POLA KEMITRAAN ANTARA ASOSIASI PENGEMBANGAN INDUSTRI KERAJINAN RAKYAT INDONESIA (APIKRI) DENGAN PENGRAJIN MITRA DI KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA

(1)

SKRIPSI

Disusun oleh :

Wahyudi

2011 022 0038

Program Studi Agribisnis

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

x

partnership pattern between asosiasi pengembangan industri kerajinan rakyat indonesia (apikri) and craftsmen partners in bantul, yogyakarta

Wahyudi

Sutrisno, S.P, M.P/ Dr. Ir. Indardi, M.si Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UMY

ABSTRACT

This research aims to determine the partnership pattern and objective conducted by APIKRI together with the craftsmen partner in Bantul as well as to recognize benefits and constraints obtained by the craftsmen, perception of craftsmen partners towards the pattern and the achieved goals during the partnership process run by APIKRI. The method applied in this research is descriptive analysis by defining respondents based on the census of all craftsmen partners placed in Bantul. In addition, data were collected through interviews and observation which resulted that the partnership pattern conducted by APIKRI is unbound partnership included in the general pattern of trade partnerships with the purpose of supporting the craftsmen in terms of marketing and developing the

craftsmen’s skills in the craft industry. The perceived benefits are in accordance

with craftsmen’ expectation as the beginning of that partnership, except several

obstacles faced by some craftsmen still cannot be resolved.Craftsmen’s perception towards the partnership pattern categorized as good which means that the executed partnership is in accordance with the needs of both parties. Moreover, the

perception of craftsmen to achieve the partnership’s objectives is included in the

unfavorable category which means there are several things that are less useful for the craftsmen partners.


(4)

ix

INDUSTRI KERAJINAN RAKYAT INDONESIA (APIKRI) DENGAN PENGRAJIN MITRA DI KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA. 2011. (Skripsi dibimbing oleh Sutrisno, S.P, M.P dan Dr. Ir. Indardi, M.si). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan tujuan kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI dengan pengrajin mitra di Kabupaten Bantul, manfaat dan kendala yang dirasakan pengrajin mitra selama menjalankan kemitraan, persepsi pengrajin mitra terhadap pola kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI, persepsi pengrajin mitra terhadap tercapainya tujuan kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif. Penentuan responden dilakukan dengan cara sensus yakni terhadap seluruh pengrajin mitra yang berada di Kabupaten Bantul. Data dikumpulkan melalui metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dijalankan APIKRI merupakan kemitraan tidak terikat tang termasuk dalam pola kemitraan dagang umum dengan tujuan membantu pengrajin dalam hal pemasaran dan membantu mengembangkan kemampuan pengrajin didalam usaha kerajinan. Manfaat yang dirasakan sesuai dengan keinginan pengrajin pada saat awal menjalin kemitraan dengan pengrajin, hanya saja beberapa kendala yang dihadapi beberapa pengrajin belum bisa diselesaikan. persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan termasuk dalam kategori baik, yang artinya pola kemitraan yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan kedua belah pihak. persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan termasuk didalam kategori kurang baik, yang artinya ada beberapa hal yang dianggap kurang bermanfaat bagi pengrajin mitra.


(5)

1

terpenting didalam perekonomian suatu negara. Hal tersebut dikarenakan UMKM mampu menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Salah satu faktor penting didalam suatu usaha yaitu sumber daya manusia (SDM). SDM memiliki peranan penting dalam mencapai keberhasilan, karena fasilitas yang canggih dan lengkap belum merupakan jaminan akan berhasilnya suatu usaha tanpa diimbangi oleh kualitas SDM yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. (Indriati, A. 2015)

Seperti halnya UMKM kerajinan yang memiliki sifat usaha padat karya yang memiliki prospek usaha yang baik sehingga memiliki peranan yang penting dalam penyediaan kesempatan usaha, lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, maupun peningkatan ekspor yang akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha kerajinan yang memanfaatkan bahan alam sebagai bahan baku memiliki potensi pasar yang besar untuk produk kerajinan baik untuk pasar lokal maupun ekspor. Selain itu, pada proses produksinya mudah diolah dan dapat dikerjakan dengan teknologi sederhana. Dengan pengembangan usaha kerajinan dapat mengembangkan jiwa kreatif masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya yang tidak produktif, kemudian mengolahnya menjadi produktif dan bernilai jual tinggi, dimana banyak sisa-sisa (limbah) dari kegiatan ekonomi masyarakat yang belum dimanfaatkan, contohnya limbah kayu. Akan tetapi para pengajin masih belum bisa mengoptimalkan proses pemasarannya, sehingga UMKM sulit untuk berkembang. Di berbagai wilayah di Indonesia industri mikro


(6)

dan kecil mengalami perkembangan yang pesat. Banyak muncul kawasan industri kerajinan di berbagai wilayah Indonesia, antara lain Sidoarjo, Cibaduyut (Bandung), Jogjakarta, Magetan serta wilayah-wilayah lainnya di luar Pulau Jawa. Yogyakarta adalah salah satu wilayah yang banyak menghasilkan kerajinan, mulai dari batik, gerabah, kerajinan kayu, perak dan masih banyak lagi.

Istilah ‘kerajinan’ berasal dari sisa-sisa jaman kolonial di Indonesia. Menurut

Efendi dalam Suharto (2001), orang Belanda menyebut ‘kerajinan’ dengan menggunakan kata ‘handycraft’ (Inggris) dengan istilah Belanda ‘kunstnijverheid’ atau seni ‘kerajinan’. Sedangkan kata ‘craft’ dari handycraft (Inggris). Craftsman

(Inggris) berarti ahli atau juru yang memiliki ketrampilan tertentu. Seni kerajinan tergolong seni pakai, selalu dihubungkan pada sifat-sifat seperti kegunaan atau fungsi praktis yang berkaitan dengan bentuknya ataupun seni itu diciptakan hanya sebagai pelengkap keindahan dari sebuah bentuk tertentu (Gie, 1976).

Salah satu faktor yang dapat mendorong pengembangan usaha kecil menengah kerajinan yaitu melalui program kemitraan. Kemitraan menjadi salah satu hal terpenting dalam melancarkan proses pemasaran atau penjualan suatu produk. Hal ini dikarenakan selain menjadi sarana pemasaran atau penjualan suatu produk, kemitraan juga disertai dengan pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling mendukung dan memperkuat serta saling menguntungkan. Program kemitraan juga menjadi salah satu faktor yang dapat mendorong perkembangan usaha kecil menengah khususnya dibidang kerajinan, dan salah satu lembaga yang menjalankan program kemitraan tersebut adalah Asosiasi Pengembangan Industri Kerajianan Rakyat Indonesia (APIKRI).


(7)

Asosiasi Pengembangan Industri Kerajianan Rakyat Indonesia (APIKRI) merupakan salah satu lembaga yang mempelopori gerakan fair-trade melalui penguatan pengrajin mikro kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelembagaannya merupakan kombinasi 2 karakter sekaligus, karakter pemberdayaan masyarakat serta tindakan praktis pemasaran yang bersifat kooperatif dan fair trade. Lembaga ini didirikan sejak tahun 1987 oleh 25 orang pengrajin kecil. Dalam kegiatannya, APIKRI mencoba menuntaskan masalah pengrajin dalam hal pemasaran, produk, keproduksian, mental kewirausahaan, permodalan dan lain-lain melalui kemitraan yang dibangun antara APIKRI dengan pengrajin.

Tabel 1. Jumlah Pengrajin Bantul

No Kabupaten/Kota UMKM Jumlah

Mikro Kecil Menengah

1 Kota Yogyakarta 305 19 3 327

2 Kabupaten Sleman 237 85 10 332

3 Kabupaten Bantul 241 50 11 302

4 Kabupaten Kulonprogo 195 71 13 279

5 Kabupaten Gunungkidul 108 135 17 260

Jumlah 1.086 360 54 1.500

Sumber: Badan Pusat Statistika (BPS)

Berdasarkan dari sumber yang didapatkan yaitu Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah pengrajin yang ada di Bantul sampai pada tahun 2013 berjumlah sebanyak 302 orang. Dari jumlah tersebut, yang sudah menjalin kemitraan dengan APIKRI sebanyak 26 orang.

Konsep kemitraan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk mengembangkan usaha kecil dan mengatasi ketimpangan ekonomi antara usaha skala besar (perusahaan) dengan usaha skala kecil (pengrajin). Adanya kebutuhan yang saling mengisi memungkinkan terciptanya harmonisasi dalam kemitraan yang pada akhirnya akan menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu akan dikaji


(8)

hubungan kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro Kecil kerajinan, yakni kemitraan antara Usaha Mikro Kecil kerajinan dengan APIKRI (Asosiasi Pengembangan Industri Kerajianan Rakyat Indonesia).

Program kemitraan yang telah diterapkan oleh APIKRI kepada pengrajin di Bantul diharapkan akan menjadi program yang bermanfaat untuk mengatasi permasalahan, mengembangkan usaha serta meningkatkan pendapatan bagi seluruh pengrajin mikro kecil di Bantul, Yogyakarta bahkan mungkin bagi seluruh pengrajin di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui pola dan tujuan kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI dengan pengrajin mitra di Kabupaten Bantul.

2. Mengetahui manfaat dan kendala yang dirasakan para pengrajin mitra dalam menjalankan pola kemitraan dengan APIKRI.

3. Mengetahui persepsi pengrajin mitra terhadap pola kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI.

4. Mengetahui persepsi pengrajin mitra terhadap tercapainya tujuan kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI.

C. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian terhadap pola kemitraan APIKRI dengan pengrajin di Kabupaten Bantul, maka penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian ulang untuk APIKRI dalam perbaikan pola kemitraan, sehingga hubungan


(9)

antara APIKRI dengan pengrajin dapat terus berlanjut. Dapat menjadi referensi untuk APIKRI dan pengrajin dalam meminimalisir segala kendala dan meningkatkan manfaat dari pelaksanaan kemitraan. Apabila pola kemitraan dapat memberikan dampak baik dan positif bagi pengrajin, maka diharapkan pola kemitaan tersebut dapat membantu mengatasi permasalahan yang sama pada usaha lainnya. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam sistem kemitraan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.


(10)

6

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Pola Kemitraan

Dalam suasana persaingan yang semakin kompetitif, keberadaan usaha mikro kecil dituntut untuk tetap dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya karena dianggap cukup representatif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini, langkah kerjasama dalam bentuk kemitraan usaha merupakan suatu strategi untuk dapat mengembangkan usaha mikro kecil dan secara moril kerjasama ini sangat diperlukan adanya dukungan yang maksimal dari pihak pengusaha besar melalui paket pembinaan. Namun harus diakui bahwa usaha mikro kecil tidak terlepas dari tantangan dan hambatan baik dari segi permodalan, sumber daya manusia, manajemen, minimnya penguasaan teknologi informasi, iklim berusaha serta dari segi distribusi pemasaran produk yang dihasilkan. Pilihan alternatif pemberdayaan pada usaha mikro kecil adalah melalui konsep mekanisme kerjasama atau keterkaitan dengan perusahaan besar dalam bentuk pola kemitraan usaha.

Pola kemitraan secara umum dapat diartikan sebagai bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Thoby Mutis, kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih manfaat bersama maupun keuntungan bersama sesuai prinsip saling membutuhkan dan saling mengisi sesuai kesepakatan yang muncul. Keinginan dua pihak menjalin suatu kerja sama pada


(11)

prinsipnya didasari atas keinginan masing-masing pihak agar dapat memenuhi kebutuhan usaha satu sama lain.

Kerjasama kemitraan yang dikembangkan di Indonesia umumnya melibatkan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil dengan tujuan untuk menghilangkan kesenjangan dalam berusaha. Pada prinsipnya, kerjasama kemitraan adalah kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha mikro dan kecil berdasar asas saling memperkuat, saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling berkesinambungan. Pelaksanaan hak dan kewajiban yang disepakati oleh kedua pihak mitra dengan penuh kesadaran dan tanguung jawab merupakan syarat pokok berhasilnya suatu kemitraan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940 Tahun 1997, menyebutkan bahwa kemitaan adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra dibidang usaha pertanian. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 944 Tahun 1997 juga menyebutkan bahwa kemitraan usaha merupakan upaya untuk membudidayakan kelompok mitra dalam pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis, bahwa untuk lebih meningkatkan kemitraan usaha perlu dinilai tingkat hubungan kemitraan usaha, sehingga dapat diketahui masalah dan peluang pengembangannya.

Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya kerjasama usaha diantara berbagai pihak yang bersifat sukarela, dilandasi prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Sesuai dengan asassaling menguntungkan, maka pengrajin diharapkan tertutupi kekurangannya serta dapat meningkatkan pendapatannya, sedangkan bagi perusahaan dapat


(12)

mendistribusikan produksinya dengan mudah, sehingga eksistensi keduanya dapat terjaga.

Kemitraan yang berkembang saat ini adalah inti plasma, sub kontrak, perdagangan umum waralaba dan pola-pola lain dimana undang-undang memberi kebebasan bagi usahawan mengadakan hubungan kemitraan yang lebih efisien dan efektif (Hutabarat, 1996). Sedangkan menurut Pranadji (1995), kemitraan yang berkembang saat ini ada tiga, yaitu kemitraan tradisional, pasar, pemerintah, dengan prinsip utama simbiosis mutualisme (saling menguntungkan dan membutuhkan).

Menurut Sumardjo, dkk (2010) dalam bukunya yang berjudul “Teori dan

Praktik Kemitraan Agribisnis” disebutkan bahwa pola kemitraan ada lima, yaitu

pola inti plasma, pola sub kontrak, pola dagang umum, pola keagenan, dan pola kemitraan kerjasama opeasional agribisnis (KOA).

a. Pola Kemitraan Inti Plasma

Pola kemitraan inti plasma merupakan hubungan antara petani, kelompok tani, usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Sementara kelompok mitra bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.

b. Pola Kemitraan Sub Kontrak

Pola kemitraan sub kontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola sub kontrak


(13)

ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu.

c. Pola Kemitraan Dagang Umum

Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut.

d. Pola Kemitraan Keagenan

Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra (perusahaan besar) memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh perusahaan mitra. Sedangkan perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk (barang atau jasa).

e. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA)

Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis (KOA) merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian. Disamping itu, perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan.

Dari teori diatas dapat diketahui bahwa pola kemitraan yang dijalankan APIKRI dengan pengrajin di Kabupaten Bantul adalah pola kemitraan dagang


(14)

umum. Hal tersebut karena dalam kerjasama ini APIKRI berlaku sebagai pihak pemasaran yang mencari dan menjamin pasar atas barang yang akan dihasilkan pengrajin, sedangkan pengrajin bertugas memenuhi pesanan produk yang dipesan oleh pihak APIKRI.

2. Industri Kerajinan

Dalam memenuhi kebutuhannya manusia melakukan pengembangan- pengembangan untuk memudahkan, meringankan, dan menyederhanakan pekerjaannya sekaligus meningkatkan hasilnya. Inilah yang disebut dengan istilah manusia yang bersifat industrial. Istilah industri itu sendiri memiliki beberapa pengertian. Salah satunya industri menurut Soerjono Soekanto (1987:1) adalah

“penerapan cara-cara yang kompleks dan canggih terhadap produksi itu, yang

secara implisit berarti penggunaan mesin-mesin, dipergunakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi”.

Industri yaitu kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi untuk menghasilkan barang yang lebih tinggi nilainya dengan mempergunakan teknologi tertentu. Industri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. UU Perindustrian No 5 Tahun 1984, industri adalah kegiatan ekonomi yang menolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan industri.


(15)

Industri kecil dan kerajinan rumah tangga pada hakekatnya masih bertahan dalam struktur perekonomian Indonesia. Alasan kuat yang mendasari resistensi dari keberadaan industri kecil dan kerajinan rumah tangga dalam perekonomian Indonesia yaitu, pertama: sebagian besar populasi industri kecil dan kerajinan rumah tangga berlokasi di daerah pedesaan dikaitkan dengan tenaga kerja yang semakin meningkat serta luas tanah garapan pertanian yang relatif berkurang, sehingga industri kecil merupakan alternatif jalan keluarnya. Kedua: beberapa jenis kegiatan industri kecil dan kerajinan rumah tangga banyak menggunakan bahan baku dari sumber dilingkungan terdekat, disamping tingkat upah yang murah, biaya produksi dapat (misalnya batik tulis, anyaman, barang ukiran dan sebagainya) juga merupakan aspek pendukung yang kuat (Saleh, 1986).

Kerajinan itu sendiri merupakan hal yang berkaitan dengan buatan tangan atau kegiatan yang berkaitan dengan barang yang dihasilkan melalui keterampilan tangan (kerajinan tangan), kerajinan yang dibuat biasanya terbuat dari berbagai bahan. Dari kerajinan ini menghasilkan hiasan atau benda seni maupun barang pakai. Biasanya istilah ini diterapkan untuk cara tradisional dalam membuat barang-barang. Arti lain dari kerajinan adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus menerus dengan penuh semangat ketekunan, kecekatan, kegigihan, berdedikasi tinggi dan berdaya maju yang luas dalam melakukan suatu karya, (Kadjim 2011:10).

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kerajinan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus yang berkaitan dengan pengubahan


(16)

bahan baku atau bahan mentah menjadi barang atau karya yang memiliki nilai jual tinggi yang biasanya dihasilkan melalui keterampilan tangan buatan tangan. 3. Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai potensi dalam pengembangan industri baik di kawasan ASEAN maupun pasar dunia. Hal tersebut tidak terlepas dari potensi bahan baku di Indonesia yang melimpah. Namun demikian, kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dalam ahli teknologi dan kreativitas masih relatif rendah. Ini berdampak pada perkembangan perindustrian yang cenderung lambat. Salah satu industri yang kontribusinya terhadap perekonomian negara cukup signifikan adalah industri kerajinan.

Industri kerajinan merupakan industri yang potensial dalam peningkatan perekonomian masyarakat melalui perekonomian kreatif. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan yang lebih baik yang dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi, dan pihak swasta agar potensi tersebut dapat dikembangkan lebih maksimal. Beberapa kendala masih menjadi persoalan sehingga beberapa sentra kerajinan yang potensial belum menjadi primadona dalam peningkatan perekonomian daerah. Faktor-faktor yang mendukung pengembangan industri kerajinan tiap-tiap daerah berbeda-beda, oleh karena itu diperlukan pembenahan sehingga faktor-faktor pendukung pengembangan industri kerajinan dapat berperan optimal dengan berbasis pada aspek nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan keterampilan dan kreativitas pengrajin (aspek desain) disamping meningkatkan akses pemasanan produk kerajinan.


(17)

Dimana upaya tersebut dapat terealisasikan dengan adanya suatu asosiasi yang menaunginya.

Dengan adanya asosiasi bukan hanya masalah pemasran yang dapat terselaikan, namun juga dapat meningkatkan pengembangan kemampuan sumber daya manusia dalam hal keterampilan dan kreativitas. Salah satu asosiasi yang ada di Indonesia adalah Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI). Dimana APIKRI membantu pengrajin yang mengalami kesulitan dalam hal pemasaran. Namun disamping membantu melakukan pemasaran, APIKRI juga membnatu pengrajin, terutama pengrajin mikro kecil untuk dapat mengembangkan kemampuannya agar usaha kerajinan yang dijalankan dapat terus berlangsung dan berkembang.

4. Persepsi

Menurut (Mulyana, 2003) persepsi ialah suatu proses dalam mengorganisasikan dan menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh disekitar lingkungan. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi yang berkaitan dengan penyampaian timbal balik (decoding) dalam proses komunikasi.

Dalam penelitian ini persepsi yang dimaksudkan merupakan penilaian atau pandangan terhadap suatu objek, dimana penilaian tersebut akan dilihat dari sudut pandang pengrajin. Persepsi pengrajin akan terbagi menjadi 2, yaitu persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan dan persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan.


(18)

a. Persepsi Pengrajin Terhadap Pola Kemitraan

Persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan merupakan suatu penilaian atau pandangan pengrajin terhadap sistem kemitraan yang dijalankan APIKRI. Persepsi yang terkait dengan kemitraan seperti kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, penentuan harga beli, waktu pembayaran, dan jaminan pasar.

b. Persepsi Pengrajin Terhadap Tercapainya Tujuan Kemitraan

Persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan merupakan suatu penilaian atau pandangan pengrajin terhadap seberapa besar pengaruh kemitraan yang dijalankan APIKRI bagi kemajuan pengrajin yang dilihat dari tujuan kemitraannya. Tujuan kemitraan yang dijalankan APIKRI meliputi capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, pengembangan sumberdaya manusia, konservasi lingkungan, advokasi SME, dan pemberdayaan masyarakat adat.

5. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian sebelumnya dari Artha (2007), mengenai persepsi petani tembakau terhadap perusahaan menyebutkan bahwa persepsi persepsi petani akan baik jika apa yang diterima petani sesuai dengan apa yang diinginkan. Sebaiknya persepsi petani akan buruk jika apa yang diterima petani tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Pengukuran variabel persepsi oleh Artha terdiri dari bimbingan teknis, harga jual, jaminan pasar, dan tingkat kepercayaan. Dari keempat variabel persepsi tersebut dapat diketahui persepsi rata-rata petani terhadap kemitraan perusahaan mendapatkan kategori tinggi untuk PT. BAT dan PT. SAN yang artinya


(19)

bahwa sistem kemitraan yang dijalankan oleh perusahaan sesuai dengan harapan petani.

Arif (2005), menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerja sama antara usaha kecil dalam hal ini petani mitra binaan dan usaha besar yaitu PT. Sadhana Arifnusa yang meliputi pinjaman modal, jaminan harga, bimbingan tehnis dan tanah disertai dengan pembinaan, pengembangan yang berkelanjutan dengan memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan. Secara keseluruhan tingkat partisipasi petani terhadap pola kemitraan dengan PT. Sadhana Arifnusa dapat dikategorikan tinggi. Faktor pendidikan, luas lahan mempunyai pengaruh atau berhubungan nyata dengan partisipasi petani terhadap pola kemitraan pada taraf nyata 10%, tanggungan keluarga berhubungan nyata dengan partisipasi petani pada taraf nyata 5%. Faktor yang tidak mempengaruhi partisipasi petani terhadap pola kemitraan diantaranya usia dan pengalaman.

B. Kerangka Pemikiran

Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) yang dikenal sebagai salah satu promotor fair trade di Indonesia menawarkan diri untuk membantu para pengrajin dalam mengatasi segala permasalahannya dimana para pengrajin di Kabupaten Bantul membutuhkan bantuan tersebut. Dalam kegiatan kerjasama kemitraan terdapat pola kemitraan yang meliputi kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, penentuan harga beli, waktu pembayaran, dan jaminan pasar.

Kemitraan yang baik apabila di dalam kemitraan tersebut akan terjadi keberlanjutan kerjasama. Agar terjalin keberlanjutan didalam kemitraan tersebut,


(20)

harus diperhatikan tanggapan pengrajin apakah kebutuhan mereka sudah terpenuhi dan masalah mereka telah terpecahkan. Untuk itu, perlu dilihat persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan tersebut. Apakah isi dari pola kemitraan sudah dirasa baik oleh pengrajin yang bekerjasama dengan APIKRI.

Terjalinnya kerjasama antara APIKRI dengan pengrajin di Kabupaten Bantul juga memiliki tujuan tersendiri seperti capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, konservasi lingkungan, dan advokasi SME. Dari tujuan tersebut juga akan dilihat persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan, apakah tujuan yang diinginkan didalam kerjasama sudah terpenuhi dengan baik atau belum. Sehingga dapat menjadi bahan evaluasi untuk keberlanjutan kerjasama yang telah terjalin. Disamping itu, kerjasama yang terjalin antara kedua belah pihak juga memiliki kendala dan manfaat tersendiri. Kendala dan manfaat tersebut akan dilihat dari apa yang dirasakan pengrajin atas kemitraan yang selama ini dilakukan. Sehingga dengan diketahui kendala dan manfaat yang terjadi, dapat menjadi bahan perbaikan untuk keberlanjutan kerjasama.


(21)

Bagan 1. Bagan Kerangka Pemikiran Kendala

Profil APIKRI Profil Pengrajin

Pola Kemitraan

Kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, penentuan harga beli, waktu pembayaran, dan jaminan pasar

Tujuan kemitraan  Capacity building

untuk produsen  Fasilitas pasar  Dukungan financial  Konservasi lingkungan  Advokasi SME

Persepsi Pengrajin Terhadap Pola Kemitraan

Persepsi Pengrajin Terhadap Tercapainya Tujuan Kemitraan


(22)

18

III. METODE PENELITIAN A. Metode Pengambilan Data

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu wilayah di Kabupaten Bantul. Kabupaten Bantul dipilih sebagai wilayah penelitian karena sebagian besar pengrajin di kabupaten tersebut telah menjalin kerjasama dengan APIKRI sudah sejak awal berdirinya APIKRI.

Tabel 1. Jumlah Pengrajin Mitra APIKRI

No Kabupaten/Kota Jumlah Pengrajin

1 KotaYogyakarta 19

2 Kabupaten Bantul 26

3 Kabupaten Sleman 8

4 Kabupaten Gunungkidul 13

5 Kabupaten Kulonprogo 4

Jumlah 77

Sumber: Arsip APIKRI

Seluruh pengrajin di Kabupaten Bantul yang bekerjasama dengan APIKRI seluruhnya dijadikan responden dalam penelitian ini (metode sensus) yaitu sebanyak 26 pengrajin.

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil langsung dari pengrajin yang menjadi responden melalui metode wawancara secara langsung dengan menggunakan kuesioner sebagai panduan wawancara. Adapun data yang diambil meliputi profil pengrajin seperti usia, pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan pengalaman usaha. Selain itu, terkait dengan kedala dan manfaat yang dirasakan oleh pengrajin dan APIKRI terhadap program kemitraan.


(23)

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sebelumnya, baik dari APIKRI, pengrajin, dan instansi-instansi yang terkait. Data-data yang diambil dari APIKRI meliputi profil seperti sejarah berdirinya, visi dan misi, jumlah anggota, struktur organisasi, prestasi dan kegiatan APIKRI dengan cara dokumentasi dari data yang sudah tersedia. Selain itu data mengenai pengrajin yang ada di Kabupaten Bantul di ambil dari Badan Pusat Statistika (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Pembatasan Masalah

Pengrajin yang diteliti adalah pengrajin yang sedang bermitra pada saat penelitian berlangsung yang menurut data APIKRI yaitu sebanyak 26 orang pengrajin kerajinan yang berhubungan dengan agribisnis tanpa membedakan waktu atau kapan pengrajin mulai bermitra.

C. Defenisi Operasional Variabel

1. Profil pengrajin merupakan gambaran tentang seseorang dimana disini adalah gambaran dari orang yang bermitra dengan yayasan Asosiasi Pengembangan Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) dan yang berada di Kabupaten Bantul. Masing-masing pengrajin akan dilihat profil berdasarkan beberapa karakteristik yaitu usia, tingkat pendidikan, lama usaha kerajinan, dan lama bermitra.

2. Usia merupakan rentang umur pengrajin yang akan diukur dalam satuan tahun.

3. Tingkat pendidikan merupakan pencapaian pendidikan pengrajin yang akan diukur dengan tingkatan tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.


(24)

4. Lama usaha kerajinan merupakan lamanya pengrajin membuka usaha dibidang kerajinan yang akan diukur dalam satuan tahun.

5. Lama bermitra merupakan lamanya pengrajin bekerjasama yang akan diukur dalam satuan tahun.

6. Tujuan kemitraan merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh APIKRI dalam melakukan kemitraan dengan pengrajin dan tujuan tersebut merupakan suatu kunci untuk keberhasilan atas kemitraan yang dilakukan. Tujuan dari kemitraan tersebut antara lain capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, pengembangan sumberdaya manusia, konservasi lingkungan, advokasi SME dan pemberdayaan masyarakat adat.

7. Kendala kemitraan merupakan keadaan yang membatasi jalannya kemitraan yang memberikan dampak buruk bagi kelangsungan proses transaksi.

8. Manfaat kemitraan merupakan suatu hal positif yang dirasakan pengrajin yang dapat memberikan manfaat dan keuntungan dari kemitraan yang telah dijalankan.

9. Pola kemitraan merupakan hubungan kerjasama yang terjalin antara pengrajin di Kabupaten Bantul dengan APIKRI yang bertujuan meningkatkan pendapatan para pengrajin. Pola kemitraan yang dijalankan oleh APIKRI meliputi kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, harga beli, waktu pembayaran, dan jaminan pasar.

10. Persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan merupakan cara pandang atau penilaian pengrajin terhadap pola kemitraan yang meliputi kontrak


(25)

kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, harga beli, waktu pembayaran dan jaminan pasar.

11. Persepsi kontrak kerjasama merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak atas dasar kepercayaan yang didalamnya mengandung atuan-aturan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku kerjasama, apakah kontrak kerjasama tersebut dirasa sudah adil atau belum. Persepsi kontrak kerjasama akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Adil 2. Kurang Adil 3. Adil

4. Sangat Adil

12. Persepsi modal pinjaman merupakan pandangan atau penilaian pengrajin tentang modal berupa uang yang dipinjamkan oleh APIKRI kepada pengrajin untuk melakukan produksi atas dasar memenuhi pesanan yang diminta oleh APIKRI, apakah modal pinjaman tersebut dirasa sudah bermanfaat bagi pengrajin. Persepsi modal pinjaman akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor : 1. Tidak Bermanfaat 2. Kurang Bermanfaat 3. Bermanfaat


(26)

13. Persepsi hak dan kewajiban merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai suatu hal yang harus menjadi milik kita dan suatu hal yang harus kita lakukan sesuai dengan aturan dan didasari oleh rasa tanggung jawab, apakah hal tersebut dirasa sudah seimbang atau belum bagi pengrajin. Persepsi hak dan kewajiban akan diukur dalam satuan skor yang meliputi: Skor : 1. Tidak Seimbang

2. Kurang Seimbang 3. Seimbang

4. Sangat Seimbang

14. Persepsi bimbingan teknis merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai suatu kegiatan pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan para pengrajin dalam memenuhi keinginan konsumen, apakah pelatihan yang selama ini dirasakan pengrajin sudah baik atau belum. Persepsi bimbingan teknis akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor : 1. Tidak Baik 2. Kurang Baik 3. Baik

4. Sangat Baik

15. Persepsi penentuan harga beli merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai penentuan harga produk yang dihasilkan pengrajin didalam kemitraan, apakah penentuan harga beli yang dibantu oleh APIKRI sudah


(27)

dirasa sesuai atau belum dengan keinginan para pengrajin. Persepsi penentuan harga beli akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor : 1. Selalu Tidak Sesuai 2. Kadang Tidak Sesuai 3. Lebih Sering Sesuai 4. Selalu Sesuai

16. Persepsi waktu pembayaran merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai waktu yang diatur oleh pihak APIKRI dalam melakukan proses pembayaran hasil dari karya pengrajin yang biasanya transaksi pembayaran langsung dilunasi setelah APIKRI menerima barang pesanan dari pengrajin, apakah waktu pembayaran sudah dirasa sesuai atau belum oleh para pengrajin. Persepsi waktu pembayaran akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor : 1. Selalu Tidak Sesuai 2. Kadang Tidak Sesuai 3. Lebih Sering Sesuai 4. Selalu Sesuai

17. Persepsi jaminan pasar merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai janji yang ditawarkan oleh APIKRI kepada pengrajin tentang kepastian pembelian barang pesanan yang telah dihasilkan para pengrajin, apakah jaminan pasar sudah sesuai dengan yang diinginkan para pengrajin. Persepsi jaminan pasar akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:


(28)

Skor : 1. Selalu Tidak Sesuai 2. Kadang Tidak Sesuai 3. Lebih Sering Sesuai 4. Selalu Sesuai

18. Persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan merupakan cara pandang atau penilaian pengrajin terhadap seberapa besar keberhasilan atas tujuan kemitraan yang telah direncanakan oleh APIKRI yang meliputi capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, konservasi lingkungan, dan advokasi SME. Penilaian terhadap tercapainya tujuan kemitraan akan diukur dalam satuan skor.

19. Capacity building untuk produsen, tujuannya agar dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengrajin dalam menghadapi keinginan konsumen. Sehingga pengrajin dapat meningkatkan kualitas produk sesuai dengan keinginan konsumen sehingga tidak kalah dan dapat bersaing dengan hasil produk kerajinan lainnya. Capacity Building untuk prodesen meliputi pengembangan produk (desain), pengembangan keterampilan pemasaran, dan fasilitas teknologi tepat guna.

20. Persepsi pengembangan produk (desain) merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai tingkat kemampuan APIKRI melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengrajin dalam pembaharuan produk. Persepsi pengembangan produk (desain) dibedakan menjadi 2 yaitu berdasarkan kualitas dan kuantitas, yang akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:


(29)

Skor kuantitas : 1. Tidak Membantu

2. Kurang Membantu

3. Membantu

4. Sangat Membantu

Skor kualitas : 1. Tidak Memenuhi Standar 2. Kurang Memenuhi Standar

3. Memenuhi Standar

4. Melebihi Standar

21. Persepsi pengembangan keterampilan pemasaran merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai tingkat kemampuan APIKRI dalam membina pengrajin agar lebih mandiri untuk mengikuti tren pasar, apakah pembinaan mengenai pemasaran sudah dirasa membantu oleh para pengrajin. Persepsi pengembangan keterampilan pemasaran akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor : 1. Tidak membantu 2. Kurang Membantu 3. Membantu

4. Sangat Membantu

22. Persepsi fasilitas teknologi tepat guna merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai tingkat ketersediaan dan kemampuan APIKRI dalam memberikan dan melatih penggunaan teknologi terkini kepada pengrajin untuk mengimbangi permintaan dan meningkatkan kualitas produk, apakah pelatihan teknologi tersebut sudah dirasa membantu atau belum oleh para


(30)

pengrajin. Persepsi fasilitas teknologi tepat guna akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Membantu

2. Kurang Membantu

3. Membantu

4. Sangat Membantu

23. Fasilitas pasar, tujuannya memberikan informasi terkini tentang tren yang sedang terjadi di kalangan masyarakat agar para pengrajin tidak kalah saing dengan pengrajin lain. Fasilitas pasar meliputi informasi pasar, percobaan pasar, dan temu usaha

24. Persepsi informasi pasar merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai kegiatan apikri dalam memberikan informasi kepada pengrajin terkait tren pasar, apakah informasi pasar yang diberikan APIKRI dirasa bermanfaat oleh para pengrajin. Persepsi informasi pasar akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Bermanfaat 2. Kurang Bermanfaat 3. Bermanfaat

4. Sangat Bermanfaat

25. Persepsi percobaan pasar merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai kesediaan APIKRI memberikan kesempatan pengrajin dalam memproduksi produk baru secara mandiri, apakah APIKRI bersedia


(31)

melakukan percobaan pasar bagi pengrajin. Persepsi percobaan pasar akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1.Tidak Bersedia 2. Kurang Bersedia 3. Bersedia

4. Sangat Bersedia

26. Persepsi temu usaha merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai kesediaan APIKRI melakukan pertemuan antara sesama pengrajin untuk dapat saling berbagi kemampuan dan pengalaman dalam bidang kerajinan, apakah APIKRI bersedia melakukan temu usaha dimata pengrajin. Persepsi temu usaha akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Bersedia 2. Kurang Bersedia 3. Bersedia

4. Sangat Bersedia

27. Dukungan financial, tujuannya agar para pengrajin tetap dapat memenuhi pesanan yang diinginkan konsumen walaupun produk pesanan memiliki modal yang sangat besar. Untuk itu, disini APIKRI memberikan pinjaman modal kepada para pengrajin agar dapat memenuhi pesanan dari konsumen. Dukungan finansial meliputi modal pinjaman dan jaminan pada lembaga keuangan.

28. Persepsi bantuan modal kerja merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai dana yang diberikan oleh APIRKI ataupun pihak lain melalui


(32)

tangan APIKRI untuk membantu pengrajin dalam penyediaan atau tambahan modal usaha, apakah bantuan modal kerja dirasa bermanfaat atau tidak bagi pengrajin. Persepsi bantuan modal kerja akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Bermanfaat 2. Kurang Bermanfaat 3. Bermanfaat

4. Sangat Bermanfaat

29. Persepsi jaminan pada lembaga keuangan merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai kesediaan APIKRI dalam menjamin peminjaman modal kepada pihak lain, apakah APIKRI bersedia menjadi jaminan menurut pengrajin. Persepsi jaminan pada lembaga keuangan akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Bersedia 2. Kurang Bersedia 3. Bersedia

4. Sangat Bersedia

30. Konservasi lingkungan, tujuannya agar bahan baku yang digunakan dan berasal dari alam tidak merusak alam itu sendiri. Sehingga perlu dilakukan perbaikan seperti jika bahan baku berupa kayu perlu dilakukan re-planting atau penanaman pohon kembali. Konservasi lingkungan meliputi re-planting (penanaman pohon kembali) dan pengelolaan sampah.


(33)

31. Persepsi re-planting (penanaman pohon kembali) merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai sosialisasi APIKRI terhadap pengrajin guna menjaga kelestarian alam, apakah sosialisasi tersebut dirasa berguna atau tidak bagi pengrajin. Persepsi re-planting (penanaman pohon kembali) akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Berguna 2. Kurang Berguna 3. Berguna

4. Sangat Berguna

32. Persepsi pengelolaan sampah merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai pelatihan pemanfaatan barang bekas yang masih bisa digunakan untuk menghasilkan produk baru, apakah pelatihan tersebut dirasa berguna atau tidak bagio pengrajin. Persepsi pengolahan sampah akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Berguna 2. Kurang Berguna 3. Berguna

4. Sangat Berguna

33. Advokasi SME (Small Medium Enterprises), tujuannya yaitu memecahkan atau mencari solusi atas masalah yang dialami kedua belah pihak didalam kemitraan ataupun proses produksi. Advokasi SME meliputi perbaikan iklim usaha yang berpihak pada usaha kecil dan promosi fair trade.


(34)

34. Persepsi perbaikan iklim usaha yang berpihak pada usaha kecil merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai sikap APIKRI yang selalu berpihak kepada pengrajin kecil, menurut pengrajin apakah APIKRI selalu mendukung pengrajin kecil. Persepsi perbaikan iklim usaha yang berpihak pada usaha kecil akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Mendukung 2. Kurang Mendukung 3. Mendukung

4. Selalu Mendukung

35. Persepsi promosi fair trade merupakan pandangan atau penilaian pengrajin mengenai keterbukaan APIKRI dalam menjalankan kemitraan, menurut pengrajin apakah APIKRI selalu terbuka didalam kemitraan. Persepsi promosi fair trade akan diukur dalam satuan skor yang meliputi:

Skor: 1. Tidak Terbuka 2. Kurang Terbuka 3. Terbuka

4. Sangat Terbuka D. Rencana Analisis Data

1. Pola kemitraan yang terjalin antara pengrajin dengan Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) dianalisis secara deskripsi meliputi latar belakang, kontrak kerjasama, hak dan kewajiban, capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, konservasi lingkungan, dan advokasi SME.


(35)

2. Untuk mengetahui manfaat dan kendala kemitraan dianalisis secara deskripsi dengan melihat pelaksanaan atau realisasi pola kemitraan. Dimana manfaat dan kendala kemitraan yang akan dianalisis dilihat dari pihak pengrajin. 3. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis skor. Persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan dilihat dari 7 indikator yaitu kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, penentuan harga beli, waktu pembayaran dan jaminan pasar. Sebelum mengukur persepsi pengrajin terhadap pola kemkitraan, terlebih dahulu mengukur kategori peritem dengan skor maksimal 4 dan skor minimal 1 dengan perhitungan sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � � = − = = ,

Tabel 2. Kategori Persepsi Pengrajin Terhadap Pola Kemitraan Pada Masing-masing Item

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik Kurang baik

Baik Sangat Baik

1 – 1,75 1,76 – 2,50 2,51 – 3,25 3,26 – 4

Setelah diketahui skor dari masing-masing item perlu dihitung juga persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan secara keseluruhan dengan skor maksimal 28 dan skor minimal 7 dengan perhitungan sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � �


(36)

Tabel 3. Kategori Persepsi Pengrajin Terhadap Pola Kemitraan Secara Keseluruhan

Kategori Kisaran Skor

Tidak Baik Kurang Baik

Baik Sangat Baik

7,00 – 12,25 12,26 – 17,51 17,52 – 22,77 22,78 – 28,00

4. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis skor. Persepsi pengrajin terhadap tingkat keberhasilan kemitraan dilihat dari 5 indikator yaitu capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, konservasi lingkungan, dan advokasi SME. Sebelum mengukur persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan, terlebih dahulu mengukur kategori peritem dengan skor maksimal 4 dan skor minimal 1 dengan perhitungan sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � � = − = = ,

Tabel 4. Kategori Persepsi Pengrajin Terhadap Tingkat Keberhasilan Kemitraan Pada Masing-masing Item

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik Kurang baik

Baik Sangat Baik

1 – 1,75 1,76 – 2,50 2,51 – 3,25 3,26 – 4

Persepsi pengrajin terhadap capacity building untuk produsen. Jumlah item yang digunakan untuk mengukur persepsi pengrajin terhadap capacity building untuk produsen adalah 4 item yaitu pengembangan produk (desain)


(37)

berdasarkan kualitas, pengembangan produk (desain) berdasarkan kuantitas, pengembangan keterampilan pemasaran, dan fasilitas teknologi tepat guna dengan skor maksimal 16 dan skor minimal 4. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap capacity building untuk produsen, setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori dan dihitung dengan perhitungan interval, dengan rumus sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � �

= − = =

Tabel 5. Kategori Persepsi Terhadap Capacity Building Untuk Produsen

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik 4,0 – 7,0

Kurang baik 7,1 – 10,0

Baik 10,1 – 13,0

Sangat Baik 13,1 – 16,0

Persepsi pengrajin terhadap fasilitas pasar. Jumlah item yang digunakan untuk mengukur persepsi pengrajin terhadap fasilitas pasar adalah 3 item yaitu informasi pasar, percobaan pasar, dan temu usaha dengan skor maksimal 12 dan skor minimal 3. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap fasilitas pasar, setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori dan dihitung dengan perhitungan interval, dengan rumus sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � �


(38)

Tabel 6. Kategori Persepsi Terhadap Fasilitas Pasar

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik 3 – 5,25

Kurang baik 5,26 – 7,51

Baik 7,52 – 9,77

Sangat Baik 9,78 – 12

Persepsi pengrajin terhadap dukungan finansial. Jumlah item yang digunakan untuk mengukur persepsi pengrajin terhadap dukungan finansial adalah 2 item yaitu bantuan modal kerja, dan jaminan pada lembaga keuangan dengan skor maksimal 8 dan skor minimal 2. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap dukungan finansial, setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori dan dihitung dengan perhitungan interval, dengan rumus sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � � = − = = ,

Tabel 7. Kategori Persepsi Terhadap Dukungan Finansial

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik 2,0 – 3,5

Kurang baik 3,6 – 5,1

Baik 5,2 – 6,7

Sangat Baik 6,8 – 8,0

Persepsi pengrajin terhadap konservasi lingkungan. Jumlah item yang digunakan untuk mengukur persepsi pengrajin terhadap konservasi lingkungan adalah 2 item yaitu re-planting (penanaman pohon kembali), dan pengelolaan sampah dengan skor maksimal 8 dan skor minimal 2. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap konservasi lingkungan, setelah data dikumpulkan kemudian


(39)

data tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori dan dihitung dengan perhitungan interval, dengan rumus sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � � = − = = ,

Tabel 8. Kategori Persepsi Terhadap Konservasi Lingkungan

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik 2,0 – 3,5

Kurang baik 3,6 – 5,1

Baik 5,2 – 6,7

Sangat Baik 6,8 – 8,0

Persepsi pengrajin terhadap advokasi SME. Jumlah item yang digunakan untuk mengukur persepsi pengrajin terhadap advokasi SME adalah 2 item yaitu promosi fair trade, dan promosi penyelamatan hutan dengan skor maksimal 8 dan skor minimal 2. Untuk mengetahui persepsi pengrajin terhadap advokasi SME, setelah data dikumpulkan kemudian data tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori dan dihitung dengan perhitungan interval, dengan rumus sebagai berikut:

� � �� = � � � − � � � = − = = ,

Tabel 9. Kategori Persepsi Terhadap Advokasi SME

Kategori Kisaran Skor

Tidak baik 2,0 – 3,5

Kurang baik 3,6 – 5,1

Baik 5,2 – 6,7

Sangat Baik 6,8 – 8,0

Setelah diketahui skor dari masing-masing item perlu dihitung juga persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan secara keseluruhan dengan skor maksimal 52 dan skor minimal 13 dengan perhitungan sebagai berikut:


(40)

� � �� = � � � − � � �

= − = = ,

Tabel 10. Kategori Persepsi Pengrajin Terhadap Tercapainya Tujuan Kemitraan Secara Keseluruhan

Kategori Kisaran Skor

Tidak Baik Kurang Baik

Baik Sangat Baik

13,00 – 22,75 22,76 – 32,51 32,52 – 42,27 42,28 – 52,00


(41)

37

Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten dari 5 kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang terletak di Pulau Jawa. Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, 75 desa, dan 933 dusun. Secara astronomi wilayah Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04'' - 08º00'27'' Lintang Selatan dan 110º12'34'' - 110º31'08'' Bujur Timur. Kabupaten Bantul secara administratif memiliki batas-batas wilayah, bagian utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo dan bagian selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia.

B. Luas Wilayah Kabupaten Bantul

Kabupaten Bantul memiliki luas keseluruhan seluas 508,85 km² dan merupakan 15,91% dari seluruh luas wilayah Propinsi DIY. Secara umum Kabupaten Bantul mempunyai topografi datar hingga berombak dengan ketinggian 0-500 m dpl. Secara garis besar berdasarkan keadaan topografinya, Kabupaten Bantul dibagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah barat terdiri dari 6 Kecamatan, wiayah tengah 2 Kecamatan, wilayah selatan 2 Kecamatan, dan wilayah timur 7 Kecamatan.

Wilayah bagian Barat merupakan daerah landai dan daerah berpasir yang terdiri dari kecamatan Kasihan, Sedayu, Pajangan, Srandakan, Sanden dan Pandak. Wilayah bagian tengah merupakan dataran rendah yang terdiri dari Kecamatan Bantul dan Sewon, Wilayah Selatan yang merupakan landai yang terdiri dari


(42)

Kecamatan Kretek dan Bambanglipuro, dan bagian timur yang merupakan daerah perbukitan yang terdiri dari Kecamatan Banguntapan, Dlingo, Imogiri, Piyungan, Jetis, Pleret, dan Pundong. Dalam pembagian wilayah di Kabupaten Bantul untuk setiap potensi yang dimiliki berbeda-beda seperti di wilayah bagian barat lebih di dominasi oleh Industri Kerajinan, sedangkan wilayah tengah di dominasi oleh industri pangan, wilayah selatan masih dominasi oleh industri pangan, dan wilayah bagian timur didominasi oleh industri sandang.

C. Kependudukan Kabupaten Bantul

Data kependudukan Kabupaten Bantul dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia, tingkat pendidikan, dan mata pencarian yang dapat dilihat sebagai berikut.

a. Jenis Kelamin dan Usia

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan usia digunakan untuk mengetahui seberapa banyak jumlah penduduk pria dan wanita berdasarkan usia. Usia pengrajin juga biasanya dapat menentukan produktifitasnya. Semakin matang usia pengrajin, maka cenderung semakin produktif. Hal ini dikarenakan tenaga yang masih relatif kuat dibandingkan dengan pengrajin yang berusia tua. Usia dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu usia muda 0 – 14 tahun, usia matang 15 – 54 tahun, dan usia tua >54 tahun. Data jumlah pengrajin menurut jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada tabel berikut.


(43)

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dan Usia Di Kabupaten Bantul Usia (tahun) Laki-laki Persentase (%) Perempuan Persentase

(%)

0 – 14 108.539 23,64 102.870 22,28

15 – 54 280.175 61,02 278.137 60,23

>54 70.385 15,33 80.797 17,49

Jumlah 459.099 100,00 461.804 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Bantul 2014

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Bantul sebanyak 920.903 jiwa, dengan perbandingan 459.099 jiwa laki-laki dan 461.804 perempuan. Dari jumlah tersebut, penduduk Kabupaten Bantul didominasi 61,02% laki-laki dan 60,03% perempuan berada pada usia dewasa. Dengan persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa usia penduduk Kabupaten Bantul berada pada fase yang masih sangat produktif, sehingga dengan rentang usia tersebut penduduk masih dapat bekerja dengan baik terutama sebagai pengrajin.

b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan penunjang kemajuan dan kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Pendidikan juga mempunyai peranan penting bagi pengrajin, karena dengan pendidikan pengrajin mampu memperoleh pengetahuan baru untuk mengembangkan kegiatan didalam pekerjaannya, terutama industri kerajinan. Secara logika, semakin banyak jumlah penduduk yang berpendidikan, maka semakin tinggi kesejahteraan suatu daerah tersebut.


(44)

Tabel 2. Jumlah Angkatan Kerja Berdasarkan Ijazah Tertinggi Di Kabupaten Bantul

Ijazah tertinggi yang dimiliki

Jumlah penduduk (jiwa)

Persentase (%)

Tidak punya 195.351 25,09

SD 183.672 23,59

SMP/Mts 135.866 17,45

SMU/MA 125.744 16,15

SMK 61.587 7,91

D1/D2 7.318 0,94

D3/Akademi 22.735 2,92

D4/S1 44.380 5,70

S2/S3 1.946 0,25

Jumlah 778.603 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Bantul 2014

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bantu sangan bervariasi. Namun persentase tingkat pendidikan penduduknya masih didominasi oleh pendidikan pada tingkat sekolah dasar (SD) dengan persentase sebanyak 23,59%. Hal ini dapat menjadi salah satu permasalahan yang mungkin akan dihadapi penduduk dalam perkembangan dan kesejahteraan hidup. Karena penduduk akan lambat dalam melakukan penyerapan informasi dan pengetahuan, sehingga akan sulit untuk diterapkan dalam dunia keseharian terutama sebagai pekerja, apalagi pekerja dalam dunia industri kerajinan. Untuk itu, pendidikan penduduk Kabupaten Bantul perlu ditingkatkan agar mampu meningkatkan ilmu dan pengetahuan sehingga kesejahteraan hidup pun akan meningkat.

c. Mata Pencaharian

Mata pencaharian merupakan pekerjaan yang ditekuni seseorang untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.


(45)

Tabel 3. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Lapangan pekerjaan utama Jumlah penduduk

(jiwa)

Persentase (%)

Pertanian 199.010 25,56

Pertambangan dan penggalian 15.416 1,98

Industri 147.545 18,95

Listrik, gas, dan air 545 0,07

Konstruksi 69.139 8,88

Perdagangan 164.752 21,16

Komunikasi/transportasi 36.127 4,64

Keuangan 12.535 1,61

Jasa 131.506 16,89

Lainnya 2.102 0,27

Jumlah 778.603 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Bantul 2014

Dari data diatas dapat dilihat bahwa pekerjaan yang ditekuni oleh penduduk Kabupaten Bantul didominasi oleh pekerjaan dibidang pertanian yaitu sebanyak 25,56% atau sekitar 199.010 jiwa. Sedangkan untuk industri sendiri yang didalamnya termasuk industri kerajinan berada diperingkat ketiga dengan persentase sebanyak 18,95% dengan jumlah penduduk sekitar 147.545 jiwa. Walaupun tidak menjadi pekerjaan yang mendominasi, namun industri tetap menjadi salah satu pekerjaan utama yang menopang kehidupan penduduk Kabupaten Bantul.

D. Industri Kerajinan di Kabupaten Bantul

Secara umum pembangunan sektor industri pengolahan sering mendapat prioritas utama dalam rencana pembangunan daerah di kebanyakan negara berkembang, seperti indonesia. Kebijakan industrialisasi di Indonesia secara garis besar mengakomodasi 2 macam industri, yaitu industri berskala besar dan industri kecil dan kerajinan rakyat. Salah satu daerah yang sangat mendukung


(46)

berkembangnya industri kecil adalah Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Berikut ini adalah data sektor industri kerajinan yang ada di Kabupaten Bantul.

Tabel 4. Banyak Jumlah Usaha Dan Tenaga Kerja Industri Di Kabupaten Bantul Sektor industri Jumlah

usaha

Persentase (%)

Tenaga kerja (jiwa)

Persentase (%)

Pengolahan pangan 6.372 34,83 24.661 30,08

Sandang dan kulit 2.436 13,31 5.915 7,21

Kerajinan umum

(handicraft)

5.089 27,82 22.513 27,46

Kimia dan bahan bangunan

2.616 14,30 26.751 32,62

Logam dan jasa 1.782 9,74 2.158 2,63

Total 18.295 100,00 81.998 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Bantul 2014

Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah usaha industri kerajinan sebanyak 27,82% atau sekitar 5.089 usaha dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 27,46% atau sekitar 22.513 jiwa. Walaupun tidak berapa di peringkat pertama, namun industri kerajinan menjadi salah satu industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Industri kerajinan juga masih unggul dibandingkan dengan beberapa industri lainnya, seperti sandang dan kulit, kimia dan bahan bangunan, serta logam dan jasa.


(47)

43 1. Sejarah APIKRI

APIKRI merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang mempelopori gerakan fair trade melalui penguatan perajin mikro kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak awal didirikan pada 1987, kelembagaan APIKRI bersifat ko-operatif. Didirikan oleh 25 orang terdiri dari 6 aktifis LSM dan 19 perajin mikro. Awalnya APIKRI merupakan singkatan dari asosiasi pemasaran industri kerajinan rakyat indonesia. Tahun 1989 nama APIKRI berubah menjadi asosiasi pengembangan industri kerajinan rakyat indonesia. Perubahan nama ini disebabkan karena masalah yang dihadapi usaha mikro kecil tidak hanya masalah pemasaran, tetapi juga masalah lainnya seperti masalah produk, mental kewirausahaan, permodalan dan lain-lain.

Pada tahun 1990 APIKRI berubah lagi menjadi yayasan pengembangan industri kerajinan rakyat indonesia, yang kemudian dikenal dengan yayasan APIKRI. Kegiatan fasilitasi marketing untuk usaha mikro kecil dilakukan oleh APIKRI inc. Showroom yang diberi nama TPB (Tempat pemasaran bersama). Yang memiliki fungsi yang sama dan sudah didaftarkan ke kementrian koperasi dan UKM dengan nomor registrasi: 247/BH/MENEG.1/XI/2002. Tahun 2008, yayasan APIKRI menetapkan KSU APIKRI sebagai satu-satunya legal formal yang dipakai APIKRI melalui rapat pembina luar biasa dan rapat pembina khusus tanggal 30 agustus


(48)

2008. Sebagai penguatan usaha mikro kecil dilakukan APIKRI melalui 2 pendekatan yaitu:

a. Pendekatan cultural terkait dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan usaha, penguatan daya dukung lingkungan hidup dan bahan baku bagi usha mikro kecil dan berbagai bentuk kegiatan pengembangan masyarakat dan pengembangan pasar.

b. Pendekatan struktural yang bertujuan untuk mendorong perubahan kebijakan yang berfihak bagi penguatan usaha mikro-kecil.

Visi, Misi dan Tujuan APIKRI Visi:

Menjadi lembaga yang menyuarakan gerakan fair trade untuk penguatan masyarakat pengrajin mikro kecil di Indonesia.

Misi:

1. Meningkatkan kemampuan usaha (capacity building) pengrajin mikro 2. Memfasilitasi penemuan pasar bagi pengrajin

3. Menguatkan keberadaan pengrajin mikro dalam dinamika perekonomian nasional

4. Menguatkan keterbukaan dalam perdagangan sebagai sebuah instrumen untuk mencapai demokrasi ekonomi

Tujuan:

1. Terwujudnya masyarakat pengrajin kecil yang dapat berfikir merdeka, mempunyai pendapatan perkapita di atas KFM/KHM yang berlaku dan mempunyai kepedulian terhadap lingkungannya.


(49)

2. Dalam proses perdagangannya dapat bersama-sama secara adil dan mampu menjadi pendorong perekonomian setempat.

3. Dapat berkoalisi dan membuat jaringan antara pengrajin, APIKRI dan masyarakat yang terlibat dalam perdagangan, untuk membangun perekonomian rakyat dalam tataran Regional, Nasional dan Internasional. 4. Terwujudnya jaringan kerjasama antara APIKRI dengan instansi-instansi

pemerintah maupun LSM lainnya.

Pengrajin penerima manfaat APIKRI tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (Klaten, Wonogiri, Pacitan, Secang, Pekalongan dan Banjarnegara). Beberapa pengrajin dan kelompok pengrajin tinggal di desa dan area perkampungan kumuh sebagai implementasi pemberdayaan ekonomi mereka. Selain fasilitas pemasaran, layanan APIKRI berupa capacity building bisnis, pengembangan desain, informasi desain, pembukuan, dukungan keuangan, re-planting dan sebagainya


(50)

Struktur Organisasi

Bagan 1. Struktur Organisasi APIKRI pada tahun 2014

Devisi Keuangan

ADM & Pembukua Devisi Personalia & RT

Personali RT

Pemeliharaan

Kebersihan

Logistik

Keamanan Devisi Riset & Pengembangan

Riset Pengembanga

Perpus Produk Dev.

Pengembangan Masyarakat Pengadaa

ADM

OC Devisi Pemasaran

Pemasara

Pasar

Pasar

Promotion

Direktur Pengurus


(51)

Kepengurusan dalam lembaga APIKRI ini terdiri dari pengurus, pengurus dari struktur organisasi APIKRI terdiri dari Direktur APIKRI, sekretaris, devisi pemasaran, devisi riset dan pengembangan, devisi personalia dan rumah tangga, dan devisi keuangan. pada suatu organisasi atau kelembagaan dibutuhkannya kepengurusan sebagai salah satu fungsi organisasi. Adapun fungsi organisasi dari masing-masing posisi jabatan dalam APIKRI diantaranya sebagai berikut.

a. Pengurus

Melakukan semua fungsi untuk kepengawasan. b. Direktur

Mengorganisir, mengkoordinir dan menjamin kelancaran seluruh aktifitas dan jajaran personalia di lingkungan APIKRI untunk menghasilkan kualitas layanan yang memuaskan bagi konsumen dan produsen mitra kerja APIKRI. semua itu dilakukan untuk menciptakan unit operasional APIKRI sebagai satuan unit bisnis yang menghasilkan profit.

c. Sekretaris

Melaksanakan tugas kesekretariatan dan membantu tugas manajerial Direktur demi kelancaran tugas Direktur untuk kebutuhan jaringan.

d. Divisi pemasaran

Peran divisi pemasaran adalah mengorganisir, mengkoordinir dan menjamin kelancaran seluruh aktivitas di lingkungan pemasaran. Hal ini dimaksud untuk menghasilkan kualitas layanan yang memuaskan konsumen, baik pada pasar fair trade, pasar mainstream maupun untuk promotion, yang kesemuanya untuk menghasilkan profit bagi APIKRI. Selain itu didivisi pemasaran juga ada


(52)

pengadaan untuk barang yang akan dipesan oleh membeli mulai dari administrasi gudang dan packing barang sampai dengan quality control untuk barang yang akan dipesan oleh pembeli.

e. Devisi Riset dan pengembangan

Devisi ini yang konsisten meneruskan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara langsung. Devisi ini terbagi dalam beberapa bagian kecil dengan kapasitas yang berbeda akan tetapi mempunyai hubungan yang erat dalam hal pekerjaan dan tanggung jawab. Bagian-bagian ini antara lain sebagai berikut:

i) Bidang perpustakaan

Tugas utama bidang ini antara lain: Melayani keperluan intern APIKRI, dalam hal ini mendokumentasikan kegiatan (bulanan), mendokumentasikan data tentang pengrajin yang telah dikumpulkan oleh staf bagian pengembangan masayarakat. Menyediakan buku-buku yang dibutuhkan oleh staf-staf APIKRI membuat kliping, mengumpulkan laporan penelitian yang telah dilakukan, mencari dan menyediakan buku-buku yang diperlukan oleh pengrajin, menata buku-buku yang ada dan Melayani keperluan eksternal seperti menyediakan referensi bagi pengrajin, menyediakan katalog-katalog yang dibutuhkan pengrajin.

ii) Bidang produk development dan sampel

Tugas-tugas pokok bidang development dan sampel adalah membuat desain kerajinan yang telah dipesan oleh para buyer untuk dijadikan desain sample bagi para pengrajin, terjun ke lapangan untuk memberikan penjelasan tentang desain sampel yang telah dibuat untuk mempermudah para pengrajin dalam mengerjakan kerajinan yang sesuai dengan pesanan buyer dan mengikuti pendampingan


(53)

dimasyarakat dalam upaya melakukan pemberdayaan masyarakat dibidang sosial dan ekonomi.

iii) Bidang pengembangan masyarakat

Bidang pengembangan masyarakat terdiri dari 2 yaitu tugas lapangan dan tugas kantor, untuk tugas lapangan dalam hal ini dilakukan staf bidang pengembangan yaitu melakukan penelitian untuk mengumpulkan data tentang pengrajin yang dibimbing yayasan APIKRI, mengadakan pendampingan dimasyarakat untuk melaksanakan tujuan pemberdayaan masyarakat dibidang sosial ekonomi yang dilaksanakan yayasan APIKRI, menginformasikan kepada pengrajin tentang barang-barang pesanan dari buyer dan mengantar tamu (buyer luar negeri) ke lapangan. Sedangkan tugas kantor membuat profile pengrajin yang disusun berdasarkan atas hasil penelitian yang telah dilakukan tentang data pengrajin, dan membuat program-program pengembangan baik untuk karyawan APIKRI maupun pengrajin partisipan.

f. Devisi personalia dan rumah tangga

Mengorganisir, mengkoordinir dan menjamin kelacaran seluruh aktifitas internal khususnya jajaran personalia dan kerumah tanggaan di lingkungan APIKRI untuk menghasilkan kwalitas layanan yang memuaskan bagi konsumen dan produsen mitra kerja APIKRI semua ini dilakukan untuk menunjang kelancaran operasionalisasi APIKRI dalam menjaga stabilitas personalia dan kerumahtanggaan.


(54)

g. Divisi keuangan

Tugas utama devisi ini adalah untuk membuat usulan anggara yayasan APIKRI perbulan kepada para kepala devisi, mengawasi keluar masuknya uang seperti gaji karyawan , jam lembur, biaya transportasi, tunjangan jabatan. Devisi ini membawahi dua bidang, antara lain: bidang pembukuan dan bidang administrasi/kasir. Kedua bidang ini mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda.

i) Bidang pembukuan

Mempunyai tugas dan wewenang: membuat laporan-laporan keuangan perbulan.

ii) Bidang administrasi dan kasir

Mempunyai tugas dan wewenang: untuk menerima dan mengeluarkan uang dengan sepengetahuan kepada devisi keuangan seperti gaji karyawan dan

membeli alat kantor atau rumah tangga. B. Profil Pengrajin Mitra APIKRI

Pengrajin yang menjadi objek penelitian ini merupakan pengrajin mikro kecil yang sedang bermitra dengan APIKRI, yaitu sebanyak 26 orang. Profil yang akan dilihat dari pengrajin mikro kecil meliputi: usia, tingkat pendidikan, lama usaha kerajinan, dan lama bermitra. Untuk profil pengrajin APIKRI akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Profil Pengrajin Mitra Berdasarkan Usia

Pengelompokkan pengrajin mitra berdasarkan usia dapat digunakan untuk mengetahui produktifitas pengrajin dalam menjalankan usaha kerajinan. Semakin


(55)

muda usia pengrajin, maka pengrajin tersebut cenderung lebih produktif. Jika suatu usaha yang memiliki tenaga kerja yang lebih produktif, maka diharapkan sebuah usaha akan lebih cepat mengalami kemajuan. Rentang usia pengrajin berkisar 33-40 tahun, 41-48 tahu, 49-56 tahun, 57-65 tahun. Berikut adalah penjelasan untuk usia pengrajin yang bermitra dengan APIKRI.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengrajin Mitra Berdasarkan Usia

Usia (tahun) Jumlah Orang Persentase (%)

33-40 12 46

41-48 10 38

49-56 3 12

57-65 1 4

Jumlah 26 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa usia pengrajin yang bekerjasama dengan APIKRI didominasi oleh usia antara 33-40 tahun, yaitu sebanyak 46% atau sekitar 12 orang. Pada usia tersebut pengrajin termasuk dalam kategori usia yang sangat produktif, sehingga pada usia tersebut para pengrajin bisa bekerja secara maksimal dan mengembangkan kemampuannya dengan baik. Setelah melakukan wawancara dilapangan, ternyata memang rentang usia 33-40 lebih produktif dan teliti dalam melakukan produksi kerajinan. Selain itu keinginan untuk terus belajar dan berkembang masih sangat tinggi serta dapat menambah pengalaman. Namun ada satu orang yang sudah dapat dikatakan memasuki usia yang sudah tidak terlalu produktif yaitu usia 65 tahun. Dalam usia yang sudah tidak terlalu produktif lagi pengrajin masih ikut berpartisipasi dalam kegiatan dengan mengandalkan pengalaman yang sudah didapatkan selama ini. Hal tersebut juga dilakukan untuk menambahan pengetahuan dan pengalaman dalam usaha kerajinan, karena program yang dijalankan APIKRI tidak ada ketentuan atau syarat batasan


(56)

usia. Yang penting sehat dan mempunyai kemauan untuk menjadi mitra APIKRI, hanya saja tidak boleh anak dibawah umur 17 tahun.

2. Profil Pengrajin Mitra Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan akan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk berpikir rasional dan objektif dalam menghadapi masalah. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat kedewasaan seseorang. Lamanya pendidikan seseorang akan berhubungan dengan sikap, perilaku, dan tindakan seseorang. Lebih lama atau tinggi seseorang mendapatkan pendidikan, maka informasi yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dapat diserap lebih baik. Pendidikan formal yang dimaksud adalah pendidikan yang diperoleh dari sekolah mulai dari Sekolah Dasar, SLTP, dan SMA. Berikut adalah penjelasan untuk tingkat pendidikan pengrajin yang bermitra dengan APIKRI.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengrajin Mitra Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Usia (tahun) Jumlah Orang Persentase (%)

SD 2 8

SMP/MTS 9 35

SMA/SMK 10 38

S1 5 19

Jumlah 26 100

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan pengrajin yang bekerjasama dengan APIKRI tergolong baik. Hal tersebut dikarenakan 38% atau sekitar 10 orang pengrajin mampu menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat SMA/SMK. Hal ini berpengaruh pada tingkat penguasaan teknologi, termasuk komputer dan internet agar pengrajin juga akan mudah mengakses informasi dari luar. Selain itu, pengrajin juga dapat menguasai teknologi terkini mengenai keproduksian seperti penggunaan alat-alat canggih agar hasil produk


(57)

kerajinan yang dihasilkan dapat bersaing dengan produk pengrajin lain. Namun pada saat dilapangan, tingkat pendidikan pendidikan yang ditempuh pengrajin tidak menentukan tingkatan kemampuan mereka. Pengrajin membuktikan bahwa yang terpenting adalah kemauan dan rasa ingin terus belajarlah yang membuat kemampuan pengrajin dapat meningkat dalam segala hal. Ada pengrajin yang mendapatkan komputer dari APIKRI, sehingga pengrajin memaksakan dirinya untuk belajar tentang menggunakan komputer serta pemasaran online, dan sekarang pengrajin tersebut memiliki pasar ekspor sendiri hasil dari pembelajarannya tersebut. Beberapa pengrajin juga mendapatkan beberapa peralatan yang penggunaannya dibantu oleh APIKRI sehingga pengrajin mampu menguasai penggunaan alat tersebut yang membuat produk yang dihasilkan pengrajin menjadi lebih baik dan berkualitas.

3. Profil Pengrajin Mitra Berdasarkan Lama Usaha Kerajinan

Baik buruknya produk kerajinan yang dihasilkan seseorang terkadang dapat dilihat dari seberapa orang tersebut telah menekuni usaha kerajinan. Begitu pula pengrajin yang bekerjasama dengan APIKRI, ada yang sudah sangat lama menekuni bidang kerajinan dan ada yang baru saja tertarik untuk membuka usaha kerajinan. Berikut adalah penjelasan untuk data lamanya pengrajin dalam menjalankan jusaha kerajinan.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengrajin Mitra Berdasarkan Lama Usaha Kerajinan Lama Usaha Kerajinan (tahun) Jumlah Orang Persentase (%)

6 – 10,5 7 27

11,5 – 16 9 35

17 – 21,5 5 19

22,5 – 27 5 19


(58)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar pengrajin sudah lama menekuni usaha kerajinan. Hal tersebut dapat diketahui dari 35% atau sekitar 10 sudah menjalankan usaha kerajinan sekitar 11,5-16 tahun. Dengan begitu, diharapkan pengalaman pengrajin dalam menghasilkan produk kerajinan sudah sangat baik karena sudah mempunyai pengalaman yang cukup lama. Sehingga APIKRI tidak perlu khawatir dengan produk yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan APIKRI tidak perlu banyak melatih pengrajin dalam menghasilkan produk kerajinan. Ini selaras dengan keadaan dilapangan, dimana banyak pengrajin baru yang tidak bertahan lama menjalani usaha kerajinan dengan alasan yang berbeda-beda. Pengrajin yang bertahan disini adalah pengrajin yang kebanyakan mempunyai kemampuan lebih dibidang kerajinan tangan dan memiliki keinginan yang kuat.

4. Profil Pengrajin Mitra Berdasarkan Lama Bermitra

Keseriusan pengrajin dalam bermita dengan APIKRI dapat dilihat dari seberapa lama mereka menjalin kemitraan. Rentang waktu pengrajin dalam bermitra dengan APIKRI berbeda-beda. Ada yang sudah lama sekali, bahkan semenjak awal berdirinya APIKRI dan ada yang baru bergabung beberapa tahun belakangan ini. Berikut adalah penjelasan untuk rentang waktu pengrajin yang bermitra dengan APIKRI.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pengrajin Mitra Berdasarkan Lama Bermitra Lama Usaha Kerajinan (tahun) Jumlah Orang Persentase (%)

4 – 7,5 7 27

8,5 – 12 7 27

13 – 16,5 6 23

17,5 – 21 6 23


(59)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah pengrajin yang sudah lama dan yang baru beberapa tahun terakhir bergabung dengan APIKRI jumlahnya hampir sama. Pengrajin mendapatkan informasi tentang kemitraan ini dari internet dan beberapa dari sosialisasi yang dilakukan dibeberapa acara. Permasalahan pengrajin hampir sama, terutama mengalami masalah dalam pemasaran, karena sudah kalah saing dengan pengrajin yang memiliki usaha lebih besar. Ternyata pada saat dilapangan, pengrajin yang bergabung dalam kemitraan mengalami pasang surut dimana ada yang memutuskan untuk tidak bekerjasama lagi dan ada pula pengrajin yang baru bergabung melakukan kerjasama. Hal tersebut dikarenakan ada pengrajin yang merasa sudah dapat berjalan sendiri tanpa bantuan dari APIKRI, ada juga pengrajin yang beralih profesi dengan menjadi pengusaha lain karena tidak sanggup menjalani usaha pada bidang kerajinan. Adapun pengrajin yang belum bergabung merupakan pengrajin baru yang pasarnya masih pasar lokal dan masih kesulitan melakukan pemasaran karena persaingan, sehingga memutuskan untuk bekerjasama dengan harapan dapat membantu pengrajin dalam pemasaran produk mereka.

C. Kemitraan APIKRI Dengan Pengrajin Mitra di Kabupaten Bantul Apikri didedikasikan sebagai organisasi perniagaan berkeadilan (fair trade organization/FTO) yang merupakan kombinasi antara pengembangan masyarakat dan pengembangan pasar bagi usaha mikro kecil. Keberadaan APIKRI dilatari permasalahan kemiskinan kebanyakan masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro kecil. Baik yang disebabkan dari dalam dirinya sendiri (kewirausahaan, pemasaran,


(60)

produksi, modal, manajemen dan lain-lain) maupun hambatan dari luar dirinya (kebijakan, iklim usaha dan sebagainya).

Kemitraan yang terjalin antara Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) dengan pengrajin mitra dalam memproduksi produk kerajinan merupakan perjanjian tidak terikat yang termasuk kedalam golongan pola kemitraan dagang umum. Kemitraan ini tidak mengandung kontrak didalamnya, sehingga tidak mengikat pihak pengrajin mitra yang mana pengrajin mitra tetap bisa memasarkan kerajinannya kepada pihak manapun. Pada pola kemitraan ini, APIKRI berlaku sebagai pihak pemasaran yang mencari dan menjamin pasar atas barang yang akan dihasilkan pengrajin, sedangkan pengrajin bertugas memenuhi pesanan produk yang dipesan oleh pihak APIKRI. Namun selain sebagai pihak pemasaran, APIKRI juga berperan sebagai pihak yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan para pengrajin. Sebenarnya APIKRI sendiri tidak mengerti teori yang mereka gunakan untuk kerjasama tersebut, namun APIKRI menyesuaikan dengan kebutuhan yang telah dikeluhkan oleh pengrajin. Seperti pada awal pendirian APIKRI, temuan masalah dan perhatian pemecahannya terfokus pada masalah pemasaran. Karena banyak pengrajin yang mengeluh dengan pasar yang sudah dikuasai oleh pengrajin-pengrajin yang lebih besar, sehingga pengrajin kecil bingung untuk memasarkan barang hasil produksinya. Sejalan dengan pemecahan masalah pemasaran, permasalahan lain pun muncul seperti masalah keuangan, minimnya kemampuan pengrajin, minimnya ketersediaan alat dan SDM, dan masalah lainnya. Sehingga APIKRI bukan hanya berperan sebagai


(1)

96

pengrajin didalam usaha kerajinan dan akan selalu berusaha untuk mencari jalan untuk mengatasinya. Selain itu, APIKRI juga selalu mengadakan pertemuan rutin untuk memberitahukan kepada pengrajin tengtang apa saja yang terjadi didalam perkembangan usaha kerajinan. Agar pengrajin dapat belajar untuk mengimbangi segala perubahan yang terjadi dengan bantuan dari APIKRI.

Dari ke 5 persepsi diatas, perlu juga diketahui persepsi pengrajin mitra terhadap tercapainya tujuan kemitraan secara keseluruhan agar dapat diketahui apakah tujuan dari kemitraan yang dijalankan sudah dirasa baik atau belum dimata para pengrajin. Berikut adalah distribusi frekuensi perolehan skor persepsi pengrajin mitra APIKRI terhadap tercapainya tujuan kemitraan secara keseluruhan.


(2)

Tabel 26. Distribusi Frekuensi Peolehan Skor Persepsi Pengrajin Mitra Terhadap Tercapainya Tujuan Kemitraan

No Indikator Persepsi Skor Responden Total Skor Responden

Rata-rata Skor

1 2 3 4

1 Capacity Building Untuk Produsen

 Pengembangan Produk (Desain) Berdasarkan Kuantitas

4 7 9 6 69 2,65

 Pengembangan Produk(Desain) Berdasarkan Kualitas

3 9 9 5 68 2,62

 Pengembangan

Keterampilan Pemasaran

5 10 7 4 62 2,38

 Fasilitas Teknologi Tepat Guna

5 10 9 2 60 2,31

2 Fasilitas Pasar

 Informasi Pasar 0 10 11 5 73 2,81

 Percobaan Pasar 6 6 12 2 62 2,38

 Temu Usaha 2 14 9 1 61 2,35

3 Dukungan Finansial

 Bantuan Modal Kerja 4 11 8 3 62 2,38

 Jaminan Pada Lembaga Keuangan

0 10 13 3 71 2,73

4 Konservasi Lingkungan  Re-planting (Penanaman

Pohon Kembali)

7 14 4 1 51 1,96

 Pengelolaan Sampah 3 12 8 3 63 2,42

5 Advokasi SME

 Perbaikan Iklim Usaha Yang Berpihak Pada Usaha Kecil

0 10 10 6 74 2,85

 Promosi Fair Trade 0 13 11 2 67 2,58

Total 843 32,42

Keterangan:

Kisaran Skor Persepsi 13,00 – 22,75 = Tidak Baik Terhadap Tercapainya 22,76 – 32,51 = Kurang Baik Tujuan Kemitraan 32,52 – 42,27 = Baik

Secara Keseluruhan 42,28 – 52,00 = Sangat Baik

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa persepsi pengrajin mitra APIKRI terhadap tercapainya tujuan kemitraan apabila dilihat secara keseluruhan termasuk kategori kurang baik. Hal tersebut dikarenakan beberapa program yang dijalankan


(3)

98

didalam kemitraan tidak semuanya berjalan dengan baik dan dirasa pengrajin kurang memberi pengaruh bagi pengrajin. Pengrajin berharap bahwa APIKRI agar lebih fokus pada pemasaran kerajinan yang belakangan ini semakin berkurang serta dapat memecahkan permasalahan pengrajin agar produknya lebih berkualitas. Indikator yang memiliki skor paling rendah dari persepsi ini adalah indikator

re-planting (penanaman pohon kembali). Hal tersebut dikarenakan tidak semua

pengrajin merasakan manfaat dari program tersebut, sehingga pengrajin jarang mengikuti kegiatan tersebut. Terlebih lagi untuk sekarang ini pengrajin mengatakan sudah tidak pernah mendengar tentang program tersebut, sehingga pengrajin tidak tahu lagi apakah program tersebut masih ada atau tidak.


(4)

99

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pola kemitraan antara Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI) dengan pengrajin mitra di Kabupaten Bantul, analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pola kemitraan yang dijalankan antara APIKRI dengan pengrajin mitra di

Kabupaten Bantul termasuk kedalam pola kemitraan dagang umum, yang mana kemitraan yang dijalankan merupakan kemitraan tidak terikat karena pengrajin tidak memiliki surat perjanjian kontrak yang kerjasamanya dijalankan hanya berdasarkan kepercayaan, saling membutuhkan dan kekeluargaan.

2. Manfaat yang dirasakan pengrajin dari kemitraan yang dilakukan oleh APIKRI meliputi pesanan yang selalu ada, uang muka yang cukup untuk melakukan produksi, adanya hak cipta atas barang kerajinan, mendapatkan informasi pasar, memberikan kesempatan pengrajin untuk menciptakan produk baru, dan mendapatkan pelatihan. Sedangkan kendala yang dirasakan pengrajin meliputi sulit mengimbangi standar APIKRI, pesanan semakin menurun, dan masalah pengrajin yang tidak dapat diselesaikan.

3. Persepsi pengrajin terhadap pola kemitraan yang dijalankan APIKRI dilihat secara keseluruhan dari kontrak kerjasama, modal pinjaman, hak dan kewajiban, bimbingan teknis, penentuan harga beli, waktu pembayaran, dan jaminan pasar termasuk dalam kategori baik.


(5)

100

4. Persepsi pengrajin terhadap tercapainya tujuan kemitraan dilihat secara keseluruhan dari capacity building untuk produsen, fasilitas pasar, dukungan finansial, konservasi lingkungan, dan advokasi SME termasuk dalam kategori kurang baik.

B. Saran

1. Pihak pertama atau APIKRI perlu melakukan tindakan untuk perluasan pasar atas pemesanan barang yang semakin menurun serta melakukan evaluasi terhadap program kemitraan karena beberapa program dianggap kurang bermanfaat bagi pengrajin.

2. Pihak kedua atau pengrajin harus lebih berperan aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh APIKRI, terutama didalam pelatihan karena dengan pelatihan yang deberikan oleh APIKRI dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan para pengrajin.


(6)

Arif. 2005. Kemitraan PT. Shadana Arifnusa Dengan Petani Tembakau Virginia Di Kabupaten Sleman. Skripsi. Fakultas Pertanian, UMY. Yogyakarta.

Artha, D. N. C. 2007. Evaluasi Program Kemitraan Petani Tembakau Virginia Di Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten DIY. Skripsi. Fakultas Pertanian, UMY. Yogyakarta.

Deptan. 1997. SK. Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997. Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian (Online). http://deptan.go.id. Departemen Pertanian. Jakarta. Diakses pada tanggal 15 Januari 2015.

Indriati, A. 2015. Strategi Peningkatan Kualitas Sumbe Daya Manusia Umtuk Meningkatkan Kinerja Usaha Kecil Dan Menengah. Skripsi.IPB. Bogor. Jumpa, B.S. 2014. Pemberdayaan Pengrajin Partisipan Pada Asosiasi Pembangunan

Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI). Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UAJY. Yogyakarta

Latifah, I.N. 2012. Program Kemitraan PT. Saung Mirwan Dengan Petani Edamame. Skripsi. Fakultas Pertanian, UMY. Yogyakarta.

Mulyana, D. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Putri, D.W. 2012. Kemitraan Antara Usaha Kecil Menengah (Ukm) Kerajinan Kayu Dan Kulit Kayu Dengan Perum Perhutani Kph Bogor (Online). http://www.repository.ipb.ac.id diakses pada tanggal 15 Januari 2015. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta.

Bandung.

Sulistiana Ririn, Rahayu Lestari dan K. Rina, Diah. 2005. Analisis Kelayakan Usahatani Jamur Kuping Pola Kemitraan dengan Perusahaan Agro Mandiri di Kecamatan Pakem. Kabupaten Sleman. Agrumy. XIII (I):41-45

Sumardjo dkk. 2010. Teori Dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya, Depok.