khalayak spesifik, iklan-iklan tabloid memiliki kualitas cetak dan warna yang memungkinkan ukuran-ukuran iklan berbeda Lee, 2004:248.
2.1.3 Konstruksi Realitas dan Makna
Iklan merupakan aspek-aspek realitas sosial, tetapi iklan juga menginterpretasikan aspek- aspek tersebut secara tidak jujur. Iklan menjadi cermin yang mendistorsi bentuk-bentuk objek
yang direfleksikannya, tetapi iklan juga menampilkan citra-citra dalam visinya. Iklan juga tidak mengatakan yang sebenarnya Noviani, 2005:54.
Simbolisme dalam iklan, memiliki tiga macam bentuk. Bentuk simbolisme yang pertama adalah citra atau image, yang bias berupa representasi verbal maupun visual. Pencitraan itu
berbentuk verbal seperti misalnya puisi, dan juga bisa berbentuk piktorial atau visual. Namun, iklan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk piktorial dan verbal secara pictorial dan verbal
secara simultan. Istilah citra sendiri sebenarnya bisa mengandung konotasi negative. Hal ini terutama ketika citra diaplikasikan pada appreance yang hanya merupakan manipulasi karakter-
karakter yang dangkal untuk tujuan menginterpretasikan atau, ketika citra itu dianggap menyesatkan karena menyampaikan sesuatu yang bias memperdayakan atau memiliki daya tarik
yang tidak jujur. Bentuk simbolis yang kedua disebut ikon. Ikon sering disamakan dengan aspek piktorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen piktorial atau visualnya
mendominasi pesan secara keseluruhan. Meskipun simbolisme iklan bias diekspresikan dalam bentuk verbal maupun ikonik piktorial, namun iklan modern lebih menyukai bentuk ekspresi
konik. Alasan utamanya karena pencitraan verbal yang sukses membutuhkan tingkat keterampilan bahasa masuk akal dari pembaca maupun pendengar dan tingkat perhatian yang
tinggi pada kehalusan pesan tersebut. Bentuk simbolisme yang ketiga adalah symbol, yaitu tanda
dengan suatu yang bisa dilihat dan keberadaannya mengacu pada sesuatu yang lain. Periklanan modern begitu mengagungkan cara-cara komunikasi melalui citra, symbol, dan ikon, yang
bekerja tidak melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti dan analogi Novianti, 2002:28. Ada beberapa pendapat mengenai sifat realitas sosial yang ditampilkan oleh iklan. Disatu
sisi realitas iklan yang diyakini bersifat represantasional, yang berarti memiliki refrensi atau acuan ada realitas yang dialami oleh masyarakat secara luas. Realitas iklan dianggap sekedar
permainan citra dan makna-makna yang tidak memiliki referensi realitas sosial apapun. Citra itu mengacu pada dirinya sendiri self-referential, dimana pada saat yang sama iklan
mereprentasikan realitas sosial, dan sekaligus menampilkan citra, makna, dan ilusi pada audiens Novianti, 2002:75.
Menurut Baudriilard dalam Novianti, mengemukankan empat fase suksesi hubungan antara citra dengan realitas, yaitu:
1. Citra adalah refleksi realitas; 2. Citra menutupi dan membelokkan realitas;
3. Citra menutupi tidak adanya realitas; 4. Citra tidak memiliki hubungan dengan realitas apapun;
Citra-citra mulai dimunculkan dan diletakkan pada produk yang diiklankan, misalnya keriangan, tanggung jawab sosial, prestise, dan sebagainya. Objek-objek material kemudian
memaikan peran yang semakin penting dalam instruksi sosial dan kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai symbol prestise dan status. Menurut Robet W. Polly, hal menyebabkan fungsi
komunikasi iklan mengalami perubahan. Polly membagi fungsi komunikasi iklan menjadi dua
yaitu informasional dan transformasional. Melalui informasional, iklan memberitahukan kepada konsumen tentang karakteristik produk. Sedangkan melalui fungsi transformasional, iklan
berusaha untuk merubah sikap-sikap yang dimiliki oleh konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan sebagainya Novianti, 2005:25.
Hal ini serupa juga dikemukakan oleh William O’Barr, bahwa iklan itu menghadirkan dua diskursus. Pertama, diskursus primer, yaitu diskursus yang memfokuskan pada kualitas
tertentu dari produk yang diiklankan, dan yang kedua adalah diskursus sekunder yang merupakan gagasan-gagasan tentang hubungan-hubungan yang tertanam dalam iklan. Namun,
para pengiklan dan kreator iklan penyampaian sisi imagistic dari semua produk, merupakan salah satu cara membantu konsumen dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan yang
dibutuhkannya. Mereka beranggapan bahwa simbolisasi produk dalam iklan sebetulnya merupakan sebuah penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh
masyarakat. Artinya, realitas yang dipresentasikan dalam iklan menggunakan pencitraan dan simbolisasi makna, tidak pernah melepas diri dari konteks sosial budaya masyarakat dimana
iklan itu berada. Jadi, apapun strategi periklanan yang ditetapkan, menurut para pengiklan , iklan selalu mengacu pada realitas sosial. Untuk membuat orang tergerak dan terpengaruh untuk
membeli produk yang diiklankan, iklan selalu berusaha untuk menerapkan startegi periklanan yang bisa dimengerti dan mudah dipahami oleh khalyak dengan kata lain, iklan berusaha untuk
berempati dengan target audiencenya, berusaha memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh khalayak tersebut, sehingga iklan sebetulnya adalah cerminan realitas dalam masyarakat
Novianti, 2002:25.
2.1.4 Kebutuhan Kasih Sayang