Kisah Penutup
Bab IV Kisah Penutup
Ketika proyek utang Bank Dunia dalam bentuk NTAADP dan SAADP tiba di Kembang Kerang dan Mopu, rakyat miskin di kedua desa itu tak pernah tahu bahwa akibat menerima kucuran utang tersebut, mereka telah turut menambah berat beban utang luar negeri yang harus dipikul oleh rakyat negeri ini.
Berdasarkan data yang dimuat harian Kompas, 7/7-2000, selama periode 1969-1999 (30 tahun), jumlah pinjaman Indonesia dari Bank Dunia hampir mencapai US$ 27 milyar, atau rata-rata mencapai US$ 900 juta per tahunnya. Jika ditotal dengan pinjaman dari lembaga dan negara donor yang lain, sampai tahun 2001, jumlah utang luar negeri Indonesia telah mencapai angka US$ 134 milyar atau setara 80 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB), terdiri dari utang pemerintah dan hutang swasta. Sementara laporan Bank Dunia awal Juni 2000 menyebutkan, pemerintah akan menanggung cicilan dan bunga utang luar negeri 40 persen dari total penerimaan pemerintah selama beberapa tahun. Pada tahun 2001, beban utang luar negeri mencapai angka sekitar Rp. 1.500 trilyun, setara dengan 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga setiap warga negara baik yang baru lahir maupun berusia lanjut, harus menanggung beban sebesar Rp. 7,3 juta.
Disamping itu, utang luar negeri setiap tahunnya telah membebani anggaran negara sekitar Rp. 90 trilyun, yang sama nilainya dengan 40-50 persen anggaran belanja negara. Sementara anggaran pembangunan hanya 13,4 persen (Rp. 45,5 trilyun) dan dana kesehatan kurang dari Rp. 10 trilyun. Ini menunjukkan, setiap warga negara Indonesia harus membayar kepada kreditor sebesar US$ 45 dan hanya menerima anggaran kesehatan sejumlah US$ 2 per orang.
Sungguh orang seperti Amaq Musnaini di Kembang Kerang dan Ahmad Bantilan di Mopu, tak mengira bahwa hasil jerih payah mereka sesungguhnya hanya habis dipakai membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Bahkan mungkin mereka tak tahu bahwa keluarganya dan keluarga tetangga sekampung, juga tengah menanggung beban utang sebear Rp. 7,3 juta pertahun. Yang diketahuinya, kini mereka tengah menangguk utang kepada UPKD di desanya masing-masing, karena menerima dana pinjaman.
Bank Dunia dan pemerintah Indonesia, juga tak memberi tahu kepada orang-orang di kedua desa itu, bahwa mereka sedang menanggung utang luar negeri yang besar. Kepada rakyat miskin itu, justru mereka menjanjikan peningkatan pendapatan, perbaikan kesehatan dan pendidikan. Tapi, ketika dengan dana itu kemiskinan tetap melilit, utang semakin bertumpuk, Bank Dunia dan pemerintah Indonesia mengeluarkan dalihnya sendiri-sendiri untuk membela diri. Tujuan utamanya, “Uang yang dipinjamkan itu harus kembali secara utuh.”
Bank Dunia sebagai pemberi utang berdalih, misi bantuan tidak tercapai karena adanya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek: administrasi yang buruk, korupsi yang merajalela dan kualitas pelaksana lapangan yang rendah. Tudingan itu memang benar, tapi penyimpangan terjadi karena konsepsi yang digunakan Bank Dunia dalam mengukur tingkat keberhasilan proyek ini sudah salah. Dengan menjadikan repayment (pengembalian pinjaman) sebagai dasar utama kesuksesan proyek, maka kesalahan di lapangan itu semakin menjadi-jadi.
Temuan empiris di desa Kembang Kerang dan Mopu, menunjukkan bahwa proyek NTAADP dan SAADP gagal dalam mengentaskan rakyat miskin di dua desa itu dari kemiskinannya. Kegagalan mana disebabkan oleh konsepsi yang digunakan Bank Dunia dan perilaku aparat pelaksana yang korup. Karena itu, justru yang terjadi, penerima bantuan malah terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung pangkal.
Kasus yang terjadi di Kembang Kerang dan Mopu ini, selayaknya menguatkan keyakinan kita untuk tetap mengkampanyekan penghapusan utang luar negeri dan menolak segala jenis utang baru. Dengan tetap meminta utang kepada Bank Dunia, maka jumlah orang seperti Amaq Musnaini dan Ahmad Bantilan, akan semakin bertambah banyak.
Daftar Pustaka