Bioethanol Production from Cassava with Vinasse Recycle for Fermentation

(1)

PROSES PRODUKSI BIOETANOL DARI UBI KAYU

DENGAN DAUR ULANG VINASSE SEBAGAI UMPAN BALIK

PROSES FERMENTASI

ANDREW SETIAWAN RUSDIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Proses Produksi Bioetanol dari Ubi Kayu dengan Daur Ulang Vinasse sebagai Umpan Balik Proses Fermentasi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2010

Andrew Setiawan Rusdianto


(3)

ANDREW SETIAWAN RUSDIANTO. Bioethanol Production from Cassava with Vinasse Recycle for Fermentation. Supervised by DWI SETYANINGSIH and TITI CANDRA SUNARTI.

Cassava tuber consists of starch and fibers that become potential substrate in ethanol fermentation. Starch and fibers should be converted into fermentable sugars by hydrolysis. Dilute acid hydrolysis is applied to convert both starch and fibers, increased the yield of simple sugars as fermentable sugars. Fermentation broth distillation produced ethanol as main product and vinasse as a liquid waste. Vinasse consists of remained sugars which is potential to reuse as new fermentation substrate. The objectives of this research are to analyze vinasse composition and investigate the proper treatment to recycle vinasse for fermentation. Ethanol content from fresh subtrate was 3.39%. Three recycles with ratio vinasse and fresh substrates of 40:60 was the most suitable treatment with fermentation efficiency 21.01% (third recycle). Vinasse recycle in ratio 40:60 decreased ethanol yield from 2.58% to 2.51% and finally 2.08% whereas water efficiency achieved 47.37% at first of recycle and 26.50% at third recycle.


(4)

ANDREW SETIAWAN RUSDIANTO. Proses Produksi Bioetanol dari Ubi Kayu dengan Daur Ulang Vinasse sebagai Umpan Balik Proses Fermentasi. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH dan TITI CANDRA SUNARTI.

Ubi kayu mengandung pati dan serat yang harus dipecah menjadi gula sederhana melalui proses hidrolisis sehingga dapat dikonversi oleh

Saccharomyces cerevisiae menjadi etanol. Pemakaian asam pada proses hidrolisis diharapkan mampu menghidrolisis pati serta komponen serat secara bersamaan menjadi gula sederhana. Masih adanya gula yang tersisa dalam vinasse (sisa hasil destilasi) merupakan potensi untuk memanfaatkan vinasse menjadi media fermentasi baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi, melakukan daur ulang vinasse dengan rasio dan tingkat daur ulang tertentu sehingga didapatkan metode daur ulang yang menghasilkan kadar etanol yang terbaik setelah fermentasi.

Penelitian dilakukan dalam 5 tahap yaitu persiapan bahan baku, hidrolisis asam, fermentasi etanol, persiapan vinasse dan daur ulang vinasse. Vinasse didapatkan dari cairan sisa destilasi kaldu fermentasi hidrolisat ubi kayu. Vinasse dikarakterisasi untuk melihat kandungan gula dan penentuan komposisi vinasse yang didaur ulang. Komposisi daur ulang vinasse yang digunakan adalah 60%; 50% dan 40% sedangkan sisanya terdiri dari hidrolisat baru. Proses daur ulang vinasse digunakan hingga tiga kali daur ulang.

Ubi kayu segar sebagai bahan baku utama memiliki komponen utama pati (89,35% bk) dan serat kasar (2,87% bk) sehingga berpotensi untuk diubah menjadi fermentable sugar. Kandungan air dalam ubi kayu segar sebesar 66,74% dapat dimanfaatkan sebagai pengencer H2SO4 yang digunakan pada proses hidrolisis. Proses konversi karbohidrat dan serat kasar menjadi gula-gula sederhana dilakukan melalui proses hidrolisis yang menggunakan asam H2SO4 dengan konsentrasi 1 M selama 15 menit pada suhu 121oC yang menghasilkan hidrolisat dengan nilai dextrose equivalent sebesar 65,28.

Hasil daur ulang vinasse menunjukkan bahwa adanya pembentukan produk samping selain etanol, di mana semakin tinggi tingkat daur ulang akan meningkatkan jumlah asam organik yang dihasilkan. Sebaliknya, produksi etanol cenderung menurun dengan semakin banyaknya tingkat daur ulang sehingga mengakibatkan turunnya efisiensi fermentasi. Komposisi vinasse yang menghasilkan kondisi optimal untuk proses fermentasi etanol adalah kandungan vinasse sebanyak 40% di mana kadar etanol yang didapatkan pada tingkat daur ulang pertama, kedua dan ketiga berturut-turut adalah 2,58%; 2,51% dan 2,08%. Efisiensi fermentasi daur ulang vinasse dengan kandungan vinasse 40% pada tingkat daur ulang pertama, kedua dan ketiga berturut-turut adalah sebagai berikut 66,57%; 28,08% dan 21,01% sedangkan penghematan air pada tingkat daur ulang pertama, kedua dan ketiga masing-masing adalah sebagai berikut 47,37%; 37,48% dan 26,50%


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

PROSES FERMENTASI

ANDREW SETIAWAN RUSDIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(7)

(8)

Judul Tesis : Proses Produksi Bioetanol dari Ubi Kayu dengan Daur Ulang Vinasse sebagai Umpan Balik Proses Fermentasi Nama Mahasiswa : Andrew Setiawan Rusdianto

NRP : F351080011

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga penulisan hasil penelitian dengan judul “Proses Produksi Bioetanol dari Ubi Kayu dengan Daur Ulang Vinasse sebagai Umpan Balik Proses Fermentasi” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu tahapan penyelesaian tesis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu antara lain:

1. Prof. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

2. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si., selaku Ketua Komisi Pembimbing. 3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing. 4. Yayasan Toyota Astra yang telah memberikan bantuan dana penelitian. 5. Ibu, adik dan kakak yang selalu memacu agar cepat selesai.

6. Istri, Nunik Ratna Kurdiani atas kesabaran dan dukungan doa.

7. Teman-teman di Laboratorium SBRC yang telah membantu kelancaran penelitian.

8. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan hasil penelitian.

Penulis meyakini bahwa tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang dapat membantu kesempurnaan hasil penelitian ini.

Bogor, Desember 2010


(10)

Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara dari Bapak (alm) Djoko Lasmito Suwarso dan Ibu Susmijati yang dilahirkan di Jember pada tanggal 22 April 1982. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1994 di SDK Maria Fatima I, Jember. Penulis kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah tingkat pertama di SLTPK Maria Fatima Jember dan lulus pada tahun 1997. Pendidikan tingkat menengah umum ditempuh selama tiga tahun di SMUK Santo Paulus Jember dan lulus pada tahun 2000. Penulis meneruskan pendidikan di tingkat perguruan tinggi di Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Jember dan lulus pada Februari 2004.

Penulis pernah bekerja di PT. Candi Jaya Amerta II, Sidoarjo dari April 2004 hingga April 2005 pada posisi Staf Quality Control. Pada Mei 2005, penulis diangkat sebagai Staf Pengajar di Fakultas Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Jember hingga saat ini. Tahun 2007, penulis bertugas sebagai koordinator lapangan dalam Program Pemeringkatan Koperasi yang diselenggarakan oleh PT. Surveyor Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Penulis melanjutkan pendidikan program master pada tahun 2008 dengan pembiayaan dari BPPS, sedangkan bantuan dana penelitian berasal dari Yayasan Toyota Astra dan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2010 Penulis


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Ubi Kayu ... 5

2.2 Saccharomyces cerevisiae ... 9

2.3 Produksi Etanol ... 12

2.4 Hidrolisis Asam ... 15

2.5 Produk Samping Fermentasi Etanol ... 17

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Kerangka Pemikiran ... 21

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Bahan dan Alat ... 22

3.3.1 Bahan ... 22

3.3.2 Alat ... 22

3.4 Metode Penelitian ... 22

3.4.1 Persiapan Bahan Baku ... 23

3.4.2 Hidrolisis Asam ... 23

3.4.3 Fermentasi Etanol ... 24

3.4.4 Persiapan Vinasse ... 25

3.4.5 Daur Ulang Vinasse ... 26

3.5 Rancangan Percobaan ... 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29


(12)

4.4 Karakterisasi Produk Samping Fermentasi ... 36

4.4.1 Karakteristik Ampas ... 37

4.4.2 Karakteristik Vinasse ... 38

4.5 Penentuan Komposisi dan Tingkat Daur Ulang Vinasse ... 40

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Simpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(13)

Halaman

1 Perkembangan produksi ubi kayu di Indonesia ... 6

2 Komposisi kimia tepung ubi kayu dan ubi kayu segar ... 7

3 Sifat fisika dari etanol ... 15

4 Komposisi onggok ... 18

5 Komposisi vinasse ... 18

6 Baku mutu limbah cair untuk industri etanol ... 19

7 Komposisi kimia ubi kayu ... 30

8 Karakteristik hasil hidrolisis ubi kayu dengan kadar padatan dan konsentrasi asam yang berbeda ... 33

9 Karakteristik hasil fermentasi ... 35

10 Komposisi kimia ampas ... 37

11 Karakterisasi vinasse ... 38

12 Nilai yield etanol, efisiensi penggunaan substrat, Δ total asam dan efisiensi fermentasi hasil daur ulang vinasse pada berbagai konsentrasi ... 42


(14)

Halaman

1 Struktur kimia amilosa dan amilopektin dalam pati (Zamora 2005). ... 8

2 Struktur kimia selulosa (Zamora 2005) ... 8

3 Proses konversi glukosa menjadi etanol (Voet et al. 2006) ... 14

4 Desain sistem fermentasi etanol secara anaerobik (Najafpour & Lim 2002) ... 15

5 Kerangka pemikiran penelitian ... 21

6 Diagram alir proses pengolahan vinasse ... 26

7 Diagram alir proses daur ulang vinasse ... 27

8 Umbi dan bubur ubi kayu ... 29

9 Penampakan produk hasil hidrolisis. (a) hasil hidrolisis yang tidak sempurna, (b) hasil hidrolisis yang sempurna. ... 32

10 Perubahan nilai pH pada awal dan akhir fermentasi ... 40

11 Perubahan nilai derajat polimerisasi substrat sebelum dan sesudah fermentasi ... 45

12 Penambahan air dan penghematan penggunaan air selama proses daur ulang vinasse dibandingkan dengan kontrol ... 47


(15)

Halaman

1 Prosedur analisis parameter-parameter percobaan ... 61

2 Hasil pengukuran kadar etanol ... 71

3 Hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah fermentasi ... 72

4 Hasil pengukuran total gula sebelum dan sesudah fermentasi ... 73

5 Hasil pengukuran gula reduksi sebelum dan sesudah fermentasi ... 74

6 Data nilai yield etanol (ΔP) dan yield fermentasi (YP/S) ... 75

7 Data penggunaan substrat (ΔS) dan efisiensi penggunaan substrat (ΔS/So) ... 76

8 Hasil pengukuran dan perhitungan total asam ... 77

9 Hasil analisis yield etanol ... 78

10 Hasil analisis Δ total asam ... 80

11 Hasil analisis kadar etanol fermentasi ... 81

12 Hasil analisis efisiensi fermentasi ... 83

13 Hasil perhitungan derajat polimerisasi sebelum dan sesudah fermentasi ... 86

14 Hasil pengukuran dan perhitungan penambahan air dan penghematan air ... 87

15 Data rendemen etanol hasil fermentasi ... 88


(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa karena merupakan polimer dari glukosa. Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai kandungan pati yang tinggi dan serat (selulosa dan hemiselulosa) dalam umbinya yang potensial digunakan sebagai bahan baku produksi etanol. Tingkat konversi pati ubi kayu menjadi bioetanol menurut Nurdyastuti (2005) adalah sebesar 16,66%, yang berarti 1 ton ubi kayu akan menghasilkan 166,7 l etanol. Pembuatan bioetanol dengan bahan baku pati dan serat membutuhkan proses hidrolisis untuk memecah komponen polisakarida menjadi glukosa yang kemudian akan dikonversi oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi etanol melalui proses fermentasi. Pati dan serat dapat dihidrolisis dengan katalis asam, katalis enzim, serta kombinasi enzim dan asam.

Ubi kayu pada umumnya baru memanfaatkan komponen pati sedangkan komponen selulosa dan hemiselulosa belum dimanfaatkan secara maksimal karena proses hidrolisis menggunakan enzim hanya menggunakan enzim amilolitik yang hanya mampu menghidrolisis pati. Penggunaan katalis asam dalam proses hidrolisis antara lain dapat menghidrolisis komponen pati, selulosa dan hemiselulosa secara bersamaan. Beberapa penelitian mengenai hidrolisis pati menggunakan asam telah dilakukan antara lain oleh Musyarofah (2007) yang menggunakan HNO3 untuk menghidrolisis empulur sagu, serta Putri dan Sukandar (2008) yang menggunakan HNO3, H2SO4 dan HCl untuk menghidrolisis pati ganyong.

Hidrolisis menggunakan katalisator asam akan memotong secara acak ikatan pada komponen pati dan serat. Hasil hidrolisis amilosa (komponen pati larut air) akan menghasilkan glukosa dan maltosa, sedangkan amilopektin (komponen pati tidak larut air) akan menghasilkan dekstrin, maltosa, isomaltosa dan glukosa. Hidrolisis sempurna dari selulosa akan menghasilkan glukosa, sedangkan hidrolisis sebagian akan menghasilkan komponen selobiosa dan


(17)

selo-oligosakarida. Hemiselulosa yang terdiri dari banyak jenis monomer dapat terhidrolisis menjadi xilosa, arabinosa, galaktosa, glukosa dan glukorunat. Khamir akan mengkonversi gula-gula sederhana yang ada menjadi etanol dalam kondisi anaerob. Adanya mekanisme penghambatan proses fermentasi oleh produk (etanol) yang dihasilkan akan mengakibatkan penurunan kinerja dari khamir dalam mengkonversi gula menjadi etanol. Oleh karena itu, etanol yang ada dalam media harus dikeluarkan dahulu dengan proses destilasi, kemudian gula yang ada pada vinasse dimanfaatkan kembali sebagai media fermentasi dengan melakukan daur ulang.

Pemanfaatan vinasse menjadi penting karena volumenya yang besar, sehingga jika dibuang ke lingkungan akan menimbulkan pencemaran air. Pemanfaatan vinasse untuk didaur ulang sebagai bahan baku pembuatan etanol mulai dikembangkan karena selain dapat meningkatkan jumlah etanol yang didapatkan, proses daur ulang tidak memerlukan instalasi pengolahan baru karena dapat menggunakan instalasi produksi yang ada.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi fermentasi etanol secara berkesinambungan dengan cara mendaur ulang vinasse yang keluar, sehingga gula yang tersisa pada fermentasi dapat dimanfaatkan pada proses fermentasi berikutnya. Kandungan gula pada vinasse masih cukup banyak dan berpotensi untuk dimanfaatkan kembali menjadi substrat untuk pembuatan etanol. Proses daur ulang juga dapat berfungsi untuk memanfaatkan kandungan air dalam vinasse sebagai pengencer hidrolisat yang baru sehingga selain dapat memanfaatkan sisa gula juga dapat mengurangi pemakaian air selama proses produksi sehingga akan mengurangi biaya produksi.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan desain proses pembuatan bioetanol dari vinasse. Vinasse yang dimaksud pada penelitian ini adalah sisa cairan destilasi hasil fermentasi etanol ubi kayu dengan hidrolisis asam. Pemanfaatan vinasse ini dapat mengurangi jumlah produk samping yang keluar dari proses, menghemat penggunaan bahan baku singkong dan menghemat


(18)

air yang digunakan untuk mengencerkan substrat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

1. Melakukan karakterisasi vinasse dari fermentasi hidrolisat asam ubi kayu sebagai bahan baku media daur ulang.

2. Mendapatkan rasio komposisi vinasse yang didaur ulang dan hidrolisat asam ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol, sehingga menghasilkan kadar etanol dan jumlah siklus daur ulang yang terbaik.


(19)

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Kayu

Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India dan Tiongkok. Ubi kayu berkembang di negara-negara yang terkenal pertaniannya dan masuk ke Indonesia tahun 1852. Klasifikasi tanaman ubi kayu adalah sebagai berikut:

dunia : Plantae

filum : Spermatophyta sub filum : Angiospermae kelas : Dicotyledonae ordo : Euphorbiales famili : Euphorbiaceae genus : Manihot

spesies : Manihot utilissima Pohl; Manihot esculenta Crantz

Ubi kayu berbentuk silinder dengan ujung yang mengecil dimana diameter rata-ratanya sekitar 2-5 cm dan panjang 20-30 cm. Ubi kayu umumnya diperdagangkan dalam bentuk umbi segar. Umbi ubi kayu mempunyai dua lapisan kulit yaitu kulit luar dan kulit dalam. Daging umbi biasanya berwarna kuning atau putih. Di bagian tengah umbi terdapat suatu jaringan yang tersusun dari serat sedangkan di antara kulit dan daging terdapat lapisan kambium (Muchtadi 1992).

Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi sumber bahan baku utama pembuatan bioetanol karena mempunyai kemampuan untuk tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat diatur waktu panennya. Beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya bioetanol, diantaranya adalah ubi kayu sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia; tanaman ubi kayu tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi; ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat karena


(21)

kandungan patinya yang cukup tinggi; harga ubi kayu di saat panen raya seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga ubi kayu menjadi lebih stabil; ubi kayu akan menguatkan

security of supply bahan bakar berbasis kemasyarakatan; ubi kayu toleran terhadap tanah dengan tingkat kesuburan rendah, mampu berproduksi baik pada lingkungan sub-optimal, dan mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih baik pada lingkungan sub-optimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et al. 2007).

Potensi pengembangan ubi kayu di Indonesia sangat besar karena produktivitasnya dari tahun ke tahun semakin meningkat seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan produksi ubi kayu di Indonesia

Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ku/ha)

2000 1.284.040 16.089.020 125,00

2001 1.317.912 17.054.648 129,41

2002 1.276.533 16.912.901 132,00

2003 1.244.543 18.523.810 149,00

2004 1.255.805 19.424.707 155,00

2005 1.213.460 19.321.183 159,00

2006 1.227.459 19.986.640 163,00

2007 1.201.481 19.988.058 166,36

2008 1.193.319 (2) 21.593.053 (2) 180,95 (2) 2009 1.194.181 (1) 21.786.691 (1) 182,44 (1) Keterangan: (1): angka ramalan I

(2)

: angka sementara Sumber: Departemen Pertanian (2009)

Selama ini dikenal ada dua jenis ubi kayu, yaitu ubi kayu manis dan ubi kayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN) yang terkandung dalam umbi ubi kayu. Komposisi kimia tepung dan pati ubi kayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubi kayu manis lebih tinggi dari tepung ubi kayu pahit (Rattanachon et al. 2004). Umbi dari ubi kayu mempunyai kandungan karbohidrat sekitar 32% hingga 35%. Jenis polisakarida yang menyusun umbi ubi kayu antara


(22)

lain pati, selulosa dan hemiselulosa. Perbandingan kandungan kimia tepung ubi kayu tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia tepung ubi kayu dan ubi kayu segar

Komponen Komposisi (% bk)

Tepung Ubi Kayua) Ubi Kayu Segar b) Air

Abu Lemak Protein

Karbohidrat (by difference) Serat kasar

Selulosa Hemiselulosa Lignin Pati

8,65 ± 0,10 2,55 ± 0,14 6,54 ± 0,02 1,81 ± 0,03 80,45 ± 0,23

2,69 ± 0,04 0,36 ± 0,01 1,88 ± 0,03 0,02 ± 0,01 62,54 ± 0,00

57,00 2,46 - - 11,05 74,81 Sumber : a) Arnata (2009), b) Susmiati (2010)

Karbohidrat yang terkandung dalam ubi kayu terdiri dari serat kasar dan pati. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin yang berfungsi sebagai penguat tekstur. Komponen karbohidrat merupakan bahan baku utama yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol adalah pati yang berfungsi sebagai sumber energi.

Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi amilosa dan amilopektin. Fraksi amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosida, sedangkan fraksi amilopektin mempunyai struktur bercabang dengan ikatan α -(1,6)-D-glikosida sebanyak 4-5% dari berat total. Molekul-molekul glukosa di dalam amilosa saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1,4. Hidrolisis amilosa menghasilkan maltosa di samping glukosa dan oligosakarida lainnya, sedangkan pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa di dalam rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1,6. Ikatan α-1,6 sangat sukar diputuskan, terlebih jika dihidrolisis memakai katalisator asam. Struktur kimia amilosa dan amilopektin ditunjukkan pada Gambar 1.


(23)

Amilosa

Amilopektin

Gambar 1 Struktur kimia amilosa dan amilopektin dalam pati (Zamora 2005).

Selulosa merupakan serat-serat panjang yang secara bersama-sama dengan hemiselulosa dan lignin membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman. Selulosa terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa nomor satu dengan gugus hidroksil C4 dari molekul glukosa lainnya. Selulosa mempunyai struktur yang mirip dengan amilosa yaitu merupakan polimer berantai lurus α -(1,4)-D-glikosida namun berbeda pada jenis ikatan glikosidanya yaitu β -(1,4)-D-glikosida. Selulosa jika dihidrolisis oleh enzim selobiase akan menghasilkan dua molekul glukosa dari ujung rantai, sehingga dihasilkan selobiosa β -(1,4)-D-glikosida (Winarno 1992). Struktur kimia selulosa ditunjukkan pada Gambar 2.


(24)

Hemiselulosa merupakan polimer dari sejumlah sakarida-sakarida yang berbeda-beda antara lain xilosa, L-arabinosa, galaktosa, glukosa dan D-glukorunat. Susunan dari bahan-bahan tersebut dalam rantai hemiselulosa juga banyak bercabang karena gugus β-glukosida di dalam molekul yang satu dapat berikatan dengan gugus hidroksil C2, C3 atau C4 dari molekul yang lain (Tjokroadikoesoemo 1986). Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, manosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembar-lembar selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel tanaman. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat.

2.2 Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae merupakan suatu khamir sel tunggal (unicellular) yang berukuran 5 –10 m, berbentuk bulat, silindris, atau oval. S. cerevisiae digunakan untuk produksi etanol pada kondisi anaerob. Klasifikasi S. cerevisiae adalah sebagai berikut:

dunia : Fungi

filum : Ascomycotina sub filum : Saccharomycotina kelas : Saccharomycetes ordo : Saccharomycetales famili : Saccharomycetaceae genus : Saccharomyces

spesies : Saccharomyces cerevisiae

Semua galur dari S. cerevisiae dapat tumbuh secara aerobik di dalam media glukosa, maltosa dan trehalosa namun tidak dapat hidup di dalam laktosa dan selobiosa. Kemampuan untuk hidup dan menggunakan berbagai jenis gula akan berbeda-beda yang dipengaruhi oleh kondisi aerobik atau anaerobik, beberapa galur tidak dapat tumbuh secara anaerobik di media sukrosa dan trehalosa. Semua galur dari S. cerevisiae dapat menggunakan amonia dan urea sebagai sumber nitrogen tetapi tidak dapat menggunakan nitrat karena ketidakmampuannya untuk


(25)

mereduksi menjadi ion amoniak. Khamir selain membutuhkan unsur nitrogen juga memerlukan unsur fosfor dan unsur logam seperti magnesium, besi, kalsium dan seng untuk pertumbuhannya.

Untuk dapat bertahan hidup, S. cerevisiae membutuhkan nutrien yang diperoleh dari medium perkembangbiakkannya seperti (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, KCl, CaCl2, P3(PO4)5, ekstrak ragi, air, dan glukosa. S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang dapat dikultivasi pada kondisi aerobik dan anaerobik, produk yang dihasilkan pada kedua kondisi tersebut berbeda. S. cerevisiae pada kondisi aerobik akan menghasilkan individu baru, sedangkan pada kondisi anaerobik dihasilkan produk utama yang dapat berupa etanol dimana hasilnya tergantung pada konsentrasi awal biomassa.

Setiap individu sel juga dapat dipandang sebagai fermentor dalam skala mikroskopik. Reaksi-reaksi ini terjadi secara simultan dan diatur oleh pengontrol dari internal sel itu sendiri. Kontrol ini mengatur sel untuk memodifikasi laju reaksi dan kemampuan memproduksi berdasarkan pada lingkungan dan ketersediaan nutrisi. Lebih dari itu, pertumbuhan populasi sel juga menunjukan keheterogenan sel. Setiap individu sel dapat memiliki tahap pertumbuhan yang berbeda. Aktifitas metabolisme sel untuk setiap fasa berbeda.

Reaksi fermentasi tergantung pada gula yang digunakan dan hasil produksi. Substrat yang paling umum digunakan pada fermentasi adalah glukosa (C6H12O6) dan menghasilkan dua molekul etanol (C2H5OH), ini adalah reaksi dari ragi, dan sering digunakan dalam produksi makanan.

Gula (glukosa/fruktosa)  Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + energi(ATP) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari khamir ini antara lain: a. Kondisi lingkungan

Suhu, pH, dan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen-DO) merupakan faktor kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu, perlu diatur sedemikian rupa agar pertumbuhan biomassa dapat optimal. Khamir bersifat anaerobik fakultatif. Khamir dalam kondisi anaerobik akan melakukan proses fermentasi dengan mengkonversi glukosa menjadi etanol, sedangkan khamir akan menjalani fase pertumbuhan dengan keadaan sedikit oksigen. Kadar oksigen yang dibutuhkan oleh khamir untuk


(26)

bertumbuh adalah 0,05-0,10 mmHg tekanan oksigen. Proses fermentasi anaerobik tidak membutuhkan oksigen lebih dari itu, karena oksigen yang berlebihan akan mendorong pertumbuhan khamir dengan cepat dan mengkonsumsi glukosa (Trust 2008). S. cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan pH berkisar 4 hingga 4,5 agar dapat tumbuh dengan baik (Sassner 2008). b. Konsumsi glukosa

Khamir memerlukan waktu beberapa menit agar dapat mengkonsumsi glukosa secara maksimal ketika umpan glukosa dialirkan ke dalam kultur. Kapasitas penuh konsumsi glukosa akan hilang jika sel-sel tidak dirangsang dengan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi untuk beberapa jam. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari 300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Gaur (2006) mengatakan bahwa konsentrasi gula dalam substrat yang umum digunakan di dalam industri adalah sebesar 16-18%. Apabila konsentrasi gula lebih tinggi dari 18% akan menyebabkan tekanan osmotik yang mengurangi efisiensi proses fermentasi.

c. Adaptasi terhadap etanol

Setelah waktu yang lama (>100 jam), sel-sel khamir beradaptasi terhadap konsentrasi etanol yang lebih besar. Proses respirasi dipengaruhi oleh konsentrasi etanol yang ada di dalam substrat. Kadar etanol pada kadar 40 g/l akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan biomassa maupun produksi etanol (Mangunwidjaja 1994).

d. Sensitivitas terhadap berbagai efek

Penundaan konsumsi glukosa hanya berpengaruh jika kultur yang dikultivasi dalam waktu yang lama dengan konsentrasi glukosa rendah dipaksakan dengan konsentrasi glukosa yang lebih besar. Penundaan respirasi menyebabkan pembentukan etanol karena jumlah umpan yang terlalu besar dan menyebabkan timbulnya hambatan respirasi tambahan karena etanol (Präve et al. 1987). Kebutuhan unsur mikro diperlukan di dalam kehidupan khamir. Pada jumlah rendah fosfor, sulfur, potasium dan magnesium diperlukan untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral


(27)

(Mn, Co, Cu dan Zn) dan faktor pertumbuhan organik (asam amino, asam nukleat dan vitamin) diperlukan dalam jumlah besar sehingga perlu ada tambahan nutrien ke dalam media dalam bentuk komponen tunggal seperti garam amonium dan potasium fosfat (Kosaric et al. di dalam Subekti 2006).

2.3 Produksi Etanol

Pembuatan etanol dapat dilakukan dari bahan yang mengandung glukosa. Glukosa pada mahluk hidup terdapat dalam bentuk polimer seperti pati, selulosa dan oligosakarida. Polisakarida dan oligosakarida harus dipecah menjadi molekul monosakarida agar dapat dipergunakan oleh khamir menjadi etanol. Proses pemecahan polisakarida dan oligosakarida dapat dilakukan dengan dua cara yaitu hidrolisis asam dan hidrolisis enzim. Proses hidrolisis asam dapat menggunakan beberapa jenis asam yang sudah banyak diteliti, antara lain HCl, H2SO4 dan HNO3. Proses hidrolisis pati secara enzimatik terdiri dari dua tahap yaitu liquifikasi dengan α-amilase dan sakarifikasi menggunakan amiloglukosidase. Reaksi yang terjadi pada proses produksi etanol secara sederhana dibagi menjadi dua tahap yaitu (1) pemecahan komponen polisakarida menjadi komponen monosakarida (pemecahan sempurna) dan komponen oligosakarida yang dapat dilakukan secara enzimatis maupun secara kimiawi. Proses pemecahan tahap pertama ditunjukkan pada persamaan reaksi 1.

H2O + (C6H10O5)n  n C6H12O6 + n H2O …….(1)

(2) pengubahan komponen monomer glukosa menjadi etanol yang dilakukan dengan bantuan agen mikrob. Mikrob pengubah monomer glukosa menjadi etanol yang paling efektif adalah jenis khamir spesies S. cerevisiae. Proses konversi monomer glukosa menjadi senyawa etanol ditunjukkan pada persamaan reaksi 2.

(C6H12O6)n  2 C2H5OH + 2 CO2………...(2)

Etanol selain diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses pemecahan menjadi glukosa menjadi lebih sulit. Penggunaan selulosa sebagai bahan baku pembuatan


(28)

etanol dapat dilakukan dengan menambahan enzim selulase yang dihasilkan dari jenis mikrob Phanerochate chrysosporium dan Trichoderma reesei.

Secara biokimia, proses pembentukan etanol didahului dengan proses glikolisis yaitu proses perubahan satu molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat. Proses glikolisis secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu. 1. Proses pemakaian energi. Di dalam tahap persiapan ini, glukosa mengalami

proses fosforilasi dan pemecahan menjadi dua molekul triosa yaitu gliseraldehid-3-fosfat. Proses ini mengkonsumsi 2 ATP.

2. Proses pembentukan energi. Dua molekul gliseraldehid-3-fosfat akan dikonversi menjadi piruvat yang disertai dengan pembentukan 4 ATP.

Respirasi terhenti dalam keadaan tanpa oksigen karena proses pengangkutan elektron yang dirangkaikan dengan fosforilasi bersifat oksidasi melalui rantai pernafasan yang menggunakan molekul oksigen sebagai penerima elektron terakhir tidak berjalan. Akibatnya jalan metabolisme lingkar asam trikarboksilat (daur Krebs) akan terhenti pula sehingga piruvat tidak lagi masuk ke dalam daur Krebs melainkan dialihkan pemakaiannya yaitu diubah menjadi etanol (Wirahadikusumah 1985). Khamir memproduksi etanol dan CO2 melalui dua reaksi yang berturutan.

1. Proses dekarboksilasi piruvat menjadi asetaldehid dan CO2 dengan katalis piruvat dekarboksilase (enzim ini tidak ada di binatang). Proses dekarboksilasi merupakan reaksi yang tidak reversibel, membutuhkan ion Mg2+ dan koenzim tiamin pirofosfat. Reaksi berlangsung melalui beberapa senyawa antara yang terikat secara kovalen pada koenzim.

2. Reduksi asetaldehid menjadi etanol oleh NADH dengan dikatalisis oleh alkohol dehidrogenase, dengan demikian pembentukan NAD+ akan digunakan di dalam proses reaksi GADPH glikolisis (Voet et al. 2006). Proses konversi glukosa menjadi etanol secara skematik disajikan pada Gambar 3.


(29)

Glukosa

2 Gliseraldehid-3-fosfat

2 piruvat

2 asetaldehid

2 etanol

2 ATP

4 ATP

NADH

NAD

+

NAD

+

NADH

Piruvat dekarboksilase

Alkohol dehidrogenase

CO

2

Gambar 3 Proses konversi glukosa menjadi etanol (Voet et al. 2006). Meskipun teknik produksi etanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun etanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan etanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi etanol masih perlu dilakukan.

Menurut Paturau (1981), fermentasi etanol membutuhkan waktu 30-72 jam. Prescott dan Dunn (1981) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol yang dibutuhkan adalah 3 hingga 7 hari. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan suhu optimum fermentasi adalah 25-30oC dengan kadar gula 10-18%. Sifat fisika etanol yang penting secara lengkap disajikan pada Tabel 3.


(30)

Tabel 3 Sifat fisika dari etanol

Parameter Komposisi

Titik didih normal, °C Suhu kritis, °C

Berat jenis, d420, g/ml

Panas pembakaran at 25°C, J/g Suhu pembakaran otomatis, °C Batas nyala di udara

Batas terendah, vol% Batas tertinggi, vol%

78,32 243,1 0,7893 29.676,69

793,0 4,3 19,0 Sumber:Najafpour dan Lim (2002)

Proses fermentasi etanol dengan sistem ―batch‖ anaerobik yang dilakukan oleh Najafpour dan Lim (2002) menghasilkan biomassa maksimum dan etanol yield masing-masing sebesar 0,297 g/g dan 0,446 g/g. Desain proses fermentasi secara batch disajikan pada Gambar 4.

Aquades

Filter Kapas

Stirer Media

CO2 dan gas lain

Tempat Pengambilan Sampel

Gambar 4 Desain sistem fermentasi etanol secara anaerobik (Najafpour & Lim 2002).

2.4 Hidrolisis Asam

Hidrolisis asam dapat dipergunakan untuk memecah komponen polisakarida menjadi monomer-monomernya. Proses hidrolisis yang sempurna akan memecah selulosa dan pati menjadi glukosa, sedangkan hemiselulosa akan


(31)

terpecah menjadi pentosa dan heksosa. Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam yang dapat digunakan sebagai katalis asam selain asam klorida (HCl). Hidrolisis asam dikelompokkan menjadi dua yaitu hidrolisis asam pekat dengan konsentrasi tinggi dan hidrolisis asam encer dengan konsentrasi rendah (Taherzadeh & Karimi 2007b).

Keuntungan hidrolisis menggunakan asam konsentrasi tinggi antara lain proses hidrolisis dapat dilakukan pada suhu yang rendah dan hasil gula yang didapatkan tinggi. Namun penggunaan asam konsentrasi tinggi mempunyai kelemahan antara lain jumlah asam yang digunakan sangat banyak, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi, penggunaan energi yang tinggi untuk proses daur ulang asam dan waktu reaksi yang lama yaitu berkisar antara dua hingga enam jam. Hidrolisis menggunakan asam dengan konsentrasi rendah mempunyai keuntungan antara lain jumlah asam yang digunakan sedikit dan waktu tinggal yang sebentar. Namun kerugian dalam penggunaan asam encer dengan konsentrasi rendah antara lain membutuhkan suhu tinggi dalam proses operasinya, gula yang didapatkan sedikit, potensi korosi pada peralatan produksi terutama alat yang terbuat dari besi dan pembentukan produk samping yang tidak diharapkan (Taherzadeh & Karimi 2007a).

Hidrolisis asam dengan konsentrasi rendah dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama yang melibatkan asam encer untuk menghidrolisis gula dari golongan pentosa yang umumnya terdapat dalam fraksi hemiselulosa. Tahap ini biasanya menggunakan H2SO4 1% pada suhu 80oC-120oC selama 30-240 menit. Tahap kedua menggunakan asam dengan konsentrasi yang lebih tinggi untuk menghidrolisis gula yang berasal golongan heksosa seperti selulosa biasanya dilakukan dengan konsentrasi asam 5-20% H2SO4 dengan suhu 180oC. Proses hidrolisis bertahap ini dapat memaksimalkan hasil glukosa yang dihasilkan dan meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan (Purwadi 2006).

Penentuan konsentrasi asam tergantung pada ukuran, bentuk dan kadar air pada partikel lignoselulosa. Asam sulfat biasanya digunakan pada bahan terlarut dengan konsentrasi tidak melebihi 10% berat (H2SO4 umum digunakan tidak lebih dari 5%). Penggunaan katalis asam encer selalu terjadi penambahan air yang


(32)

banyak pada bahan lignoselulosa dan hal itu membutuhkan energi panas yang lebih banyak selama proses pemanasan (Patent Cooperation Treaty 1998).

Proses hidrolisis menggunakan konsentrasi asam encer, selain dapat menguraikan glukosa juga menghasilkan hasil samping yang dapat menghambat proses fermentasi. Hasil samping yang dapat menghambat proses fermentasi antara lain furfural, 5-hidroksimetilfurfural (HMF), asam lefulenat, asam asetat, asam format, asam uronat dan lain-lainnya (Taherzadeh & Karimi 2007b). Hidrolisis asam pada bahan lignoselulosa, hemiselulosa merupakan komponen yang paling mudah terhidrolisis oleh asam yang akan terdegradasi menjadi xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa arabinosa dan sejumlah kecil rhamnosa, asam glukuronat, asam metil glukronat dan asam galakturonat (Morohoshi 1991; Sjӧstrӧm 1λλ3). Selulosa akan terdegradasi menjadi glukosa. Xilosa akan terdegradasi menjadi furfural dan 5-hidroksimetilfurfural (HMF) pada kondisi suhu dan tekanan tinggi. Komponen fenol terbentuk dari lignin yang terpecah sebagian dan juga selama proses degradasi karbohidrat (Palmqvist &

Hahn-Hӓgerdal 2000). Lignin merupakan komponen komplek yang tersusun oleh

phenylpropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Ikatan kimia terjadi di antara lignin dan hemiselulosa bahkan terkadang juga dengan selulosa. Lignin sangat tahan terhadap reaksi kimia dan enzimatik (Taherzadeh 1999; Palmqvist & Hahn-Hӓgerdal 2000a).

2.5 Produk Samping Fermentasi Etanol

Produk samping proses fermentasi etanol menggunakan ubi kayu ada dua macam, yaitu produk samping yang berupa padatan dan cairan. Produk samping yang berupa padatan dihasilkan dari hasil pemisahan ampas dengan cairan hidrolisat sedangkan produk samping yang berupa cairan dihasilkan pada saat proses destilasi selesai dilakukan (vinasse) (Parnaudeu et al. 2007).

Ampas ubi kayu (onggok) merupakan salah satu produk samping yang dihasilkan pada proses pengolahan ubi kayu. Onggok mengandung air cukup tinggi (81-85%), protein kasar sekitar 1,55% dan serat kasar 10,44% (bahan kering) (Supriyati 2009). Komponen onggok secara lengkap disajikan pada Tabel 4.


(33)

Tabel 4 Komposisi onggok

Parameter Komposisi

Onggok (%)a) Onggok (% bk)b) Protein Kasar Karbohidrat Abu Serat Kasar Air Lemak Pati 2,2 51,8 2,4 10,8 - - - 0,48 - 0,71 7,3 13,96 1,62 0,29 Sumber: a) Supriyati (2009), b) Jenie et al. (1994)

Vinasse merupakan produk samping proses produksi etanol yang berupa cairan sisa hasil destilasi. Satu liter produk etanol akan menghasilkan vinasse sebanyak 13 l (1:13). Berdasarkan angka perbandingan tersebut, semakin banyak etanol yang diproduksi akan semakin banyak vinasse yang dihasilkan. Jika vinasse ini tidak tertangani dengan baik maka di kemudian hari, produk samping ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan (Solihin 2008). Karakteristik vinasse dari bahan baku molases adalah mempunyai nilai pH sebesar 5; berat jenis 1,02 g/l; C organik sebesar g/Kg d m; C anorganik sebesar 6,8 g/Kg d m; N organik sebesar 28 g/Kg d m; NH4—N sebesar 1,2 g/Kg d m (Parnaudeau et al. 2007). Menurut Alfian (2008), vinasse yang dihasilkan dari proses pembuatan etanol di PT. PG. Rajawali II Unit PSA Palimanan mempunyai kadar COD sebesar 150.000-180.000 mg/l, BOD sebesar 65.000 mg/l, berwarna kuning kecoklatan, mengandung alkohol ± 0,02% dan tingkat keasaman rendah (pH 3 hingga 4). Komposisi vinasse di PT. PG. Rajawali II Unit PSA Palimanan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi vinasse

Parameter Komposisi (%)

Mineral 29,0

Gula reduksi 11,0

Protein 9,0

Asam Volatil 1,5

Gum 21,0

Campuran Asam Laktat 4,5

Campuran Asam Organik Lain 1,5

Gliserol 5,5

Lilin, fenol, lignin, dll 17,0


(34)

Vinasse jika dibuang langsung ke dalam lingkungan tanpa melakukan proses pengolahan terlebih dahulu akan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini ini dapat dilihat pada nilai baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri etanol berdasarkan Surat Keputusan menteri Negara Lingkungan Hidup KEP 51-/MENLH/10/1995.

Nilai baku mutu limbah cair industri etanol yang disajikan pada Tabel 6 mengisyaratkan perlu adanya pengolahan lebih lanjut dari limbah cair sebelum dibuang agar tidak terjadi pencemaran lingkungan (MenLH 1995).

Tabel 6 Baku mutu limbah cair untuk industri etanol

Parameter Kadar Maksimum

(mg/l)

Beban Pencemaran Maksimum (kg/ton)

BOD5 150 10,5

TSS 400 28,0

pH 6,0-9,0

Debit Limbah Maksimum 70 m3 per ton produk pupuk etanol Catatan:

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam mg parameter per l air limbah.

2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pupuk urea (MenLH 1995).


(35)

(36)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan ubi kayu segar mempunyai kelebihan dibandingkan dengan penggunaan tepung ubi kayu, yaitu dapat memperpendek proses produksi etanol. Ubi kayu segar harus melalui proses hidrolisis untuk memecah komponen polisakarida menjadi gula-gula sederhana yang siap untuk digunakan sebagai sumber karbon yang akan diubah menjadi etanol oleh khamir. Proses hidrolisis yang digunakan adalah metode hidrolisis asam karena mempunyai kelebihan mampu menghidrolisis komponen pati dan serat secara bersamaan serta penanganannya yang mudah. Namun selama proses fermentasi etanol yang dihasilkan akan menghambat laju fermentasi sehingga tidak semua kandungan gula dapat dikonversi menjadi etanol. Sisa gula yang tidak terkonversi menjadi etanol akan tertinggal pada vinasse. Sebelum digunakan, vinasse harus diberi

pretreatment. Proses pretreatment vinasse mempunyai tujuan untuk memperbaiki kualitas dari vinasse itu sendiri. Proses netralisasi selain bertujuan untuk menaikkan pH menjadi 4,5 juga dapat berfungsi untuk menurunkan kadar HMF (Susmiati 2010), sedangkan sentrifugasi bertujuan untuk menghilangkan partikel kotoran dan kelebihan garam yang terbentuk setelah proses netralisasi. Potensi sumber nutrien dalam vinasse tersebut akan didaur ulang sehingga dapat dimanfaatkan kembali sebagai sumber gula dengan campuran substrat hidrolisat yang segar. Kerangka pemikiran selengkapnya tersaji secara skematik pada Gambar 5.

FERMENTASI DESTILASI PRETREATMENT

HIDROLISIS UBI KAYU

ETANOL

VINASSE


(37)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2010 hingga bulan Agustus 2010 yang dilaksanakan di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center), Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor dan laboratorium-laboratorium lainnya di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan

Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah ubi kayu yang berasal dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi etanol adalah S. cerevisiae dalam bentuk dry baker yeast komersial. Bahan yang digunakan sebagai bahan tambahan untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah pupuk NPK. Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini antara lain H2SO4 pekat teknis, NH4OH 21%, etanol 70% dan bahan kimia untuk analisis.

3.3.2 Alat

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas, spektrofotometer merk Hach, otoklaf, pH meter merk Beckman, vortex mixer, density meter DMA 4500 merk Anton Paar, refraktometer merk Atago tipe Master-53M dan seperangkat alat produksi bioetanol skala laboratorium. Pengolahan data menggunakan bantuan software Microsoft Office Excel versi 2007.

3.4 Metode Penelitian

Tahapan percobaan fermentasi untuk produksi etanol dengan melakukan proses daur ulang vinasse sebagai umpan balik dapat dibagi menjadi lima tahapan utama antara lain proses persiapan bahan baku, hidrolisis ubi kayu, fermentasi, persiapan vinasse dan proses daur ulang vinasse.


(38)

3.4.1 Persiapan Bahan Baku

Persiapan bahan baku utama penelitian yang berupa ubi kayu diawali dengan membuang bagian pangkal tanaman yang masih melekat dengan umbi karena umbi yang dipakai dalam penelitian ini dibeli dari petani dalam keadaan masih melekat utuh dengan batang bawah untuk menjaga kesegaran umbi ketika dibawa dari tempat panen ke laboratorium. Ubi kayu kemudian diproses lebih lanjut di Laboratorium SBRC IPB Baranangsiang untuk membersihkan kotoran dan tanah yang masih menempel di umbi dengan cara pencucian. Umbi ubi kayu yang telah bersih kemudian dikupas lapisan kulit arinya yang berwarna cokelat menggunakan pisau. Proses pengupasan selain untuk membersihkan kulit ari sekaligus juga berfungsi untuk menyortir umbi yang jelek, membuang bagian pangkal umbi yang mengandung kayu dan bagian akar yang masih menempel di umbi. Ubi kayu yang telah bersih kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang masih menempel pada umbi.

Ubi kayu yang telah bersih kemudian digiling hingga halus menggunakan mesin parut hingga menjadi bubur. Bubur ubi kayu kemudian dikarakterisasi sifat kimia antara lain komponen proksimat (air, abu, lemak, protein, serat kasar dan karbohidrat (by difference) menurut metode AOAC (1995)), pati dan komponen serat (ADF, NDF, selulosa dan lignin menurut metode Van Soest (1963)). Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.2 Hidrolisis Asam

Metode hidrolisis yang digunakan merupakan hasil modifikasi metode hidrolisis yang dipergunakan oleh Susmiati (2010). Hasil hidrolisis tepung ubi kayu dengan total padatan substrat 30% dengan konsentrasi H2SO4 0,4 M akan menjadi patokan bagi hasil hidrolisis bubur ubi kayu. Bubur ubi kayu dihidrolisis menggunakan larutan H4SO4 0,4 M dengan total padatan substrat 30%, 35%, 20%, 18% dan 15%. Hasil hidrolisat kemudian diamati tingkat kesempurnaan proses hidrolisis berdasarkan warna hidrolisat yang merata dan tidak adanya gumpalan ubi kayu. Hasil hidrolisis bubur ubi kayu dengan total padatan substrat 18% dipilih karena menghasilkan total padatan terlarut hidrolisat tertinggi dan tidak adanya gumpalan ubi kayu yang di dalam hidrolisat. Bubur ubi kayu dengan


(39)

total padatan substrat 18% kemudian dihidrolisis dengan konsentrasi H2SO4 0,4 M dan 1 M yang kemudian diukur nilai total padatan terlarut hidrolisatnya. Nilai total padatan terlarut hidrolisat yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan nilai total padatan terlarut hidrolisat hasil hidrolisis tepung ubi kayu. Nilai hasil total padatan terlarut hidrolisat yang mendekati nilai total padatan terlarut tepung ubi kayu yang akan digunakan di dalam penelitian ini, yaitu kadar padatan bubur ubi kayu 18% dengan konsentrasi H2SO4 1 M.

Hidrolisis asam dalam penelitian ini dilakukan dalam satu tahap menggunakan otoklaf sederhana dimana suhu dan waktu hidrolisis diatur secara manual. Waktu hidrolisis dihitung ketika kondisi suhu telah tercapai. Bubur ubi kayu dihidrolisis dengan volume total 500 ml dalam erlenmeyer 1000 ml yang diberi sumbat kapas dan alumunium foil untuk mencegah larutan meluap keluar ketika dilakukan proses hidrolisis. Hidrolisis dilakukan dengan menambahkan asam H2SO4 pekat teknis sebanyak 23 ml ke dalam 270,68 g bubur ubi kayu dan ditambahkan aquadest sebanyak 206,32 ml. Perbandingan yang dipakai tersebut untuk mencapai kondisi proses hidrolisis yang diinginkan yaitu kadar padatan 18% dan konsentrasi H2SO4 sebesar 1 M. Campuran kemudian dihidrolisis menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit sehingga diperoleh hidrolisat asam yang berwarna merah tua. Proses hidrolisis ini ditujukan untuk memecah komponen pati dan serat yang ada di dalam bahan menjadi glukosa. Selanjutnya dilakukan pengukuran total gula dan gula pereduksi untuk melihat tingkat hidrolisis.

3.4.3 Fermentasi Etanol A. Persiapan Media Fermentasi

Hidrolisat asam sebelum digunakan sebagai media fermentasi harus melalui proses netralisasi, penyaringan dan sentrifugasi. Proses netralisasi hidrolisat menggunakan NH4OH teknis 21% hingga pH 4,5. Tahap persiapan hidrolisat selanjutnya adalah proses pemisahan padatan dengan cairan hidrolisat yang terdiri dari dua tahapan proses yaitu penyaringan dan sentrifugasi. Proses penyaringan dilakukan menggunakan kain saring yang berfungsi untuk memisahkan ampas yang berukuran besar. Ampas yang didapatkan dilakukan karakterisasi yang


(40)

meliputi analisis kadar air, kadar abu, total N, kadar lemak, kadar serat, kadar karbohidrat. Prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hasil penyaringan dilanjutkan dengan proses sentrifugasi untuk mengurangi jumlah padatan terlarut dan kelebihan garam yang terbentuk dari proses netralisasi. Proses sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 2500 rpm selama 5 menit sehingga dihasilkan dua produk yaitu sludge dan filtrat. Filtrat digunakan sebagai media fermentasi etanol sedangkan sludge tidak digunakan.

B. Fermentasi Etanol

Fermentasi dilakukan dengan menambahkan S. cerevisiae sebagai agen yang melakukan fermentasi dalam bentuk dry baker yeast komersial (ragi roti) dan sumber nutrisi berupa pupuk NPK. Jumlah ragi roti dan NPK yang ditambahkan sebanyak 0,06% total gula dan ragi roti sebanyak 0,23% total gula. Proses fermentasi dilakukan selama 96 jam pada suhu ruangan dengan 24 jam pertama diberi perlakuan agitasi menggunakan orbital shaker (129 rpm) dengan sistem tertutup. Hasil fermentasi yang didapatkan dilakukan analisis mengenai kadar etanol, kadar gula, pH dan total asam. Prosedur analisis dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 1. Proses fermentasi diakhiri setelah 96 jam dan dilanjutkan dengan proses destilasi.

Kaldu hasil fermentasi kemudian didestilasi untuk memisahkan produk utama yang berupa etanol dan cairan sisa destilasi sebagai produk samping akhir proses destilasi. Parameter yang diamati pada akhir fermentasi antara lain efisiensi pembentukan produk, efisiensi fermentasi dan efisiensi penggunaan substrat. Hasil dari destilasi yang berupa cairan berwarna cokelat gelap inilah yang menjadi bahan baku utama yang diteliti dalam penelitian ini. Cairan hasil destilasi ini kemudian disebut dengan istilah vinasse.

3.4.4 Persiapan Vinasse

Vinasse sebelum digunakan sebagai umpan balik dilakukan karakterisasi sifat kimia yang meliputi meliputi analisis pH, total gula, total gula pereduksi, total padatan terlarut, total asam, kadar HMF, BOD5 dan COD. Prosedur analisis


(41)

secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Vinasse yang didapatkan dari hasil destilasi mempunyai nilai pH yang rendah.

Vinasse harus diolah terlebih dahulu agar dapat dipergunakan kembali sebagai bahan fermentasi alkohol, yaitu dengan melakukan proses netralisasi dan sentrifugasi. Hasil karakterisasi vinasse menjadi acuan dalam melakukan proses pengolahan pretreatment sebelum dilakukan daur ulang. Vinasse dinetralkan dahulu menggunakan NH4OH 21% hingga mencapai pH 4,5 untuk menyesuaikan dengan kondisi pH yang digunakan dalam proses fermentasi. Vinasse kemudian disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sludge dengan filtrat (treated vinasse). Diagram alir pengolahan vinasse menjadi hidrolisat yang siap digunakan sebagai media fermentasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 6.

Penyaringan

Netralisasi pH 4,5

Sentrifugasi 2500 rpm, 5 menit

Vinasse

Padatan

NH4OH 21%

Treated Vinasse

Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan vinasse. 3.4.5 Daur Ulang Vinasse

Modifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengolahan kembali produk samping yang keluar dan menggunakan kembali sebagai media fermentasi baru. Produk samping yang keluar, baik produk samping padat maupun vinasse, masih banyak mengandung kandungan karbohidrat yang dapat digunakan sebagai media fermentasi. Produk samping yang ada akan diproses untuk mendapatkan komponen gula sederhana sebagai bahan baku pembuatan etanol. Hasil pengolahan vinasse akan dikombinasikan dengan hidrolisat baru sehingga menjadi media fermentasi baru. Diagram alir proses daur ulang vinasse dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 7.


(42)

Vinasse diformulasikan dengan jumlah 60% (V1), 50% (V2) dan 40% (V3) sedangkan sisanya adalah hidrolisat ubi kayu segar untuk mencari komposisi yang dapat menghasilkan kadar etanol terbaik. Hasil formulasi diatur total padatan terlarutnya hingga mencapai 15% (obrix). Media fermentasi sebelum difermentasi dilakukan proses sterilisasi selama 5 menit pada suhu 105oC untuk mematikan mikrob lain yang dapat mengganggu pertumbuhan S. cerevisiae kemudian ditambahkan NPK sebanyak 0,06% total gula dan khamir sebanyak 0,23% total gula. Proses fermentasi selama 24 jam pertama dilakukan di atas shaker dengan kecepatan 129 rpm dan setelah 24 jam, fermentasi dilanjutkan tanpa pengadukan. Kaldu hasil fermentasi dianalisis kadar etanol, kadar gula dan pH dimana prosedur analisis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses fermentasi dengan melakukan daur ulang vinasse dilakukan berulang hingga tiga kali tingkatan (T1, T2 dan T3). T0 adalah fermentasi awal menggunakan hidrolisat ubi kayu tanpa penambahan vinasse.

Media Fermentasi

Fermentasi

Destilasi Persiapan Vinasse

Etanol Vinasse

Treated Vinasse Hidrolisat

Gambar 7 Diagram alir proses daur ulang vinasse.

3.5 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu kandungan vinasse (V) dan tingkat daur ulang (T) dengan dua kali ulangan (Gaspersz 1991). Faktor kandungan vinasse terdiri dari kandungan vinasse 60% (V1), kandungan vinasse 50% (V2) dan kandungan vinasse 40% (V3). Faktor tingkat daur ulang yang dianalisis meliputi daur ulang tingkat pertama (T1), daur ulang tingkat kedua (T2) dan daur ulang


(43)

tingkat ketiga (T3). Model matematis yang digunakan untuk percobaan ini adalah sebagai berikut:

ijk ij j

i ijk

Y   ()  Keterangan:

Yijk = nilai variabel respon unit percobaan yang dikenai taraf ke-i faktor kandungan vinasse dan tingkat daur ulang ke-j .

µ = nilai rata-rata pengamatan yang sesungguhnya. αi = pengaruh aditif dari kandungan vinasse ke-i βj = pengaruh aditif dari tingkat daur ulang ke-j

αβij = pengaruh interaksi antara kandungan vinasse ke-i dan tingkat daur ulang ke-j.

εijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.

Parameter yang diamati meliputi kadar etanol, efisiensi fermentasi, yield etanol, Δ total asam dan efisiensi penggunaan substrat. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk menentukan pengaruh perlakuan terhadap parameter (Setiawan 2009).


(44)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Ubi kayu yang dipergunakan mempunyai warna daging putih dengan panjang umbi bervariasi, berbentuk silinder memanjang dan warna kulit ari coklat tua. Ubi kayu segar yang telah dipisahkan dari batangnya dibersihkan dari kulit ari yang berwarna coklat dan dicuci dari kotoran yang melekat pada daging umbi. Umbi ubi kayu yang telah bersih dari kotoran kemudian dihancurkan sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Penampakan ubi kayu dan bubur ubi kayu yang digunakan dalam penelitian tersaji dalam Gambar 8.

Gambar 8 Umbi dan bubur ubi kayu.

Ubi kayu yang masih segar mempunyai karakteristik kandungan air yang sangat tinggi disusul kandungan karbohidrat, hasil karakterisasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil karakterisasi ubi kayu segar menunjukkan bahwa kandungan air dalam bahan adalah sebesar 66,74%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, Susmiati (2010) menyatakan bahwa ubi kayu segar mempunyai kandungan air sebesar 57% sedangkan Subagio (2006) memberikan hasil kandungan air adalah 62,50 %.

Ubi kayu segar yang digunakan harus dilakukan pengukuran kadar air karena hasil pengukuran kadar air akan digunakan sebagai dasar perhitungan pengenceran asam dan kadar padatan yang dipakai pada tahap hidrolisis. Kandungan air yang sangat tinggi pada bahan baku mempunyai keuntungan yaitu mengurangi jumlah penggunaan air pada saat proses hidrolisis.

Komponen penting lainnya dari ubi kayu adalah kadar karbohidrat yaitu pati dan serat, karena sumber gula yang digunakan oleh khamir dalam proses


(45)

fermentasi adalah hasil hidrolisis karbohidrat terutama pati. Kadar serat dan karbohidrat ubi kayu dalam penelitian ini hampir sama dengan data yang diberikan oleh Balagopalan et al. (1988) yaitu kandungan serat dan karbohidrat berturut-turut adalah 0,60% dan 38,10%, sedangkan Subagio (2006) memberikan data bahwa kandungan karbohidrat pada ubi kayu sebesar 34%. Hasil serupa juga diberikan dari hasil penelitian Pandey et al. (2000) bahwa ubi kayu mengandung pati 32,4% dan serat 1,2%.

Tabel 7 Komposisi kimia ubi kayu

Komponen Ubi Kayu Segar

Berat Basah (%) Berat Kering (%)

Air 66,74

Abu 0,67 2,52

Lemak 0,36 1,33

Protein 1,05 3,94

Pati 30,42 89,35

Serat Kasar 0,77 2,87

Selulosa Hemiselulosa Lignin

3,51 11,67

0,67

Pati merupakan komponen utama yang diperhatikan dalam proses hidrolisis dibandingkan komponen serat karena pati lebih mudah dihidrolisis oleh asam dibandingkan serat. Serat yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin lebih sulit terhidrolisis karena adanya ikatan antara selulosa dengan lignin dan hemiselulosa. Faktor lain yang mempersulit hidrolisis serat adalah selulosa mempunyai struktur kristalin sebanyak 50-90% (Judoamidjojo et al. 1989).

Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin dianalisa dengan metode Van Soest (1963); yaitu dengan menentukan nilai Acid Detergent Fiber (ADF) dan

Neutral Detergent Fiber (NDF). Nilai ADF menunjukkan komponen selulosa dan lignin sedangkan NDF terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kadar hemiselulosa didapatkan dari pengurangan nilai NDF dan ADF. Kadar lignin yang kecil menunjukkan bahwa ada potensi bahwa selulosa juga akan terhidrolisis menjadi gula sederhana sebagai media fermentasi etanol. Sifat hemiselulosa yang amorf dan lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan selulosa mengakibatkan kondisi optimum hidrolisis hemiselulosa sangat dekat dengan kondisi hidrolisis pati.


(46)

4.2 Hidrolisis Ubi Kayu

Penggunaan asam dalam proses hidrolisis ubi kayu diharapkan dapat memecah komponen selain pati seperti hemiselulosa dan selulosa. Metode hidrolisis yang digunakan adalah berdasarkan metode hidrolisis yang dilakukan oleh Susmiati (2010) dengan melakukan modifikasi untuk menyesuaikan dengan kondisi bahan baku yang dipakai dalam penelitian ini yang berupa bubur ubi kayu segar. Penggunaan kadar padatan bubur ubi kayu yaitu 18%, lebih rendah dari kadar tepung ubi kayu (30%) seperti yang dipergunakan dalam penelitian Susmiati (2010); dikarenakan serat pada umbi segar yang masih utuh sehingga penyerapan air yang terjadi lebih banyak.

Penelitian Susmiati (2010) menggunakan bahan baku tepung ubi kayu dimana pada proses hidrolisis, kadar padatan yang digunakan adalah 30% dengan konsentrasi H2SO4 0,4 M. Penggantian penggunaan kondisi ubi kayu dari bentuk tepung ke bentuk segar didasari beberapa pertimbangan antara lain:

1) Penggunaan bubur ubi kayu segar dapat memperpendek rantai proses produksi. Proses produksi yang dapat dipotong antara lain proses pembuatan chip, pengeringan dan penggilingan. Ketiga proses tersebut dapat diganti menjadi proses pembuburan ubi kayu pada penelitian ini.

2) Memperpendek rantai proses produksi akan memberikan beberapa efek positif antara lain menekan potensi kehilangan bahan, mengurangi biaya produksi dan menghemat pemakaian energi.

3) Memanfaatkan kandungan air yang ada dalam bahan sebagai faktor pengenceran asam sehingga dapat mengurangi jumlah air yang digunakan selama proses produksi.

Pada akhir hidrolisis, warna bahan akan berubah dari putih atau merah muda (tergantung dari jenis ubi kayu yang dipakai) menjadi warna merah tua gelap. Hasil hidrolisis yang sempurna dapat dilihat jika warna merah tua pada hidrolisat merata pada seluruh larutan dan tidak ada bubur ubi kayu yang masih berwarna putih dan tidak terdapat gumpalan bubur ubi kayu yang menyerupai lem kanji. Gumpalan yang menyerupai lem kanji menandakan bahwa ada ubi kayu yang tergelatinisasi namun tidak terhidrolisis. Hal ini disebabkan jumlah larutan asam


(47)

yang terlalu sedikit dibandingkan jumlah padatan yang digunakan. Perbedaan hasil hidrolisis sempurna dengan hasil hidrolisis yang tidak sempurna dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9 Penampakan produk hasil hidrolisis. (a) hasil hidrolisis yang tidak sempurna, (b) hasil hidrolisis yang sempurna.

Berdasarkan hasil percobaan maka didapatkan bahwa dengan kadar padatan 18% dan 15%, ubi kayu telah terhidrolisis sempurna, yang ditandai dengan warna hidrolisat yang berwarna merah kehitaman merata sedangkan hidrolisat dengan kadar padatan 30%, 25% dan 20% belum terhidrolisis sempurna karena masih terdapat bubur ubi kayu yang berwarna putih dan bagian tengah dari hidrolisat masih berupa gumpalan yang kental. Hasil pengamatan hasil hidrolisis dengan berbagai macam kadar padatan substrat dapat dilihat pada Tabel 8. Adanya gumpalan kental menandakan bahwa proses hidrolisis baru terjadi pada bagian luar yang dekat dinding kaca erlenmeyer sedangkan semakin ke dalam tidak terjadi hidrolisis karena jumlah cairan sudah habis terpakai untuk proses gelatinisasi dan sebagian menguap.

Hasil hidrolisis ubi kayu segar dengan kadar padatan 18% dan konsentrasi H2SO4 0,4 M menghasilkan total padatan terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil hidrolisis tepung ubi kayu dengan kadar padatan 30% dan konsentrasi H2SO4 0,4 M. Hasil hidrolisis asam dengan kadar padatan 18% dan H2SO4 1 M menghasilkan total padatan terlarut (25%) yang lebih mendekati proses hidrolisis menggunakan tepung ubi kayu dengan kadar padatan 30% dan konsentrasi H2SO4 0,4 M yaitu 24%. Hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 1 M pada suhu 121oC selama 15 menit akan menghasilkan hidrolisat dengan kadar


(48)

total gula sebesar 296,98 g/l sedangkan gula pereduksi sebesar 193,88 g/l; dimana nilai dextrose equivalent sebesar 65,28 yang menandakan proses hidrolisis mampu mengkonversi sekitar 65% karbohidrat rantai panjang menjadi gula pereduksi atau glukosa. Hasil hidrolisis menggunakan ubi kayu segar dengan kadar padatan 18%; H2SO4 1 M selama 15 menit ternyata menghasilkan nilai dextrose equivalent yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Arnata (2010), dimana hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 0,4 M dan waktu hidrolisis selama 10 menit akan menghasilkan nilai dextrose equivalent sebesar 56,63. Menurut Judoamidjojo et al. (1989), konversi pati dengan hidrolisis asam hanya akan memperoleh sirup glukosa dengan DE sebesar 55. Kadar bubur ubi kayu sebesar 18% merupakan kadar maksimum yang tidak menyebabkan gumpalan pada hidrolisat yang diperoleh. Namun hidrolisis bubur ubi kayu dengan kadar padatan 18% menggunakan H2SO4 0,4 M seperti pada penelitian Susmiati (2010) hanya mendapatkan total padatan terlarut hidrolisat sebesar 19%. Oleh karena itu konsentrasi H2SO4 ditingkatkan menjadi 1 M agar diperoleh total padatan terlarut hidrolisat sebesar 25% yang hampir sama dengan total padatan terlarut dari hasil hidrolisis tepung ubi kayu 30% dengan H2SO4 0,4 M.

Tabel 8 Karakteristik hasil hidrolisis ubi kayu dengan kadar padatan dan konsentrasi asam yang berbeda

Kadar Padatan Substrat (%)

Konsentrasi H2SO4 (M)

Total Padatan Terlarut

Hidrolisat (%) Pengamatan Visual Tepung Ubi Kayu

30 0,4 24 Tidak ada gumpalan

Bubur Ubi Kayu Segar

30 0,4 32 Masih ada gumpalan putih

25 0,4 29 Masih ada gumpalan putih

20 0,4 21 Masih ada gumpalan putih

18 0,4 19 Tidak ada gumpalan

15 0,4 16 Tidak ada gumpalan

Bubur Ubi Kayu Segar

18 0,4 19 Tidak ada gumpalan


(49)

Pemakaian konsentrasi asam sampai dengan 1 M dan waktu hidrolisis sampai dengan 15 menit berdasrjan hasil penelitian Susmiati (2010) yang memperlihatkan pertambahan kadar HMF di dalam hidrolisat. Hasil hidrolisis pada konsentrasi asam 1 M dengan waktu hidrolisis 10 menit mendapatkan kadar HMF sebesar 0,009 g/l. Kadar HMF akan semakin meningkat jika hidrolisis dilakukan menggunakan H2SO4 1 M dan waktu hidrolisis selama 20 menit yaitu sebesar 0,014 g/l. Wikandari et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi HMF sebesar 1 g/l akan menghambat pertumbuhan sel dan proses fermentasi oleh S. cerevisiae sehingga menurunkan produksi etanol sebesar 71,42%.

4.3 Fermentasi Etanol dari Ubi Kayu

Fermentasi merupakan proses konversi glukosa menjadi etanol dalam kondisi anaerob dengan agensia perubah berupa khamir. Khamir akan merubah glukosa dan fruktosa menjadi asam piruvat melalui tahapan reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas yang kemudian akan dilanjutkan dengan proses dekarboksilasi asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida kemudian mengalami proses dehidrogenasi menjadi senyawa etanol. Jenis khamir yang sering digunakan dalam proses fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae

karena jenis ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain mampu berproduksi tinggi, toleran dengan konsentrasi etanol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Gaur 2006).

Substrat fermentasi yang digunakan diencerkan hingga total gula 15%. Substrat sebelum difermentasi dilakukan proses pemanasan pada suhu 105oC selama 5 menit untuk mematikan mikroorganisme lain yang tidak diinginkan. Pemanasan dilakukan sesingkat mungkin untuk menghindari terjadinya pembentukan senyawa inhibitor.

Proses fermentasi dilakukan dalam dua tahap yaitu pertama dilakukan proses agitasi selama 24 jam pertama dengan tujuan untuk meningkatkan kontak antara mikrob dengan nutrisi yang ditambahkan ke dalam substrat sehingga tersuspensi dengan homogen. Proses agitasi juga bertujuan untuk mempermudah difusi


(50)

oksigen sehingga kadar oksigen terlarut dalam media cukup untuk mendukung pertumbuhan sel secara aerobik (Hollander 1981).

Proses fermentasi pada tahap kedua dilakukan hingga 96 jam dan pada akhir fermentasi dianalisis kandungan total gula sisa, gula reduksi sisa dan pH. Etanol yang dihasilkan akan dihitung efisiensi fermentasinya berdasarkan kadar etanol yang dihasilkan pada percobaan dengan kadar etanol yang seharusnya dihasilkan secara teoritis. Jika kondisi fermentasi diasumsikan berjalan sempurna (secara teoritis), maka glukosa dalam substrat terfermentasi 100% menjadi etanol sebanyak 51,11% dan karbondioksida sebanyak 48,89% dengan densitas etanol sebesar 0,789 kg/l (Smith et al. 2006). Data hasil fermentasi bubur ubi kayu ditampilkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik hasil fermentasi

Parameter Nilai

Kadar Etanol (% v/v) 3,39

pH 4,22

Efisiensi Fermentasi (%) 58,90

Efisiensi Penggunaan Substrat (%) 71,74

Δ Total Asam (g/l) 0,27

Pengukuran total gula pada awal fermentasi dan akhir fermentasi dapat digunakan untuk menentukan nilai efisiensi penggunaan substrat. Efisiensi penggunaan substrat menunjukkan seberapa banyak gula yang dapat dimanfaatkan oleh khamir untuk diubah menjadi etanol (produk utama), asam organik (produk samping) dan digunakan untuk pertumbuhan khamir. Efisiensi penggunaan substrat dihitung berdasarkan persentase perbandingan antara total substrat glukosa yang dikonsumsi dengan jumlah substrat awal yang tersedia.

Hasil fermentasi etanol pada kontrol mendapatkan data bahwa terjadi penurunan nilai total gula dari 131,51 g/l menjadi 36,08 g/l. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi berlangsung dengan efisiensi penggunaan substrat sebesar 71,74%. Penurunan kandungan gula menunjukkan terjadinya aktivitas mikrob yang menggunakan substrat untuk hidup dan memproduksi etanol.


(51)

Salah satu parameter yang menandakan terjadinya proses fermentasi adalah terjadinya penurunan nilai pH dari 4,82 menjadi 4,22. Kecenderungan media fermentasi menjadi semakin asam disebabkan karena khamir akan membentuk asam organik. Peningkatan jumlah asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi akan terkumpul di dalam larutan sehingga akan menurunkan nilai pH pada akhir fermentasi. Senyawa asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan piruvat

Kadar etanol yang dihasilkan mencapai 3,39 % (v/v). Kadar etanol yang dihasilkan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Susmiati (2010) yaitu sebesar 5,42%. Fermentasi tersebut dilakukan dengan menggunakan hasil hidrolisis asam satu tahap dan ampas dipisahkan. Penelitian Arnata (2009) dengan menggunakan kultur campuran S. cerevisiae dan

Trichoderma viride menghasilkan kadar etanol masing-masing sebesar 3,92 ± 0,31% (b/v).

Efisiensi fermentasi merupakan rasio antara kadar etanol yang dihasilkan dengan kadar etanol teoritis. Efisiensi fermentasi yang dihasilkan adalah sebesar 58,90%. Jumlah asam-asam organik yang terbentuk mengalami peningkatan setelah proses fermentasi ditandai dengan peningkatan nilai total asam dari 0,99 g/l menjadi 1,26 g/l. Tingginya pembentukan asam organik merupakan salah satu kemungkinan yang menyebabkan proses fermentasi pembentukan etanol tidak maksimal. Gokarn et al. (1997) mengatakan bahwa rendahnya efisiensi produksi etanol dapat disebabkan karena produk biomassa yang rendah selama proses fermentasi dan pembentukan produk samping selain etanol. Piruvat sebagai senyawa antara glikolisis glukosa akan terpecah ke dalam beberapa jalur biosintesis multiproduk antara lain menjadi laktat, asetat, aseton dan butirat. 4.4 Karakterisasi Produk Samping Fermentasi

Produk samping yang dihasilkan dari produksi etanol ada dua macam yaitu produk samping yang berbentuk padat dan produk samping yang berbentuk cairan. Produk samping yang berupa padatan akan dihasilkan pada proses penyaringan hidrolisat dimana cairan hidrolisat akan lolos dari saringan sedangkan padatan yang berupa ampas akan tertahan di kain saring. Produk


(52)

samping yang berupa cairan, dihasilkan dari proses destilasi dimana etanol akan diuapkan dan kemudian dikondensasi kembali, sedangkan cairan sisa destilasi yang berwarna cokelat tua akan keluar sebagai produk samping yang dikenal dengan vinasse. Ampas akan dibuang dan tidak didaur ulang karena jumlahnya yang sedikit sedangkan vinasse akan diproses kembali untuk digunakan kembali sebagai media fermentasi etanol. Ampas dan vinasse dilakukan analisis komposisi kimia untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing produk samping.

4.4.1 Karakteristik Ampas

Ampas merupakan hasil samping berupa padatan dari proses pembuatan etanol dari ubi kayu. Komposisi kimia ampas secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 10. Kandungan ampas yang penting untuk digunakan kembali sebagai media fermentasi etanol adalah serat dan karbohidrat. Kandungan serat kasar dan karbohidrat potensial untuk digunakan kembali dimana kandungan serat kasar yang masih tinggi dapat dipergunakan sebagai sumber glukosa melalui proses hidrolisis baik secara asam maupun enzimatik. Kandungan karbohidrat merupakan unsur utama yang potensial untuk dipergunakan kembali karena jumlah yang masih banyak yaitu sekitar 13,72%-14,70% dari berat ampas basah. Rendemen ampas adalah 5% dari volume hidrolisat asam.

Tabel 10 Komposisi kimia ampas

Komponen Ampas

Berat Basah (%) Berat Kering (%)

Air 66,33 ± 0,07

Abu 0,31 ± 0,00 0,92 ± 0,00

Lemak 0,45 ± 0,05 1,34 ± 0,15

Total N 11,63 ± 0,04 34,53 ± 0,17

Serat Kasar 7,07 ± 0,34 21,01 ± 1,04

Karbohidrat (by difference) 14,21 ± 0,49 42,20 ± 1,36 Namun karena jumlah ampas yang sedikit, maka proses pengolahan kembali menjadi bahan baku media fermentasi menjadi kurang efisien jika dilakukan karena biaya pengolahan yang dikeluarkan menjadi lebih mahal dibandingkan jika ampas dipergunakan sebagai pupuk urea karena kandungan nitrogennya yang tinggi. Hasil pengukuran total N menunjukkan bahwa penetralan menggunakan NH4OH akan meningkatkan kandungan nitrogen dalam


(53)

ampas karena reaksi NH4OH dengan H2SO4 menjadi (NH4)2SO4 yang merupakan unsur utama penyusun pupuk ZA (zwavelzure ammoniak).

4.4.2 Karakteristik Vinasse

Vinasse merupakan hasil samping destilasi yang sudah tidak mengandung alkohol lagi dan mempunyai nilai pH yang cukup asam sebagai hasil dari pembentukan asam organik selama proses fermentasi. Akumulasi asam-asam organik dan total padatan terlarut dalam vinasse berpeluang untuk menjadi inhibitor dalam proses daur ulang sehingga diperlukan tahapan pengolahan vinasse sebelum digunakan kembali sebagai media fermentasi antara lain proses netralisasi dan sentrifugasi.

Tabel 11 menunjukkan komposisi kimia vinasse, dan terlihat bahwa kandungan gula yang terkandung dalam cairan tersebut masih memungkinkan untuk dipergunakan kembali sebagai media fermentasi yaitu sebesar 15,62% dari total gula awal. Kandungan gula total dalam vinasse sebesar 20,55 g/l sedangkan kandungan gula reduksi sebesar 12,07 g/l. Keberadaan kandungan gula di dalam vinasse berpeluang untuk dimanfaatkan kembali sebagai media tambahan pada hidrolisat sedangkan kandungan air dapat dimanfaatkan sebagai pengencer hidrolisat, sehingga dapat mengurangi penggunaan ubi kayu dan air pada proses pembuatan bioetanol. Kadar HMF dari vinasse terukur sebesar 3,42 mg/100g. Hal ini berarti kadar HMF masih berada dalam batas aman. Taherzadeh et al. (1999) mengatakan bahwa kadar furfural, HMF dan asam asetat yang dapat menghambat mikrob adalah berturut-turut pada kadar 2,2 g/l; 7,3 g/l dan 3,2 g/l.

Tabel 11 Karakterisasi vinasse

Komponen Jumlah

pH 4,17 ± 0,37

TSS (Total Suspended Solid)(mg/l) 6,65 ± 0,37 Kandungan Gula Reduksi (g/l) 12,07 ± 0,30

Kandungan Gula Total (g/l) 20,55 ± 1,47

Total Asam (g/l) 10,80 ± 0,90

Kandungan hydroxymethylfurfural (mg/100g) 3,42 ± 0,02 BOD5 (Biological Oxygen Demand)(mg/l) 2.886 COD (Chemical Oxygen Demand)(mg/l) 9.234


(54)

Jika dilihat dari karakteristik limbah vinasse pada Tabel 11, maka vinasse yang dihasilkan sangat berpotensi menjadi cemaran jika langsung dibuang ke lingkungan tanpa adanya proses pengolahan limbah terlebih dahulu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP 51–MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair untuk industri etanol, terdapat tiga parameter penting bagi vinasse untuk industri etanol antara lain nilai BOD5 maksimal adalah 150 mg/l; nilai TSS maksimal 400 mg/l dan pH berada di rentang nilai 6,0 hingga 9,0.

Nilai BOD dari vinasse sebesar 2.886 mg/l, nilai ini lebih besar dibandingkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP 51– MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair untuk industri etanol yang mensyaratkan vinasse harus diencerkan hingga 20 kali agar nilai BOD5 memenuhi nilai ambang batas kualitas. Nilai BOD5 menunjukkan bahwa di dalam vinasse yang dihasilkan banyak terdapat kandungan bahan organik yang jika dibuang langsung ke lingkungan akan mengakibatkan pertumbuhan mikroorganisme yang berlebihan sehingga akan menghabiskan kandungan oksigen dalam air. Nilai COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam limbah (Boyd 1990). Selisih nilai antara COD dan BOD akan memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit terurai yang berada dalam limbah. Oleh karena itu jumlah bahan organik yang sulit terurai dalam vinasse sebesar 6.348 mg/l.

Tabel 11 menunjukkan bahwa kadar TSS vinasse masih berada di bawah kadar maksimum yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan, yaitu berada di bawah nilai 400 mg/l. Nilai TSS merupakan parameter penting bagi kualitas air karena semakin tinggi nilainya berarti semakin keruh vinasse sehingga jika dibuang ke lingkungan akan memperkeruh air sehingga menurunkan daya guna air tersebut.

Vinasse juga memiliki nilai pH yang berada di bawah ambang yang diperbolehkan yaitu berkisar antara pH 6,0-9,0 sehingga vinasse harus dinetralkan terlebih dahulu menggunakan larutan basa seperti natrium hidroksida (NaOH), amonia (NH4OH), abu soda (Na2CO3), kapur (CaCO3) sebelum dibuang ke lingkungan.


(1)

Lampiran 13 Hasil perhitungan derajat polimerisasi sebelum dan sesudah fermentasi

Perlakuan Derajat Polimerisasi Awal Derajat Polimerisasi Akhir Rerata Derajat Polimerisasi Awal

Rerata Derajat Polimerisasi Akhir Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 2,21 2,98 3,24 3,24 2,59 3,24

V1T1 2,47 2,47 5,18 3,53 2,47 4,35

V2T1 2,23 1,91 2,98 1,83 2,07 2,40

V3T1 1,79 2,14 3,30 2,75 1,97 3,03

V1T2 2,35 2,56 2,68 3,24 2,46 2,96

V2T2 2,05 2,36 2,59 2,54 2,21 2,57

V3T2 2,47 2,27 3,31 3,38 2,37 3,35

V1T3 2,65 2,89 2,18 2,28 2,77 2,23

V2T3 2,70 2,51 1,91 2,06 2,61 1,98

V3T3 2,65 2,51 2,07 2,08 2,58 2,08


(2)

Lampiran 14 Hasil pengukuran dan perhitungan penambahan air dan penghematan air

Perlakuan Hidrolisat Air Vinasse Persentase Pengenceran (%) Penghematan Air (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 150,00 150,00 100,00 100,00 0,00 0,00 66,67 66,67 - -

V1T1 100,00 100,00 0,00 0,00 150,00 150,00 0,00 0,00 100,00 100,00

V1T2 83,33 83,33 41,67 41,67 125,00 125,00 20,00 20,00 58,33 58,33

V1T3 78,93 78,93 52,68 52,68 118,39 118,39 26,70 26,70 47,32 47,32

V2T1 125,00 125,00 0,00 0,00 125,00 125,00 0,00 0,00 100,00 100,00

V2T2 97,39 101,34 55,22 47,32 97,39 101,34 28,35 23,35 44,78 52,68

V2T3 93,75 102,29 62,50 45,42 93,75 102,29 33,33 22,20 37,50 54,58

V3T1 118,42 118,42 52,63 52,63 78,95 78,95 26,67 26,67 47,37 47,37

V3T2 112,49 112,49 62,52 62,52 74,99 74,99 33,35 33,35 37,48 37,48

V3T3 105,41 106,38 74,31 72,70 70,27 70,92 42,30 41,00 25,69 27,30


(3)

Lampiran 15 Data rendemen etanol hasil fermentasi

Perlakuan Rendemen Etanol (%) Rerata Rendemen Etanol (%)

Ulangan 1 Ulangan 2

Kontrol 22,98 21,82 22,40

V1T1 23,97 22,81 23,39

V1T2 23,21 21,52 22,37

V1T3 16,12 15,62 15,87

V2T1 20,89 23,12 22,01

V2T2 21,42 21,78 21,60

V2T3 13,33 21,11 17,22

V3T1 18,43 24,69 21,56

V3T2 18,45 25,79 22,12

V3T3 19,18 19,64 19,41

Keterangan: V1: Vinasse 60%, V2: Vinasse 50%, V3: Vinasse 40%, T1: Tingkat daur ulang 1, T2: Tingkat daur ulang 2, T3: Tingkat daur ulang 3


(4)

Lampiran 16 Hasil analisis efisiensi penggunaan substrat

Daur Ulang

ke- Kandungan Vinasse

Efisiensi Penggunaan Substrat

Ulangan 1 Ulangan 2

1 60% 0,56 0,54

50% 0,70 0,77

40% 0,56 0,61

2 60% 0,72 0,71

50% 0,77 0,77

40% 0,76 0,77

3 60% 0,76 0,81

50% 0,83 0,84

40% 0,82 0,84

Analisis sidik ragam efisiensi penggunaan substrat Sumber keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat

Tengah F hitung F (0,01) F(0,05)

Perlakuan 8 0,1623 0,0203 32,97** 5,47 3,23

- Kand. vinasse 2 0,0289 0,0144 23,46** 8,02 4,62 - Daur ulang ke 2 0,1159 0,0579 94,13** 8,02 4,62

- Interaksi 4 0,0176 0,0044 7,14** 6,42 3,63

Galat 9 0,0055 0,0006

Total 17 0,1679

Keterangan:

ns: tidak berbeda nyata

*: berpengaruh nyata pada taraf 5% **: berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Uji lanjut Duncan Efisiensi Penggunaan Substrat

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang tingkat 1.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

V2 0,73 a

V3 0,58 0,151* b

V1 0,55 0,187* 0,035ns b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang tingkat 2.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

V2 0,77 a

V3 0,76 0,005ns a


(5)

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata kandungan vinasse pada daur ulang tingkat 3.

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

V2 0,83 a

V3 0,83 0,00ns a

V1 0,78 0,05ns 0,05ns a

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan vinasse 60%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

T3 0,78 a

T2 0,71 0,071* b

T1 0,55 0,236* 0,165* c

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan vinasse 50%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

T3 0,83 a

T2 0,77 0,06* b

T1 0,73 0,10* 0,04ns b

Pengujian pengaruh sederhana dua rata-rata tingkat daur ulang pada kandungan vinasse 40%

Perlakuan Rata-rata Selisih NOTASI

T3 0,83 a

T2 0,76 0,06* b


(6)

Tabel Matriks selisih perbedaan pasangan rata-rata VxT Kandungan

Vinasse V2 V3 V1 V2 V3 V2 V1 V3 V1

NOTASI

Daur Ulang T3 T3 T3 T2 T2 T1 T2 T1 T1 T1

0,833 0,829 0,783 0,770 0,765 0,734 0,712 0,583 0,548 0,548

V2 T3 0,833 0,0000 a

V3 T3 0,829 0,0043 0,0000 a

V1 T3 0,783 0,0499 0,0456 0,0000 ab

V2 T2 0,770 0,0636* 0,0592* 0,0137 0,0000 b

V3 T2 0,765 0,0682* 0,0639* 0,0183 0,0046 0,0000 b

V2 T1 0,734 0,0987* 0,0944* 0,0488 0,0352 0,0305 0,0000 bc

V1 T2 0,712 0,1209* 0,1166* 0,0710* 0,0574 0,0527 0,0222 0,0000 c

V3 T1 0,583 0,2501* 0,2458* 0,2002* 0,1865* 0,1819* 0,1514* 0,1292* 0,0000 d V1 T1 0,548 0,2854* 0,2811* 0,2355* 0,2219* 0,2172* 0,1867* 0,1645* 0,0353 0,0000 d