1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Guru merupakan pilar penting bagi perkembangan peserta didik, terutama bagi mereka yang berkebutuhan khusus seperti para siswa
penyandang tunarungu, tunanetra, tunadaksa, anak berbakat dan lain-lain. Guru menjadi acuan dan sumber informasi bagi mereka. Amanat dalam
UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa, termasuk juga mereka yang berkebutuhan khusus. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-
Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa:
“pendidikan khusus pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosi
onal, mental dan sosial”. Ketetapan undang-undang inilah yang menjadi landasan bagi anak berkebutuhan khusus untuk bisa memperoleh
kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan pengajaran Efendi, 2006.
Namun, masalah yang kerap kali muncul di kalangan Sekolah Luar Biasa SLB adalah kurangnya tenaga pengajar. Kekurangan tenaga
pengajar tersebut menjadi salah satu contoh nyata dari minimnya sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data NUPTK
tahun 2011 dari Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan
Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa, jumlah guru pengajar SLB di Indonesia adalah 16.102 orang. Dari data
tersebut, jumlah guru yang mengajar siswa dan telah sesuai dengan latar belakang pendidikannya sekitar 5.588 34,70, sedangkan yang masih
belum sesuai terdapat sekitar 10.514 65,30. Jumlah guru pengajar tersebut tidak sebanding dengan jumlah siswa yang harus dilayani yaitu
berkisar 75.000 anak PPPPTK-PLB, 2011. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya tenaga pengajar
ini, seperti menurunnya alokasi dana anggaran pendidikan luar biasa sehingga berdampak pada kurangnya fasilitas pendidikan dan rendahnya
pendapatan guru pengajarnya Bernas, 15 Desember 2006. Kurangnya tenaga pengajar yang ada akhirnya membawa Sekolah Luar Biasa
menerima guru pengajar yang tidak memiliki kualifikasi secara khusus untuk mengajar siswanya. Salah satu contoh kasusnya terjadi di Provinsi
Riau. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, yang mengatakan bahwa di tahun 2010 Riau masih kekurangan banyak
guru tamatan Sarjana Pendidikan Luar Biasa PLB, sehingga guru yang mengajar murid SLB saat ini kebanyakan diambil dari non-plb. Dia
menjelaskan akibat kurangnya tenaga pengajar tersebut terpaksa saat ini tenaga pengajar untuk sekolah berkebutuhan khusus seperti Sekolah Luar
Biasa SLB masih didominasi guru tamatan non-plb Antara Riau, 24 September 2010.
Guru sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus ini mempunyai beban yang cukup kompleks.
Efendi 2001 mengungkapkan bahwa seorang guru SLB tidak hanya dituntut untuk mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan
ketrampilan yang sesuai dengan potensi dan karateristik siswanya, melainkan juga harus mampu berperan sebagai terapis, pekerja sosial,
konselor, paramedis dan administrasi. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil penelitian oleh Dalimunthe dalam Herawaty dan Budiharto, 2008 guru
SLB juga dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi dan ketelatenan. Peran dan tugas yang kompleks inilah yang juga dialami oleh guru
non-plb, sebagai guru dituntut untuk bisa berpikir kreatif dalam mengembangkan pengajaran dan sekaligus mendampingi anak selama
proses pembelajaran di sekolah. Di sisi lain, guru non-plb juga dituntut untuk tidak mengabaikan tugasnya sebagai warga sekolah. Tugas dan
peran ini menjadi semakin kompleks karena latar belakang pendidikan guru non-plb yang bukan dari pendidikan luar biasa. Adanya tugas yang
beragam dan latar belakang pendidikan guru non-plb ini berpengaruh pada kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri, baik sebagai guru maupun
warga sekolah. Penyesuaian diri merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam proses belajar mengajar, penyesuaian diri
menjadi salah satu elemen penting yang harus dikuasai oleh guru. Samantaray dalam Anju, 2012 mengungkapkan bahwa ada korelasi yang
positif antara penyesuaian diri guru dan perilakunya terhadap efisiensi
dalam bekerja. Guru yang mampu menyesuaikan diri dengan baik maka akan bekerja secara efisien.
Penyesuaian diri menurut Schneiders 1964 memiliki pengertian sebagai sebuah proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku
dimana seseorang berjuang untuk menguasai kebutuhan dalam diri, frustasi dan konflik, dan juga tingkatan efek harmonisasi antara keinginan
dalam diri dan terhadap hal-hal di lingkungan individu yang membebaninya. Salah satu tugas subjek yang mempengaruhi proses
penyesuaian dirinya adalah kewajiban untuk bisa berkomunikasi dengan siswa di kelas. Pada masa awal mengajar, subjek sempat merasa kesulitan
untuk berkomunikasi dengan para siswa di kelasnya yang memiliki kekurangan dalam pendengaran dan berbicara. Masa awal mengajar yang
dimaksud adalah masa pendampingan dan orientasi bagi guru baru di SLB- B Karnnamanohara. Di masa observasi ini, guru baru akan diminta untuk
mengajar siswa dan akan didampingi oleh guru senior yang bertindak untuk memberikan contoh cara mengajar sekaligus melakukan observasi
terhadap guru baru tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ducheva 2005 mengenai
penyesuaian diri profesional dalam perkembangan karir guru, menemukan bahwa penyesuaian diri guru tersebut mengandung arti tidak hanya
penguasaan terhadap prestasi di bidang tertentu, tetapi juga pembentukan orientasi sosial yang berbasis pada nilai dan orientasi hidup. Dikatakan
pula bahwa proses secara individual tersebut berkaitan dengan kerja tim,
profesionalitas komunitas dan stereotipe. Hal ini juga nampak dalam proses penyesuaian diri yang terjadi pada subjek, dimana rekan guru di
sekolah berpartisipasi sebagai tim kerja dengan memberikan dukungan dan bantuan kepada subjek.
Penelitian dari Anju 2012 mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dalam penyesuaian diri antara guru yang berjenis kelamin
perempuan dan laki-laki serta guru di desa maupun di kota. Hal terpenting adalah bagaimana guru tersebut mengembangkan kemampuan untuk bisa
menyesuaikan diri dengan baik di lingkungannya sehingga bisa dikatakan berhasil dalam mengajar. Penelitian lain mengenai kecemasan bekerja dan
penyesuaian kepribadian guru Shri dan Badri, 2013 menyebutkan bahwa pencapaian tujuan dalam pendidikan akan terwujud ketika guru merasa
nyaman dengan pekerjaannya, tidak merasa cemas dalam bekerja dan memiliki penyesuaian kepribadian yang baik dalam mengajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengungkap bagaimana gambaran penyesuaian diri guru non-plb yang
mengajar siswa tunarungu di SLB-B?. Gambaran ini akan diperoleh melalui hal-hal yang muncul terkait dengan aspek penyesuaian diri dan
faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, peneliti membatasi proses penyesuaian diri dengan periode waktu mengajar guru non-plb yaitu masa
awal mengajar periode 3 bulan pertama dan masa mengajar saat ini kurun waktu setelah masa observasi sampai dengan saat ini yaitu 8 tahun
masa kerja.
B. RUMUSAN MASALAH