Miopia pada anak-anak 20 tahun Miopia pada dewasa muda 20 -40
tahun Miopia pada dewasa tua 40 tahun
2.1.5. Faktor Risiko
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor risiko terjadinya miopia, yaitu berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan, faktor lingkungan, dan gizi
Ilyas, 2006.
2.1.5.1. Faktor Herediter atau Keturunan
Faktor risiko terpenting pada pengembangan miopia sederhana adalah riwayat keluarga miopia. Beberapa penelitian menunjukan 33 -60 prevalensi miopia
pada anak-anak yang kedua orang tuanya memiliki miopia, sedangkan pada anak - anak yang salah satu orang tuanya memiliki miopia, prevalensinya adalah 23 -
40. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa ketika orang tua tidak memiliki miopia, hanya 6-15 anak-anak yang memiliki miopia White, 2005. Penelitian
yang dilakukan Gwiazda dan kawan -kawan melaporkan anak yang mempunyai orang tua miopia cenderung mempun yai panjang aksial bola mata lebih panjang di
banding anak dengan orang tua tanpa miopia. Sehingga anak dengan orang tua yang menderita miopia cenderung menjadi miopia dikemudian hari Jurnal
Oftalmologi Indonesia, 2008. Indeks heritabilitas yang tinggi d itemukan dalam studi terhadap anak kembar yaitu dari 75 sampai 94. Studi dengan jumlah
sampel yang besar pada kembar yang monozigot dan dizigot indeks heritabilitasnya diestimasikan sekitar 77 Myrowitz, 2012.
Penyakit yang terutama disebabkan oleh ke turunan ditemukan cenderung memiliki onset yang lebih cepat, terutama pada anggota keluarga, dan banyak
gejala klinis yang berat dibandingkan dengan kondisi yang sama tetapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini telah digambarkan dengan jelas oleh
Liang et al. Peneliti-peneliti ini mempelajari tentang miopia, terutama mengenai
dampak dari tingginya miopia akibat keturunan dan hubungannya dengan tingkat keparahan serta awal mula timbulnya miopia White, 2005.
2.1.5.2. Faktor Lingkungan
Tingginya angka kejadian miopia pada beberapa pekerjaan telah banyak dibuktikan sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terhadap terjadinya miopia.
Hal ini telah ditemukan, misalnya terdapat tingginya angka kejadian serta angka perkembangan miopia pada sekelompok orang yang menghabiskan banyak waktu
untuk bekerja terutama pada pekerjaan dengan jarak pandang yang dekat secara intensive. Beberapa pekerjaan telah dibuktikan dapat mempengaruhi terjadinya
miopia termasuk diantaranya peneliti, pembuat karpet, penjahit, mekani k, pengacara, guru, manager, dan pekerjaan-pekerjaan lain White, 2005.
Selain itu, faktor yang diketahui dapat mempengaruhi miopia adalah pendidikan. Beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara tingkat pendid ikan dan kejadian miopia. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi risiko untuk terjadinya
miopia. Goldschmidt melaporkan bahwa angka kejadian miopia pada mahasiswa di Hong Kong dan Taiwan lebih dari 90 dengan derajat miopia rata -rata 4-5 D
White, 2005. Identifikasi hubungan antara miopia dengan near-working, dengan cara
menghubungkan miopia dengan intelektualitas sangatlah rumit. Penelitian oleh Saw et al’s di Singapore menyebutkan bahwa mereka yang memiliki derajat
miopia yang tinggi dan rendah banyak terjadi selama masa sekolah. Sebuah pola umum telah dilaporkan pada beberapa peneliti di literatur bahwa anak dengan
miopia cenderung memiliki intelektualitas yang lebih tinggi dan hasil belajar yang lebih baik. Kegiatan ektra kulikule r telah teridentifikasi sebagai faktor penyebab
yang memungkinkan berkembangnya miopia pada pelajar berdasarkan fakta terdapatnya perbedaan ektra kulikuler yang diikuti oleh siswa di sekolah, yaitu
bimbingan belajar atau kelompok belajar yang kegiatannya y aitu membaca White, 2005. Seiring dengan kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti
televisi, komputer, video game dan lain -lain, secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan aktivitas melihat dekat Tiharyo, Gunawan, dan
Suhardjo, 2008. Konsumsi sayuran dan buah juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia.
Adapun sayuran dan buah yang diketahui mempengaruhi, yaitu wortel, pisang, pepaya, jeruk, buah merica dan cabai. Hal ini dikarenakan pada sayuran dan buah
tersebut memiliki kandungan beta karoten yang tinggi, yang nantinya akan dikonversikan menjadi vitamin A retinol untuk tubuhLubis, Siti Mahreni
Insani, 2010.
2.1.6. Gejala dan Tanda 2.1.6.1. Gejala Klinis