Merga dalam Struktur Sosial Masyarakat Karo

3.8. Merga dalam Struktur Sosial Masyarakat Karo

Merga sangat penting dalam suatu hubungan bermasyarakat di Suku Karo. Pada umumnya Merga menjadi dasar bagi individu Karo untuk melakukan interaksinya bersama dengan masyarakat Karo lainnya. Dengan adanya merga, masyarakat Karo akan mengetahui struktur sosial (pengakuan terhadap orang Karo berdasarkan kekuatan merga) sehingga menentukan struktur jabatan adat yang dimiliki tiap individu-individu Karo. Dalam praktik kehidupannya dalam masyarakat. Merga menjadi penentu orang Karo bersikap bagi yang lain

70 Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.

dan menjadikan orang Karo sebagai suatu masyarakat yang memiliki identitas budaya yang bercirikan memiliki merga.

Contoh penulis, penulis merga barus dan bere-bere ginting. Ketika bertemu dengan masyarakat Karo yang bermerga ginting, penulis akan bersikap menghormati, menjaga sopan santun sebab merupakan kalimbubu penulis. Kemudian ketika bertemu satu merga dengan penulis yakni karo-karo yang laki-laki. Penulis harus bersikap ramah, memiliki jiwa tolong menolong sebab mereka termasuk ke dalam senina/sembuyak yang nantinya penulis melaksanakan pesta adat mereka lah yang akan mendampingi penulis, jadi teman diskusi dan yang berhubungan dengan konsep acara. Sedangkan yang satu merga penulis tetapi perempuan yaitu anak beru penulis. Sehingga penulis harus menyayangi mereka. Sebab mereka lah yang nantinya yang akan mempersiapkan segala sarana dan prasarana adat yang ingin dilaksanakan penulis. Inilah pentingnya masyarakat Karo memahami merga. Adapun merga-merga di Suku Karo sebagai berikut:

1. Merga Ginting.

Merga Ginting terdiri dari beberapa submerga seperti: Ginting Pase, Ginting Munthe, Ginting Manik, Ginting Sinusinga, Ginting Seragih, Ginting Sini Suka yang kemudian melahirkan beberapa sub merga yaitu Ginting Babo, Ginting Sugihen, Ginting Guru Patih, Ginting Suka ( Ini juga ada di Gayo dan di Alas), Ginting Beras, Ginting Bukit ( terdapat juga di Gayo/Alas), Kemudian ada Ginting Garamata, Ginting Ajar Tambun dan Ginting Jadi Bata. Inilah kesembilan merga Ginting yang dilahirkan Ginting Sini Suka. Kemudian terdapat Ginting Jawak, Ginting Tumangger dan Ginting Capah.

2. Merga Karo-Karo

Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga yaitu:

a. Karo-Karo Purba. Dia memiliki dua istri. Seorang pueri umang dan seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga: Purba, Ketaren dan Sinukaban.

b. Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga: Karo-Karo Sekali, Karo-Karo Sinuraya/Sinuhaji dan Merga Jong/Kemit.

c. Karo-Karo Sinulingga. Kemudian merga ini pecah menjadi beberapa bagian seperti: Kaban, Kacaribu dan Surbakti .

d. Merga Karo-Karo Kaban, Merga Karo-Karo Sitepu, Karo-Karo Barus, Karo-Karo Manik 71 .

3. Merga Prangin-Angin.

Merga Prangin-prangin juga terbagi atas beberapa sub merga, yakni:

a. Pranginangin Sukatendel yang terbagi menjadi 3 merga yaitu: Prangin-prangin Kuta Buloh, Pranginangin Jombor Beringen, Pranginangin Jenabun.

b. Prangin-angin Kacinambun

71 Prints, Adat Karo, 16-22.

c. Pranginangin Bangun yang terbagi menjadi beberapa bagian yakni: Pranginangin Keliat, Pranginangin Beliter, Pranginangin Mano, Pranginangin Pinem, Pranginangin Laksa, Prangin-angin Penggarun, Pranginangin Uwir, Pranginangin Sinurat, Prangin-angin Pincawan, Prangin-angin Singarimbun, Pranginangin Limbeng dan Pranginangin Pasi .

4. Merga Sembiring

Merga Sembiring secara umum membagi diri atas dua kelompok, yaitu Sembiring siman biang ras sembiring sila man biang. Sembiring siman biang ( memakan anjing ) terdiri dari:

a. Sembiring Kembaren, Sembiring Keloko, Sembiring Sinulaki, Sembiring Sinupayung. Kemudian Sembiring sila man biang ( tidak memakan anjing ).

b. Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, Sembiring Muham, Sembiring Pandia, Sembiring Keling, Sembiring Depari, Sembiring Bunuaji, Sembiring Meliala, Sembiring Pelawi, Sembiring Sinukapor, Sembiring Tekang . Khusus merga Tekang tidak bisa menikah dengan merga Karo-Karo Sinulingga. Sebab mereka memiliki kesepakatan yaitu, anak merga Tekang diangkat menjadi anak Karo-Karo sinulingga

72 pada zaman dahulu dan sampai sekarang masih dipercayai di dalam masyarakat Karo.

5. Merga Tarigan.

Memiliki Cabang-cabang seperti: Tarigan tua, Tarigan Bondong, Tarigan Jampang, Tarigan Gersang, Tarigan, Cingkes, Tarigan Gana-gana, Tarigan Tambak, Tarigan Peken,

72 Prints, Adat Karo, 22-31.

Tarigan Purba, Tarigan Sibero, Tarigan Silangit, Tarigan Kerendam, Tarigan Tegur, Tarigan

Tambun dan Tarigan Sahing. 73

Berdasarkan keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi merekemondasikan, agar pemakaian merga berdasarkan “ merga

silima” yaitu: Ginting, Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring dan Tarigan. 74 Hal ini diusulkan agar sub merga dipakai di belakang merga, sehingga tidak terjadi kekacauan dan

kesalahpahaman mengenai pemakaian merga dan submerga tersebut. Sehingga kekuatan merga dan identitas merga dapat dilihat secara jelas dan struktural.

Merga silima ialah kelima merga terbesar yang ada di Suku Karo. Biasanya hal ini yang menjadi perekat sosial masyarakat Karo. karena pada umumnya Masyarakat Karo memiliki paguyuban dalam tiap daerahnya antara kelima merga tersebut sehingga memunculkan suatu harmoni sosial antar merga satu dengan lainnya. Meski pada umumnya juga, per merga bahkan dengan sub merganya juga memiliki perkumpulannya sendiri.

Merga dalam struktur sosial masyarakat Karo dijadikan sebagai sabuk sosial antara merga dan submerganya. Artinya bahwa Merga dan sub merga menjadi perekat antara merga dengan merga lainnya dikarenakan adanya suatu ikatan budaya baik secara kesamaan merga melainkan tugas, jabatan dan peran di dalam pelaksanaan peradatan suku Karo. Sebab kedudukan antar merga dan antar sub merga memiliki kedudukan sosial dan kedudukan berbeda pula.

Kedudukan Sosial terlihat ketika tiap merga silima membentuk tiap merganya suatu kelompok atau paguyuban. Pembuatan paguyuban tersebut dengan tujuan untuk mempertegas

73 Prints, Adat Karo, 32-34. 74 Prints, Adat Karo, 34.

bahwa merga memiliki posisi yang cukup kuat dan sangat menentukan dalam bermasyarakat. Tentu sistem sosial yang terjadi di dalam merga silima ini akan membentuk suatu relasi dengan rakut si telu. Sehingga merga menentukan posisi kita secara budaya kepada sesama orang Karo. artiannya bahwa relasi kita dengan orang karo yang terwujud dalam kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru dapat diketahui dari merga silima tersebut.

Di dalam masyarakat Karo dalam sistem perkawinan menganut dua sistem yang berdasarkan merga-merga di Suku Karo.

a. Sistem perkawinan merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan. Pada merga-merga tersebut berlaku sistem perkawinan exogami murni, dimana mereka yang berasal dari sub-sub merga ginting, karo-karo , dan tarigan dilarang kawin dalam merga sendiri, tetapi mereka diharuskan kawin dengan orang dari luar merganya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo

atau Tarigan dengan lain-lainnya. 75

b. Sistem perkawinan Pranginangin dan Sembiring. Sistem perkawinan yang berlaku pada dua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Adapun letak keterbatasannya ialah seseorang dari merga terentu peranginangin dan sembiring diperbolehkan kawin dengan orang tertentu dari merga yang sama asal sub merga. Misalnya, di dalam merga pranginangin antara bangun dengan sebayang, atau antara kuta buloh dengan sebayang. Demikian juga dengan merga sembiring antara meliala dengan brahmana, antara pelawi dengan depari, dan sebagainya. Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga tidak dikenal. Kecuali antara sebayang dengan sitepu atau antara sinulingga dengan tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan dengan perjanjian. Karena pada tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling berkawin.

75 Prints, Adat Karo, 64.

Dengan adanya eleuthogerami terbatas ini menunjukkan, bahwa: merga bukan sebagai hubungan geneakologis dan asal usul merga tidak sama. 76

Dengan adanya sistem perkawinan semacam itu masyarakat Karo hidup lebih berbudaya dan menghormati apa yang menjadi keputusan yangs udah dilakukan oleh nenek moyang. Pada umumnya masyarakat Karo masih menghormati sistem perkawinan diatas. Sehingga di dalam perkawinan orang Karo masyarakat Karo tidak sembarangan dalam memilih teman hidup. Selalu ada intervensi sistem perkawinan diatas. Dan pengaruh keluarga yang mengharuskan menikah dengan yang sama berunya dengan ibu kita. Sehingga perkawinan lebih dihargai. Secara praktik kehidupannya merga-merga diatas bersinergi antara satu dengan lainnya. Misalnya merga Karo- Karo Surbakti dengan Karo-Karo Barus (senina/saudara) pasti memiliki kedekatan yang sangat dekat secara budaya karena berasal dari satu merga yang sama.

Kemudian antar sub merga juga memiliki kedekatan yang sangat begitu sistemik dan harmonis. Meski tidak satu ibu ataupun sedarah ketika memiliki merga atau sub merga pastilah orang Karo menganggap mereka saudara dekat. Di tambah lagi dengan ketika orang Karo bertemu dengan merga yang sama dengan ibunya atau yang disebut sebagai kalimbubu. Rasa hormat dan menghargai sangat ditunjukkan. Misalnya Si A memiliki merga Tarigan dan ibunya beru Sembiring Meliala. Setiap yang memiliki merga Sembiring Meliala sudah menjadi kalimbubu. Sebab kalimbubu memiliki kekuatan sosial dan budaya yang kuat sebagai Tuhan yang kelihatan dalam perspektif masyarakat Karo pada umumnya.

Kemudian sama halnya ketika orang Karo yang bermerga surbakti bertemu dengan perempuan yang memiliki beru Surbakti. Pastilah mereka sangat memiliki kedekatan yang

76 Prints, Adat Karo, 64-65.

sangat menonjol. Karena mereka dianggap turang (satu merga antara laki-laki dan perempuan) dan perempuan tersebut akan menjadi anak beru (perempuan yang satu merga denga laki-laki Karo). Dimana fungsi anak beru tersebut sebagai kelompok yang membantu segala pelaksanaan adat pada keluarga tertentu.Terminologi-terminologi budaya semacam ini membentuk hubungan sosial pada masyarakat Karo menjadi sangat harmonis dan berdamai. Sebab merga-merga yang mereka miliki menyatukan mereka dalam suatu keadaan sosial masyarakat yang begitu beragam. Sehingga sudah menjadi dasar bagi masyarakat Karo untuk menjadikan merga mereka sebagai standar awal dalam mengawali interaksi sosial untuk masyarakat Karo.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Inkuiri terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SDN Noborejo 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2010/2011

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggunaan Metode Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Kelas V SD Negeri Jati 3 Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajara

0 0 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan: Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

0 0 41

Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan (Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani) TESIS Diajukan kepada Program Studi: Magister Sosiologi Agama, Fakultas: Teologi

0 0 14

2. IDENTITAS SOSIAL BAGI MASYARAKAT KARO DIASPORA 2.1. Pendahuluan. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

0 0 22