KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif RCA, dan analisis peluang dan kendala TOWS, dapat disampaikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi mengenai peluang dan tantangan CPO Indonesia sebagai salah satu penerimaan negara untuk pembangunan pertahanan negara. Menurut analisis RCA, dalam 5 (lima) tahun terakhir, keunggulan komparatif CPO Indonesia rata-rata diatas 40 yang berarti Indonesia memiliki daya saing yang cukup bagus pada sektor komoditas CPO. Namun pada tahun 2011, Indonesia mengalami penurunan 5,53 dan terjadi peningkatan untuk sektor komoditas CPO malaysia sebesar 2,56. Akan tetapi, penurunan untuk sektor komoditas CPO Indonesia ini masih berada diatas Malaysia. Keunggulan Indonesia dari sektor komoditas CPO dengan negara-negara ASEAN masih berada cukup jauh, tetapi yang menjadi perhatian lebih serius untuk Indonesia yaitu competitor Malaysia yang juga memiliki keunggulan komparatif untuk sektor komoditas CPO di ASEAN. Dari analsis ini, Indonesia masih bergantung pada keunggulan komparatif daripada kompetitif, khususnya dalam aspek hilirisasi produk.

Sementara itu, dari aspek penerimaan negara, Ekspor CPO menjadi salah satu penyumbang terbesar. Gambarannya adalah sebagai berikut:

1. ekspor CPO dan turunan CPO merupakan penyumbang terbesar penerimaan negara dari sektor bea keluar (sekitar 90%) dibanding 3 (tiga) komoditi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dikenakan bea keluar (pajak ekspor) yaitu produk mineral, biji kakao serta produk kulit dan kayu;

2. kebijakan pengenaan bea keluar (pajak ekspor) terhadap CPO dan produk turunannya pada dasarnya dilakukan dengan tujuan: (1) untuk menjamin ketersediaan produk di dalam negeri (domestik) sehingga dapat mengendalikan laju ekspor guna menjaga stabilitas/ketahanan pangan khususnya dari komoditi CPO dan produk turunannya, dan (2) sebagai salah satu sumber penerimaan negara berupa bea keluar (pajak ekspor) yang nilainya cukup signifikan dan turut berkontribusi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); 2. kebijakan pengenaan bea keluar (pajak ekspor) terhadap CPO dan produk turunannya pada dasarnya dilakukan dengan tujuan: (1) untuk menjamin ketersediaan produk di dalam negeri (domestik) sehingga dapat mengendalikan laju ekspor guna menjaga stabilitas/ketahanan pangan khususnya dari komoditi CPO dan produk turunannya, dan (2) sebagai salah satu sumber penerimaan negara berupa bea keluar (pajak ekspor) yang nilainya cukup signifikan dan turut berkontribusi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

4. Terjadinya penurunan penerimaan negara dari sektor bea keluar (pajak ekspor) CPO dan produk turunannya disebabkan oleh:

a. melemahnya HPE CPO. Saat ini HPE sebagai dasar pengenaan bea keluar adalah minimal sebesar US$ 750/MT. Harga tersebut ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan yang ditetapkan berdasarkan harga referensi produk CPO yang berlaku di pasar internasional dan bursa komoditi di dalam negeri. Jika HPE dibawah US$ 750/MT maka pemerintah mengambil kebijakan tidak mengenakan bea keluar (tarif bea keluar 0%) dengan tujuan untuk menjaga daya saing produk CPO Indonesia agar lebih kompetitif di pasar internasional. Tercacat sejak Oktober 2014 pemerintah menetapkan kebijakan tarif bea keluar CPO dan produk turunannya sebesar 0% karena harga referensi yang masih dibawah US$ 750/MT;

b. turunnya permintaan (ekspor) dari luar negeri yang disebabkan karena adanya black campaign terutama dari pasar eropa yang menyatakan bahwa CPO dan produk turunannya adalah komoditi yang tidak ramah lingkungan, padahal hal tersebut adalah strategi persaingan dagang yang dilakukan negara eropa agar produk minyak nabati miliknya dapat masuk ke pasar internasional dan di pasar domestiknya tidak terganggu oleh masuknya CPO dan produk turunannya;

c. kebijakan hilirisasi mengakibatkan pergeseran jenis komoditi ekspor dari CPO ke produk turunan CPO, dengan tarif bea keluar yang jauh lebih rendah sehingga mengakibatkan penurunan penerimaan negara dari bea keluar (pajak ekspor). Komposisi rata-rata volume ekspor CPO dan turunannya adalah sebesar 35% dan 65%;

d. produk CPO RI dinilai kalah bersaing dibanding Malaysia akibat faktor perbedaan besaran bea keluar. Di Malaysia bea keluar CPO dapat ditekan dari 8% ke 4% ketika harga CPO menyentuh ambang batas 2.250 ringgit. Bahkan, pemerintah Malaysia tidak ragu menghapus bea keluar ketika harga CPO terpeleset di bawah ambang batas tersebut. Dengan demikian, harga CPO asal Malaysia menjadi lebih murah dibanding Indonesia. Sedangkan di Indonesia

Dari pemetaan peluang dan kendala yang dilakukan dalam analIsis TOWS, maka strategi-strategi yang menjadi rekomendasi adalah sebagai berikut:

1. mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar;

2. mendorong percepatan pelaksanaan BBN 20 dengan basis CPO. (Efek ganda, yang pertama kebutuhan dalam negeri akan naik, sehingga supply/pasokan untuk pasar luar negeri akan turun/berkurang, kedua, dengan terbatasnya/berkurangnya jumlah pasokan CPO untuk pasar internasional, harga CPO internasional akan terdorong naik, mengingat Indonesia adalah salah satu negara produsen dan pemasok CPO terbesar di dunia). GAPKI mendorong pemerintah dapat membuat regulasi dan menetapkan harga patokan yang menguntungkan pemerintah maupun produsen biodiesel;

3. optimalisasi lahan perkebunan kelapa sawit;

4. mengembangkan produk hilir kelapa sawit;