kesempatan yang tersedia walaupun kesempatan yang tersedia tersebut mungkin bertentangan dengan nilai – nilai kebudayaan yang dianut saat itu. Untuk menyediakan
kesempatan tersebut diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan, dan norma – norma serta aspirasi kelompok
orang kaya yang ikut memungkinkan timbulnya kelompok orang miskin. Robert Chambers 1983 dalam Rais, 1995: 19, seorang ahli pembangunan
pedesaan yang berkebangsaan Inggris setelah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa negara Asia Selatan dan Afrika menyimpulkan bahwa inti dari
masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut ’deprivation trap’ jebakan kekurangan. Ia mengatakan bahwa ’deprivation trap’ itu terdiri dari lima 5
ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah:
a. Kemiskinan itu sendiri, b. Kelemahan fisik,
c. Keterasingan, d. Kerentanan, dan
e. Ketidakberdayaan
Menurut Chambers 1983: 111 dalam Rais, 1995: 19 yang paling perlu diperhatikan dari kelima ketidakberuntungan tersebut di atas adalah ’kerentanan’ dan
’ketidakberdayaan’. Karena menurutnya, dua jenis ketidakberuntungan tersebut sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin. ’Kerentanan’ menurut Chambers
1983 dalam Rais, 1995: 19 – 20 dapat dilihat dari ketidakmampuan kelurga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi situasi darurat, seperti: datangnya bencana
Universitas Sumatera Utara
alam atau penyakit yang tiba – tiba menimpa keluarga itu sehingga sering menimbulkan ’poverty rackets’ roda penggerak kemiskinan yang menyebabkan keluarga miskin harus
menjual harta benda yang berharga sehingga keluarga itu menjadi semakin dalam memasuki lembah kemiskinan. ’Ketidakberdayaan’ keluarga miskin menurut Chambers
1983 dalam Rais, 1995: 20 tercermin dalam kasus dimana elite desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya
diperuntukkan untuk orang miskin Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanisfestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang
mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga to bargain. Dan juga dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih
miskin. Menurut pendapat Dawam Rahardja dalam Rais, 1995: 146 – 147 mengatakan
ada berbagai macam faktor yang menyebabkan kondisi seorang menjadi miskin, antara lain sebagai berikut:
Pertama, kesempatan kerja. Seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak
memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, miggu, bulan, atau tahun. Hal yang kedua itu sering disebut gejala setengah menganggur
disguised unemployment. Apabila orang yang bersangkutan memperoleh pekerjaan dengan upah atau gaji yang memadai, maka orang tersebut akan terbebas dari
kemiskinan.
Kedua, upah gaji di bawah standar minimum. Seseorang bisa memiliki pekerjaan
tertentu, misalnya di pabrik modern. Tetapi, jika upahnya di bawah standar, sementara pengeluarannya cukup tinggi, maka orang tersebut juga tergolong miskin. Dimana, hal itu
Universitas Sumatera Utara
bisa diatasi dengan meningkatkan tingkat upah, baik atas keputusan perusahaan atau atas ketetapan pemerintah. Di sektor informal, pemerintah tidak punya jangkauan pengaruh.
Bahkan organisasi buruh juga tidak bisa menjangkau ke sektor industri informal tersebut.
Ketiga, produktivitas kerja yang rendah. Lebih dari 60 insiden kemiskinan terdapat di
sektor pertanian. Pada umumnya kemiskinan di sektor ini disebabkan karena produktivitas masih rendah. Pengentasan kemiskinan dapat dengan meningkatnya
produktivitas.
Keempat, ketiadaan aset. Di bidang pertanian, kemisikinan terjadi karena petani tidak
memiliki lahan atau kesempatan untuk mengolah lahan. Disini ada perbedaan antara pemilikan dan penguasaan lahan. Petani yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki
lahan sempit belum tentu miskin, jika ia mempunyai tanah garapan. Hanya saja, dengan menyewa atau menyakap, pendapatan yang diterima tentu lebih kecil dibandingkan
dengan pemilik lahan.
Kelima, diskriminasi. Kemiskinan bisa juga terjadi karena
diskriminasi seks laki – laki dan perempuan. Dimana, hal ini biasanya terjadi pada kaum
perempuan. Banyaknya sterotipe pelabelan negatif baik itu soal jenis pekerjaan, upah, jam kerja, dan sebagainya menyebabkan kaum perempuan berada pada kondisi
kemiskinan. Dampak terburuk dengan adanya diskriminasi seks ataupun ketidaksetaraan gender adalah merosotnya kehidupan dan kualitas kehidupan manusia.
Sulit bagi kita untuk dapat mengidentifikasi dan mengukur segala kerugian akibat ketidaksetaraan gender ini, namun bukti dari dari banyak negara menunjukkan
bahwa masyarakat dengan ketidaksetaraan gender membayarnya dengan kemiskinan yang meluas, kekurangan gizi, beragam penyakit, dan berbagai kerugian lainnya The
Universitas Sumatera Utara
World Bank, 2001 : 73. Namun, pada kenyataannya dapat kita lihat bahwa peranan perempuan, khususnya perempuan yang telah berumahtangga yang bekerja di luar rumah
untuk menambah penghasilan keluarga dapat bisa mengentaskan keluarga rumah tangga dari kondisi kemiskinan Dawam Rahardja dalam Rais, 1995: 152. Berdasarkan studi
Sayogyo 1985 dalam Suyanto Hendrarso, 1996: 79 yang mana menganalisis kedudukan perempuan dalam alokasi kekuasaan dan wewenang dalam rumah tangga
keluarga dan masyarakat luas menemukan beberapa fakta yang seharusnya mempunyai implikasi terhadap kebijaksanaan, yaitu bahwa perempuan yang secara normatif sering
dianggap hanya berperan pada kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti: mengasuh anak, memasak,
mencuci pakaian, dan alat – alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan, dan lain – lain peran domestikreproduktif ternyata mempunyai peranan besar sebagai
pencari nafkah bagi keluarga peran publikproduktif; bahwa perempuan secara normatif sering dianggap mempunyai peranan mutlak dalam rumah tangga tidak sepenuhnya
berperan mutlak. Dari data upah diketahui bahwa penghasilan perempuan per bulan itu rata – rata 56,0 saja dari penghasilan laki – laki. Namun, jika itu merupakan tambahan
bagi penghasilan keluarga rumah tangga, maka penghasilan perempuan istri ikut mengangkat keluarga dari kemiskinan Dawam Rahardja dalam Rais, 1995: 147.
Menurut pendapat Rahma Sugiharti dalam Suyanto Hendrarso, 1996: 47 mengatakan bahwa wanita sesungguhnya merupakan sumber daya ekonomi yang tidak
kalah pentingnya dibandingkan dengan pria. Keberadaan wanita dalam rumah tangga bukan sekedar sebagai pelengkap fungsi reproduksi saja, namun lebih dari itu wanita
Universitas Sumatera Utara
terbukti memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejateraan rumah tangga serta masyarakat.
Menurut Standing 1978 dalam Suyanto Hendrarso, 1996: 48 berpendapat akibat perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi pelan – pelan partisipasi tenaga
kerja wanita tanpa terkecuali wanita yang telah berumahtangga tampak mulai meningkat, wanita dapat dijadikan sumber daya ekonomi yang tidak kalah penting dibandingkan
dengan pria, dan juga dapat memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi rumah tangga keluarga.
Namun, tidak bisa dipungkiri muncul masalah – masalah yang dihadapi wanita yang bekerja di luar rumah sektor publik, khususnya bagi wanita yang telah
berumahtangga dan mempunyai anak. Masalah – masalah tersebut dapat terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan ’peran gender’ antara pria laki – laki dan
perempuan wanita yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial – budaya masyarakat yang bersangkutan.
’Peran gender’ adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh peran kodrati dan dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan
lingkungan Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003 dalam Sudarta, 2007: 5. Peran kodrati merupakan sifat bawaan biologis sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita statis, yaitu: perempuan wanita
diberikan peran kodrati yang dikenal sebutan ’Lima M’ menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dengan air susu ibu, dan monopause. Sedangkan, laki – laki pria
diberikan peran kodrati dengan sebutan ’Satu M’ membuahi sel telur wanita Arjani,
Universitas Sumatera Utara
2002 dan Agung Aryani, 2002 dalam Sudarta, 2007: 5. ’Peran gender’ juga dapat berubah dari masa ke masa dikarenakan pengaruh kemajuan di bidang pendidikan,
teknologi, ekonomi, dan lain – lain dinamis. Hal itu berarti, ’peran gender’ dapat ditukarkan antara pria dan wanita Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi Wanita
Universitas Udayana, 2003 dalam Sudarta, 2007: 5. Menurut Heyser 1991 dalam Suyanto Hendrarso, 1996: 80, ia mendefinisikan ’gender’ is the socially constructed
roles ascribed to men and women, yang artinya adalah ’gender’ merupakan konstruksi sosial dalam hubungan pria dan wanita yang dibentuk oleh masyarakat melalui proses
internalisasi dan sosialisasi dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Contoh – contoh ’peran gender’ berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain yang disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita
Universitas Udayana, 2003 dalam Sudarta, 2007: 6, antara lain sebagai berikut: Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berarti hubungan
keluarga dengan garis pria ayah lebih penting atau diutamakan daripada hubungan keluarga dengan garis wanita ibu.
Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, yang berarti hubungan keluarga dengan garis wanita ibu lebih penting daripada
hubungan keluarga dengan garis pria ayah. Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parentalbilateral, yang berarti
hubungan keluarga dengan garis pria ayah sama pentingnya dengan hubungan keluarga dengan garis wanita ibu.
Universitas Sumatera Utara
Contoh – contoh ’peran gender’ berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat
Studi Wanita Universitas Udayana, 2003 dalam Sudarta, 2007: 6, antara lain sebagai berikut:
Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria, tetapi sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa.
Contoh – contoh ’peran gender’ yang dapat ditukarkan antara pria dan wanita, Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas
Udayana, 2003 dalam Sudarta, : 6, antara lain sebagai berikut: Mengasuh anak, mencuci pakaian, dan lain – lain yang biasanya dilakukan oleh
wanita ibu dapat digantikan oleh pria ayah. Mencangkul, menyembelih ayam, dan lain – lain yang biasa dilakukan oleh pria
ayah dapat digantikan oleh wanita ibu. Menurut Bemmelen 2002 dalam Sudarta, 2007: 6 ada beberapa ’ciri gender’
yang dilekatkan masyarakat pada pria dan wanita, antara lain sebagai berikut: Perempuan memiliki ciri – ciri, yakni: lemah, halus atau lembut, dan emosional.
Laki – laki pria memiliki ciri – ciri, yakni: kuat, kasar, dan rasional. Namun dalam kenyataannya, ada wanita yang kuat, kasar, dan rasional. Begitu juga
sebaliknya ada juga pria yang lemah, lembut, dan emosional Bemmelen, 2002 dalam Sudarta, 2007: 7.
Beberapa status dan peran yang dianggap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita, antara lain sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Perempuan 1.
Ibu rumah tangga 2.
Bukan Pewaris 3.
Urusan rumah tangga sektor domestik Pria
1. Kepala keluargarumah tangga
2. Pewaris
3. Pencari nafkah sektor publik
Namun dalam kenyataannya, banyak juga ditemukan perempuan ikut terjun ke dalam sektor publik untuk mencari nafkah bagi keluarganya bersama – sama dengan laki – laki,
seperti: buruh pabrik, pegawai dalam suatu kantor, dan lain sebagainya Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003
dalam Sudarta, 2007: 7. Ada berbagai masalah – masalah yang dihadapi oleh perempuan wanita,
khususnya bagi wanita yang telah berumahtangga dan mempunyai anak ketika ia memutuskan ikut terjun bekerja di luar rumah sektor publik, antara lain sebagai berikut:
1. Pandangan Masyarakat
Fenomena perempuan bekerja di luar rumah oleh banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat
biasanya mengikuti sepak terjang perempuan bekerja dengan menggunakan ”kaca pembesar” dan langsung menilai pantas atau tidaknya berdasarkan nilai – nilai yang
berlaku konstruksi sosial masyarakat. Baik itu di dunia Timur maupun Barat, perempuan digariskan untuk menjadi istri dan ibu, sehingga menimbulkan stereotype
Universitas Sumatera Utara
pelabelan negatif yang dikenakandiberikan kepada perempuan yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif,
tidak asertif, dan tidak kompeten, terkecuali untuk tugas rumah tangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka suami lebih tinggi dan mempunyai
hak untuk mengendalikan perempuan Chrysanti Hasibuan - Sedyono, 1991 dalam Gardiner, dkk., 1996:218.
Stereotype yang dianggap kodrat telah melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Akibatnya, lahir pembagian kerja secara seksual. Laki-laki mendapat porsi
yang lebih menguntungkan daripada perempuan Arief Budiman,1981 dalam Irvanus Edwin, 2002. Pelabelan negatif stereotipe ini dapat dilihat secara nyata dalam
lingkungan masyarakat Indonesia, misalnya: di lingkungan masyarakat Jawa, dimana perempuan disebut sebagai ’konco wingking’ teman di belakang, bahkan ada pameo
’swargo nunut neroko katut’ ke surga atau ke neraka, istri hanya mengikuti suami. Hal – hal tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas tentu sangat bertolak – belakang
dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier bekerja di luar rumah, seperti: agresif, ambisius, produktif, dan sebagainya. Dari sinilah berawal memunculkan isu bahwa
perempuan bekerja di luar rumah hanyalah sekedar menjalankan pekerjaan do a job dan bukan berkarier make a career tidak seperti laki – laki yang sejak masih anak – anak
telah biasa menerima pertanyaan: ”Kalau besar nanti, kau mau jadi apa?” Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991 dalam Gardiner, dkk., 1996:218.
Nilai – nilai tradisional yang ada dalam masyarakat dapat menjadi tekanan sosial bagi perempuan ketika ia memutuskan bekerja di luar rumah sektor publik,
misalnya: perempuan Jawa dari kalangan bangsawan akan tetap mengingat masak,
Universitas Sumatera Utara
macak, manak memasak, bersolek, dan melahirkan anak sebagai tugas utamanya, dan melewati proses mawas diri dan konflik batin sebelum memutuskan menjadi wanita
karier. Dan juga bila seorang perempuan bekerja di luar rumah sektor publik, sering ia dianggap harus tunduk pada penilaian suami atau orangtuanya tentang apa yang patut dan
apa yang tidak patut dikerjakannya. Proses semacam ini juga dialami oleh perempuan dari kalangan kelas menengah lainnya di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih
mengaitkan kesejahteraan keluarga rumah tangga dengan peranan ibu sebagai ’ratu rumah tangga’ di dalam suatu keluarga Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991 dalam
Gardiner, dkk., 1996: 219.
2. Peran Ganda
Peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan yang bekerja di sektor publik domain public, khususnya bagi perempuan yang telah
berumah tangga berkeluarga dan bahkan setelah dirinya mempunyai anak – anak Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991 dalam Gardiner, dkk., 1996: 220.
Rahma Sugiharti dalam Suyanto Hendrarso, 1996: 49 berpendapat bahwa adanya kecenderungan, setiap kali wanita akan bekerja dan mengembangkan diri serta
kariernya di dunia publik, mereka harus menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa apabila wanita itu ingin mengembangkan karier atau
berkecimpung di dunia publik, mereka dituntut untuk tetap dan selalu tidak melupakan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Dan acap kali terjadi dalam mayarakat kita
bahwa bila dalam keluarga dimana suami – istri bekerja di dunia publik dan terjadi keretakan dalam keluarganyarumah tangganya, maka pada wanitalah segala kesalahan
akan ditimpakan. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa kendati masyarakat telah
Universitas Sumatera Utara
semakin berkembang ke arah masyarakat industri, namun pandangan umum tentang wanita yang bekerja belum disamakan dengan pria.
3. Beban Kerja Ganda Double Bourden
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Dimana konsekuensinya menjadi banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama
untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak.
Bagi kalangan keluarga menengah ke bawah beban yang sangat berat tersebut harus ditanggung oleh perempuan itu sendiri. Terlebih – lebih jika si perempuan tersebut harus
bekerja di sektor publik diluar rumah untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari – hari di dalam keluargarumah
tangganya , maka mau tidak mau dirinya harus memikul beban kerja ganda double bourden itu Fakih, 1996: 21.
Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang
dianggap masyarakat sebagai jenis ’pekerjaan perempuan’, misalnya: semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang
dianggap sebagai ’pekerjaan lelaki’, serta dikategorikan sebagai ’bukan produktif’ sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum
perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak, kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk
Universitas Sumatera Utara
menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Hal – hal inilah yang mengakibatkan memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan
Fakih, 1996: 21 – 22. Ketiga permasalahan tersebut di atas dapat terjadi disebabkan oleh karena masih
adanya nilai – nilai sosial budaya di dalam masyarakat kita yang umumnya belum siap menerima pergeseran nilai perubahan sosok wanita masa kini Rahma Sugihartati dalam
Suyanto Hendrarso, 1996: 49. Untuk itulah, perlu adanya ’konsep sosialisasi androgini androgyny’ yang diterapkan di dalam suatu keluarga untuk dapat mencegah
terjadinya ketidakadilan gender gender inequalities baik bagi kaum laki – laki dan terutama bagi kaum perempuan Megawangi, 1999: 114.
Sosialisasi Androgini Androgyny
Proses sosialisasi untuk pembentukan identitas gender dikembangkan oleh
beberapa psikolog feminis, yaitu dengan memperkenalkan “konsep pendidikan androgini androgyny”. Dimana konsep tersebut cukup marak menjadi bahan diskusi
para feminisme pada 1970 – an. Konsep androgini berasal dari bahasa Latin, yaitu : andro yang berarti pria, dan gyne yang berarti perempuan. Jadi, yang dimaksud dengan
pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Konsep pendidikan androgini berbeda dengan
konsep pendidikan yang konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan berbeda. Bagi para kaum feminis, konsep pendidikan konvensional ini akan
terus melanggengkan perbedaan peran gender Megawangi, 1999: 114. Konsep androgini berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai
potensi yang sama untuk menjadi maskulin atau feminin. Oleh karena itu perlu
Universitas Sumatera Utara
diperlakukan sama. Apabila anak laki-laki dan perempuan menginternalisasi peran – peran yang sama, maka diharapkan tidak ada lagi yang berstereotip gender
Megawangi, 1999: 114. Menurut mereka yang setuju dengan pendidikan androgini, anak-anak yang
dibesarkan secara androgenous akan mempuyai kepribadian yang menguntungkan, karena akan lebih banyak kesempatan dan pilihan yang dimiliki, terutama oleh kaum
wanita. Dalam masyarakat yang lebih menilai tinggi pekerjaan sektor publik daripada sektor domestik pengasuhan anak dan pekejaan rumah tangga; pendidikan androgini
dianggap sebagai cara yang tepat untuk mempersiapkan para wanita agar mampudapat bersaing dengan para pria di sektor publik. Sedangkan para pria yang telah dibesarkan
secara androgenous, mereka juga akan diberi pilihan yang lebih beragam dalam menentukan jenis – jenis pekerjaan yang akan ditekuninya, terutama pada
bidang – bidang yang tadinya didominasi oleh kaum perempuan Megawangi, 1999: 115.
Menurut Letty Cottin P. dalam bukunya ‘Growing Up Free: Raising Your Child in the 80’s’ dalam Megawangi, 1999: 114 – 115 menjelaskan tentang bagaimana para
orang tua dapat menerapkan pendidikan androgini, antara lain: Para orangtua harus menghindari segala komunikasi yang mempunyai sinyal – sinyal
yang berbau gender pada anaknya, seperti : pemberian mainan, baju-baju, dekorasi kamar yang mempunyai stereotip gender.
Kedua orangtua harus bebas dari segala peran – peran berstereotype gender serta harus sama – sama berperan dalam pengasuhan anak, dan dalam pencarian nafkah.
Universitas Sumatera Utara
Menjaga segala kemungkinan yang ada tentang stereotype gender agar jangan masuk ke dalam benak pikiran anak – anaknya , misalnya : pengaruh dari televisi, buku-buku
bacaan, lingkungan, dan sebagainya. Bern 1972 dalam Megawangi, 1999: 114 berpendapat bahwa setiap anak
yang disosialisasikan secara androgenous, akan menghasilkan identitas gender yang berkaitan dengan kualitas feminin. Identitas ini akan menolak segala pendapat yang
mengatakan bahwa difrensiasi kerja berdasarkan gender. Perempuan hanya dapat melakukan pekerjaan tertentu, dan pria melakukan pekerjaan tertentu pula.
Di bawah ini ada beberapa hasil – hasil penelitian yang berkaitan mengenai istri yang ikut terjun di dalam sektor publik bekerja di luar rumah bersama – sama dengan
suaminya, antara lain sebagai berikut: Suatu artikel tentang perempuan bekerja di berbagai negara Asia mengungkapkan
bahwa seorang direktur kredit dan pemasaran dari sebuah perusahaan bermaksud mengirimkan seorang anak buahnya perempuan untuk mengikuti suatu pelatihan
di Singapura, tetapi gagal karena tidak berhasil mendapatkan persetujuan dari suami karyawan tersebut Asian Business, 1993 dalam Gardiner, dkk., 1996:
219. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh seorang Sekjen Badan Pengurus
Pusat Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia terhadap perempuan yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil yang menunjukkan bahwa perempuan
yang bekerja sebagai PNS tersebut yang belum menikah cukup energik, produktif, dan menyukai pekerjaan yang mempunyai tantangan. Tetapi, sifat positif itu
Universitas Sumatera Utara
cenderung berkurang sesudah mereka berkeluarga berumahtangga Infobank, 1999 dalam Gardiner, dkk., 1996: 219.
Hasil penelitian Freudiger 1983 dalam Rini, 28 Mei 2002 yang dimuat dalam ”Journal of Marriage and The Family” tentang ukuran kebahagiaan hidup wanita
yang sudah menikah , ditinjau dari tiga 3 kategori: wanita bekerja, wanita pernah bekerja dan wanita yang belum pernah bekerja, menunjukkan bahwa bagi
para istri dan ibu bekerja, ’kebahagiaan perkawinan’ adalah tetap menjadi hal yang utama, dibandingkan dengan kepuasan kerja.
Studi lain masih menyangkut kebahagiaan kehidupan para ibu yang bekerja yang di sektor publik, yang dilakukan oleh Walters dan McKenry 1985 dalam Rini,
28 Mei 2002 menunjukkan bahwa mereka istriibu cenderung merasa bahagia selama para istriibu yang bekerja tersebut dapat mengintegrasikan kehidupan
keluarga dan kehidupan kerja secara harmonis. Jadi, adanya konflik peran yang dialami oleh istriibu bekerja akan menghambat kepuasan dalam hidupnya.
Perasaan bersalah meninggalkan perannya sementara waktu sebagai ibu rumah tangga yang tersimpan, membuat sang istriibu tersebut tidak dapat menikmati
perannya dalam dunia kerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Jones 1980 dalam
Rini, 28 Mei 2002 terungkap bahwa sikap suami merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan ‘dual – career marriage’. Suami yang merasa
terancam, tersaingi dan cemburu dengan status bekerja istrinya, tidak bisa bersikap toleran terhadap keberadaan istri yang bekerja. Ada pula suami yang
tidak menganggap pekerjaan istri menjadi masalah, selama istrinya tetap dapat
Universitas Sumatera Utara
memenuhi dan melayani kebutuhan suami. Namun ada pula suami yang justru mendukung karir istrinya, dan ikut bekerja sama dalam mengurusi pekerjaan
rumah tangga sehari – hari. Dalam kondisi yang terakhir ini, pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, keluarga
dan karirnya. Penelitian yang dilakukan oleh Scanzoni 1980 dalam Rini, 28 Mei 2002
diungkapkan bahwa perkawinan dual – career dikatakan berhasil jika diantara kedua belah pihak suami dan istri saling memperlakukan pasangannya sebagai
partner yang setara. Pada umumnya, mereka tidak hanya akan berbagi dalam hal income, namun juga berbagi dalam urusan rumah tangga, antara lain dalam hal
merawat, mengurus dan mendidik anak – anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN