleh si anak telah memenuhi unsur kafaah atau setara (lihat al Babusi, t.t:111-114). Lebih jauh, bagi Jms, wali yang enggan menikahkan anak perempuannya dikategorikan sebagai wali yang zalim dan tidak adil.

Berbagai jawaban dari seluruh santri perempuan dapat dilihat di Tabel 2. di bawah ini:

Tabel 2. Pemilihan Pasangan bagi Anak Perempuan Menurut Santri Perempuan

Santri

Kriteria ANH AMG SRY JMS FZH SRL ERN MNT

Yang memilih pasangan itu orang tua

Yang memilih pasangan itu

si anak

Wali mujbir boleh memaksakan pilihan meski

- - - anak tidak setuju

Wali mujbir tidak boleh

memaksakan pilihannya Anak boleh menolak

pilihan wali mujbir √

Anak tidak boleh menolak

pilihan wali mujbir √

Anak boleh mengajukan calonnya sendiri

Anak tidak boleh mengajukan calonnya

- - - sendiri Keterangan: Tanda “ * “ dengan catatan bahwa pilihan anak lebih baik dari pilihan wali mujbir ; tanda “ ** “ dengan catatan terjadi pada kondisi-kondisi yang khusus atau kondisional contohnya si anak tadi kehilangan kemampuan dalam menentukan pilihan, seperti anak tersebut gila (kurang berakal) atau pun masih kanak-kanak.

Melihat tabel di atas, dapat dilihat adanya dua kecenderungan utama dalam pandangan santri perempuan. Santri perempuan setuju bahwa yang berhak dalam memilihkan pasangan bagi anak perempuan itu orang tua si anak. Selain itu, sebagian besar santri perempuan juga menekankan peran si anak dalam menentukan jodohnya sendiri. Santri perempuan juga umumnya menolak adanya hak ijbar yang dilakukan oleh orang tua, apalagi hak tersebut dipergunakan tanpa persetujuan si anak. Dapat dilihat hanya ada dua orang santri perempuan yang menyatakan bahwa wali mujbir boleh menggunakan haknya meskipun tanpa seizin anak perempuan, dan hanya satu orang yang memberikan catatan, bahwa hak ijbar hanya boleh dilakukan jika calon yang diajukan oleh wali mujbir lebih baik ketimbang calon yang diajukan oleh anak perempuan tersebut, sedangkan sisanya menyetujui bahwa wali mujbir tidak boleh memaksa si anak perempuan dan menggunakan hak ijbar yang dimilikinya.

Salah satu hal menarik yang muncul dari pandangan santri perempuan adalah kebolehan anak perempuan untuk menolak pilihan wali mujbir . Dalam berbagai referensi kitab kuning, wali mujbir memiliki hak untuk memaksakan pilihannya tanpa harus mempertimbangkan jawaban dari anak perempuan. Meskipun demikian, beberapa ulama fikih kontemporer seperti al Qar ḍawi (1995a) ataupun Zuhaili (1997) memberikan ketentuan, meskipun wali mujbir memiliki hak ijbar penuh, namun wali mujbir juga harus mempertimbangkan perasaan si anak perempuan tersebut. Hal ini lah yang mendorong para santri perempuan untuk menolak calon pilihan wali mujbir .

Agaknya santri perempuan lagi-lagi bersikap ambigu. Di satu sisi, mereka seluruhnya menekankan bahwa yang berhak menentukan jodoh untuk anak perempuan adalah orang tua, namun di sisi yang lain, mereka juga menegaskan peran si anak dalam menentukan pilihannya sendiri. Namun dalam pelaksanaan hak ijbar , mayoritas santri setuju, bahwa wali mujbir tidak boleh memaksakan pilihannya secara semena-mena, dan anak perempuan tersebut boleh menolak pilihan wali mujbir . Hanya saja, beberapa santri memberikan catatan tambahan, bahwa anak perempuan boleh menolak pilihan wali mujbir dan mengajukan calonnya sendiri jika calon dari anak perempuan tersebut lebih baik ketimbang pilihan wali mujbir .

Meninjau ulang pandangan santri laki-laki dan santri perempuan