Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rahma Sari

NIM : 120100269

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 5 Oktober 1994

Agama : Islam

Alamat : Jl. Ismailiyah no 15 F, Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Email : rahma_sari05@ymail.com Riwayat Pendidikan :

1. TK Taman Siswa 1999 – 2000

2. SD Taman Siswa 2000 – 2006

3. SMP Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah 2006 – 2009 4. SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah 2009 – 2012 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012 – sekarang


(2)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN

Dengan hormat,

Saya, Rahma Sari mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Saat ini, saya sedang menjalankan penelitian dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Disebabkan oleh Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah”. Penelitian ini dilakukan sebagai syarat pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab mana yang paling berpengaruh terhadap penurunan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Penelitian dilakukan dengan melakukan pemeriksaan visus menggunakan snellen chart, hitungn jari, lambaian tangan , persepsi cahaya dan pengisian kuisioner yang nantinya akan dibagikan, pengisian kuisioner akan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu saat dilakukan penelitian terhadap Siswa/i dan 1 lagi diisi oleh orang tua dari Siswa/i. Jika Bapak/Ibu dan Siswa/i bersedia, saya persilahkan menandatangani persetujuan ini sebagai bukti kesukarelawan. Identitas pribadi Bapak/Ibu dan Siswa/i sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Bapak/Ibu dan Siswa/i dapat bertanya langsung pada saya atau dapat menghubungi saya di nomor 082164575756. Atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu dan Siswa/i menjadi partisipan dalam penelitian ini, saya ucapkan terima kasih.

Hormat Saya,


(3)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :

Umur :

Alamat :

telah benar-benar paham atas penjelasan yang disampaikan oleh peneliti mengenai penelitian ini yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Disebabkan oleh Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan shafiyyatul Amaliyyah.” Oleh karena itu, saya menyatakan BERSEDIA menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Demikianlah persetujuan ini saya sampaikan dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Hormat Saya,


(4)

LAMPIRAN 4

1.Kuesioner

Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Disebabkan oleh Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Kelas 4, 5, 6.

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Kelas :

Tanggal diisi :

Ceklislah pilihan jawaban dari pertanyaan di bawah ini :

1. Apakah anda mengalami penurunan tajam penglihatan ?

Ya

Tidak

2. Jenis penurunan tajam penglihatan apa yang anda alami ?

Rabun Jauh

Rabun Dekat

3. Apakah orang tua anda berkacamata ?

Ya, Ayah dan Ibu

Ya, Ayah atau Ibu


(5)

4. Apakah anda menggunakan kacamata atau lensa kontak ?

Ya

Tidak

5. Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk kegiatan di bawah ini dalam 1 hari ?

a. menonton televisi ….. jam

b. bermain game di komputer atau ipad … jam

c. menggunakan handphone…. jam

d.membaca buku… jam

6. Bagaimana posisi anda saat membaca buku ?

Posisi duduk tegak

Posisi duduk tidak tegak

7. Berapa jauh jarak anda saat membaca buku ?

≥ 30 cm


(6)

2. Kuesioner untuk Orang Tua

Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Disebabkan oleh Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Kelas 4, 5, 6.

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Pekerjaan :

Tanggal diisi :

Ceklislah pilihan jawaban dari pertanyaan di bawah ini :

Apakah pandangan mata Bapak / Ibu kabur ?

Ya

Tidak

Apakah Bapak / Ibu berkacamata ?

Ya

Tidak

Jika ya, umur berapa Bapak / Ibu pertama kali menggunakan kacamata ?

Bapak : tahun


(7)

Pada usia tersebut, untuk tujuan apa Bapak / Ibu menggunakan kacamata?

Melihat Jauh

Melihat Dekat


(8)

(9)

LAMPIRAN 6

No Screen Time Posisi Membaca Jarak

Membaca

Ketajaman Penglihatan

Riwayat Orang Tua 1 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 2 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 3 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 4 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 5 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 6 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 7 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 8 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 9 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 10 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 11 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 12 > 2 jam/hari Posisi tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 13 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 14 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah


(10)

miopia 15 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 16 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 17 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 18 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 19 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 20 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 21 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 22 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang yang tidak miopia 23 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 24 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 25 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 26 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 27 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 28 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 29 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 30 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya


(11)

miopia 31 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 32 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 33 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 34 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 35 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya

miopia 36 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 37 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 38 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 39 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 40 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang tidak miopia 41 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 42 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 43 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 44 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 45 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang salah

satunya miopia 46 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus dibawah

6/6

Orang tua yang keduanya


(12)

47 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua yang tidak miopia 48 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang keduanya

miopia 49 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 50 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 51 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang keduanya

miopia 52 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 53 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 54 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 55 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 56 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 57 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 58 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 59 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang keduanya

miopia 60 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang keduanya

miopia 61 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang keduanya

miopia 62 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 63 > 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 64 > 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua


(13)

yang tidak miopia 65 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 66 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 67 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia 68 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 69 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak < 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang salah satunya

miopia 70 ≤ 2 jam/hari Posisi duduk tidak tegak ≥ 30 cm Visus 6/6 Orang tua

yang tidak miopia


(14)

LAMPIRAN 7

Frequencies

Statistics

Screentime Posisimembaca Jarakmembaca

Ketajamanpengl ihatan

N Valid 70 70 70 70

Missing 0 0 0 0

Frequency Table Screen time

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Kurang atau sama dengan 2

jam/hari 19 27.1 27.1 27.1

>2jam/hari 51 72.9 72.9 100.0

Total 70 100.0 100.0

Posisi membaca

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid posisi duduk tegak 26 37.1 37.1 37.1

posisi duduk tidak tegak 44 62.9 62.9 100.0

Total 70 100.0 100.0

Jarak membaca

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Lebih atau sama dengan 30

cm 18 25.7 25.7 25.7

< 30 cm 52 74.3 74.3 100.0


(15)

Ketajaman penglihatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Visus 6/6 24 34.3 34.3 34.3

visus dibawah 6/6 46 65.7 65.7 100.0

Tot al 70 100.0 100.0

Crosstabs Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Screentime * Ketajaman

penglihatan 70 100.0% 0 0.0% 70 100.0%

Posisimembaca *

Ketajaman penglihatan 70 100.0% 0 0.0% 70 100.0%

Jarak membaca *


(16)

Screentime * Ketajaman Penglihatan Crosstab

Ketajaman penglihatan

Total Visus 6/6

visus dibawah 6/6 Screen time Kurang atau sama dengan 2

jam/hari

Count 11 8 19

Expected Count 6.5 12.5 19.0

>2jam/hari Count 13 38 51

Expected Count 17.5 33.5 51.0

Total Count 24 46 70

Expected Count 24.0 46.0 70.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.452a 1 .011

Continuity Correctionb 5.093 1 .024

Likelihood Ratio 6.243 1 .012

Fisher's Exact Test .022 .013

Linear-by-Linear Association 6.359 1 .012 N of Valid Cases 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.51. b. Computed only for a 2x2 table


(17)

Posisimembaca * Ketajaman penglihatan Crosstab

Ketajaman penglihatan

Total Visus 6/6

visus dibawah 6/6

Posisi membaca posisi duduk tegak Count 6 20 26

Expected Count 8.9 17.1 26.0

posisi duduk tidak tegak Count 18 26 44

Expected Count 15.1 28.9 44.0

Total Count 24 46 70

Expected Count 24.0 46.0 70.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.307a 1 .129

Continuity Correctionb 1.583 1 .208

Likelihood Ratio 2.383 1 .123

Fisher's Exact Test .193 .103

Linear-by-Linear Association 2.274 1 .132 N of Valid Cases 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.91. b. Computed only for a 2x2 table


(18)

Jarak membaca * Ketajaman penglihatan Crosstab

Ketajaman penglihatan

Total Visus 6/6

visus dibawah 6/6 Jarak membaca Lebih atau sama dengan 30

cm

Count 11 7 18

Expected Count 6.2 11.8 18.0

< 30 cm Count 13 39 52

Expected Count 17.8 34.2 52.0

Total Count 24 46 70

Expected Count 24.0 46.0 70.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.739a 1 .005

Continuity Correctionb 6.219 1 .013

Likelihood Ratio 7.468 1 .006

Fisher's Exact Test .009 .007

Linear-by-Linear Association 7.628 1 .006 N of Valid Cases 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.17. b. Computed only for a 2x2 table

Crosstabs Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Ketajaman penglihatan *


(19)

Ketajaman Penglihatan *Riwayat Orang Tua Crosstabulation

Riwayat Orang Tua Total

Orang tua yang tidak miopia Orang tua yang salah satunya miopia

Orang tua yang keduanya

miopia

Ketajaman Penglihatan

Total

Visus 6/6 Count % of Total 12 17,1% 7 10,0% 5 7,1% 24 34,3% Visus di bawah 6/6 Count % of Total 8 11,4% 20 28,6% 18 25,7% 46 65,7% Count % of Total 20 28,6% 27 38,6% 23 32,9% 70 100,0% Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Pearson Chi-Square 8.314a 2 .016

Likelihood Ratio 8.099 2 .017

Linear-by-Linear Association 6.578 1 .010 N of Valid Cases 70

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.86.


(20)

(21)

LAMPIRAN 8 Uji Validitas Correlations Pertanyaa n 1 Pertanya an 2 Pertany aan 3 Pertany aan 4 Pertanya an 5a Pertany aan 5b Pertanya an 5c Pertanyaa n 5d Pertanyaa n 6 Pertanya an 7 PTotal

Pertanyaan 1 Pearson Correlati

on

1 .503* .241 .368 .515* .174 .368 .075 .704** .237 .670**

Sig. (2-tailed)

.024 .305 .110 .020 .463 .110 .754 .001 .315 .001

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 2 Pearson Correlati

on

.503* 1 .058 .311 .593** .147 .184 .407 .254 .366 .639**

Sig. (2-tailed)

.024 .807 .183 .006 .537 .438 .075 .279 .113 .002

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 3 Pearson Correlati

on

.241 .058 1 .308 .160 .198 .436 -.046 .171 .235 .458*

Sig.

(2-tailed) .305 .807 .187 .501 .403 .055 .846 .470 .318 .042

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 4 Pearson Correlati

on

.368 .311 .308 1 .314 .388 .330 .106 .224 .029 .574**

Sig. (2-tailed)

.110 .183 .187 .178 .091 .156 .656 .342 .902 .008

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 5a Pearson Correlati

on

.515* .593** .160 .314 1 -.054 .314 .347 .653** .549* .725**

Sig.

(2-tailed) .020 .006 .501 .178 .822 .178 .134 .002 .012 .000


(22)

Pertanyaan 5b Pearson Correlati

on

.174 .147 .198 .388 -.054 1 .388 .429 .115 .226 .495*

Sig.

(2-tailed) .463 .537 .403 .091 .822 .091 .059 .628 .337 .027

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 5c Pearson Correlati

on

.368 .184 .436 .330 .314 .388 1 .308 .374 .322 .683**

Sig. (2-tailed)

.110 .438 .055 .156 .178 .091 .186 .105 .166 .001

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 5d Pearson Correlati

on

.075 .407 -.046 .106 .347 .429 .308 1 .068 .371 .541*

Sig.

(2-tailed) .754 .075 .846 .656 .134 .059 .186 .777 .107 .014

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 6 Pearson Correlati

on

.704** .254 .171 .224 .653** .115 .374 .068 1 .392 .625**

Sig.

(2-tailed) .001 .279 .470 .342 .002 .628 .105 .777 .087 .003

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

Pertanyaan 7 Pearson Correlati

on

.237 .366 .235 .029 .549* .226 .322 .371 .392 1 .604**

Sig. (2-tailed)

.315 .113 .318 .902 .012 .337 .166 .107 .087 .005

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

PTotal Pearson Correlati

on

.670** .639** .458* .574** .725** .495* .683** .541* .625** .604** 1

Sig. (2-tailed)

.001 .002 .042 .008 .000 .027 .001 .014 .003 .005

N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(23)

Reliability Case Processing Summary

N %

Cases Valid 20 100.0

Excludeda 0 .0

Total 20 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items


(24)

(25)

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D.M., 2007. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 31st ed. Philadephia : Saunders.

Curtin. B.,J., 2002. The Myopia. Philadelphia Harper & Row. 348-388

Fachrian, D., Arlia, B. R., Apep, J.N., Nengcy, E. T. R., Maritha, P., Elridha, dkk, 2009.Pravalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Pelajar SD X.

Goss, D.A., Theodore, P.G., Jeffrey T.K., Wendy, M.T., Thomas, T.N., Karla, Z.Optometric clinical practice guideline care of the patient with myopia. Lindbergh Blvd, St. Louis : American Optometric Association; 2006. hlm; 7-11.

Guggenheim, J.A., 2007. Correlation in refractive errors between siblings in the Singapore cohort study of risk factor for myopia. British Journal of Opthalmology 91(6):781-784. Available from:

http://proquest.umi.com/[Accesed 13th April 2015].

Ilyas, H.S., 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2-13.

Ilyas, H.S., 2009. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64-72.

Kairupan, T., 2012.Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dan Screen Time Dengan Status Gizi Pada Siswa-Siswa SMP Kristen Eben Haezar 2. (Tesis) : Universitas Sam Ratulangi Program Pasca Sarjana Program Studi IKM.

Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology.4thed. New Delhi: New Age International (P) Limited.


(27)

Klein, A.P., Duggal, P., Lee, K.E., Cheng, C.Y., Klein, R., Bailey-Wilson, J.E., Klein, B.E., 2011. Linkage Analysis Of Quantitative Refraction and Refractive Errors in the Beaver Dam Eye Study [abstract]. Vol 13;52(8):5220-5 Available from :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21571680 [Accesed 14th June 2015]

Leat, S.J., Yadav, N.K., dan Irving, E.L., 2009. Development of Visual Acuity and Contrast Sensitivity in Children. J Optom 2: 19-26.

Supriati, F., 2012. Faktor-Faktor Yang Berkaitan Dengan Kelelahan Mata Pada Karyawan Bagian Administrasi Di PT. Indonesia Power UPB. Jurnal Kesehatan Masyarakat UNDIP (online) Volume 1, Nomor 2, Halaman 720-730 (http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm) [Accesed 13th April 2015].

Riordan-Eva, P., dan Whitcher, J.P., 2007.Vaughan & Asbury’s General Opthalmology.17th ed. McGrew-Hill Medical, 1-2.

Saladin, K.S., 2003. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function. 3rded. New York: McGraw-Hill, 6-7.

Saw, S., et al., 2003. Causes of Low Vision and Blindness in Rural Indonesia. Br J Ophthalmol 87: 1075-1078.

Saw, S.M., 2003.A synopsis of The Prevalence Rates and Environmental Risk Factors for Myopia. Clin Exp Optom86:5: 289294.

Saw, S.M., Zhing, M.Z., Hong, R.Z., Fu, Z.F., Pang, M.H., Tan, D.T., 2002 Near-Work Activity , Night-lights, and Myopia in the Singapore-China Study. Arch Ophthalmol120:620-627.

Seeley, R.R., Stephens, T.D., dan Tate, P., 2006. Anatomy and Physiology.7thed. New York : McGrew-Hill, 4-5.


(28)

Tiharyo, I., Wasisdi, G., Suhardjo., 2008.Pertambahan miopia pada anak sekolah dasar daerah perkotaan dan pedesaan di daerah istimewa Yogyakarta. Jurnal Oftalmologi Indonesia 6(2):104-12.

Usman, S., Efhandy, N., dan Eka, B., 2014.Hubungan antara faktor keturunan, aktivitas melihat dekat dan sikap pencegahan mahasiswa fakultas kedokteran universitas riau terhadap kejadian miopia.

JOM (online) Volume 1, Nomor 2

(http://jom.unri.ac.id/.index.php/JOMFDOK/article/download/3161/3062)

[Accesed 13th April 2015].

Wahyuni, A.S., 2008. Statistika Kedokteran.Jakarta : Bamboedoea Communication, 116.

Wati, N., 2008. Skrinning GangguanTajam Penglihatan (Visus) Anak Usia 7-10 Tahun SekolahDasar, (Online)

(http://ejournal.respati.ac.id/sites/default/.../3/%20jurnal%20Nur%20Alvir a.doc)[Accesed 13th April 2015].

Xu, L., et al.,2005. Visual Acuity in Northern China in an Urban and Rural Population : the Beizing Eye Study.Br J Ophthalmol 89: 1089-1093.


(29)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Variabel Dependen

Gambar 3.2. Kerangka Konsep

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Tajam Penglihatan

a. Definisi : Ukuran kemampuan sistem visual untuk menilai rincian dan bentuk suatu objek

b. Cara Ukur : Meminta anak-anak sekolah dasar untuk membaca Snellen Chart dan menilai visus berdasarkan skala yang tertera pada Snellen Chart tersebut. Jika penglihatan kurang maka nilai visus anak dinilai dengan pemeriksaan hitung jari, lambaian tangan dan persepsi cahaya. Anak-anak yang memakai kacamata atau lensa kontak tetap memakainya selama proses pengukuran.

c. Alat Ukur : Snellen Chart

d. Kategori : Visus 0,8-1 = Tajam penglihatan normal Visus < 0,8 = Penurunan tajam penglihatan Karakteristik Anak-anak

Sekolah Dasar :

 Riwayat Orang Tua  Usia

 Jenis Kelamin

 Penggunaan Alat Bantu Penglihatan

Screen Time  Posisi Membaca  Jarak Membaca


(30)

e. Skala Ukur : Ordinal Riwayat Keluarga

a. Definisi : Riwayat penggunaan alat bantu penglihatan oleh orang-orang yang berasal dari satu garis keturunan

b. Cara Ukur : Wawancara c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : Ya = Terdapat riwayat keluarga Tidak = Tidak terdapat riwayat keluarga e. Skala Ukur : Nominal

Usia

a. Definisi : Lama waktu hidupnya seseorang

b. Cara Ukur : Peneliti menentukan usia anak sesuai dengan data tanggal lahir yang didokumentasikan oleh pihak sekolah c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : Usia dikategorikan sesuai dengan nilai usia yang didapat e. Skala Ukur : Nominal

Jenis Kelamin

a. Definisi : Suatu karakteristik yang membedakan individu sesuai dengan peran reproduktifnya

b. Cara Ukur : Observasi c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : Laki-laki / Perempuan e. Skala Ukur : Nominal

Penggunaan Alat Bantu Penglihatan

a. Definisi : Penggunaan alat bantu penglihatan (kacamata dan lensa kontak) untuk meningkatkan tajam penglihatan

b. Cara Ukur : Observasi dan wawancara c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : Ya = Pengguna alat bantu penglihatan


(31)

e. Skala Ukur : Nominal Screen Time

a. Definisi : Aktivitas didepan layar kaca media elektronik tanpa melakukan aktivitas olahraga misalnya duduk menonton televisi atau video, bermain computer, maupun bermain game di komputer atau di tablet

b. Cara Ukur : Wawancara c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : ≤ 2 jam = waktu maksimum untuk anak dan remaja diatas 2 tahun untuk melakukan screen based activity > 2 jam = melebihi waktu maksimum untuk anak dan remaja diatas 2 tahun untuk melakukan screen based activity

e. Skala Ukur : Nominal

Posisi Membaca

a. Definisi : Sikap tubuh pada saat melakukan aktivitas membaca b. Cara Ukur : Wawancara

c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : Posisi duduk tegak Posisi duduk tidak tegak e. Skala Ukur : Nominal

Jarak Membaca

a. Definisi : Jarak mata terhadap objek yang dibaca b. Cara Ukur : Wawancara

c. Alat Ukur : Kuesioner

d. Kategori : ≥ 30cm = Resiko Penurunan Tajam Penglihatan Rendah <30cm = Resiko Penurunan Tajam Penglihatan Tinggi e. Skala Ukur : Nominal


(32)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan studi cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab mana yang paling berpengaruh terhadap penurunan ketajaman penglihatan yang menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah.

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada bulan September 2015 hingga Desember 2015 yaitu selama 4 bulan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Sekolah tersebut dipilih menjadi lokasi penelitian karena sekolah tersebut merupakan sekolah swasta unggulan yang memiliki akreditasi A dan memiliki tingkat ekonomi keluarga menengah keatas, sehingga paparan screen time seperti televisi, komputer, handphone, tablet, dan berbagai media lain di perkirakan sangat tinggi. Peneliti juga lebih mudah mengakses data di sekolah tersebut karena peneliti merupakan alumni dari Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Target

Siswa-siswi Sekolah Dasar 2. Populasi Terjangkau

Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah.

Dari populasi yang ada (N= 250), akan diambil sampel yang dianggap dapat mewakili populasi yang ada. Pemilihan sampel penilitian dilakukan dengan


(33)

teknik Stratisfied random sampling agar setiap tingkatan kelas mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi menjadi sampel.

Estimasi Besar Sampel

Jumlah sampel yang akan digunakan sebagai subjek penelitian dihitung dengan rumus (Wahyuni, 2008) :

= . . .( )

( ) . . . ( )

n : Besar sampel minimum

N : Jumlah populasi siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah 2015

Z1- ∝/ 2 : Nilai distribusi normal baku (table Z pada ∝ tertentu) P : Harga proporsi populasi (pada penelitian ini dipakai

(p= 0,5)

D : Kesalahan absolut yang ditolerir (dalam penelitian ini dipakai d= 10%)

Perhitungan :

= 250. 1,96 . 0,5. 0,5 ( 250−1). 0,1 + 1,96 . 0,5. 0,5

= 70

Berdasarkan rumus diatas, maka didapatkan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 70 orang. Setelah besar sampel diperoleh, penentuan sampel yang dijadikan subjek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan.

4.3.1. Kriteria Inklusi

Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah.


(34)

4.3.2. Kriteria Eksklusi

a. Siswa-siswi sekolah dasar yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian.

b. Siswa-siswi sekolah dasar yang tidak hadir pada hari dilakukannya penelitian.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pada awal penelitian, data umum populasi siswa-siswi sekolah dasar kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah tahun 2015 sebanyak 250 orang merupakan data sekunder yang didapat peneliti dari pihak sekolah yang terkait. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer yang diperoleh dari hasil pengukuran visus menggunakan Snellen Chart, hitung jari, lambaian tangan dan pemeriksaan persepsi cahaya. Pengukuran visus dilakukan oleh tenaga ahli dan wawancara, observasi serta pencatatan dilakukan oleh peneliti.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data visus, riwayat orang tua, usia, jenis kelamin, penggunaan kacamata, screen time, posisi membaca dan jarak membaca akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program Statistic Package for the Social Sciences (SPSS).


(35)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah yang berlokasi di Jalan Setia Budi nomor 131 Kecamatan Medan Sunggal. Sekolah ini telah diberi peringkat akreditasi A oleh Badan Akreditasi Provinsi Sekolah /Madrasah Provinsi Sumatera Utara sejak 5 Oktober 2009.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden adalah Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah. Kriteria ekslusinya adalah siswa-siswi yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian.

5.1.3. Hasil

Hasil penelitian karakteristik responden pada 70 Siswa-siswi di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah berdasarkan umur yang paling banyak adalah berumur 9 tahun dengan persentasi 68,6%. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki dan perempuan memiliki persentasi yang sama yaitu 50%. Responden berdasarkan riwayat miopia pada orang tua adalah orang tua yang salah satunya miopia dengan persentasi 38,6%. Orang tua yang keduanya miopia dengan persentasi 32,9%. Sedangkan Orang tua yang tidak miopia dengan persentasi 28,6%.


(36)

Tabel 5.1

Distribusi berdasarkan Screen Time, Posisi Membaca, Jarak Membaca dan Ketajaman Penglihatan

Variabel n %

Screen Time

≤ 2 jam 19 27,1

> 2 jam 51 72,9

Posisi Membaca

Posisi Duduk Tegak 26 37,1

Posisi Duduk Tidak Tegak (posisi tidur atau tengkurap)

44 62,9

Jarak Membaca

≥ 30cm 18 25,7

< 30cm 52 74,3

Ketajaman Penglihatan

Visus 6/6 24 34,3

Visus ≤ 6/6 46 65,7

Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah memiliki screen based activity >2 jam/hari yang tinggi yaitu 72,9%, hal ini menunjukan bahwa sangat banyak aktivitas yang dilakukan anak-anak didepan layar kaca >2 jam/hari.

Posisi membaca pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah memiliki persentasi sebanyak 62,9%, anak membaca dengan posisi duduk tidak tegak (posisi tidur atau tengkurap).

Jarak membaca pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah dapat dilihat pada distribusi responden berdasarkan jarak membaca dan siswa-siswi yang membaca dengan jarak <30 cm menunjukan persentasi cukup tinggi yaitu 74,3%. Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan


(37)

Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah memiliki ketajaman penglihatan yang tidak normal (visus <6/6) yaitu berjumlah 65,7%.

Tabel 5.2

Hubungan Antara Screen Time Dengan Ketajaman Penglihatan, Hubungan Antara Posisi Membaca Dengan Ketajaman Penglihatan, Hubungan Antara

Jarak Membaca Dengan Ketajaman Penglihatan, Hubungan Antara Riwayat Orang Tua Dengan Ketajaman Penglihatan Pada Siswa-siswi

Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

Hubungan

Tajam Penglihatan

Visus 6/6 Visus <6/6 P

N % N %

Screen Time

≤ 2 Jam/hari 11 6,5 8 12,5 0,0 11

>2 Jam/hari 13 17,5 38 33,5

Posisi Membac

a

Duduk Tegak 6 8,9 20 17,1 0,1

29 Duduk Tidak Tegak

(posisi tidur atau tengkurap)

18 15,1 26 28,9

Jarak Membac

a

≥ 30 cm 11 6,2 7 11,8 0,0

05

< 30 cm 13 17,8 39 34,2

Riwayat Orang

Tua

Orang Tua yang Tidak Miopia

12 17,1 8 11,4 0,0

16 Orang Tua yang Salah

SatunyaMiopia

7 10,0 20 28,6

Orang Tua yang Keduannya Miopia


(38)

merekomendasikan waktu maksimum 2 jam/hari untuk screen based activity. Banyak Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui hasil pengolahan data menggunakan uji chi-square menggunakan program Statistical Program for Social Sciences (SPSS), screen time menunjukan nilai probabilitis P = 0,011 (p<0,05) yang menunjukan bahwa ada hubungan antara screen time dengan ketajaman penglihatan.

Posisi membaca menunjukan nilai probabilitas P = 0,129 (p>0,05) yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara posisi membaca dengan ketajaman penglihatan.

Jarak membaca menunjukan nilai probabilitas P = 0,005 (p<0,05) yang menunjukan bahwa ada hubungan antara posisi membaca dengan ketajaman penglihatan.

Riwayat Orang Tua menunjukan nilai probabilitas P = 0,016 (p<0,05) yang menunjukan bahwa ada hubungan antara riwayat orang tua dengan ketajaman penglihatan pada anak.

5.1.4. Pembahasan

Miopia merupakan salah satu penyebab utama penurunan ketajaman penglihatan pada anak-anak usia sekolah, sedangkan ketajaman penglihatan yang baik sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar (Saw, 2003).

Dalam penelitian ini faktor riwayat orang tua berhubungan dengan miopia. Hal ini mengikuti pola dose response pattern, dimana anak yang kedua orang tuanya miopia dengan persentasi 32,9%, anak yang salah satu orang tuanya miopia dengan persentasi 38,6% dan anak yang orang tuanya tidak miopia dengan persentasi 28,6%. Dalam penelitian lain juga menunjukkan faktor resiko keturunan adalah faktor terpenting yang menyebabkan miopia. Prevalensi miopia 33-60% pada anak dengan kedua orang tua miopia. Pada anak yang salah satu orang tua miopia prevalensinya 23-40%, dan hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua miopia (Goss dkk, 2006).

Screen Time didefinisikan sebagai durasi waktu yang digunakan untuk melakukan screen based activities atau aktivitas depan layar media elektronik


(39)

tanpa melakukan aktifitas olahraga misalnya duduk menonton televisi atau video, bermain game di komputer, laptop, handphone, maupun gadget.

Salah satu klasifikasi yang sering dipakai ialah berdasarkan rekomendasi waktu maksimum dari The American academi of Pediatrics. Asosiasi ini riset yang menggunakan standar ini untuk mengklasifikasikan screen time (Kairupan, T.2012).

Screen time pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah memiliki screen based activity >2 jam/hari yang tinggi yaitu 72,9%. Hal ini menunjukan bahwa sangat banyak aktivitas yang dilakukan anak-anak didepan layar >2 jam/hari. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kairupan (2012) di SMP Kristen Eben Haezar 2 Manado menyatakan bahwa siswa yang memiliki screen time >2 jam/hari lebih banyak.

Faktor screen time berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan. Penelitian ini juga sejalan dengan Wati (2008) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama menonton televisi dengan gangguan ketajaman penglihatan dengan nilai p = 0,000. Hal ini disebabkan karena screen based activity atau waktu di depan layar kaca pada anak-anak terlalu tinggi sehingga mempengaruhi ketajaman penglihatan.

Lingkungan sekolah merupakan salah satu pemicu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada anak seperti sarana dan prasarana sekolah yang tidak ergonomis saat proses belajar mengajar (Wati, 2008) oleh karena itu posisi akan mempengaruhi anak saat membaca yang dapat dilihat dari distribusi responden berdasarkan posisi membaca yang memiliki persentasi sebanyak 62,9% anak membaca dengan posisi duduk tidak tegak (posisi tidur atau tengkurap).

Pengujian statistic menurut Wati (2008) tentang hubungan antara posisi membaca dengan ketajaman penglihatan memiliki nilai p = 0,000 (p<0,05) sehingga menunjukan adanya hubungan antara kebiasaan posisi saat membaca dengan gangguan penurunan ketajaman penglihatan. Namun penelitian dari Wati berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah yang memiliki nilai p = 0,129 (p>0,05) yaitu tidak ada hubungan antara posisi membaca dengan penurunan ketajaman


(40)

penglihatan dan hal ini disebabkan karena Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah merupakan salah satu sekolah unggulan yang memiliki sarana dan prasarana yang baik saat proses belajar mengajar.

Jarak membaca pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah dapat dilihat pada distribusi responden berdasarkan jarak membaca, dan siswa yang membaca dengan jarak <30 cm menunjukan persentasi cukup tinggi yaitu 74,3% yang sejalan dengan penelitian dari Wati (2008) menunjukan persentasi 54,0%.

Pengujian statistic mencari hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan menunjukan nilai p = 0,005 (p<0,05) sehingga ada hubungan antara jarak membaca dengan penurunan ketajaman penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah yang didukung oleh penelitian dari Wati (2008) yang menunjukan nilai p = 0,000 (p<0,05) sehingga ada hubungan yang bermakna antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan.

Menurut penelitian dari Fachrian dkk (2009) persentasi siswa dengan visus tidak normal 51,9% dan menurut penelitian Wati (2008) di berbagai Sekolah Dasar Kabupaten Bantul menunjukan persentasi 71,0%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah, menunjukan bahwa Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah memiliki ketajaman penglihatan yang tidak normal yaitu berjumlah 65,7%.


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Ada hubungan antara riwayat orang tua yang miopia dengan terjadinya miopia pada anak (p<0,05) dengan persentasi orang tua yang salah satu miopia yaitu 38,6%, orang tua yang keduanya miopia dengan persentasi 32,9%, dan orang tua yang tidak miopia dengan persentasi 28,6%.

2. Ada hubungan antara screen time dengan penurunan ketajaman penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (p<0,05) dengan persentasi screen based activity > 2 jam/hari yang tinggi yaitu 72,9%.

3. Tidak ada hubungan antara posisi membaca dengan penurunan ketajaman penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (p>0,05).

4. Ada hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (p<0,05) dengan persentasi siswa yang membaca dengan jarak < 30 cm yaitu 74,3%.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian yang didapat, maka peneliti ingin memberikan beberapa saran, yaitu :

1. Masukan kepada orang tua agar lebih memperhatikan kesehatan mata anaknya. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua agar dapat membantu menjaga kesehatan mata anaknya adalah dengan mengajarkan kepada anak-anaknya cara membaca dengan jarak baca yang benar yaitu 30 cm, serta mengistirahatkan mata setiap 30 menit, mengatur waktu anak di depan layar. Selain itu, dapat di lakukan juga perbaikan nutrisi dengan menambah konsumsi makanan, baik buah-buahan maupun sayur-sayuran yang mengandung vitamin A, C, E dan lutein.


(42)

2. Masukan kepada pihak masyarakat, terutama pihak sekolah, agar dapat mengupayakan pemeriksaan ketajaman penglihatan secara rutin. Pengadaan pemeriksaan seluruh siswa-siswi dapat dilakukan oleh staff pengajar yang telah diberi pengetahuan dasar tentang cara menentukan ketajaman penglihatan. Dengan adanya snellen chart di setiap ruangan kelas sekolah dan staff pengajar yang terampil dalam menentukan ketajaman penglihatan anak, diharapkan anak yang mengalami penurunan ketajaman peglihatan akan berkurang karena telah adanya sistem skrining yg efektif. Selain itu, kepada pihak sekolah agar memperhatikan jarak anak membaca saat berada di dalam lingkungan pembelajaran sekolah dan memperhatikan sarana dan prasarana di dalam kelas. 3. Masukan kepada Institusi Kesehatan (Dinas Kesehatan Kota Medan), sebaiknya melaksanakan program preventif dan edukasi tentang kesehatan mata serta dampak yang akan timbul.

4. Masukan kepada peneliti selanjutnya agar dapat mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi ketajaman penglihatan pada anak.


(43)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata

2.1.1. Anatomi Kelopak Mata

Kelopak mata atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar, dan pengeringan bola mata (Ilyas, 2010).

Kelopak mata mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan, sedang di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.

Gangguan penutupan kelopak akan mengakibatkan keringnya permukaan mata sehingga terjadinya keratitis et lagoftalmos. Pada kelopak terdapat bagian-bagian :

a. Kelenjar seperti : kelenjar sebasea, kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus.

b. Otot seperti : M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat otot orbikularis okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. Orbicularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial M. Levator palpebra, yang berorigo pada annulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian menembus M. Orbicularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Otot ini depersarafi oleh n.III, yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata.


(44)

c. Didalam mata terdapat tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar didalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.

d. Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan batas isi orbita dengan kelopak depan.

e. Tarsus ditahan oleh septum orbita yang melekat pada rima orbita pada seluruh lingkaran pembukaan rongga orbita. Pembuluh darah yang memperdarahinya adalah a. palpebra.

f. Persarafan sensorik kelopak mata atas di dapatkan dari rumus frontal n.V, sedang kelopak bawah oleh cabang ke II saraf ke V.

Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli. Konjungtiva merupakan membran mukosa yang mempunyai sel Goblet yang menghasilkan musin (Ilyas, 2010).

2.1.2. Anatomi Sistem Lakrimal

Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.

Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :

a. Sistem produksi atau glandula lakrimal. Glandula lakrimal terletak di temporo antero superior rongga orbita.

b. Sistem ekskresi, yang terdiri atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal dan duktus nasolakrimal. Sakus lakrimal terletak di bagian depan rongga orbita. Air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke dalam rongga hidung di dalam meatus inferior (Ilyas, 2010).

Film air mata sangat berguna untuk kesehatan mata. Air mata akan masuk kedalam sakus lakrimal melalui pungtum lakrimal. Bila pungtum lakrimal tidak menyinggung bola mata, maka air mata akan keluar melalui margo palpebra yang


(45)

disebut epifora. Epifora juga akan terjadi akibat pengeluaran air mata yang berlebihan dari kelenjar lakrimal (Ilyas, 2010).

Untuk melihat adanya sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya di lakukan penekanan pada sakus lakrimal. Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis, maka cairan berlendir kental akan keluar melalui pungtum lakrimal (Ilyas, 2010).

2.1.3 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermaca-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang di hasilkan oleh sel Goblet.

Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

a. Konjungtiva tarsal yang menututpi tarsus, konjungtiva tarsal sukar di gerakkan dari tasus.

b. Konjungtiva bulbi menututpi sklera dan mudah di gerakkan dari sklera di bawahnya.

c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak (Ilyas, 2010).

2.1.4 Anatomi Bola Mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda.

Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :

1. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebeut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera.


(46)

2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuous humor), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.

3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.

Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin dan hanya menempel papil saraf optik, makula dan pars plana. Bila terdapat jaringan ikat didalam badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka akan robek dan terjadi ablasi retina (Ilyas, 2010).

Lensa terletak dibelakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peran dan akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea (Ilyas, 2010).

Terdapat 6 otot pergerakkan bola mata, dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di daerah temporal atas di dalam rongga orbita.

A. Kornea

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari atas lapis :

1. Epitel

a. Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.


(47)

c. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

d. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2. Membran Bowman

a. Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

b. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 3. Stroma

a. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang.

4. Membran descement

a. Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

b. Bersifat sangat elastik dan berkembang seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.

5. Endotel

a. Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

b. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya (Ilyas, 2010).

c. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat


(48)

dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2010).

B. Uvea

Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior yaitu :

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar yang mengandung serabut sensoris untuk kornea, iris dan badan siliar. 2. Saraf simpatis yang membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari

saraf simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil.

3. Akar saraf motor yang akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil.

Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri dari atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, badan siliar terletak antara iris dan koroid. Batas antara korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm temporal dan 7 mm nasal. Di dalam badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yaitu longitudinal, radiar dan sirkular (Ilyas, 2010).

Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata. Reaksi pupil ini merupakan juga indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem ekskresi di belakang limbus. Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di daerah limbus, yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan gambaran karakteristik peradangan intraocular (Ilyas, 2010).

Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila berkonstraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata (Ilyas, 2010).


(49)

Otot melingkar badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi akan mengakibatkan mengendornya zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa (Ilyas, 2010).

Kedua otot ini dipersarafi oleh saraf parasimpatik dan bereaksi baik terhadap obat parasimpatomimetik.

C. Pupil

Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan pada orang tua, pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis (Ilyas, 2010).

Pupil waktu tidur kecil, hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur sesungguhnya. Pupil kecil waktu tidur akibat dari :

1. Berkurangnya rangsangan simpatis 2. Kurangnya rangsangan hambatan miosis

Bila subkorteks bekerja sempurna maka terjadi miosis. Di waktu bangun korteks menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan meningkatakan miosis. Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang diafragmanya di kecilkan (Ilyas, 2010).

D. Sudut Bilik Mata Depan

Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini di dapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2010).

E. Lensa Mata

Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di


(50)

belakang iris yang terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas, 2010).

Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu :

a. Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung.

b. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan. c. Terletak di tempatnya.

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :

a. Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia,

b. Keruh atau apa yang disebut katarak,

c. Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi. F. Badan Kaca

Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air (Ilyas, 2010).

G. Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2010).

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan :

1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.

2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

3. Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapisan nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

4. Lapis fleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat asinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.


(51)

5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral. 6. Lapis fleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat

sinaps bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.

Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam (Ilyas, 2010).

Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dan koroid. Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti : tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapangan pandang. Pemeriksaan obyektif adalah elektroretinografi (ERG), elektrookulografi (EOG), dan visual evoked respons (VER) (Ilyas, 2010).

H. Saraf Optik

Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis serabut saraf, yaitu : saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perbuatan toksik dan anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik (Ilyas, 2010).

I. Sklera

Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea.


(52)

Gambar 2.1.Anatomi Bola Mata

(Sumber : Khurana, 2007) J. Rongga Orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus (Ilyas, 2010).

Rongga orbita yang berbentuk pyramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding lateral orbita membentuki sudut 45 derajat dengan dinding medialnya.

Dinding orbita terdiri atas tulang : 1. Atap atau superior : os.frontal

2. Lateral : os.frontal, os. zigomatik, ala magna os sfenoid 3. Inferior : os. zigomatik, os. maksila, os. palatin

4. Nasal : os. maksila, os. lakrimal, os. etmoid

Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.

Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik.


(53)

Fisura orbita inferior terletak di dasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita, zigomatik dan arteri infra orbita.

Fosa lakrimal terletak di sebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.

K. Otot Penggerak Mata

Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot (Ilyas, 2010).

Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu :

1. Oblik inferior mempunyai origo pada fosa lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi (Ilyas, 2010).

2. Otot Oblik Superior

Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenoid di atas foramen optik, berjalan menuju troklea dan dikatrol balik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior, yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat (Ilyas, 2010).

3. Otot Rektus Inferior

Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood. Rektus inferior dipersarafi oleh n. III (Ilyas, 2010).

Fungsi menggerakkan mata : - Depresi

- Eksoklotorsi (gerak sekunder) - Aduksi (gerak sekunder) 4. Otot Rektus Lateral


(54)

Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi (Ilyas, 2010).

5. Otot Rektus Medius

Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik yang sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek. Menggerakkan mata untuk aduksi (gerakan primer) (Ilyas, 2010).

6. Otot Rektus Superior

Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior N.III (Ilyas, 2010).

Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral :

- Aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral - Insiklotorsi

2.2. Proses Visual Mata

Proses visual mata dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika sedang kontraksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epithelial


(55)

kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoephitelial cells (Saladdin, 2006).

Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya yang dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan ketika memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladdin, 2006).

Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humor (n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina (Saladdin,2006).

Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada choroid membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan mengisoloasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai lapisan bersatu. Lapisan pleksiformis luar berada diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006).

Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi dan korteks serebri (Seeley, 2006).


(56)

Gambaran jaras penglihatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2. Jaras Penglihatan

(Sumber : Khurana, 2007)

Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Central Vision

Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh pada area makula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut. (Riordan-Eva, 2007). 2. Peripheral Vision

Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh pada area diluar macula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut.

Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan dan pemeriksa duduk sejajar dengan pasien. Jika mata kanan pasien diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan pemeriksa ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri


(57)

pemeriksa. Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa menunjukan angka tertentu dengan menggunakan jari tangan yang diletakkan diantara pasien dan pemeriksa pada keempat kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-Eva, 2007).

2.3. Ketajaman Penglihatan

2.3.1. Perkembangan Ketajaman Penglihatan

Ketajaman penglihatan merupakan kemampuan sistem penglihatan untuk membedakan berbagai bentuk (Anderson, 2007). Penglihatan yang optimal hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual yang utuh, struktur mata yang sehat serta kemampuaan fokus mata yang tepat (Riordan-Eva, 2007).

Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada perkembangan sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat. Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir, mielinisasi berjalan terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat kurang dibandingkan dengan penglihatan anak. Perkembangan penglihatan berkembang cepat sampai usia dua tahun dan secara kuantitatif pada usia lima tahun (Ilyas, 2009)

Tajam penglihatan bayi berkembang sebagai berikut :  Baru Lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar

 6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke arah sinar  3 bulan : Dapat menggerakkan mata kearah benda yang bergerak

 4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata; dapat melihat dan mengambil objek

 9 bulan : Tajam Penglihatan 20/200  1 tahun : Tajam Penglihatan 20/100  2 tahun : Tajam Penglihatan 20/40  3 tahun : Tajam Penglihatan 20/30

 5 tahun : Tajam Penglihatan 20/20 (Ilyas, 2009)

Secara klinis, derajat ketajaman anak-anak mencapai nilai yang mendekati 6/6 saat mencapai usia 5 tahun. Hal ini dikarenakan pemeriksaan visus pada anak-anak secara subjektif maupun objektif tidak dapat menghasilkan data


(58)

yang valid. Ketajaman penglihatan dapat di bagi lagi menjadi recognition acuity dan resolution acuity. Recognition acuity adalah ketajaman penglihatan yang berhubungan dengan detail dari huruf terkecil, angka ataupun bentuk lainnya yang dapat dikenali. Resolution acuity adalah kemampuan mata untuk mengenali dua titik ataupun benda yang mempunyai jarak sebagai dua objek yang terpisah (Leat, 2009).

Hubungan antara jenis ketajaman penglihatan tersebut dengan usia dimana kondisi tersebut dapat dicapai dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut (Leat, 2009).

Tabel 2.1

Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas


(59)

2.3.2. Pemeriksaan visus mata

Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunannya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas, 2009).

Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu. Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 atau 20/15 (atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam penglihatan mata (Ilyas, 2009).

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut satu menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus tetap lima menit (Ilyas, 2009).


(60)

Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak enak meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2009).

Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti :

1. Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enak meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.

2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.

3. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.

4. Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.

5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat terlihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.

6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter. 7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam


(61)

dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.

8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.

9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009). Hal diatas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang dewasa secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan berkembang normal dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal akan dapat berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai kemampuan untuk dapat mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil sudah mulai terbentuk sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan fungsi penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang lebih besar dapat dipakai benda-benda yang lebih besar dan berwarna untuk digunakan dalam pengujian penglihatannya (Ilyas, 2009).

Untuk mengetahui sama tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada sikap anak, yang berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding dengan mata lainnya (Ilyas, 2009).

Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan diletakkannya pinholedi depan mata berarti ada kelainan organic atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun (Ilyas, 2009).


(62)

Pada tabel 2.2. dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki (Ilyas, 2009).

Tabel 2.2

Nilai Tajam Penglihatan dalam Meter, Kaki dan Desimal

Snellen (6 meter) 20 kaki Sistem decimal

6/6 20/20 1.0

5/6 20/25 0.8

6/9 20/30 0.7

5/9 15/25 0.6

6/12 20/40 0.5

5/12 20/50 0.4

6/18 20/70 0.3

6/60 20/200 0.1

(Sumber : Ilyas, 2009)

2.3.3. Penurunan Tajam Penglihatan

Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti usia, kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien. Ketajaman penglihatan cenderung menurun sesuai dengan meningkatnya usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang (Xu, 2005). Dari penelitian yang dilakukan di Sumatera, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi terjadinya low vision atau visual impairment adalah katarak, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related Macular Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy, dan trauma (Saw, 2003). Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan mata yang herediter (Riordan-Eva, 2007).

2.4. Visual Impairment

Menurut International Classification of Diseases (ICD), visual impairment adalah suatu keterbatasan fungsional dari mata.

Visual impairment ini sendiri dapat dinilai dengan menggunakan tiga kriteria penting, yaitu :


(63)

1. Visual Acuity

Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya (Riordan-Eva, 2007).

2. Visual Field

Metode tradisional standar yang dapat digunakan untuk menilai gangguan dalam lapangan pandang adalah kinetic perimetry untuk menentukan lapangan pandang setiap mata secara keseluruhan. (Riordan-Eva, 2007).

3. Ocular Motality

Motalitas okuler dapat dinilai dengan menggunakan arc perimeter dengan pasien tetap melihat menggunakan kedua mata. Motalitas okuler dapat menilai adanya gangguan pada mata seperti diplopia (Riordan-Eva, 2007).

2.5. Miopia

2.5.1. Definisi

Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning) (Ilyas, 2005).

2.5.2. Klasifikasi

Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.

Dikenal beberapa bentuk miopia seperti :

1. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata ... 5

2.1.1. Anatomi Kelopak Mata ... 5

2.1.2. Anatomi Sistem Lakrimal ... 6

2.1.3. Anatomi Konjungtiva ... 7

2.1.4. Anatomi Bola Mata ... 7

2.2. Proses Visual Mata ... 16

2.3. Ketajaman Penglihatan ... 19

2.3.1. Perkembangan Ketajaman Penglihatan ... 19


(2)

2.3.3. Penurunan Tajam Penglihatan ... 24

2.4. Visual Impairment ... 24

2.5. Miopia ... 25

2.5.1. Definisi ... 25

2.5.2. Klasifikasi ... 25

2.5.3. Manifestasi Klinis ... 26

2.5.4. Penatalaksanaan ... 26

2.5.5. Pencegahan ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 28

3.1. Kerangka Konsep ... 28

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 28

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 31

4.1. Rancangan Penelitian ... 31

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 31

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

4.3.1. Kriteria Inklusi ... 32

4.3.2. Kriteria Ekslusi ... 32

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 33

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1. Hasil Penelitian ... 34

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 34

5.1.3. Hasil ... 34

5.1.4. Pembahasan ... 37


(3)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.2. Kesimpulan ... 40

6.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(4)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima

Tahun Keatas ... 20 Tabel 2.2. Nilai Tajam Penglihatan dalam Meter, Kaki dan Desimal .... 24 Tabel 5.1. Distribusi berdasarkan Screen Time, Posisi Membaca, Jarak

Membaca dan Ketajaman Penglihatan ... 35 Tabel 5.2. Hubungan Antara Screen Time Dengan Ketajaman

Penglihatan, Hubungan Antara Posisi Membaca Dengan Ketajaman Penglihatan, Hubungan Antara Jarak Membaca Dengan Ketajaman Penglihatan, Hubungan Antara Riwayat Orang Tua Dengan Ketajaman Penglihatan Pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan

Shafiyyatul Amaliyyah ... 36


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Anatomi Bola Mata ... 14 Gambar 2.2. Jaras Penglihatan ... 18


(6)

DAFTAR SINGKATAN

a : Arteri

dkk : dan Kawan-kawan EOG : Elektrookulografi ERG : Elektroretinografi

M. : Musculus

n : Nervus

os : Tulang

VER : Visual Evoked Respons Tv : Televisi


Dokumen yang terkait

Gambaran Faktor Risiko yang Menyebabkan Terjadinya Miopia pada Siswa SMA Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2013

1 50 68

Prevalensi Penurunan Ketajaman Penglihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010

3 65 75

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 1 13

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 0 2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 1 4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 0 23

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 1 3

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penurunan Ketajaman Penglihatan yang Menyebabkan Miopia pada Siswa-siswi Sekolah Dasar Kelas 4-6 di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah

0 0 25

Gambaran Faktor – Faktor yang Menyebabkan Miopia pada Siswa Siswi SMA Negeri 1 Medan Kelas X Tahun Ajaran 2014-2015

0 0 14

Gambaran Faktor Risiko yang Menyebabkan Terjadinya Miopia pada Siswa SMA Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2013

0 0 16