A model for supporting policy formulation of cocoa industry development based on supply chain driver performance
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK
YUDI WIDAYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Yudi Widayanto
(4)
RINGKASAN
YUDI WIDAYANTO. Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok. Dibimbing oleh MACHFUD, ERLIZA HAMBALI dan SUKARDI
Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia saat ini sedang berupaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini melalui pengembangan industri kakao. Berbagai kebijakan dan program telah dilaksanakan untuk mencapai daya saing industri kakao. Namun, kompleksitas pengembangan industri membuat tidak mudahnya merumuskan kebijakan yang efektif. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pengembangan industri kakao di antaranya adalah adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.
Faktor rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan industri kakao di Indonesia, karena secara geografis kegiatan agroindustri kakao tersebar luas di berbagai pulau di wilayah Indonesia. Dalam manajemen rantai pasok driver (faktor penggerak) logistik sangat mempengaruhi keputusan
perusahaan untuk melakukan ekspansi atau penambahan kapasitas. Selain itu, aspek aliran informasi dan pilihan cara pengadaan juga menjadi pertimbangan yang mempengaruhi pengembangan industri. Untuk mengetahui kinerja rantai pasok diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik.
Pengukuran kinerja pada level perusahaan sudah banyak dilakukan seperti metode SCOR dan Balance Score Card, namun pengukuran kinerja pada level
antar perusahaan masih sangat jarang. Penelitian ini bertujuan merancang suatu model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai pasok. Adapun tahapan untuk mencapai tujuan tersebut adalah: a) Menguraikan permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; b) Menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; c) Menguraikan faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan d) Mendesain model perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja driver rantai pasok industri kakao. Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi pada industri pengolahan biji kakao yang menghasilkan cocoa cake, cocoa liquor, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan).
Permasalahan utama perkakaoan Indonesia adalah: produktivitas kebun masih rendah, mutu biji belum standar, kapasitas industri rendah, konsumsi coklat per kapita rendah, kurangnya dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi untuk pembangunan industri. Dari identifikasi kebijakan untuk mengatasi masalah pengembangan industri kakao ternyata kebijakan sektor keuangan khususnya bidang perpajakan memiliki peran yang dominan. Hal ini dapat ditunjukkan dari persandingan antara kronologi keluarnya kebijakan dan naik turunnya perkembangan jumlah industri kakao yang berbanding lurus. Hasil analisis rantai pasok menunjukkan pengembangan industri kakao perlu jaringan kemitraan dengan petani. Metode pembangunan demplot di sentra produksi disertai penyediaan penyuluh lapangan terbukti menghasilkan biji kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan pasokan biji kakao industri.
Pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini dibagi menjadi dua aspek yaitu efisiensi dan responsivitas. Masing-masing aspek memiliki 5 buah
(5)
driver yaitu fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Untuk
memperoleh ukuran yang lebih operasional dilakukan dekomposisi driver menjadi sub driver rantai pasok berdasarkan literatur yang relevan. Dalam penelitian ini
berhasil diuraikan 35 sub driver untuk aspek efisiensi dan 27 sub driver untuk
aspek respsonsivitas. Selanjutnya berdasar uraian sub driver tersebut disusun kuesioner skor kinerja rantai pasok untuk perusahaan dan kuesioner pembobotan yang diisi oleh pakar.
Hasil analisis menunjukkan driver fasilitas, inventori dan sourcing
cenderung mengutamakan responsivitas. Sementara driver transportasi dan
informasi lebih cenderung mengutamakan efisiensi. Perhitungan dengan Weighted Scoring Model menghasilkan nilai indeks kinerja rantai pasok total sebesar 29.75.
Nilai ini relatif rendah jika dibandingkan nilai ideal sebesar 45.00 yang mengindikasikan perlunya pembenahan atau perbaikan segera pada seluruh driver.
Secara berurutan prioritas driver yang perlu penanganan segera adalah fasilitas, inventori, informasi, transportasi, dan sourcing.
Berdasarkan kinerja driver rantai pasok, model perumusan kebijakan
penelitian ini menghasilkan 11 kebijakan pemerintah dan 9 kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri kakao. Dengan menggunakan teknik ISM, hasil studi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemberian insentif fiskal untuk pengembangan industri, kebijakan perluasan penerapan wajib SNI biji kakao, kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao dan bukan sebagai pendorong utama.
Keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao sangat membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan industri dalam akan memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan produktivitas diharapkan dapat menjadi pola revitalisasi lembaga penyuluhan pemerintah melalui serangkaian kegiatan penyuluhan dan pendampingan yang kreatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan pada kebijakan lainnya. Bersama-sama dengan kebijakan infrastruktur lainnya yaitu perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas) diharapkan menjadi pendorong kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao. Kebijakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.
Validasi model dengan metode face validity menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan yang tersusun dalam rumusan kebijakan-kebijakan serta model struktur yang dihasilkan dapat menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia.
Kata Kunci : industri kakao, driver rantai pasok, model perumusan kebijakan, ISM, AHP
(6)
SUMMARY
YUDI WIDAYANTO. A Model for Supporting Policy Formulation of Cocoa Industry Development Based on Supply Chain Driver Performance. Under Direction of MACHFUD, ERLIZA HAMBALI and SUKARDI
As the third largest cocoa beans producer in the world Indonesia is currently working to improve the added value of these commodities through the development of the cocoa industry. Various policies and programs both upstream and downstream sectors have been implemented to achieve industrial competitiveness cocoa. However, the complexity of the development of the industry makes it difficult to formulate effective policies. Many factors influence the development of the cocoa industry. Previous studies one of the factors in the development of the cocoa industry is a supply chain management and infrastructure.
Supply chain factor is an important consideration in the development of Indonesian cocoa industries, because geographically widespread cocoa activities in various islands in Indonesia. Raw material production of cocoa beans is mostly on the island of Sulawesi, Sumatra, and Kalimantan, while for manufacturing activity is still concentrated in Java and some parts of Sulawesi.
In supply chain management logistics aspects such as location, capacity and flexibility of its facilities, inventory, and equipment and transportation costs greatly affect the company's decision to expand or adding capacity. In addition, an aspect of the flow of information and the selection method of procurement is also a consideration that affects the development of the industry. Aspects mentioned above have referred to as drivers (driving forces) that will determine the performance of the supply chain. To determine the performance of the supply chain required measurement system that is able to evaluate the performance of the supply chain holistically. However, choosing the system of supply chain performance measures is quite difficult due to the complexity of the system. In addition, the design of supply chain performance measurement is very diverse.
Performance measurement at the firm level has been done such as SCOR method and Balance Score Card. But, the problem was how to measure an inter-company level performance of the supply chain. The development of the cocoa industry in Indonesia needs a supply chain performance measurement at the industry level (inter-company) to support the government's role in creating a climate that was more conducive to the development of the cocoa industry.
This study aims to design a model of cocoa industry development policy formulation based on driver of supply chain performance. While the stages include: a) analyses on policy issues and Indonesian cocoa; b) analysing the cocoa supply chain as an effort to develop the cocoa industry, c) Describe the driver cocoa supply chain performance, and d) Measuring supply chain performance cocoa industry. Cocoa industry was limited to the processing industry that produces cocoa beans, cocoa cake, cocoa liquor, cocoa butter, and cocoa powder.
The supply chain analysis shows that the cocoa industry development needs a partnership between industry and farmers/cooperative. Development of a pilot project in the production area with the provision of extension workers was proven to produce high quality cocoa beans that support a sustainable supply of cocoa for
(7)
industry. While the mechanism for fair and free barriers of trade should be supported by government policy in terms of standard scales (metrology), trade monitoring, road infrastructure improvement, and deregulate fees/levies.
The decomposition of supply chain driver obtained 5 drivers of efficiency and responsiveness aspects. These five drivers are facilities, inventory, transportation, sourcing, and information. This study has been able to break down into 35 sub drivers for efficiency and 27 sub drivers for responsiveness.
Tendency analysis results show that the facilities, inventory and sourcing driver tend to prioritize responsiveness. While the transportation and information driver tend to give priority to efficiency. The Weighted Scoring Model calculation produces Supply Chain Performance Index score total of 29.75. This value was relatively low compared to the ideal value of 45.00 which indicate the need for immediate improvement on the entire drivers.
Based on the performance of supply chain drivers, this study has been formed twelve government‟s policies and eight firm‟s policies for the development of the cocoa industry. Using ISM technique the policy formulation previously unknown structure can be structured and have relationships clearer.
The results of this study indicate that the fiscal incentives policy, the expansion of the application of SNI (Indonesian National Standard) cocoa beans, telecommunication network expansion, and the policy of removal of trade barriers were the four policies that its success were depend on other policies. In the cocoa industry development context, the fiscal incentives policy was the final determinant of successful policy. This was in line with the fiscal policy goal to support national economic policy.
The improvement of the cocoa productivity urgently needs to encourage cooperation between government and industry in the field of extension services. Furthermore, the pattern of cooperation could be adopted for the government revitalization extension services through a series of outreach activities and creative mentoring.
This study indicates that improvements of road infrastructure policy were the basic policies that will provide encouragement and support to other policies. Organized with the other infrastructure policies such as the road infrastructure (including bridges), infrastructure and improved management of the port, and fulfillment supply of energy (electricity and gas) was expected to lead other policies. The policy was not just a physical infrastructure development, but also non-physical which encourage the strengthening and empowerment of the cocoa farmers.
A model for supporting policy formulation of cocoa industry development was validated using face validity method by experts. The results show that the set of formulating policy and the structural models have been able to describe what should be done to develop the cocoa industry in Indonesia. Emphasizing on using supply chain driver performance as a basis for policy formulation has been assessed by experts to meet the real demands of industrial development faced by existing investor or industry owner.
Keywords: cocoa industry, supply chain driver, performance, policy formulation, ISM, AHP.
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
(10)
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Yandra Arkeman Dr Ir Undang Fajar
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Eriyatno, MSAE Dr Ir Dedi Mulyadi
(11)
Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok Nama :Yudi Widayanto
NIM : F361080021
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
f!¥
Dr Ir Machfud, MS Ketua
Prof Dr Erliza Hambali Dr Ir-Sukardi, MM
Anggota Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS
,. ,' l I
"
' .'013
.'6
(12)
Judul Disertasi : Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok
Nama :Yudi Widayanto NIM : F361080021
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Machfud, MS Ketua
Prof Dr Erliza Hambali Dr Ir Sukardi, MM
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
(13)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah pengembangan industri kakao, dengan judul Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Machfud MS selaku ketua komisi pembimbing serta kepada Ibu Prof Dr Erliza Hambali dan Bapak Dr Ir Sukardi MM selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf administrasinya yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis di IPB. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah mensponsori kegiatan belajar dan penelitian penulis.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Latief Setiono selaku Direktur PT MCI yang telah memberi kesempatan penulis bergabung dalam kajian kebijakan perkakaoan di Sulawesi Selatan serta mengijinkan penulis menggunakan datanya untuk disertasi ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Undang Fajar dan Bapak Dr Bambang Dradjat dari PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Bapak Dr Misnawi dari Puslit Kopi dan Kakao Indonesia (ICCRI), Bapak Dr Andi Fahmi pimpinan Program Studi MPKP – FE – UI, dan Bapak Monty S, PhD atas masukan dan diskusi yang memperkaya penelitian ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Sindra Wijaya SE selaku Direktur Utama PT Bumi Tangerang Mesindotama (BT Cocoa) dan Direktur Eksekutif AIKI, Ibu Ir Mima Rangkuty MBS dari Kementerian Perindustrian, Ibu Musdalifah dari Kemenko Perekonomian atas informasi dan data yang diberikan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Saudara Andi Luxbinatur atas bantuannya dalam proses pencarian literatur penulisan disertasi ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, dan anak-anak tercinta kami serta seluruh keluarga, atas doa dan curahan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga selesainya penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
(14)
DAFTAR ISI
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Kebaruan Penelitian 5
Sistematika Penulisan 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Pengertian Kebijakan Publik 6
Perumusan Kebijakan Publik 6
Pengertian Model 7
Model Perumusan Kebijakan 8
Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri 10
Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok 11
Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan 12
3 METODE 14
Kerangka Pemikiran 14
Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan 15
Verifikasi dan Validasi 16
4 PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN INDONESIA 18
Abstrak 18
Pendahuluan 18
Metode Penelitian 19
Hasil dan Pembahasan 21
Permasalahan Perkakaoan Indonesia 21
Sektor-Sektor yang Terkait Pengembangan Industri Kakao Indonesia 27
Simpulan 35
5 ANALISIS RANTAI PASOK KAKAO UNTUK PENGEMBANGAN
INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI SULAWESI SELATAN 37
Abstrak 37
(15)
Metode Penelitian 39
Hasil dan Pembahasan 41
Simpulan 55
6 FAKTOR PENGGERAK (DRIVER) KINERJA EFISIENSI DAN
RESPONSIVITAS RANTAI PASOK INDUSTRI KAKAO 57
Abstrak 57
Pendahuluan 57
Tinjauan Pustaka 58
Metodologi Penelitian 64
Hasil dan Pembahasan 67
Simpulan 79
7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KAKAO 80
Abstrak 80
Pendahuluan 80
Metode Penelitian 82
Hasil dan Pembahasan 87
Simpulan 118
8 PEMBAHASAN UMUM 120
9 SIMPULAN DAN SARAN 127
Simpulan 127
Saran 129
DAFTAR PUSTAKA 130
(16)
DAFTAR TABEL
1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones ... 9
2 Kriteria perumusan kebijakan industri ... 10
3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan ... 12
4 Kebijakan perkakaoan berdasarkan pelaku dan proses agroindustri ... 26
5 Harga referensi Bea Keluar biji kakao ... 30
6 Bentuk dukungan dalam produksi biji kakao ... 45
7 Perhitungan inefisiensi aliran barang ... 52
8 Inefisiensi rantai pasok akibat informasi harga, mutu dan perilaku perdagangan ... 53
9 Upaya perbaikan rantai pasok ... 54
10 Perbandingan harga tingkat petani yang berlaku di beberapa kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan ... 55
11 Perbandingan rantai pasok efisien dan responsif ... 61
12 Perbandingan keputusan/strategi efisiensi dan responsivitas menurut driver rantai pasok (Hugos 2010)... 61
13 Perbandingan strategi efisiensi dan responsivitas menurut aspek dalam rantai pasok (Ravindran dan Warsing 2012) ... 62
14 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek efisiensi ... 69
15 Dekomposisi driver inventori dalam aspek efisiensi ... 71
16 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek efisiensi ... 72
17 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek efisiensi ... 73
18 Dekomposisi driver informasi dalam aspek efisiensi ... 73
19 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek responsivitas ... 75
20 Dekomposisi driver inventori dalam aspek responsivitas ... 76
21 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek responsivitas ... 77
22 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek responsivitas ... 78
23 Dekomposisi driver informasi dalam aspek responsivitas ... 78
24 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty ... 85
25 Populasi industri kakao Indonesia tahun 2011 ... 86
26 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek efisiensi ... 88
27 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek responsivitas ... 89
28 Hasil pembobotan driver kinerja rantai pasok dengan AHP ... 90
29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok ... 95
30 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ... 104
31 Rumusan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao ... 105
32 Iterasi ke-1 ... 110
33 Iterasi ke-2 ... 111
34 Iterasi ke-3 ... 111
35 Iterasi ke-4 ... 111
36 Iterasi ke-5 ... 112
37 Iterasi ke-6 ... 112
(17)
DAFTAR GAMBAR
1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009) ... 9
2 Pohon industri kakao ... 13
3 Kerangka pikir penelitian ... 14
4 Kerangka pikir penelitian ... 19
5 Tahapan perumusan masalah ... 20
6 Produktivitas perkebunan kakao rakyat ... 22
7 Luas lahan dan produksi biji kakao (ribu ton/ha) ... 22
8 Keterkaitan antar kebijakan pengembangan industri hilir kakao ... 35
9 Kerangka analisis rantai pasok untuk pengembangan industri... 40
10 Ekspor kakao Sulawesi Selatan 2009 ... 42
11 Struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan ... 43
12 Aktivitas pendukung petani dalam menghasilkan biji kakao ... 45
13 Aktivitas perdagangan biji kakao ... 46
14 Aktivitas produksi kakao olahan ... 48
15 Kerangka desain rantai pasok menurut Chopra & Meindl (2007) ... 59
16 Kerangka dekomposisi driver kinerja rantai pasok aspek esisiensi dan responsivitas ... 65
17 Kerangka penelitian ... 82
18 Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan responsivitas ... 83
19 Struktur hirarki AHP untuk pembobotan driver dan sub-driver ... 84
20 Grafik kinerja rantai pasok efisiensi dan responsivitas industri kakao ... 90
21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao ... 91
22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao ... 92
23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao ... 92
24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis rantai pasok ... 93
25 Proses penentuan kebijakan ... 95
26 Structural self interaction matrix (SSIM) awal kebijakan pemerintah pendukung pengembangan industri kakao ... 106
27 Matriks reachability ... 106
28 Revisi SSIMfinal (memenuhi syarat transitivity rule) ... 107
29 Hasil matriks reachability finaldan interpretasinya ... 107
30 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan pemerintah pendukung pengembangan industri kakao ... 108
31 Diagram model struktural kebijakan pengembangan industri kakao ... 113
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner pakar ... 138
2 Kuesioner pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok ... 148
3 Kuesioner penilaian kebijakan dengan ISM ... 156
4 Data kinerja industri kakao aspek efisiensi ... 161
5 Data kinerja industri kakao aspek responsivitas ... 162
6 Jawaban pakar penilaian kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao ... 163
7 Jawaban pakar penilaian kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri kakao ... 164
8 Penentuan level kebijakan pemerintah ... 165
9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan ... 166
10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan pendukung pengembangan industri kakao ... 166
11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri kakao ... 167
12 Industri kakao yang mulai aktif kembali... 168
13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas ... 168
14 Jadwal survei lapangan ... 168
15 Informan dalam survei lapangan: ... 169
(19)
(20)
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia. Pada tahun 2011 tercatat produksi Indonesia sebesar 459 ribu ton di bawah Pantai Gading (1.5 juta ton) dan Ghana (1 juta ton). Akan tetapi, keberhasilan yang dicapai di sektor hulu ini tidak dengan mudah dibawa ke sektor hilir industri kakao. Perkembangan industri kakao Indonesia masih belum optimal mengingat selama ini (hingga tahun 2011) sebagian besar kakao diekspor dalam bentuk mentah dan belum diolah sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih rendah. Volume ekspor kakao olahan Indonesia yang pada tahun 2010 sekitar 120 ribu ton dan naik menjadi 176 ribu ton di tahun 2011. Pencapaian ini masih jauh dari total kapasitas terpasang industri kakao Indonesia sebesar 531675 ton/tahun pada tahun 2010 dan 689750 ton/tahun pada tahun 2011 (Kemenperin 2012).
Upaya pengembangan industri pengolahan kakao sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak awal dekade tahun 2000-an. Namun baru pada tahun 2007 terbit kebijakan yang pro industri kakao dengan dihapuskannya PPN 10%
dan serangkaian kebijakan lainnya hingga kemudian keluar kebijakan Bea Keluar (BK) pada tahun 2010. Upaya pemerintah tersebut perlu didukung dengan penguatan informasi tentang apa yang diharapkan industri dan apa yang menjadi pilihan strategi industri kakao untuk dapat berkembang.
Kebijakan pemerintah memegang peranan sentral bagi pengembangan industri yang berbasis hasil pertanian (Agroindusri). Austin (1992) menjelaskan bahwa iklim usaha agroindustri sangat ditentukan oleh kebijakan dan tindakan pemerintah. Khusus di bidang perkakaoan Wahyudi et al. (2008) menyatakan
bahwa peranan perumusan strategi dan kebijakan pemerintah menjadi kunci keberhasilan pengembangan industri kakao.
Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pembuatan kebijakan. Perumusan kebijakan merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus (Winarno 2002). Penggunaan data dan fakta yang komprehensif dan peran para ahli, peneliti, dan akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan yang memadai dalam perumusan kebijakan (Herawati 2011).
Kebijakan industri (industrial policy) pada dasarnya merupakan kelompok
kebijakan yang tujuan utamanya adalah mendorong perkembangan industri tertentu (Taufik 2005). Dalam upaya mendorong pengembangan industri perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Suprihatini et al. (2004)
telah meneliti dan mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan industri di sektor perkebunan, salah satu dari 10 faktor yang berpengaruh penting adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.
Rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan industri kakao di Indonesia, karena kegiatan di dalam setiap tahapan agroindustri kakao tersebar di berbagai pulau di wilayah Indonesia yang luas. Kegiatan produksi bahan baku biji kakao tersebar di pulau Suwawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, sementara untuk untuk kegiatan pengolahan selama ini masih terkonsentrasi di bagian barat pulau Jawa dan sebagian kecil di Sulawesi. Aspek-aspek logistik
(21)
(logistic driver) seperti fasilitas, persediaan, transportasi, serta aspek-aspek lintas
fungsi (cross-functional driver) yang terdiri dari informasi, sourcing, dan harga
merupakan elemen-elemen dalam rantai pasok sangat mempengaruhi pengembangan agroindustri kakao Indonesia. Di samping itu, karakteristik kakao yang merupakan komoditas global membuat pengelolaan dan pemanfaatannya tidak bisa dilepaskan dari jaringan rantai pasok internasional. Dalam konteks global ternyata industri kakao sangat tersentralisasi, dimana hanya sekitar 10 perusahaan multinasional yang mendominasi 70% industri pengolah kakao dunia. Cargill, ADM, dan Barry Callebaut adalah tiga perusahaan pengolah kakao terbesar dunia. Bukti bahwa keterkatain itu terjadi adalah bahwa sebagian besar industri pengolah kakao besar juga terlibat dalam perdagangan kakao internasional (Thomas 2011).
Selain itu, pengembangan industri sangat ditentukan oleh daya tarik investasi berupa faktor return dan risiko dimana investasi dalam industri kakao sangat rentan terhadap risiko rantai pasok. Alam (2009) menunjukkan bahwa investasi asing langsung sangat dipengaruhi oleh kemampuan rantai pasok suatu negara. Sementara itu CSP (2010) mengungkap kebijakan pengembangan industri kakao Indonesia kurang mencapai sasarannya karena kurangnya koordinasi kebijakan pusat dan daerah, kurangnya pemahaman terhadap kemampuan pelaku rantai pasok, serta tidak tepatnya pemilihan teknologi dan skala industri yang direncanakan.
Kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan dinamika rantai pasok industri kakao yang tidak terakomodir dalam kebijakan pemerintah, maka kebijakan yang dikeluarkan tidak bisa optimal. Studi FAO menyatakan bahwa pengembangan agroindustri membutuhkan respon kebijakan yang sehat untuk mengoptimalkan potensi dalam mencapai keuntungan rantai pasok dan mengurangi risiko (FAO 2009). Tuntutan dunia akan keamanan dan kualitas pangan, menjadikan aspek standar semakin memainkan peran fundamental dalam organisasi rantai pasok (Busch 2000; Henson dan Reardon 2005; FAO 2009). Hal ini sesuai dengan dorongan FAO terhadap kebijakan pengembangan industri yang menyatakan :
“Industrial development policy should not add to the risk of entrepreneurs, but encourage the application of sound, proven methods for the production of useful goods” (FAO 2009).
Untuk kemudahan dan efektivitas di tengah kompleksitas perumusan kebijakan, maka kehadiran suatu model perumusan kebijakan yang mampu mengakomodir tuntutan pelaku sangat diperlukan. Beberapa model perumusan kebijakan berbasis rantai pasok sudah dikembangkan (Arshinder et al. 2008;
Beheshti 2010; dan Manuj dan Sahin 2011). Namun, model tersebut merupakan model pengambilan keputusan manajerial pada sebuah organisasi/perusahaan. Sementara untuk model yang terintegrasi dengan mengembangkan metrik dan sistem antar organisasi/ perusahaan belum banyak dilakukan (Pujawan 2005:234). Beberapa penelitian yang relevan sebagai rujukan penulisan disertasi ini meliputi Liu (2010), Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat (2011). Ketiga
penelitian tersebut membahas penggunaan model rantai pasok antar perusahaan dalam kaitan dengan perumusan kebijakan pemerintah. Penelitian Liu (2010) melihat peran pemerintah selain melakukan kontrol terhadap dunia usaha, juga secara aktif harus berinteraksi dengan dunia usaha melalui fasilitasi perdagangan
(22)
untuk memastikan keamanan rantai pasok. Hal ini karena peran pemerintah sangat menentukan efisiensi dan efektivitas operasi rantai pasok. Penelitian Liu (2010) tersebut mendiskusikan bagaimana peran pemerintah yang dalam hal ini di bidang perpajakan menangani masalah tata kelola rantai pasok dunia usaha (bisnis) swasta. Kedekatan penelitian Liu (2010) dengan disertasi ini adalah dalam konteks penggunaan rantai pasok pada perusahaan swasta sebagai suatu media bagi pemerintah menangani masalah keamanan rantai pasok.
Selanjutnya Becker et al. (2011) dalam penelitiannya tentang kebijakan
pemanfaatan biomassa hutan di Amerika Serikat menggunakan kerangka analisis rantai pasok untuk merumuskan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan biomassa hutan. Kerangka analisis rantai pasok dalam penelitian Becker et al.
(2011) didekati dengan sinergi antara tahapan dalam rantai pasok dan kebijakan pemerintah yang menyertainya. Namun demikian efektivitas kebijakan dalam penelitian Becker et al.(2011) diukur dengan jumlah kebijakannya (0,1,2..dst)
bukan pada substansi kebijakan. Hal ini karena banyaknya kebijakan yang direview, yaitu mencakup seluruh wilayah negara bagian di Amerika Serikat.
Pada bidang rantai pasok Wagner dan Neshat (2011) menggambarkan bahwa mengukur kerentanan rantai pasok sangat penting karena kerentanan rantai pasok tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, melainkan ditentukan oleh variabel yang mendorong kerentanan rantai pasok yang disebut driver kerentanan.
Oleh karena itu, perlu untuk mengukur driver, mengetahui hubungan antar driver,
dan menyusun agregasi driver untuk suatu ukuran kerentanan rantai pasok.
Mengingat tantangan dalam mengukur kerentanan rantai pasok, tujuan utama dari penelitian Wagner dan Neshat (2011) adalah mendefinisikan konsep kerentanan rantai pasok dan menyediakan pengukuran kerentanan rantai pasok berupa indeks kerentanan rantai pasok (supply chain vulnerability index = SCVI),
kemudian menggunakan SCVI untuk menganalisis dan membandingkan kerentanan rantai pasok berbagai kategori perusahaan. Kategori perusahaan dalam penelitian tersebut didasarkan pada kinerja rantai pasok, ukuran perusahaan (jumlah karyawan dan pendapatan penjualan), jenis produksi, logistik, jenis perencanaan risiko rantai pasok, dan manajemen risiko rantai pasok.
Kedekatan penelitian Wagner dan Neshat (2011) dengan disetasi ini adalah dalam hal perumusan suatu kebijakan publik dengan memperhatikan rantai pasok agar perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasoknya. Dalam tatalaksana penelitiannya pengukuran kerentanan rantai pasok menggunakan metrik (metric) untuk mengevaluasi driver kerentanan rantai pasok. Penelitian
Wagner dan Neshat (2011) menggunakan metode grafik dalam mengukur dan menganalisa kerentanan rantai pasok.
Dengan memperhatikan perkembangan penelitian di bidang perumusan kebijakan berbasis rantai pasok di atas, perumusan kebijakan yang dikembangkan disertasi ini diharapkan dapat menjawab bagaimana kebijakan yang menjamin tercapainya kinerja rantai pasok industri kakao. Dengan rumusan kebijakan yang baik akan tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri kakao di Indonesia.
(23)
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah merancang model perumusan kebijakan pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai pasok. Tujuan umum tersebut dijabarkan dalam tahapan yaitu: 1) Menguraikan permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; 2) Menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; 3) Menguraikan faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan 4) Mendesain model
perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja driver rantai pasok industri kakao.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan dalam pengembangan industri kakao Indonesia. Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam proses perumusan kebijakan.
Analisis rantai pasok kakao akan memberi gambaran tentang kompleksitas dan persoalan dalam upaya pengembangan industri kakao Indonesia.
Instrumen dan metode pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok untuk industri kakao merupakan suatu bentuk self assessment
perusahaan di dalam lingkup industri kakao yang bisa diterapkan guna melihat sejauh mana kinerja rantai pasok industri secara agregat.
Rumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai pasok diharapkan dapat memandu pemangku kepentingan pada tataran kebijakan dalam mengakomodir tuntutan pencapaian kinerja rantai pasok industri kakao.
Relasi antar kebijakan yang dihasilkan penelitian ini memberi gambaran kebijakan yang menyeluruh (mencakup permasalahan rantai pasok industri kakao), mempunyai keterkaitan dan keselarasan yang jelas antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif untuk mencapai tujuan pengembangan industri kakao.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian perumusan kebijakan industri sangatlah luas. Guna memfokuskan penelitian dengan berbagai keterbatasan dan kendalanya, maka lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu model konseptual yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas (entity) dan relasinya
berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model konseptual dapat diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam suatu sistem kebijakan (Gürel dan Kavak 2010).
Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan publik yaitu suatu instrumen kebijakan yang dikeluarkan dan atau dilaksanakan oleh instansi/lembaga pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan untuk mengembangkan industri kakao Indonesia. Sementara pengertian kebijakan pendukung pengembangan industri kakao kebijakan yang bertujuan untuk
(24)
memberi iklim yang kondusif bagi efisien dan responsifnya rantai pasok industri kakao.
Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi pada industri antara (semi finished industry) yaitu industri pengolahan biji kakao menjadi kakao olahan seperti: cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Penelitian ini
mengambil data rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan dan Lampung, sementara data tentang rantai pasok industri kakao di Provinsi Banten.
Kebaruan Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah :
1) Pengukuran kinerja rantai pasok multi perusahaan yang diagregasi ke level industri (kumpulan perusahaan sejenis) kemudian digunakan sebagai bahan perumusan kebjakan pemerintah.
2) Disertasi ini mengembangkan konsep pengukuran kinerja rantai pasok Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos (2010) yang didasarkan pada faktor-faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok yang didekomposisi menjadi sub driver yang lebih terukur secara operasional. Sub driver kinerja rantai
pasok yang dikembangkan dalam disertasi ini merupakan suatu bentuk penyesuaian dari driver-driver yangrelevan untuk industri kakao.
3) Model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis rantai pasok yang merupakan model konseptual yang merepresentasikan proses perumusan kebijakan yang mendukung pengembangan industri yang didasarkan pada kinerja driver rantai pasok industri kakao.
Sistematika Penulisan
Penulisan disertasi ini menganut pola rangkaian penelitian. Pada Bab 1 diuraikan pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan, manfaat, ruang lingkup, dan kebaruan penelitian. Bab 2 menyajikan tinjauan pustaka yang bersifat umum, dilanjutkan Bab 3 membahas metode penelitian secara umum. Uraian Bab 4 hingga Bab 7 merupakan rangkaian penelitian yang dapat berdiri sendiri dengan uraian tinjauan pustaka dan metode yang bersifat spesifik untuk topik yang dibahas. Pada masing-masing bab tersebut juga dibuat simpulan. Untuk menyatukan pembahasan yang terpisah-pisah tersebut pada Bab 8 diuraikan pembahasan umum untuk merangkai bahasan pada bab-bab sebelumnya menjadi satu kesatuan.
Penulisan disertasi ini diakhiri dengan Bab 9 tentang simpulan secara keseluruhan dan saran penelitian lanjutan. Daftar pustaka yang disajikan merupakan kumpulan pustaka yang diacu oleh keseluruhan bagian disertasi ini.
(25)
2
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kebijakan Publik
Pengertian tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dye (1981) mendefinisikan kebijakan publik sebagai whatever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan). Sejalan dengan pendapat tersebut, Islamy (1997) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Sementara itu, Chandler dan Plano (1988) menguraikan bahwa kebijakan publik adalah penggunaan strategis dari sumber-sumber yang ada untuk menghilangkan masalah-masalah negara atau pemerintah. Pengertian yang bersifat lebih umum dikemukakan oleh Dunn (1999) bahwa kebijakan publik adalah suatu pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.
Implikasi dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas adalah: 1) kebijakan publik merupakan bentuk penetapan tindakan-tindakan pemerintah; 2) kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga dilaksanakan dalam bentuk nyata; 3) Setiap kebijakan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; 4) kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Perumusan Kebijakan Publik
Menurut Dunn (1999) analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Proses analisis kebijakan mempunyai lima tahap yang saling bergantung yang secara bersama-sama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak linear. Adapun kelima tahapan penting menurut Dunn (1999) sebagaimana tersebut diatas, meliputi : penetapan agenda kebijakan (agenda setting),
perumusan kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan. Jadi, perumusan kebijakan publik merupakan salah satu tahapan di dalam rangkaian analisis kebijakan yang bertujuan untuk mengetahui masalah yang harus dipecahkan. Oleh karena itu untuk dapat mengimplementasikan hasil perumusan kebijakan masih memerlukan serangkaian tahapan.
Dalam pandangan Miller et al. (2007) tahapan perumusan kebijakan
merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Tahap perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan; serta mempersempit seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir. Selanjutnya Miller et al.
(26)
Apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa tujuan dan prioritas? Apa saja keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Apa eksternalitas terkait dengan setiap alternatif?
Tujuan perumusan kebijakan adalah untuk mengetahui masalah apa yang harus dipecahkan (Dunn, 1999). Sejalan dengan pendapatan Dunn (1999), Keban (2004) menambahkan cara untuk mengetahui dan mendapatkan kepastian informasi dalam perumusan kebijakan seorang analis lebih baik membuat pertanyaan-pertanyaan yang realistis dan etis sehingga mampu melahirkan sebuah kebijakan yang terbaik.
Pengertian Model
Definisi model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simarmata 1983). Dalam hal yang sama Eriyatno (2003) menjelaskan bahwa suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri.
Jenis-jenis model dapat dibagi dalam lima kelas yang berbeda :
1. Kelas I, pembagian menurut fungsi: a) Model deskriptif: hanya menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan. Contoh : peta organisasi; b) Model prediktif: model ini menunjukkan apa yang akan terjadi, bila sesuatu terjadi; c) Model normatif : model yang menyediakan jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil. Contoh : model budget advertensi, model ekonomi, model marketing.
2. Kelas II, pembagian menurut struktur: a) Model Ikonik : adalah model yang menirukan sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu. Contoh : model pesawat; b) Model Analog: adalah suatu model yang menirukan sistem aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog. Contoh : aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa; c) Model Simbolis : adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.
3. Kelas III, pembagian menurut referensi waktu: a) Statis: model statis tidak memasukkan faktor waktu dalam perumusannya; b) Dinamis : mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.
4. Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian. a) Deterministik: dalam model ini pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik, yang merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti; b) Probabilistik: model probabilistik menyangkut distribusi probabilistik dari input atau proses dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut; c) Game: teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam menghadapi situasi yang tidak pasti.
(27)
5. Kelas V, pembagian menurut tingkat generalitas. a) Umum; b) Khusus. Selain pembagian jenis model di atas, dalam proses pemodelan berkaitan dengan model yang lebih rinci, Kristanto (2004) menyatakan perlunya dibuat suatu model konseptual, yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas (entity) dan relasinya berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model
konseptual dapat diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam suatu sistem kebijakan (Gürel dan Kavak 2010). Selain itu, model konseptual dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pembeli dan pemasok (Zaefarian 2012). Dalam penelitiannnya model konseptual menggambarkan prosedur dan hubungan pembeli-pemasok yang berkeadilan.
Berdasarkan acuan pustaka tentang jenis-jeni model di atas, menurut fungsi model yang dikembangkan dalam penelitian ini termasuk model normatif dimana akan disarankan cara yang sebaiknya dilakukan dalam merumuskan kebijakan. Sementara itu, secara struktur model yang disusun ini termasuk model Analog, dimana model yang dibuat menirukan sistem aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog.
.
Model Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan adalah inti dari kebijakan publik karena di sini
dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri (Nugroho 2009). Sebagai sebuah proses, perumusan kebijakan memiliki langkah-langkah dan cara tertentu hingga dihasilkannya suatu rumusan kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Untuk dapat merumuskan kebijakan harus ditentukan terlebih dahulu langkah-langkah atau cara seperti apa yang akan digunakan dalam merumuskan kebijakan. Kajian yang memfokuskan diri pada proses pembuatan kebijakan inilah yang disebut Model Perumusan Kebijakan. Sebagaimana pendapat Winarno (2002) yang menyatakan bahwa model perumusan kebijakan merupakan upaya mengkaji proses pembuatan kebijakan agar lebih mudah dipahami.
Beberapa model perumusan kebijakan dalam menggambarkan proses pembuatan kebijakan yang sudah ada antara lain: model institusional, model elit-massa, model inkremental, model group/kelompok, model sistem, model rasional, model proses, model teori permainan, model demokratis, model strategis, model deliberatif, model pilihan publik dan model “tong sampah” (garbage can model).
Nugroho (2009) telah membahas sedikitnya tiga belas macam model perumusan kebijakan. Masing-masing model memiliki fokus yang berbeda terhadap kondisi politik dan membantu memahami berbagai perbedaan tentang kebijakan publik.
Mencermati berbagai model perumusan kebijakan publik yang sudah ada, penelitian ini lebih condong pada model proses. Dalam model proses berlaku asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu, kebijakan juga merupakan suatu proses yang menyertakan rangkaian kegiatan: 1) identifikasi masalah, 2) menata agenda, 3) perumusan kebijakan, 4) legitimasi kebijakan, 5) implementasi kebijakan, dan 6) evaluasi kebijakan. Di dalam rangkaian proses tersebut (Gambar 1), tahap perumusan kebijakan (kegiatan ke-3) yang akan dibahas dalam penelitian ini.
(28)
Gambar 1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009)
Model proses ini menjabarkan bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun belum memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada (Nugroho 2009). Untuk itu, Nugroho (2009) menjabarkan perumusan kebijakan yang lebih rinci dalam bentuk aktivitas fungsional dengan mengambil dari Model O‟Jones (Tabel 1).
Tabel 1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones
Sumber : Dimodifikasi dari Model O‟Jones dalam Nugroho (2009).
Di antara 15 aktivitas fungsional yang disebutkan pada Tabel 1, penelitian ini membatasi pada aktivitas ke-1 sampai ke-6. Hal ini karena aktivitas tersebut
Identifikasi Masalah Menata Agenda Perumusan Kebijakan Legitimasi Kebijakan Implementasi Kebijakan Evaluasi Kebijakan Aktivitas Fungsional Kategori dalam
Pemerintahan Sebagai Sistem Proses penelitian ini
1. Persepsi
Masalah ke pemerintah
Identifikasi permasalahan
Masalah yang dihadapi industri kakao untuk berkembang (berbasis kinerja driver rantai pasok)
2. Definisi 3. Agregasi 4. Organisasi 5. Representasi
6. Formulasi Tindakan dalam
pemerintahan Pengembangan program/kebijakan Perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao 7. Legitimasi 8. Apropriasi 9. Organisasi Pemerintah ke masalah Implementasi program/ kebijakan 10. Interpretasi 11. Aplikasi 12. Spesifikasi Program/ kebijakan ke pemerintahan Evaluasi program/kebijakan 13. Pengukuran 14. Analisis 15. Resolusi/ Terminasi Resolusi atau
(29)
merupakan proses akademis. Sebaliknya aktivitas ke-7 hingga ke-15 lebih ke ranah politik.
Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri
Kebijakan Industri suatu negara adalah upaya strategis pemerintah untuk mendorong pengembangan dan pertumbuhan sektor industri manufaktur (Graham 1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004). Pemerintah mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan perusahaan dalam negeri serta mempromosikan transformasi struktural pembangunan infrastruktur (seperti sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi dan energi) merupakan bagian utama yang memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan industri (UNCTAD 2008).
Kebijakan industri bukanlah hanya tentang penerapan pajak atau subsidi, namun mencakup kolaborasi strategis antara sektor swasta dan pemerintah dengan tujuan mengungkap di mana hambatan paling signifikan dan apa jenis intervensi yang paling mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Sejalan dengan itu, analisis kebijakan industri perlu memusatkan perhatian bukan hanya pada hasil kebijakan, tetapi untuk mendapatkan proses kebijakan yang tepat. Menurut UNIDO (2007) kriteria yang harus dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan industri mencakup sepuluh macam. Kriteria tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis atribut yang melekat pada kriteria tersebut, yaitu sifat dan tujuan (Tabel 2). Kriteria kebijakan industri tersebut dapat digunakan untuk penilaian terhadap implementasi kebijakan industri yang sedang berlaku.
Tabel 2 Kriteria perumusan kebijakan industri
Kriteria Atribut
1. Realistis; Sifat
2. Berorientasi produktivitas dan pertumbuhan; Tujuan 3. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan sektor
swasta dan mampu menarik investasi;
Tujuan 4. Mendorong kreativitas dan inovasi proses produksi dan produk; Tujuan 5. Menawarkan kesempatan penciptaan lapangan kerja dan
pemberdayaan masyarakat diintegrasikan dalam proses industrialisasi;
Tujuan 6. Menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi; Tujuan 7. Mendorong pengembangan SDM untuk industri;. Tujuan 8. Terintegrasi secara fungsional dan berkelanjutan dengan kebijakan
sektoral;
Sifat
9. Transparan; Sifat
10. Kebijakan industri harus mewakili kepentingan negara, mengatasi kepentingan dan permasalahan sektor swasta dan juga
memperhitungkan kebutuhan masyarakat pada umumnya;
Sifat 11. Bertujuan menjamin daya saing industri Tujuan Sumber : diadopsi dari UNIDO (2007)
Rumusan kebijakan industri yang akan dihasilkan penelitian ini setidaknya dapat memenuhi kriteria penilaian kebijakan industri menurut UNIDO (2007) tersebut.
(30)
Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok
Menurut Chopra dan Meindl (2007) sebuah rantai pasok (supply chain)
terdiri dari pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung dan tidak langsung, dalam memenuhi permintaan pelanggan. Rantai pasok adalah jaringan pasokan dan permintaan yang mencakup pemasok, produsen, pengecer besar dan konsumen akhir, dengan tujuan respon cepat dan kerjasama yang efektif dalam pengendalian kualitas dan penurunan biaya. Istilah manajemen rantai pasok
(supply chain management) dipopulerkan sebagai pendekatan manajemen
persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Menurut Vorst (2004) manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi seluruh proses, dan aktivitas bisnis untuk menghantarkan nilai keutamaan produk kepada konsumen sebagai keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan kepuasaan para pihak yang berkepentingan dalam sistem rantai pasok. Rantai pasok adalah jaringan fisik dan aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di dalam atau melintasi batas-batas perusahaan.
Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain dan analisis rantai pasok produk pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pasok pada umumnya.
Pembahasan rantai pasok produk pertanian belum banyak dilakukan karena kajian rantai pasok pada umumnya dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu manajemen atau keteknikan yang berbasis manufaktur (Vanani et al. 2009). Beberapa penelitian yang mengkaji lingkup rantai pasok pertanian
antara lain Zee dan Vorst (2005), Santoso (2005), Aramyan et al. (2006), Vorst
(2006), Yandra et al. (2007), dan Suharjito (2011).
Menurut Chopra dan Meindl (2007) terdapat hubungan yang sangat dekat antara disain dan manajemen aliran di dalam rantai pasok (aliran produk, informasi dan uang) dan berhasilnya suatu rantai pasok mencapai kinerja terbaiknya. Adapun salah satu kunci berhasil atau gagalnya manajemen rantai pasok adalah pengambilan keputusan dalam hal desain, perencanaan dan operasi. Keberhasilan manajemen rantai pasok memerlukan banyak keputusan terkait dengan aliran produk, informasi dan uang. Setiap keputusan harus dibuat untuk mencapai tingkat surplus rantai pasok.
Terdapat tiga kategori atau tahapan keputusan manajemen rantai pasok yaitu : Strategi atau disain, perencanaan, dan operasi rantai pasok. Strategi atau disain rantai pasok berkaitan dengan konfigurasi rantai pasok. Keputusan-keputusan tentang disain dan strategi ini memiliki jangka waktu yang panjang. Sementara perencanaan rantai pasok mencakup suatu periode beberapa bulan hingga tahun yang meliputi: perencanaan produksi, subkontrak, dan promosi hingga periode perencanaan tersebut. Keputusan-keputusan operasional rantai pasok merupakan keputusan dari menit ke menit sampai ke keputusan harian termasuk sekuensi produks dan pemenuhan order.
Pentingnya pembuatan keputusan manajemen rantai pasok didasarkan atas struktur faktor penggerak (driver) yang akan menentukan kinerja rantai pasok.
(31)
Pengambilan keputusan rantai pasok berawal dari pemilihan strategi dalam menjaga keseimbangan antara Responsiveness dan Efficiency rantai pasok .
Untuk mencapai tujuan, suatu perusahaan harus mampu menata atau menstrukturkan kombinasi dari tiga driver logistik dan tiga driver lintas fungsi
(cross functional driver). Masing-masing driver tersebut adalah: fasilitas atau
infrastruktur, inventori dan transportasi untuk driver logistik, sedangkan informasi, sourcing dan hargauntuk driver lintas fungsi.
Keputusan suatu perusahaan untuk mencapai daya saingnya dilakukan dengan menentukan titik keseimbangan (trade off) antara responsivitas
(responsiveness) dan efisiensi (efficiency). Keputusan tersebut merupakan suatu
strategi yang paling sesuai (strategic fit) dengan tujuan perusahaan dalam
menghadapi kondisi internal dan eksternal. Keputusan dalam mencapai kinerja rantai pasok terbaik berdasarkan driver rantai pasok sangatlah luas. Chopra dan
Meindl (2007) menggambarkan beberapa tingkatan keputusan yang mungkin diambil dari setiap driver (Tabel 3).
Tabel 3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan Driver Rantai
Pasok
Keputusan
Level Strategis/Disain Level Taktis/Rencana Level Pelaksanaan
Fasilitas • Penentuan lokasi fasilitas • Penentuan jenis infrastsruktur •
Penentuan kapasitas • Skedul
• Jarak antar fasilitas Persediaan • Pola permintaan
• Siklus persediaan
• Biaya inventaris
• Biaya penyimpanan •
Rata-rata persediaan
• Fill rate Transportasi • Penentuan jaringan, rute,
moda angkutan, •
Penjadwalan pengangkutan, • Penentuan pasar
sasaran
• Biaya pengangkutan • Kapasitas angkut
inbound dan outbound Informasi • Pull atau push system
• Koordinasi & sharing informasi
• Knowledge transfer
• Forecast & aggregate planning
• Enabling technology
• Perkiraan informasi • Frekuensi
• Seasonal factor Sourcing • Penentuan in house /
outsource
• Penentuan kontrak
• Rencana kolaborasi • Proses pengadaan •
Catatan pembayaran • Time delivery
• Kualitas pasokan Harga • Penentuan skala ekonomi
• Penentuan strategi pricing (dinamic, multiple segmen)
• Overbooking
• Overselling
• Stabilisasi order
• Catatan profit • Biaya per unit • Rentang harga Sumber: diadaptasi dari Chopra dan Meindl (2007)
Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan
Pada umumnya, industri pengolahan kakao atau biasa disebut industri kakao dibedakan atas industri hulu (grinder) dan industri hilir (manufacture chocolate).
Pengolahan kakao meliputi urutan proses mengubah bahan baku (biji kakao) menjadi produk setengah jadi kakao (cocoa liquor, cocoa butter dan cocoa
powder). Hal ini mencakup tiga tahapan proses utama: (i) sangrai/pemanggangan
biji kakao, (ii) menggiling biji kakao untuk membuat cocoa liquor, (iii) proses
(32)
Industri Kakao menurut Deperind (2009) adalah industri yang berbasis pada pengolahan bahan baku hasil perkebunan kakao. Pengelompokan industri kakao dan kakao olahan terdiri dari atas: Industri Hulu yang menghasilkan: buah kakao,
biji kakao, liquor/mass; Industri Antara yang menghasilkan: cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan); dan industri hilir adalah
industri makanan berbasis coklat.
Secara keseluruhan, empat kategori produk utama berdasarkan tahapan pengolahan kakao, yaitu: 1) Biji kakao (mentah, atau minimal diolah); 2) Produk antara kakao (cocoa liquor, cocoa butter, cocoa powder); 3) Couverture atau
cokelat industri; 4) Produk cokelat jadi. Secara umum pohon industri kakao memuat berbagai turunan dari komoditi kakao yang masih terbuka peluangnya untuk dikembangkan (lihat Gambar 2).
BIJI LIQUOR
CAKE
FAT
PASTE
POWDER
CONCENTRATE
EXTRACT
ESSENCE
LECHITIN
TANNIN
PEKTIN
COCO BUTTER
OLEO CHEMICAL
FATTY ACID
VITAMIN D
Confectionery Bars Minuman
Makanan Obat-obatan
Makanan Minuman Kosmetika
Obat-obatan
Industri Kimia
Industri Kimia
Makanan
Industri Kimia Obat-obatan Industri Kimia
Industri Kimia/Farmasi
Sumber : BKPM, 2010
(33)
3
METODE
Kerangka Pemikiran
Kerangka pikir penelitian ini didasari pada perkembangan industri kakao Indonesia yang masih belum optimal (Gambar 3). Perlu dibuktikan dugaan yang mengatakan bahwa perkembangan industri kakao sangat dipegaruhi oleh kebijakan pemerintah. Untuk itu, keberadaan kebijakan pemerintah di bidang kakao perlu dipahami secara mendalam dan dikenali bagaimana kinerja implementasi dan dampaknya terhadap perkembangan industri kakao. Secara normatif seharusnya kebijakan mampu mendorong, memayungi dan mendukung perkembangan industri kakao yang kondisinya masih belum berkembang. Hal ini karena konsekuensi dari komoditi kakao sebagai komoditi global, sehingga kakao dan produk turunannya masuk ke dalam suatu sistem rantai pasok berskala internasional.
Model Perumusan Kebijakan
Tool Analisis Kondisi yang Diharapkan
Kondisi Saat Ini Jumlah dan Kapasitas
Industri Kakao Belum Optimal
Identifikasi dan Dekomposisi Driver &
Sub Driver Kinerja Rantai Pasok
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok Industri
Kakao Analisis tentang Kebijakan Perkakaoan
Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan
Industri Kakao
Verifikasi dan Validasi
Berkembangnya Industri Kakao Rantai Pasok Kakao
yang Efisien & Responsif Kebijakan
Pengembangan Industri Kakao belum
Kondusif
Rantai Pasok Kakao Belum Efisien & Responsif
Rumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri
Kakao
Kebijakan Industri Kakao yang Kondusif
OK
Belum
Analisis Rantai Pasok Kakao
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian
Pengembangan industri kakao tidak bisa dilepaskan dari manajemen rantai pasok para pelakunya. Dengan demikian perkembangan industri kakao sangat dipengaruhi oleh keputusan industri yang ada atau calon investor baru dalam merespon risiko dan manajemen rantai pasok kakao. Dengan menggunakan rantai pasok sebagai basis perumusan kebijakan diharapkan akan ada titik temu antara tuntutan atau kebutuhan industri atau calon investor di satu sisi dan upaya penentu kebijakan yang mendukung pengembangan industri kakao di sisi lain.
(34)
Alat analisis yang digunakan untuk mengurai perihal pengembangan industri kakao dimulai dari analisis tentang permasalahan dan kebijakan perkakaoan. Dari pemahaman terhadap kebijakan yang ada kemudian dilanjutkan melihat gambaran rantai pasok kakao. Analisis rantai pasok ini ditujukan untuk melihat siapa saja yang terlibat, bagaimana hubungan antar pelaku dan bagaimana konfigurasi rantai pasok yang ada. Dengan mengetahui konfigurasi rantai pasok akan dikenali hambatan atau kendala terhadap aliran barang, informasi dan uang di antara anggota rantai pasok. Kinerja rantai pasok akan dapat ditingkatkan jika hambatan dan kedala dapat dihilangkan atau minimal dikurangi.
Untuk dapat mengetahui kinerja rantai pasok perlu metrik atau ukuran yang relevan dengan obyek yang dihadapi yaitu industri kakao. Untuk itu, perlu identifikasi faktor-faktor penggerak kinerja (driver) rantai pasok yang relevan
dengan obyek yang diteliti, kemudian mendekomposisi faktor-faktor tersebut ke dalam variabel yang lebih operasional untuk dicari datanya.
Dengan terumuskannya ukuran atau variabel yang operasional akan dapat disusun instrumen berupa kueioner untuk mengumpulkan data lapangan dan data dari pakar terkait bobot dari setiap driver. Data diolah untuk mendapatkan indeks kinerja rantai pasok. Hasil indeks kinerja rantai ini kemudian ditinjau secara mendalam guna dirumuskan bagaimana kondisi industri kakao sebenarnya. Berdasar hasil pengukuran kinerja driver rantai pasok industri kemudian dianalisis untuk mengetahui kecenderungan dan kesenjangan antara capaian kinerja dengan kondisi ideal yang diharapkan. Analisis kesenjangan dan kecenderungan akan menghasilkan rumusan kebijakan yang seharusnya diambil baik oleh perusahaan/industri sendiri maupun oleh pemerintah. Hasil rumusan kebijakan dijadikan bahan bagi pemerintah guna mendukung perbaikan kinerja rantai pasok industri kakao. Pada akhirnya rumusan kebijakan yang mendukung perbaikan kinerja rantai pasok industri kakao diharapkan akan memberikan iklim yang lebih kondusif bagi berkembang industri kakao Indonesia.
Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan
Data yang dikumpulkan penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut: Observasi lapangan ke lokasi para petani kakao, pedagang kakao, eksportir kakao, dan industri pengolahan kakao; Wawancara mendalam dengan wakil petani, pedagang kecil dan besar, eksportir, industri pengolah kakao, pemerintah daerah, beberapa asosiasi dan lembaga lain terkait kakao; FGD (Focus Group Discussion) di
beberapa Kabupaten yang melibatkan anggota rantai pasok kakao di kabupaten. Data sekunder diperoleh dari instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten terkait dengan statistik di sektor Pertanian, Perdagangan, Perindustrian serta sektor Pekerjaan Umum. Data yang diambil dari sektor Pertanian berkaitan dengan dukungan dalam hal budidaya dan input faktor pertanian. Pada bidang perdagangan data yang dihimpun berkenaan dengan kebijakan perdagangan daerah, seperti pengawasan perdagangan, penerapan standar timbangan (metrologi) serta pungutan atau retribusi daerah. Untuk sektor Perindustrian penelitian ini menyoroti kebijakan pengembangan industri di tingkat nasional dan program bantuan peralatan pengolahan kakao skala kecil di tingkat daerah. Sementara itu, data dari sektor Pekerjaan Umum
(35)
berkaitan dengan kondisi infrstruktur jalan dan jembatan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan, program yang sedang dan akan dilaksanakan serta kebijakan tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten di Sulawesi Selatan.
Pengetahuan dari pakar diperoleh dengan cara mengakuisisi kepakaran yang dimilikinya melalui suatu instrumen penilaian berupa kuesioner pakar. Ada beberapa kuesioner yang disiapkan untuk mengakuisisi pengetahuan dari pakar di antaranya: validasi terhadap driver dan sub driver yang telah didekomposisi,
kuesioner AHP, kuesioner penilaian kebijakan, dan kuesioner verifikasi dan validasi hasil perumusan kebijakan.
Verifikasi dan Validasi
Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi jika menggunakan perhitungan komputer. Model diverifikasi dengan jalan menguji apakah program untuk model tersebut telah dapat berjalan dengan baik dan benar. Agar model dapat diimplementasikan, setelah dilakukan tahapan verifikasi, selanjutnya model perlu divalidasi. Tahap validasi model ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat mewakili sistem yang sebenarnya (Susila 1991).
Validasi model dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik validasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Efektivitas proses validasi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa model telah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata. Validasi model pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu validasi penyusunan (validation by construct) dan validasi hasil (validation by results). Validasi
penyusunan dimaksudkan untuk menilai keabsahan teori dan asumsi-asumsi yang digunakan didalam model. Sementara, validasi hasil dimaksudkan untuk menilai kesesuaian antara hasil keluaran model dan keluaran dari sistem yang sebenarnya. Validasi penyusunan pada penelitian ini menggunakan teknik face validity, animation validity (Sargent 2010) dan consistency analysis (Saaty 1983; Saxena
1992). Teknik face validity digunakan untuk validasi model-model dengan
pendekatan soft system metodhology. Pada teknik ini, validasi tidak bisa
sepenuhnya dilakukan secara matematis, namun cukup mendapat pengakuan secara intelektual (professional judgement) (Checkland 1995). Prosedur validasi
yang diterapkan dalam penelitian ini adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan bahwa model telah mengandung semua elemen, kejadian, dan relasi dari sebuah sistem pengembangan industri kakao. Pada teknik ini diperlukan bantuan pakar yang memahami industri kakao guna menilai apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili sistem nyata yang ada. Pada tahap ini dimungkinkan terjadinya perbaikan-perbaikan secara simultan yang pada akhirnya akan diperoleh model perumusan kebijakan pengembangan industri kakao yang efektif. Teknik validasi ini digunakan untuk validasi: hasil dekomposisi driver menjadi sub driver kinerja
rantai pasok yang dikembangkan dari studi pustaka yang relevan untuk industri kakao;
Teknik animation digunakan untuk validasi hasil pengukuran kinerja
efisiensi dan responsivitas rantai pasok. Indeks kinerja rantai pasok ditampilkan secara grafis (Sargent 2010). Metode ini dilakukan dengan melihat pola secara
(36)
grafis indeks kinerja rantai pasok setiap perusahaan yang disurvey dan indeks agregasi level industri dicocokkan dengan kenyataan sistem yang ada.
Teknik consistency analysis digunakan untuk validasi proses penilaian
bobot kepentingan dengan teknik AHP dan ISM. Teknik ini dilakukan dengan melihat konsitensi penilaian yang diberikan oleh pakar terhadap berbagai kriteria, alternatif dan jenis-jenis entitas yang dibandingkan secara pairwaise comparison.
Nilai rasio konsistensi untuk AHP harus 10 persen atau kurang. Jika lebih dari 10 persen, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Sementara untuk teknik ISM dilakukan dengan membentuk matriks yang bersifat Reachability jika dengan operasi Boolean memenuhi syarat reflexive dan transitif, jika tidak maka
dilakukan penyesuaian dengan melakukan operasi recursive multiplication
sehingga terbentuk kondisi matriks tertutup (causal looping). Setelah dilakukan
proses pengecekan dengan aturan transitivity sampai didapatkan final SSIM untuk
diinterpretasikan hasilnya.
Validasi hasil dilakukan melihat kesesuaian output model dengan kondisi nyata yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang dikembangkan adalah model yang valid. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian adalah teknik face validity (Sargent 2010). Teknik tersebut digunakan
(37)
4
PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN
INDONESIA
Abstrak
Pengembangan industri kakao di Indonesia masih menemui banyak permasalahan. Kondisi di sektor hulu (kebun kakao), perdagangan, hingga industri pengolahan masih banyak mengalami hambatan. Kebijakan dari berbagai sektor telah digulirkan untuk memperbaiki keadaan dan mempercepat peningkatan nilai tambah bagi perekonomian. Namun, perkembangan industri belum mencapai besaran yang dikehendaki. Penelitian pada bagian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia. Metode Analisis Kebijakan digunakan untuk memperoleh rumusan masalah dan pemahaman yang mendalam akan kebijakan perkakaoan. Hasil analisis menunjukkan bahwa permasalahan utama perkakaoan Indonesia di antaranya: produktivitas kebun masih rendah, mutu biji belum standar, konsumsi coklat rendah, dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi untuk industri. Kebijakan sektor keuangan masih mendominasi peranan sektor dalam pengembangan idnsutri kakao.
Kata kunci: permasalahan kebijakan, pengembangan industri, kakao Pendahuluan
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1.4 juta hektar dengan produksi kurang lebih 500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1.6 juta Ha produksinya sebesar 1.5 juta ton per tahun, sedangkan Ghana sebesar 1 juta ton per tahun dengan luas area yang sama (ICCO 2011).
Dari perbandingan di atas terlihat kesenjangan yang nyata dalam produktivitas antara kebun kakao Indonesia dan Ghana maupun Pantai Gading. Menurut Kementerian Pertanian produktivitas kebun kakao Indonesia relatif rendah yaitu 630 kg/Ha/tahun, karena berbagai hal seperti: penyakit CPB (Cocoa Pod Borer), tanaman sudah tua, kecilnya penguasaan lahan rata-rata petani,
kurangnya perawatan lahan dan kebun, kurangnya varietas (klon) unggul yang dikembangkan (Ditjenbun 2010).
Permasalahan juga dialami sektor hilir yaitu masih rendahnya kapasitas industri pengolahan kakao Indonesia yang mengakibatkan rendahnya nilai tambah yang bisa diambil dari komoditas potensial ini bagi perekonomian. Guna peningkatan nilai tambah kakao, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan serangkaian kebijakan mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari kebijakan di sektor budidaya kakao, pasca panen, perdagangan, hingga sektor industri hilir kakao. Selain itu, untuk „memayungi‟ berbagai program yang direncanakan pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pada tataran makro seperti: pajak ekspor, standarisasi, Kebijakan Industri Nasional (Perpres 2008) dan kebijakan klaster
(38)
industri (Deperind 2009a). Walaupun demikian, serangkaian kebijakan yang telah dikeluarkan belum efektif mendukung pengembangan industri kakao.
Bagian ini bertujuan untuk mengurai permasalahan perkakaoan dan kebijakan yang menyertainya agar dapat dipahami secara mendalam permasalahan yang dihadapi dan kemana arah kebijakan perkakaoan Indonesia. Memahami masalah sangat penting karena para analis kebijakan lebih sering gagal memecahkan masalah yang salah daripada memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang tepat (Dunn 1999). Selain itu, dapat diketahui kebijakan sektor apa saja yang berpengaruh dan memiliki peran strategis dalam mendorong pengembangan industri kakao Indonesia.
Metode Penelitian Kerangka penelitian
Pada dasarnya suatu kebijakan merupakan sebuah sistem yang mencakup tiga elemen yaitu kebijakan publik itu sendiri, lingkungan kebijakan, dan pelaku kebijakan (Dunn 1999). Dalam penelitian ini, kebijakan publik adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai sektor (pemerintah) berkenaan dengan dukungan atau pengaturan dalam rangka pengembangan industri kakao. Sementara untuk elemen lingkungan dan pelaku dalam kerangka penelitian ini akan disatukan pembahasannya karena interaksinya sulit untuk dipisahkan (Gambar 4).
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
Kondisi input faktor
Kondisi aktivitas budidaya
Kondisi pasokan energi Kondisi infrastruktur Tujuan pengembangan
industri kakao
Kebijakan berbagai sektor
Kondisi aktivitas pascapanen
Kondisi aktivitas perdagangan Kondisi aktivitas
Industri pengolahan
Perkembangan industri kakao
Ragam kebijakan
(39)
Dengan demikian, analisis dibagi menjadi dua bagian: pertama, analisis
permasalahan (lingkungan kebijakan) tentang kondisi pada setiap aktivitas agroindustri (pelaku kebijakan) untuk menghasilkan rumusan masalah, dan kedua,
mengidentifikasiragam kebijakan yang menjawab permasalahan perkakaoan.
Sumber data
Dalam mengurai permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia menggunakan data sekunder dan primer. Data sekunder diambil dari studi literatur yang relevan, statistik dan laporan lembaga-lembaga yang berkompeten. Sementara untuk data primer diperoleh dengan observasi dan survey lapangan (wawancara) dengan para pelaku usaha di bidang perkakaoan.
Metode analisis
Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi dan memahami permasalahan diambil dari tahapan perumusan masalah dalam analisis kebijakan Dunn (1999). Adapun tahapan perumusan masalah menurut Dunn (1999) adalah: 1) Pengenalan masalah yang digali dari literatur yang relevan; 2) pencarian masalah, diperoleh dari survey dan observasi lapangan; 3) Pendefinisian masalah; 4) Spesifikasi masalah, diperoleh dari diskusi dan wawancara (Gambar 5).
Gambar 5 Tahapan perumusan masalah
Berdasarkan tahapan perumusan masalah pada Gambar 5, analisis yang dilakukan dalam penelitian pada bagian ini terdiri dari dua hal. Pertama, uraian
tentang permasalahan perkakaoan Indonesia. Kedua, uraian kebijakan dari
sektor-sektor yang terkait dengan pengembangan industri kakao.
Meta Masalah
Situasi Masalah
Masalah Substantif
Masalah Formal Pencarian
Masalah
Pendefinisian Masalah
Spesifikasi Masalah Pengenalan
(1)
166
Lampiran 9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 DP R
1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 7 3
2 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2 6
3 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8 2
4 1 1 0 1 1 1 1 1 0 7 3
5 0 1 0 0 1 1 0 0 0 3 5
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 6
7 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4
8 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1*
D 4 8 3 3 7 9 6 6 1
Keterangan:
D = Ketergantungan (dependence) DP = Daya Dorong (driver power)
R = Rangking (tanda * merupakan elemen kunci)
Lampiran 10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan pendukung pengembangan industri kakao
9 9
8 3
7 4 1
6 5 7,8 4 3 5 2 2 1 6
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketergantungan (Dependence) D a y a D o r o n g ( D r iv e r Po w e r ) Sektor IV Sektor I Sektor II Sektor III
(2)
167 Lampiran 11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam
pengembangan industri kakao
(9) Peningkatan kemampuan pemasok (6) Penerapan teknologi informasi dalam
perencanaan
(1) Pemilihan moda transportasi yang efisien (kapasitas dan utilitas)
(2) Pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah
(5) Penerapan streamline stock dan optimalisasi pengiriman
(7) Penjadwalan pengiriman secara ketat
(8) Pemilihan pemasok dengan penetapan kriteria dan penerapan standar budidaya
(3) Investasi teknologi proses
(3)
168
Lampiran 12 Industri kakao yang mulai aktif kembali
No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton)
Semula Menjadi
1 PT. Effem Indonesia Makassar 17 000 17 000
2 PT. Jaya Makmur Hasta Tangerang 15 000 15 000
3 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi Makassar 10 000 10 000
4 PT. Davomas Abadi Tangerang 140 000 140 000
5 PT. Maju Bersama Cocoa Industries Makassar 20 000 20 000
Total 202 000 202 000
Sumber : Kemenperin 2011
Lampiran 13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas
No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton) Penambahan
Semula Menjadi (Ton) %
1 PT.General Food Industry Bandung 80.000 100.000 20.000 25
2 PT.Bumitangerang Tangerang 48.000 96.000 48.000 100
3 PT. Cocoa Ventures Medan 7.000 14.000 7.000 100
4 PT.Teja Sekawan Surabaya 15.000 24.500 9.500 63
5 PT.Kakao Mas Gemilang Tangerang 375 450 75 20
6 PT. Gandum Mas Kencana Tangerang 10.000 15.000 5.000 50 7 PT. Freyabadi Indotama Karawang 22.500 25.000 2.500 11
8 PT. Sekawan Karsa Mulia Jakarta 6.000 7.000 1.000 17
Total 188.875 281.950 93.075 49
Sumber : Kemenperin 2011
Lampiran 14 Jadwal survei lapangan
Lokasi Tanggal Survei
Makasar 1 - 6 Maret 2010
Kabupaten Luwu Utara 8 - 13 Maret 2010.
Kabupaten Pinrang 14 - 18 Maret 2010,
Kabupaten Bone 19 - 23 Maret 2010
Kabupaten Bulukumba 24 -27 Maret 2010
(4)
169 Lampiran 15 Informan dalam survei lapangan:
Kabupaten Luwu Utara
Informan Kelompok yang diwakili
Pesianus Lesnussa Pedagang dan mewakili KOPTAN Prima Jaya
Nusla APKAI (Asosiasi Petani Kakao Indonesia) Luwu Utara Abu Rasyid KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sibalirosoe
Jumadi Petani/Anggota Kelompok Tani
Jasmani Dinas Koperasi, Perdagangan & Perindustrian
Mahfud Bidang Perdagangan
Kabupaten Pinrang
Informan Kelompok yang diwakili Syamsudin F Kelompok Tani Temangengi Hamasing Dinas Kehutanan & Perkebunan Abidin Gazali Fasilitator Petani MARS
Rais Petani dari BT Parimba
Malliy Angta Pedagang kakao Kabupaten Bone
Informan Kelompok yang diwakili
Firitiah Nur Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Lintar Petani
Nasir Ketua KLP Tani
Latif Pedagang kabupaten
Lamading Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba
Informan Kelompok yang diwakili
Abri, S.Pd Anggota Kelompok Tani “Emas Hijau”
Kamaruddi BUMP
H. M Amir Pedagang
H. Tamsil Sp BPP Bulo-Bulo
Ir. H. Akhmad Syahtar Dinas Kehutanan dan Perkebunan Drs. H. Suddin, MSi Kepala Diskop UKM
(5)
170
Lampiran 16 Narasumber, pakar dan praktisi
Narasumber Lembaga Kepakaran / Praktisi
Sindra Wijaya, SE BT Cocoa dan AIKI Praktisi industri kakao
Dr Undang Fajar PT RPN Perkakaoan
Dr Andi Fahmi Lubis FE Univ Indonesia Kebijakan industri
Dr. Ir. Bambang Dradjat PT RPN Kebijakan industri
perkebunan Dr. Ir. A. Husni Malian Balitbang Kementan Ekonomi Pertanian Dr. Ir. Misnawi Jati Puslit Kopi dan Kakao
Indonesia (ICCRI)
Teknologi pengolahan kakao
Monty SP, PhD Kementrian Pertanian Penyuluhan pertanian
Mima Rangkuty, MSi Kementerian Perindustrian Kebijakan industri agro
Musdalifah Kemenko Ekonomi Kebijakan industri agro
Ir M Dakhri Eksportir (PT Nedcom) Perdagangan ekspor kakao
Armajro Eksportir Perdagangan ekspor kakao
Ir Tommy Suplier GFI di Lampung Pedagang mitra industri
Ir. Kapson Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Prov Lampung
Budidaya kakao
Ir. Gigih Lab. TIAB BPPT Teknologi pengolahan
(6)
171
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 7 Juli 1968, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Pramudji dan (alm) M Andiyati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1999 penulis diterima di Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh pada tahun 2008 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Karya ilmiah berjudul “Penerapan Teknik ISM untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao” siap terbit pada Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015. Artikel lain berjudul “Measuring Performance of Supply Chain Efficiency and Responsiveness for Policy Formulation of Cocoa Industry Development” siap terbit pada Journal of Research in International Business and Management (JRIBM) (ISSN: 2251-0028). Pada 11 Juni 2013. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.