Argumen Maqasid Syari’ah
2. Argumen Maqasid Syari’ah
Para pengusung paham liberal menyatakan bahwa esensi ajaran Islam bukanlah terletak pada bentuk legal-formalistik hukum yang disyariatkannya melainkan pada maqasid al-syari’ahnya yakni pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh syariat. Secara umum tujuan syari’at diturunkan adalah untuk menciptakan kemaslahatan (kebaikan) bagi umat manusia. Seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan umat manusia, konsep kemaslahatanpun mengalami perubahan pula sehingga karenanya syariatpun mesti mengalami perubahan pula. Dengan demikian, apa yang dipandang maslahah oleh masyarakat Arab pada abad ketujuh, saat terbentuknya syariat Islam, tidak mesti maslahah bagi masyarakat hari ini.
Salah seorang penganut paham liberal dari Sudan Haj Hamad ketika membahas surat al-Ma’idah ayat 48 (likullin minkum syir’atan waminhajan) menjelaskan bahwa Allah menetapkan sesuatu syariat sesuai dengan karakteristik, kejadian, dan adat kebisaaan manusia itu sendiri. Hal itu mengingatkan manusia bahwa syariat itu relative; ia bisa sesuai dengan masyarakat tertentu tapi dengan masyarakat lain. Atas dasar ini selanjutnya Haj Hamad menegaskan: “bahwa hukum potong tangan, rajam, dan cambuk hanya sesuai untuk diberlakukan pada masa lalu bukan masa sekarang. Akan etapi, ini tidak berarti bahwa kita telah mengubah hukum Tuhan, “ yang tidak berubah dalam tasyri’I itu adalah prinsip hukum hudud atau balasan itu sendiri. Adapun mekanisme pelaksanaan prinsip tersebut diserahkan kepada peredaran masa sesuai dengan kondisi, adat istiadat, dan nilai-nilai (yang berlaku) 14
Atas dasar konsep masalahah pula para pemikir liberal mulai mengkampanyekan secara sistematis untuk melakukan legalisasi perkawinan sejenis. Musdah Mulia, misalnya, termasuk yang secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap legalisasi perkawinan sesama jenis. Dalam satu makalahnya yang berjudul Islam Agama Rahmat bagi Alam semesta, ia menulus:
“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi sesualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homosekseual (homo dan lesbi), dan biseksual adalah
14 Muhammad Abu al-Qasim Haj Hamad, Al-Alamiyyah al Islamiyyah al-Thaniyyah (British West Indies: International Studies and Reseach Bureau, 1996) hal. 496-497 dalam dalam Nirwan
Syafrin, MA, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam ( Jakarta: DDII, 2007) hal. 62
Liberalisasi Syariat..., Zaini Munir F. |
kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fiqih disebut sunnatullah. Sementara perilau seksual bersifat konstruksi manusia……. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian- pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima” 15
Seorang penganut paham liberal yang lain menulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus
kaum homoseks. Anda di jalan yang benar” 16 .
Di sini penulisnya berpretensi seakan-akan mengetahui maksud Tuhan dan telah dengan beraninya menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt. Allah swt berfirman:
Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu 17 , yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf: 80-81)
Dengan argumen yang sama seorang cendekiawan di Indonesia, Dr. Djohan Efendi, membolehkan shalat dengan menggunakan dwi bahasa (bahasa Arab dan Indonesia) seperti yang pernah dilakukan sekelompok umat Islam di Malang-Jawa Timur. Dia beralasan karena “inti shalat adalah bagaimana orang bisa berkomunikasi
15 Pembahasan tentang hal ini bisa dilihat dalam Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah edisi Mei 2008
16 Ahmad Khairul Umam et al, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Jurnal Justisia, IAIN Walisongo Semarang.
17 Perbuatan faahisyah di sini ialah: homoseksual sebagaimana diterangkan dalam ayat 81.
70 | 1 Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung Kristenisasi dan Liberalisme
dengan Tuhan secara mesra. Dan itu bisaanya diungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati. Inti dari ibadah sebetulnya hati” 18 Pertanyaan yang
perlu diajukan adalah, pernahkan dia mendapatkan pemberitahuan dari Tuhan bahwa dalam shalat seseorang dapat menggunakan dengan bahasa apapun. Bukankah Dia itu Maha Ghaib sehingga karenanya tidak ada seorangpun yang mengetahui esensi Zat-Nya dan memahami pula cara-cara berkomunikasi yang benar dengan-Nya. Bagi Umat Islam tentu meyakini hanya melalui petunjuk dan keteladanan Rasulullah jualah seseorang dapat melakukan komunikasi dengan Allah secara benar.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(Q.S. Al-Ahzab: 21)
Atas argumen maqashid pula hukum-hukum Islam yang sudah tsawabit/qath’i seperti hudud, jinayat, qisas, rajam, waris, iddah dan lain-lain sebagainya perlu didekonstruksi, disesuaikan dengan kemaslahatan manusia hari ini sebagaimana yang menjadi tujuan disyariatkannya hukum-hukum tersebut. Bahkan seorang tokoh Is- lam pernah pula mengusulkan agar ibadah haji dapat dilakukan dibulan lain di luar Dzulhijjah demi kemaslahatan umat. Dan kita tidak bisa membayangkan apalagi yang tersisa dari ajaran Islam, jika para pengusung paham liberal ini dibiarkan merubah- rubah hukum Islam atas nama kemaslahatan manusia yang tanpa ukuran pasti atau sekurang-kurangnya kita akan menyaksikan Islam yang beribu macam ajaran sesuai dengan pandangan kemaslahatan manusia di tempat masing-masing. Lebih jauh dari itu, agama pun pada akhirnya tidak berarti lagi (meaningless) jika tujuan kemaslahatan umat manusia ( kebaikan dan kesejaterannya) dapat tercapai tanpanya.
Dalam wacana pemikiran Islam, prinsip maqashid syari’ah memang telah menjadi rujukan utama para ulama. Akan tetapi sangat disayangkan tatkala prinsip ini jatuh ke tangan para pengusung paham liberal, ia menjadi entry point untuk mendekonstruksi seluruh tatanan hukum Islam yang sudah pasti/tetap berdasarkan pertimbangan akal dan hawa nafsu mereka. Karenanya tidak salah bila dikatakan bahwa konsep maqashid al-syari’ah telah menjadi kalimat al-haq yuridu biha al-bathil (kalimat yang benar namun digunakan untuk tujuan yang batil). Perlu diingatkan bahwa kebenaran akal adalah bersifat relative sedangkan kebenaran wahyu
18 Wawancara Dr. Djohan Efendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,” 16/ 05/2005, http/Islamlib. Com/id/index. Php? Page= article & id=816 dalam dalam Nirwan Syafrin,
MA, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam (Jakarta: DDII, 2007) hal. 66.
Liberalisasi Syariat..., Zaini Munir F. |
adalah mutlak. Seseorang tidak boleh berlagak lebih tahu dibandingkan Allah SWT, al-‘Alim. Sebagai al-Khalik, Dialah Dzat Yang Maha Tahu segala sesuatu yang akan mendatangkan kemaslhatan bagi makhluk-Nya. Sebaliknya, manusia sebagai makhluk-Nya, hanya sedikit sekali pengetahuan yang dimilikinya.
”Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dalam pada itu, para Ulama’ Ushuliyyun, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, telah membagi kemaslahatan menjadi 3 macam: Pertama, maslahah mu’tabarah yakni maslahah yang disebutkan dalam nash (teks ayat/Hadits). Seperti tersebut pada surat al-Ma’idah ayat 6 yang berisi perintah berwudlu bagi orang yang akan mendirikan shalat, pada akhir ayat disebutkan, agar manusia suci dan dapat bersyukur. Kedua, maslahah mursalah, yaitu maslahah yang tidak disebutkan di dalam nash, akan tetapi dipahami oleh akal sebagai perkara yang baik. Misalnya, pembukuan al-Qur’an, pencatatan perkawinan, dan lain-lain. Ketiga, maslahah mulghah yaitu kemaslahatan yang yang semata-mata dipahami menurut pandangan manusia, tetapi ia bertentangan dengan nash al-Qur’an atau Hadits. Seperti pernikahan sejenis, larangan berpoligami, dan lain-lain. 19 Dari ketiga macam maslahah di atas, para ulama’ hanya bisa menerima kemaslahatan jenis yang pertama dan kedua, sedangkan kemaslahatan jenis yang ketiga, mereka sepakat menolaknya.
Seharusnya disadari, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki manusia, masih terlalu banyak hukum-hukum Islam yang belum diketahui adanya kemaslahatan yang menyertainya. Namun, kita tetap meyakini bahwa syariat Islam duturunkan pasti membawa kemaslahatan umat manusia. Seringkali seseorang bersikap menentang pada hukum tertentu, namun pada akhirnya terbuka baginya kemaslahatan yang selama ini belum diketahuinya. Seperti misalnya hukum qishas bagi pembunuh. Kebanyakan studi dan riset yang dilakukan para peneliti lebih dari enam tahun yang lalu menyatakan bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera kepada pembunuh. Mereka menghitung bahwa antara tiga hingga delapan nyawa dapat diselamatkan dengan
19 Abdurrahman, Asjmuni, Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, & Liberal, Koreksi Pemahaman Atas Loncatan Pemikiran, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, t.t) hal. 48.
72 | 1 Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung Kristenisasi dan Liberalisme
mengeksekusi setiap pembunuh yang ditetapkan bersalah 20 . Maha benar Allah yang berfirman di dalam al-Qur’an:
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang- orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.