Gambaran penyesuaian diri guru Non Pendidikan Luar Biasa (Non PLB) yang mengajar siswa SLB B (tunarungu)

(1)

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI

GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)

YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Elisa Wahyu Dewayanti

069114052

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

i

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI

GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)

YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Elisa Wahyu Dewayanti

069114052

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(3)

ii

SKRIPSI

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI

GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)

YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)

Oleh:

Elisa Wahyu Dewayanti NIM : 069114052

Telah disetujui oleh

Dosen Pembimbing Skripsi:


(4)

iii

SKRIPSI

GAMBARAN PENYESUAIAN DIRI

GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB)

YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)

Dipersiapkan dan ditulis oleh Elisa Wahyu Dewayanti

NIM : 06114052

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 18 Juli 2013

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Panitia Penguji Tanda tangan

1. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si ……….

2. Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. ………. 3. Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si. ……….

Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Dekan,


(5)

iv

...pijakan terkuat dalam hidup manusia adalah DOA

……

karena hidup ini adalah sebuah perjuangan,

maka BERJUANGLAH UNTUK HIDUP!

Hal terpenting dalam hidup bukanlah menghitung

berapa kali kamu terjatuh, tetapi hitunglah berapa kali

kamu mampu bangkit untuk berdiri kembali

…..


(6)

v

Penelitian ini, saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kritus,

Sang pemberi inspirasi……

Keluarga,

pemberi semangat dan doa tiada h

enti……


(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Juli 2013

Penulis

(Elisa Wahyu Dewayanti)


(8)

vii

GURU NON-PENDIDIKAN LUAR BIASA (NON-PLB) YANG MENGAJAR SISWA SLB-B (TUNARUNGU)

Elisa Wahyu Dewayanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri guru non pendidikan luar biasa (non-plb) yang mengajar siswa di Sekolah Luar Biasa bagian B (tunarungu), ditinjau dari periode waktu mengajar yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja). Penyesuaian diri tersebut ditinjau dari aspek pribadi dan sosial dari penyesuaian diri subjek dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses terjadinya penyesuaian diri. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang guru pengajar di SLB-B Karnnamanohara yang berstatus sebagai guru non-plb atau tidak pernah menempuh pendidikan secara formal di jurusan pendidikan luar biasa (plb). Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan menggunakan wawancara semi-terstruktur untuk menggali data dari subjek. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis induktif. Hasil penelitian menunjukkan gambaran penyesuaian diri guru non-plb seperti berikut: (1) di masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama), masih mengalami gejala fisik (munculnya keringat dingin,jantung berdebar), secara psikis (cemas, takut), belum terjalinnya relasi yang dekat dengan rekan kerja, kesulitan berkomunikasi dengan siswa dan pemenuhan tugas yang belum maksimal. Beberapa faktor penghambat dan pendukung muncul selama proses penyesuian diri. Faktor penghambat, seperti latar belakang pendidikan non-plb, tidak terbiasa dengan budaya teguran langsung dan pengawasan selama masa observasi. Faktor pendukung, seperti latar belakang pendidikan psikologi, kemauan untuk belajar, pengetahuan kemampuan diri, keikutsertaan pelatihan, fasilitas sekolah dan informasi dari rekan kerja. Faktor pendukung ini membantu proses penyesuaian diri di masa mengajar saat ini. (2) Di masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja), gambaran penyesuaian diri yang nampak adalah secara fisik sehat dan tidak ada gejala lainnya, secara psikis tidak lagi mengalami ketakutan maupun cemas, relasi yang terjalin dengan rekan kerja juga semakin akrab, komunikasi yang lancar dengan siswa, munculnya dukungan penuh dari keluarga dan pemenuhan tugas sekolah secara maksimal.


(9)

viii

THE DESCRIPTION OF NON-SPECIALIZED TEACHER’S SELF -ADJUSTMENT WHO TEACHES HEARING-IMPAIRED STUDENTS

Elisa Wahyu Dewayanti

ABSTRACT

This research is aimed to find out the image of a deaf school (SLB B) teacher without special education background adjustments, seen from the teaching period, which are the early time (3 month observation) and the present teaching time (8 years of work). Those adjustments are studied from the personal and social aspects and factors that affected the self-adjustments process. Subject in this research is a teacher of Karnnamanohara Deaf School (SLB B), that is a teacher without special education background or never attend any formal education of special education. The research was using a qualitative descriptive and semi-structured interview to gain data/information from the subject. The analysis method is inductive analysis. The research results show that: (1) at the early time in teaching (3 months observation), the teacher still have physical limitation (sweating, fast heart beat), physics limitation (anxiety, frightening), yet close to the intertwining relations co-workers, difficulty communicating with students and fulfillment of tasks is not maximized. Several factors inhibiting and supporting emerging during the process of self-adjustment. Inhibiting factors, such as educational background without special education, was not familiar with the culture of immediate warning and surveillance during the observation period. Supporting factors, such as educational psychology background, willingness to learn, ability to self-knowledge, training participation, school facilities and information from colleagues. Factors supporting this helps the process of adjustment in the present teaching period. (2) In present teaching period (8 years of work), the adjustment of teacher without special education background is physically appear healthy and there are no other symptoms, a psychic no longer experience fear and anxiety, intertwined relationships with co-workers are also more familiar, communication smooth with students, the emergence of the full support of family and school work to the maximum fulfillment.


(10)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Elisa Wahyu Dewayanti

NIM : 069114052

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Gambaran Penyesuaian Diri

Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB) yang Mengajar Siswa SLB-B (Tunarungu)

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media cetak lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal


(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena cinta kasih dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis dengan maksud untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana pada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana berkat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan tulus hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. sebagai Kepala Program Studi Psikologi

2. Bapak Dr.T.Priyo Widiyanto, M.Si. sebagai pembimbing yang dengan segala ketulusan telah memberikan ilmu dan wawasannya kepada penulis. 3. Ibu Aquilina Tantri Arini, S.Psi., M.Si, selaku dosen penguji.

4. Ibu Sylvia Carolina Murtisari, S.Psi., M.Si selaku kepala PSIBK USD yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan mencari literatur tentang tunarungu di PSIBK.

5. Ibu Sri Kumorowati, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

6. Ibu Siti yang telah bersedia menjadi subjek dan mengorbankan waktu untuk penelitian ini.


(12)

xi

7. Keluarga besak PSIBK (Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus) Universitas Sanata Dharma, terimakasih untuk kesempatannya bisa bekerja dan belajar bersama.

8. Keluarga sekretariat Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Giek), matur nuwun atas kesabaran pelayanannya, Berkah Dalem….

9. Crew Laboran Fakultas Psikologi (Mas Doni, Mas Muji), matur nuwun atas bantuan dan obrolannya….

10.Bapak dan Ibu, yang telah begitu banyak membantu doa dan segalanya, terlebih dukungan moral dan peluk ciumnya, matur sembah nuwun Pak Buk...

11.Mas Pur, Mas Guntur, Mas Rinto, Mbak Erna, Mbak Maria, Mbak Agnes dan keluarga besar saya, matur nuwun kagem sedoyo atas bantuan semangat dan doanya…

12.Mas Ignatius Hendriawan, yang sudah hadir dalam segala suasana, terimakasih atas doa, semangat dan waktunya…semoga Tuhan selalu bersama kita dalam proses perjalanan ini ya Mas, amin…

13.Malaikat kecilnya Wikcha *Cita, Ito, Willie, Woodie, Onald, Akbar, Fadil-Fakhri*, karena kalian adalah malaikat penyemangat yang dikirim khusus buat Wikcha, love you all....

14.Rekan-rekan seperjuangan, anak-anak Psikologi USD angkatan 2006 : Jojo, Guntur, Timo, Komenk, Wulan, Sentya, Liza, Arya, Kris, Jina, Bro Pras, dan lainnya…karena Tuhan tidak pernah terlambat teman-teman, percaya dan lakukan!


(13)

xii

15.Sahabat tercinta yang selalu siap menerima cerita : Vichu, Mita, Meme, Ana, Maria, Shinta, Ance, Cepriez Girls (Ellisa *EB, Gita), Thatha, Dhyna dan semua sahabat yang telah membantu memberi semangat dan doa. 16.Berbagai pihak yang turut mendukung dan membantu penulis dari awal

hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat berbagai kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun, penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua yang membaca.

Yogyakarta, Juli 2013

Penulis (Elisa Wahyu Dewayanti)


(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataaan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Lembar Persetujuan Publikasi ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xii

Daftar Lampiran ... xiv

Bab I. Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

Bab II. Landasan Teori ... 8

A. Penyesuaian Diri ... 8

1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 8

2. Aspek – aspek dalam Penyesuaian Diri ... 9


(15)

xiv

4. Kriteria Penyesuaian Diri ... 15

B. Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB) ... 22

C. Siswa Tunarungu (Siswa SLB – B) ... 24

1. Pengertian Tunarungu ... 24

2. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 25

3. Anak Tunarungu sebagai Siswa Sekolah Luar Biasa... 27

D. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu) ...………...………27

E. Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa SLB-B………..28

F. Pertanyaan Penelitian………....28

BAB III. Metode Penelitian ... 29

A. Jenis penelitian ... 29

B. Subjek penelitian ... 30

C. Definisi Variabel Penelitian ... 30

1. Penyesuaian Diri ... 30

2. Guru Non-PLB ... 32

3. Siswa Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu) ... 32

4. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)………...32

D. Metode Pengambilan Data ... 32

E. Metode Analisis Data ... 33

F. Keabsahan Data ... 34

1. Kredibilitas ... 34

2. Dependabilitas ... 36


(16)

xv

4. Objektifitas ... 36

BAB IV. Data Penelitian dan Pembahasan ... 38

A. Deskripsi Subjek Penelitian ... 38

B. Pelaksanaan Penelitian ... C. Kategorisasi Hasil Penelitian ... 43

D. Deskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 44

1. Masa Awal Mengajar ... 44

a. Aspek Pribadi ... 45

b. Aspek Sosial ... 53

c. Tugas Sekolah ... 53

2. Masa Mengajar Saat Ini ... 56

a. Aspek Pribadi ... 56

b. Aspek Sosial ... 62

c. Tugas Sekolah ... 62

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Subjek ... 56

a. Faktor Internal ... 56

1) Faktor Pendukung ... 56

2) Faktor Penghambat ... 56

b. Faktor Eksternal ... 56

1) Faktor Pendukung ... 56

2) Faktor Penghambat ... 56

BAB V. Kesimpulan dan Saran ... 67


(17)

xvi

2. Keterbatasan Penelitian ... 67

3. Saran ... 68

Daftar Pustaka ... 70


(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Kategorisasi Aspek Penyesuaian Diri Subjek………..43 Tabel 2. Tabel Kategorisasi Faktor Penyesuian Diri Subjek…………44


(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR


(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Keterangan Penelitian……….………73 Lampiran 2 : Verbatim dan Koding………...74 Lampiran 3 : Tabel Tema dan Kategorisasi…………...………84


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Guru merupakan pilar penting bagi perkembangan peserta didik, terutama bagi mereka yang berkebutuhan khusus seperti para siswa penyandang tunarungu, tunanetra, tunadaksa, anak berbakat dan lain-lain. Guru menjadi acuan dan sumber informasi bagi mereka. Amanat dalam UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa, termasuk juga mereka yang berkebutuhan khusus. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 ayat 1 yang menyebutkan bahwa: “pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental dan sosial”. Ketetapan undang-undang inilah yang menjadi landasan bagi anak berkebutuhan khusus untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama dalam hal pendidikan dan pengajaran (Efendi, 2006).

Namun, masalah yang kerap kali muncul di kalangan Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah kurangnya tenaga pengajar. Kekurangan tenaga pengajar tersebut menjadi salah satu contoh nyata dari minimnya sarana pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data NUPTK tahun 2011 dari Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan


(22)

Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan Pendidikan Luar Biasa, jumlah guru pengajar SLB di Indonesia adalah 16.102 orang. Dari data tersebut, jumlah guru yang mengajar siswa dan telah sesuai dengan latar belakang pendidikannya sekitar 5.588 (34,70%), sedangkan yang masih belum sesuai terdapat sekitar 10.514 (65,30%). Jumlah guru pengajar tersebut tidak sebanding dengan jumlah siswa yang harus dilayani yaitu berkisar 75.000 anak (PPPPTK-PLB, 2011).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kurangnya tenaga pengajar ini, seperti menurunnya alokasi dana anggaran pendidikan luar biasa sehingga berdampak pada kurangnya fasilitas pendidikan dan rendahnya pendapatan guru pengajarnya (Bernas, 15 Desember 2006). Kurangnya tenaga pengajar yang ada akhirnya membawa Sekolah Luar Biasa menerima guru pengajar yang tidak memiliki kualifikasi secara khusus untuk mengajar siswanya. Salah satu contoh kasusnya terjadi di Provinsi Riau. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, yang mengatakan bahwa di tahun 2010 Riau masih kekurangan banyak guru tamatan Sarjana Pendidikan Luar Biasa (PLB), sehingga guru yang mengajar murid SLB saat ini kebanyakan diambil dari non-plb. Dia menjelaskan akibat kurangnya tenaga pengajar tersebut terpaksa saat ini tenaga pengajar untuk sekolah berkebutuhan khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) masih didominasi guru tamatan non-plb (Antara Riau, 24 September 2010).


(23)

Guru sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus ini mempunyai beban yang cukup kompleks. Efendi (2001) mengungkapkan bahwa seorang guru SLB tidak hanya dituntut untuk mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan potensi dan karateristik siswanya, melainkan juga harus mampu berperan sebagai terapis, pekerja sosial, konselor, paramedis dan administrasi. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil penelitian oleh Dalimunthe (dalam Herawaty dan Budiharto, 2008) guru SLB juga dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi dan ketelatenan.

Peran dan tugas yang kompleks inilah yang juga dialami oleh guru non-plb, sebagai guru dituntut untuk bisa berpikir kreatif dalam mengembangkan pengajaran dan sekaligus mendampingi anak selama proses pembelajaran di sekolah. Di sisi lain, guru non-plb juga dituntut untuk tidak mengabaikan tugasnya sebagai warga sekolah. Tugas dan peran ini menjadi semakin kompleks karena latar belakang pendidikan guru non-plb yang bukan dari pendidikan luar biasa. Adanya tugas yang beragam dan latar belakang pendidikan guru non-plb ini berpengaruh pada kemampuan subjek untuk menyesuaikan diri, baik sebagai guru maupun warga sekolah. Penyesuaian diri merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam proses belajar mengajar, penyesuaian diri menjadi salah satu elemen penting yang harus dikuasai oleh guru. Samantaray (dalam Anju, 2012) mengungkapkan bahwa ada korelasi yang positif antara penyesuaian diri guru dan perilakunya terhadap efisiensi


(24)

dalam bekerja. Guru yang mampu menyesuaikan diri dengan baik maka akan bekerja secara efisien.

Penyesuaian diri menurut Schneiders (1964) memiliki pengertian sebagai sebuah proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku dimana seseorang berjuang untuk menguasai kebutuhan dalam diri, frustasi dan konflik, dan juga tingkatan efek harmonisasi antara keinginan dalam diri dan terhadap hal-hal di lingkungan individu yang membebaninya. Salah satu tugas subjek yang mempengaruhi proses penyesuaian dirinya adalah kewajiban untuk bisa berkomunikasi dengan siswa di kelas. Pada masa awal mengajar, subjek sempat merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan para siswa di kelasnya yang memiliki kekurangan dalam pendengaran dan berbicara. Masa awal mengajar yang dimaksud adalah masa pendampingan dan orientasi bagi guru baru di SLB-B Karnnamanohara. Di masa observasi ini, guru baru akan diminta untuk mengajar siswa dan akan didampingi oleh guru senior yang bertindak untuk memberikan contoh cara mengajar sekaligus melakukan observasi terhadap guru baru tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ducheva (2005) mengenai penyesuaian diri profesional dalam perkembangan karir guru, menemukan bahwa penyesuaian diri guru tersebut mengandung arti tidak hanya penguasaan terhadap prestasi di bidang tertentu, tetapi juga pembentukan orientasi sosial yang berbasis pada nilai dan orientasi hidup. Dikatakan pula bahwa proses secara individual tersebut berkaitan dengan kerja tim,


(25)

profesionalitas komunitas dan stereotipe. Hal ini juga nampak dalam proses penyesuaian diri yang terjadi pada subjek, dimana rekan guru di sekolah berpartisipasi sebagai tim kerja dengan memberikan dukungan dan bantuan kepada subjek.

Penelitian dari Anju (2012) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dalam penyesuaian diri antara guru yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki serta guru di desa maupun di kota. Hal terpenting adalah bagaimana guru tersebut mengembangkan kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik di lingkungannya sehingga bisa dikatakan berhasil dalam mengajar. Penelitian lain mengenai kecemasan bekerja dan penyesuaian kepribadian guru (Shri dan Badri, 2013) menyebutkan bahwa pencapaian tujuan dalam pendidikan akan terwujud ketika guru merasa nyaman dengan pekerjaannya, tidak merasa cemas dalam bekerja dan memiliki penyesuaian kepribadian yang baik dalam mengajar.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengungkap bagaimana gambaran penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa tunarungu di SLB-B?. Gambaran ini akan diperoleh melalui hal-hal yang muncul terkait dengan aspek penyesuaian diri dan faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, peneliti membatasi proses penyesuaian diri dengan periode waktu mengajar guru non-plb yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (kurun waktu setelah masa observasi sampai dengan saat ini yaitu 8 tahun masa kerja).


(26)

B. RUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan permasalahannya

sebagai berikut : “bagaimana gambaran penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa SLB-B (tunarungu) di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa di SLB-B (tunarungu) di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoretis :

Memberikan manfaat bagi psikologi pendidikan luar biasa, yaitu diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan memperluas konsep serta pandangan khususnya dalam hal penyesuaian diri guru pengajar siswa tunarungu di SLB. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana mengenai konsep penyesuaian diri sebagai salah satu bagian penting dalam proses belajar mengajar para guru SLB.


(27)

a. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi sekolah luar biasa mengenai penyesuaian diri guru, khususnya guru yang non-plb. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan tambahan informasi apabila akan mengadakan pelatihan guna mengembangkan kualitas para guru pengajar non-plb yang bekerja di instasi mereka.

b. Bagi guru non-plb pengajar siswa di SLB-B

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi mengenai gambaran penyesuaian diri di masa awal mengajar bagi guru non-plb yang akan mengajar siswa tunarungu di SLB-B.


(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Haber dan Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri seringkali dihubungkan dengan suatu kondisi yang seimbang antara organisme dengan lingkungannya, juga sering dihubungkan dengan proses perubahan seseorang dan atau lingkungan untuk mencapai dan mengatur hubungan yang optimal diantara keduanya. Berdasarkan konsep dari proses penyesuaian, keefektifan penyesuaian diri dapat dihitung dari bagaimana seseorang mengatasi keadaan yang selalu berubah. Oleh karena itu, proses penyesuaian diri akan terjadi terus-menerus dan berlanjut dalam hidup seseorang.

Schneiders (1964) menjelaskan penyesuaian diri sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.


(29)

Penyesuaian diri dijelaskan oleh Lazarus (1961) sebagai sebuah proses yang di dalamnya terdapat interaksi yang kompleks (rumit) antara perilaku, pemikiran dan sistem emosional. Di dalamnya terdapat dinamika komponen kepribadian yang secara berkesinambungan memiliki interaksi dengan perubahan situasi dalam suatu kehidupan.

Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyeimbangkan berbagai komponen dari dalam dirinya sendiri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan sekitar sehingga bisa menciptakan kondisi yang seimbang di antara keduanya.

2. Aspek-aspek dalam Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), aspek penyesuaian diri meliputi:

a. Aspek self knowledge dan self insight, yaitu kemampuan mengenal kelebihan dan kelemahan diri b. Aspek self objective dan self acceptance, lebih

mengarah pada objektivitas dan penerimaan diri

c. Aspek self developmental dan self control, yang mendasari pengembangan diri dengan mengarah pada


(30)

pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku yang sesuai

d. Aspek satisfaction in work, menunjukkan aktivitas kerja merupakan pengalaman yang memuaskan.

Menurut Fromm dan Gilmore (dalam Desmita, 2009) ada empat aspek dalam penyesuaian diri antara lain :

a. Kematangan emosional, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemantapan suasana kehidupan emosional

2) Kemantapan suasana kehidupan kebersamaan dengan orang lain

3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan

4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri

b. Kematangan intelektual, yang mencakup aspek-aspek : 1) Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri

2) Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya

3) Kemampuan mengambil keputusan 4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan c. Kematangan sosial, yang mencakup aspek-aspek :

1) Keterlibatan dalam partisipasi sosial 2) Kesediaan kerjasama


(31)

3) Kemampuan kepemimpinan

4) Sikap toleransi

d. Tanggung jawab, yang mencakup aspek-aspek : 1) Sikap produktif dalam mengembangkan diri

2) Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel

3) Sikap empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal

4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur

Berdasarkan uraian mengenai aspek penyesuaian diri dari tokoh diatas, maka disimpulkan bahwa aspek dalam penyesuaian diri terdiri dari aspek pribadi dan sosial. Aspek pribadi lebih ditekankan pada kemampuan individu untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, aspek yang dimaksud seperti mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, penerimaan diri, memiliki wawasan diri dan mampu mengambil keputusan sendiri.

Aspek sosial dalam hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungannya dengan tetap memperhatikan kenyamanan diri. Adanya keseimbangan diantara keduanya memunculkan kenyamanan dalam bekerja, kemantapan, kesediaan untuk bekerjasama, munculnya sikap toleransi, empati, kerjasama dan adanya keterbukaan dalam mengenal lingkungan.


(32)

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Schneiders (1964) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:

a. Keadaan fisik

Faktor fisik tidak dapat dipisahkan dengan proses penyesuaian diri seseorang. Sistem tubuh ini berkaitan langsung dengan individu, seperti syaraf , kelenjar, otot dan lain-lain. Keadaan fisik secara umum seperti kesehatan dan penyakit juga memiliki kaitan erat dengan proses penyesuaian diri yang terjadi.

b. Perkembangan dan kematangan

Perkembangan dan kematangan setiap individu berbeda-beda. Kematangan disini adalah kematangan secara intelektual, sosial dan emosi. Pola-pola penyesuaian diri individu juga mengalami perubahan seiring dengan tingkat perkembangan dan kematangannya.

c. Faktor psikologis

Faktor psikologis tersebut meliputi pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik. Pengalaman bisa mempengaruhi penyesuaian diri seseorang, ketika pengalaman tersebut bermanfaat


(33)

maka bisa memberikan pengaruh yang positif terhadap proses penyesuaian diri dan begitu pula sebaliknya.

Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada penyesuaian diri. Seseorang bisa mempelajari berbagai pola atau cara untuk menyesuaikan diri dari lingkungannya. Kemampuan penyesuaian diri juga diperoleh dari pelatihan dan pendidikan.

Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau ketrampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian yang efektif. Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang menyediakan nilai, prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap kehidupan yang sehat.

d. Keadaan lingkungan

Manusia tidak dapat dilepaskan dari keterikatan dengan sesamanya. Hal ini juga banyak mempengaruhi proses penyesuaian diri seseorang. Relasi antar manusia membantu terciptanya penyesuaian diri. Lingkungan adalah tempat terpenting bagi perkembangan diri individu.


(34)

e. Faktor kebudayaan

Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan perilaku mereka sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki. Agama juga tidak dapat dipisahkan dari bagian budaya tersebut. Adat dan agama menjadi salah satu bagian penting pada proses penyesuaian diri individu.

Calhoun dan Acocella (dalam Ratna, 2007) menyatakan bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh:

a. Faktor Internal

Faktor internal adalah segala hal yang menyangkut diri individu itu sendiri (pikiran, perasaan, sikap, kondisi fisiologis, nilai, ideologi, pengalaman, determinasi diri, serta kecemasan pribadi) yang dapat mempengaruhi individu dalam menyesuaikan diri.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan segala hal yang berasal dari luar individu yang mampu mempengaruhi proses penyesuaian dirinya. Faktor eksternal ini bisa berupa faktor eksternal-fisik (keadaan fisik di luar individu, seperti cuaca, lingkungan alam, iklim dan sebagainya)


(35)

dan faktor eksternal-sosial (kondisi sosial di lingkungan, seperti norma sosial, budaya dan sebagainya).

Berdasarkan pendapat tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:

a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti faktor kondisi fisiologis, kematangan diri, kondisi psikologis, nilai yang dianut dan berbagai sikap yang muncul.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, baik dari lingkungan tempat bekerja maupun keluarga, seperti budaya lingkungan, norma-norma yang ada dan kondisi sosial yang muncul.

4. Kriteria Penyesuaian Diri

Dalam melakukan proses penyesuaian diri, individu akan berhadapan dengan berbagai hal, baik yang muncul dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan. Tidak hanya hal-hal yang menunjang tercapainya proses penyesuaian diri, tetapi juga hal-hal yang dianggap oleh individu menghambat. Kutev (dalam Ducheva, 2005) menggambarkan bahwa penyesuaian diri guru secara professional meliputi kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan kerja, kemampuan diri secara


(36)

menyeluruh dan penyesuaian terhadap rekan kerja (kerjasama dan komunikasi).

Kriteria penyesuaian diri yang bisa digunakan untuk melihat proses yang terjadi pada individu adalah sebagai berikut:

a. Penyesuaian Diri Positif (Tepat)

Haber dan Runyon (1984) memberikan kriteria penyesuaian diri yang baik dan efektif adalah:

1) Persepsi terhadap realitas yang akurat

Biasanya individu yang mampu mempersepsikan realitas memiliki tujuan hidup realistis yaitu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada di lingkungannya. Individu ini juga mampu memodifikasi tujuan tersebut dan bersedia menerima konsekuensi dari setiap tindakannya.

2) Mampu mengatasi stress dan kecemasan

Penyesuaian diri yang efektif adalah apabila seseorang mampu mengatasi kecemasan dan stress ini dengan cara membuat tujuan hidup. 3) Gambaran diri yang positif

Apabila individu mempersepsikan kelemahan dan kelebihan dirinya sesuai dengan kenyataan dan persepsi orang lain terhadap


(37)

dirinya, maka individu tersebut dapat menerima diri apa adanya. Dengan demikian gambaran dirinya positif. Individu seperti ini dapat menyesuaiakn diri di lingkungan secara lebih efektif.

4) Kemampuan mengekspresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional adalah individu yang mampu merasakan dan mengekspresikan emosinya secara nyata. Selain itu, pelampiasan emosinya tetap dilakukan di bawah kontrol atau dengan kata lain individu tersebut mampu mengendalikan diri ketika sedang mengalami masalah.

5) Hubungan interpersonal yang baik

Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik memiliki tingkat keakraban yang cocok dalam berhubungan sosialnya. Dalam hubungan ini diharapkan kedua belah pihak bisa menjadi produktif sehingga memberikan keuntungan satu sama lain.

Lazarus (1961) mengungkapkan bahwa ada 4 kriteria untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu penyesuaian diri, antara lain:


(38)

1) Nyaman secara psikologis

Seseorang dikatakan mampu menyesuaikan diri dengan baik apabila secara psikologis sudah merasa nyaman, tidak lagi merasa depresi, cemas berlebihan, ketakutan atau bahkan kematian.

2) Efisiensi kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu tempat dimana individu menerapkan proses penyesuaian diri. Kemampuan bekerja dengan efisien juga menjadi penentu berhasil atau tidaknya seseorang di tempat tersebut menyesuaikan diri. Individu yang berhasil menyesuaikan diri tentu akan memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. 3) Gejala fisik

Tubuh manusia juga bisa menjadi salah satu pertanda bagi perkembangan diri. Hal ini juga terjadi pada proses penyesuaian diri, dimana ketika penyesuaian diri seseorang itu baik, maka secara fisik juga sehat.


(39)

4) Penerimaan masyarakat

Penerimaan masyarakat menjadi penting karena individu tinggal di dalam masyarakat itu sendiri. Penyesuaian yang baik akan mendukung terciptanya suasana kemasyarakatan yang baik pula. Individu yang mampu menjadi bagian dari keberhasilan tersebut akan diterima dengan baik oleh lingkungan dan masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Berdasarkan uraian para tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang positif, antara lain:

1) Gejala fisik

Individu bebas dari gejala penyakit tertentu atau dinyatakan sehat. Dalam hal ini, individu tidak mengalami gangguan kesehatan seperti penyakit yang bisa mengancam keselamatan dan mengganggu proses penyesuaian diri.

2) Penerimaan sosial


(40)

Adanya relasi yang akrab dan saling menguntungkan diantara individu dengan lingkungan tempatnya berada.

b) Penerimaan masyarakat

Individu yang mampu menjalin relasi dengan baik dan turut serta dalam bagian dari lingkungannya, maka akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat.

3) Kepuasan psikis

Individu merasakan nyaman secara psikologis dengan kemampuannya mengatasi kecemasan dan ketakutan serta mampu mengekspresikan emosinya secara nyata.

4) Pengetahuan diri

a) Memiliki persepsi terhadap realitas yang akurat

Individu mempersepsikan realitas tersebut dengan memiliki tujuan hidup yang disesuaikan dengan kemampuan serta kesempatan yang ada.

b) Memiliki gambaran diri yang positif

Individu yang menyesuaikan diri dengan baik mengetahui kelebihan dan kelemahan


(41)

dirinya sesuai dengan kenyataan dan persepsi orang lain terhadap dirinya.

b. Penyesuaian Diri Negatif (Tidak Tepat)

Ketika seseorang tidak berhasil melakukan penyesuaian diri, maka biasanya individu tersebut akan terdorong untuk melakukan penyesuaian diri secara negatif (tidak tepat).

Menurut Schneiders (1964) ciri-ciri individu yang penyesuaian dirinya terhambat yaitu :

1) Tidak dapat menahan diri dari emosi yang berlebihan, cenderung kaku dan tidak fleksibel dalam berhubungan dengan orang lain

2) Mengalami kesulitan untuk bangkit kembali setelah mengalami masalah yang berat

3) Tidak mampu mengatur dan menentukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan yang sesuai dengan lingkungan, baik di dalam pikiran maupun sikapnya

4) Individu lebih terpaku pada aturan yang diterapkan oleh orang lain yang belum tentu cocok dengan dirinya


(42)

5) Kurang realitas dalam memandang dan menerima dirinya, serta memiliki tuntutan yang melebihi kemampuan dirinya.

Menurut Lazarus (1961), penyesuaian diri yang buruk atau tidak sehat terjadi ketika seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Dari uraian Schneider dan Lazarus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria penyesuaian diri yang tidak sehat antara lain:

1) Ketika individu tidak bisa menerima realitas atau kenyataan yang terjadi dalam hidupnya 2) Mengalami kesulitan untuk bisa mengatasi

hambatan yang muncul

3) Tidak berusaha menyelesaikan masalahnya 4) Individu tidak mampu menahan emosinya 5) Kaku dan tidak fleksibel ketika melakukan relasi

dengan lingkungan.

B. Guru Non-Pendidikan Luar Biasa (Non-PLB)

Guru non-pendidikan luar biasa (non-plb) adalah guru pengajar di Sekolah Luar Biasa yang tidak menempuh pendidikan secara formal di


(43)

jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa. Latar belakang pendidikan guru tersebut biasanya di luar program studi Pendidikan Luar Biasa, seperti lulusan jenjang SMA/SMK, Diploma dan Sarjana dengan jurusan di luar PLB (seperti Psikologi, Sejarah, PGSD, dan lain-lain).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, pasal 20 menyatakan bahwa tenaga pendidik di lingkungan pendidikan luar biasa merupakan tenaga pendidik yang memiliki kualifikasi khusus sebagai guru pendidikan luar biasa (Universitas Sam Ratulangi, 2009). Hal ini tentu menjadi pertimbangan tersediri mengingat data yang ada menunjukkan bahwa tenaga pendidik atau guru SLB masih kurang. Oleh karena itu, sekolah menerima tenaga pendidik yang secara khusus tidak memiliki kualifikasi yang dimaksud. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dr. Dadang Rahman, bahwa masih ada banyak kekurangan tenaga guru slb di wilayahnya dan akhirnya menutup kekurangan tersebut dengan menerima guru sukarelawan yang berijazah SMA, bukan dari PLB (Radjiman, 2013).

Peran guru di SLB menjadi berbeda karena mereka melayani anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam hal ini, termasuk para guru yang berstatus non-plb tersebut. Prinsip yang harus dikembangkan dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus antara kasih sayang, layanan secara individual, motivasi, kesiapan, keperagaan, belajar dan bekerja kelompok, ketrampilan, penanaman dan penyempurnaan sikap (Efendi, 2006). Selain


(44)

prinsip tersebut, dibutuhkan kemauan yang keras pada diri guru dalam menjalani pekerjaannya (Herawaty & Budiharto, 2008). Hal ini juga berlaku bagi mereka yang berlatar belakang pendidikan non-plb.

C. Siswa Tunarungu (Siswa SLB-B)

1. Pengertian Tunarungu

Jika dalam proses mendengar, terdapat satu atau lebih organ telinga yang mengalami gangguan atau kerusakan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik maka keadaan tersebut dikenal dengan berkelainan pendengaran atau tunarungu. Kerusakan pada organ telinga tersebut bisa disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau sebab lain yang tidak diketahui (Efendi, 2006).

Menurut Slavin (2003), anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan berat, dan 91 ke atas dikatakan tuli.

Sudjadi (dalam Ismayasari, 2005), menyatakan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan fungsi pendengaran yang terjadi sebelum atau setelah individu tersebut dilahirkan, bisa bersifat ringan maupun berat sehingga perkembangan bahasanya terlambat dan memerlukan pembinaan, bimbingan, pelayanan secara khusus untuk mencapai suatu kehidupan yang layak


(45)

Berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu kondisi atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi tingkatan ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan, bimbingan dan pendidikan khsusus.

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Menurut kriteria International Standard Organization (ISO)

klasifikasi ketunarunguan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

a. seseorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

b. seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar (Kirk dan Moores, dalam Effendi, 2006).

Ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, Efendi (2006) mengklasifikasikan anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:


(46)

a. Tunarungu konduktif

Ketunarunguan tipe ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga begian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan.

b. Tunarungu perseptif

Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telingan bagian dalam. Sebagaimana diketahui organ telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belahan telinga bagian luar dan tengah.

c. Tunarungu campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima ransangan suara mengalami gangguan, jadi yang nampak pada telinga tersbut adalah campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perseptif.


(47)

3. Anak Tunarungu sebagai Siswa Sekolah Luar Biasa

Anak tunarungu di Indonesia biasanya terdaftar di sekolah-sekolah khusus yaitu Sekolah Luar Biasa bagian B. Namun, dalam menjalankan aktivitasnya sebagai siswa atau pelajar, mereka mengalami beberapa hambatan. Seperti diungkapkan Efendi (2006), pertama adalah konsekuensi akibat kelainan pendengaran berdampak pada kesulitan dalam menerima ransang bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada gilirannya penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Kemunculan kedua kondisi tersebut pada siswa tunarungu, secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran bahasa dan bicaranya.

D. Sekolah Luar Biasa Bagian B (Tunarungu)

Secara teknis operasional pendidikan khusus diatur dalam Permendiknas No. 01 tahun 2008 tentang Standar Operasional Pendidikan Khusus. Salah satu poin penting dari Permendiknas tersebut adalah pengaturan mengenai pembagian sekolah berdasarkan jenis kebutuhan khusus yang dialami oleh anak. Salah satu kelompok anak yang mendapatkan fasilitas pendidikan luar biasa ini adalah anak tunarungu. Anak-anak dengan kebutuhan khusus ini ditempatkan di Sekolah Luar Biasa bagian B. Karateristik dari siswa ini dinilai oleh pemerintah memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki (Ihsan, 2012).


(48)

E. Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa SLB-B (Tunarungu)

Penyesuaian diri guru non-plb yang mengajar siswa SLB-B merupakan kemampuan guru untuk memenuhi tuntutan internal dari dalam diri dan menyeimbangkannya dengan tuntutan eksternal yang berasal dari lingkungannya. Kemampuan ini ditinjau dari aspek pribadi dan sosial yang ada dalam penyesuaian diri dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut ditinjau dari periode masa mengajar, yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja).

F. Pertanyaan Penelitian

Berikut ini beberapa pertanyaan yang muncul berdasarkan teori awal yang dikaji oleh peneliti.

1. Berdasarkan aspek pribadi dan sosial yang ada di dalam proses penyesuaian diri, hal-hal apa saja yang muncul terkait aspek tersebut di masa awal mengajar dan di masa mengajar saat ini pada guru non-plb? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri guru non-plb di


(49)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif deskriptif. Dimana peneliti mengumpulkan data berupa hasil wawancara dengan subjek. Menurut Moleong (2007), laporan penelitian kualitatif deskriptif akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Jadi, peneliti tidak melakukan pengukuran dengan angka-angka melainkan berdasarkan pemahaman terhadap gambaran yang apa adanya mengenai penyesuaian diri guru non-plb dalam mengajar siswa penyandang tunarungu.

Gambaran ini akan diperoleh berdasarkan aspek pribadi dan sosial dalam penyesuaian diri guru non-plb dan faktor-faktor yang mempengaruhinya proses penyesuaian diri tersebut. Proses penyesuaian diri guru non-plb disini berdasarkan periode waktunya, yaitu pada proses penyesuaian diri di awal masa mengajar dan di masa mengajar saat ini. Masa awal mengajar adalah masa mengajar awal selama 3 bulan pertama, sedangkan masa mengajar saat ini adalah periode waktu mengajar subjek setelah masa observasi hingga sekarang, yaitu 8 tahun masa kerja.


(50)

B. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah guru Sekolah Luar Biasa yang mengajar khusus siswa tunarungu (SLB-B) tetapi tidak pernah menempuh pendidikan formal program studi pendidikan luar biasa (non-plb). Latar belakang pendidikan para guru tersebut biasanya di luar program studi Pendidikan Luar Biasa, seperti lulusan jenjang SMA/SMK, Diploma dan Sarjana dengan jurusan di luar PLB (Psikologi, Sejarah, PGSD, dan lain-lain). Subjek mengajar di sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak tunarungu, bukan sekolah luar biasa yang umum (berbagai ketunaan).

C. DEFINISI VARIABEL PENELITIAN

1. Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam penelitian ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh seorang individu untuk menyeimbangkan berbagai komponen dari dalam dirinya sendiri dengan berbagai tuntutan yang ada di lingkungan sekitar sehingga bisa menciptakan kondisi yang seimbang di antara keduanya.

Penyesuaian diri memiliki dua aspek:

a. Aspek pribadi, yang lebih ditekankan lebih ditekankan pada kemampuan individu untuk mengenal dan memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, aspek yang dimaksud seperti mengetahui kekurangan dan kelebihan diri, penerimaan


(51)

diri, memiliki wawasan diri dan mampu mengambil keputusan sendiri.

b. Aspek sosial, dalam hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menjalankan aktivitas di lingkungannya dengan tetap memperhatikan kenyamanan diri. Adanya keseimbangan diantara keduanya memunculkan kenyamanan dalam bekerja, kemantapan, kesediaan untuk bekerjasama, munculnya sikap toleransi, empati, kerjasama dan adanya keterbukaan dalam mengenal lingkungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri, antara lain:

a. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri, seperti faktor kondisi fisiologis, kematangan diri, kondisi psikologis, nilai yang dianut dan berbagai sikap yang muncul.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, baik dari lingkungan tempat bekerja maupun keluarga, seperti budaya lingkungan, norma-norma yang ada dan kondisi sosial yang muncul.

Penyesuaian diri dalam penelitian ini ditinjau dari periode masa mengajar guru non-plb yaitu masa awal mengajar (periode 3 bulan pertama) dan masa mengajar saat ini (8 tahun masa kerja).


(52)

2. Guru Non-PLB

Guru non-pendidikan luar biasa (non-plb) adalah guru pengajar di Sekolah Luar Biasa yang tidak menempuh pendidikan secara formal di jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa.

3. Siswa Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)

Siswa sekolah dalam penelitian ini adalah anak-anak tunarungu yang terdaftar dan menempuh pendidikan di Sekolah luar Biasa bagian B (tunarungu).

4. Sekolah Luar Biasa bagian B (Tunarungu)

Sekolah yang dikhususkan bagi anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tunarungu.

D. METODE PENGAMBILAN DATA

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara interaksi lisan dan tatap muka (face to face). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara semi ter-struktur. Wawancara ini dipilih agar bisa mengeksplorasi berbagai hal sehingga dapat diperoleh data yang lengkap. Ketika melakukan wawancara semi-terstruktur, penyelidik memiliki seperangkat panduan pertanyaan, tetapi wawancara tidak didikte oleh panduan tersebut (Smith, 2009).

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang akan diungkap peneliti melalui wawancara semi-terstruktur.


(53)

1. Pertanyaan untuk mengungkap hal-hal apa yang muncul dalam aspek penyesuaian diri guru non-plb

a. Bagaimana persiapan guru non-plb secara pribadi di masa awal mengajar? Dan bagaimana dengan di masa mengajar sekarang?

b. Bagaimana relasi sosial yang terjalin antara guru non-plb dengan warga sekolah di masa awal mengajar? Dan bagaimana dengan di masa mengajar sekarang?

2. Pertanyaan untuk mengungkap faktor-faktor apa yang muncul dalam proses penyesuaian diri guru non-plb

a. Bagaimana kondisi fisik guru non-plb di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang?

b. Bagaimana kondisi psikis guru non-plb di masa awal mengajar dan masa mengajar sekarang?

c. Bagaimana kondisi lingkungan di tempat mengajar guru non-plb?

d. Bagaimana budaya sekolah tempat guru non-plb mengajar?

E. METODE ANALISIS DATA

Penelitian ini menggunakan metode analisis induktif sebagai metode analisis data. Metode analisis induktif berarti peneliti berusaha untuk memahami suatu situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut


(54)

menampilkan diri. Dengan kata lain, data-data mengenai fakta-fakta khusus yang diperoleh digeneralisasikan ke fakta-fakta atau peristiwa yang lebih umum. Analisisi induktif diberlakukan untuk data kualitatif hasil dari wawancara (verbatim) tema-tema, kategori-kategori dan pola hubungan antara kategori yang satu dengan kategori yang lain.

Langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis data adalah sebagai berikut (Poerwandari, 1998):

1. Memindahkan setiap data yang diperoleh dari wawancara ke dalam transkrip verbatim.

2. Membaca, mempelajari, dan menelaah data dengan seksama. 3. Mereduksi data dengan cara membuat abstraksi yaitu usaha

untuk membuat rangkuman inti atau tema yang berkaitan dengan topik penelitian.

4. Menyusun hasil reduksi data ke dalam pola-pola. 5. Membuat kategorisasi.

6. Melakukan interpretasi dan pembahasan.

F. KEABSAHAN DATA

1. Kredibilitas

Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud eksplorasi masalah atau mendeskripsikan proses, setting, kelompok sosial atau pola


(55)

interaksi yang kompleks. Pada penelitian kualitatif, validitas tidak dicapai dengan memanipulasi variabel melainkan dengan menggunakan metode yang paling sesuai untuk memperoleh dan menganalisis data (Poerwandari, 1998). Kredibilitas penelitian dicapai melalui:

a. Peneliti melakukan penelitian awal berupa pendekatan personal kepada subyek untuk mengetahui latar belakang subyek secara detail supaya tidak salah memilih subyek.

b. Konfirmasi data dan analisisnya pada subyek penelitian. Setelah wawancara, peneliti mengkonfirmasikan data yang didapat kepada subyek untuk memastikan bahwa tidak ada salah pengertian atau salah paham terhadap data yang telah dikumpulkan peneliti.

c. Presentasi temuan dan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan rasionalitasnya serta dapat dibuktikan dengan kembali melihat data mentahnya (validitas argumentatif). Setiap data yang menjadi pokok pembahasan dapat dicek validitasnya dalam data mentah (verbatim) sehingga pembahasan yang disajikan bukan merupakan subyektivitas peneliti.

d. Penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dari subyek yang diteliti (validitas ekologis). Peneliti tidak melakukan


(56)

eksperimen apapun kepada subyek sehingga kondisi subyek saat diteliti adalah kondisi yang alamiah.

2. Dependabilitas

Dependabilitas yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada tingkat konsistensi dalam mengumpulkan data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik sebuah kesimpulan.

3. Konfirmabilitas

Konfirmasi data hasil penelitian pada responden disebut juga dengan validasi komunikatif (Poerwandari, 1998). Data-data yang dihasilkan dalam penelitian dikonfirmasikan atau ditanyakan langsung kebenarannya kepada subjek penelitian.

4. Objektifitas

Objektifitas bermakna sebagai proses kerja yang dilakukan untuk mencapai kondisi objektif. Adapun kriteria objektifitas sebagai berikut:

a. Desain penelitian dibuat secara baik dan benar

b. Fokus penelitian tepat

c. Kajian literatur yang relevan

d. Instrumen dan cara pendataan yang akurat

e. Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti


(57)

g. Hasil penelitian bermanfaat

Peneliti melakukan ketiga hal tersebut saat penyusunan skripsi dan penganalisisan data hasil penelitian.


(58)

38

BAB IV

DATA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian ini adalah seorang guru di SLB-B Karnnamanohara Yogyakarta. Subjek merupakan guru pengajar siswa tunarungu yang tidak pernah menempuh pendidikan secara formal di jurusan atau program studi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Latar belakang pendidikan subjek adalah lulusan program studi psikologi dengan jenjang pendidikannya adalah strata 1 atau sarjana.

Subjek berjenis kelamin perempuan dan berusia 36 tahun. Subjek bergabung menjadi guru untuk mengajar di SLB-B Karnnamanohara sejak tahun 2005. Setelah lulus kuliah di tahun 2004, subjek sempat mendaftarkan diri untuk bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta. Namun, sebelum ada panggilan kerja dari LSM tersebut, subjek ditawari oleh salah satu wali murid dari siswa SLB-B Karnnamanohara untuk mencoba mendaftar menjadi guru di sekolah tersebut. Subjek kemudian mencoba memasukkan lamaran ke sekolah dan akhirnya diterima bekerja sebagai guru sampai dengan sekarang.

Di SLB-B Karnnamanohara, subjek mendapatkan tugas untuk mengajar di kelas kecil atau kelas persiapan. Penugasan tersebut dimulai setelah subjek mengikuti proses tahapan observasi dan penentuan kelas. Sebelum mengajar di kelas kecil, subjek mendapatkan tugas sebagai guru


(59)

kelas taman. Di kelas ini, subjek menjadi guru pendamping. Menurut penuturan subjek, guru pendamping bertugas membantu guru kelas untuk mendampingi siswa saat menempuh pelajaran bersama guru kelas. Tugas guru pendamping adalah membantu guru kelas untuk mengarahkan siswa agar tetap fokus pada pelajaran. Guru pendamping diperlukan karena seringkali siswa-siswa tunarungu ini tidak memperhatikan guru kelas yang sedang mengajar. Disinilah guru pendamping berperan mendampingi siswa agar kembali fokus yaitu dengan cara mengarahkan siswa untuk kembali duduk dan memberitahu sikap yang benar.

Setelah masa observasi selesai, subjek ditempatkan di kelas kecil dengan siswa berusia 2 hingga 7 tahun. Di kelas ini subjek tidak lagi menjadi guru pendamping melainkan guru kelas. Namun, subjek tetap didampingi guru senior di kelas, masa pendampingannya hanya berlangsung kurang lebih 2 tahun. Saat ini subjek bertanggungjawab untuk mengajar 17 siswa di kelas kecil. Subjek dibantu oleh 3 orang guru pendamping. Guru kelas bertugas mengajarkan mata pelajaran tematik atau berbahasa. Bagi kelas kecil seperti yang diampu oleh subjek, pelajaran berbahasa menjadi sangat penting karena biasanya siswa baru

yang masuk masih belum bisa berbahasa sama sekali atau istilahnya “nol bahasa”. Oleh karena itu, guru kelas kecil mendapatkan porsi guru pendamping yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas yang diatasnya.


(60)

Di SLB-B Karnnamanohara sendiri menerapkan metode pembelajaran MMR (Metode Maternal Reflektif). Subjek menjelaskan bahwa metode MMR ini memiliki cukup banyak cakupan dan biasanya spontan dari anak, jadi apa yang dibawa oleh anak bisa dikembangkan sebagai bahan pembelajaran di kelas. Sekolah hanya memberikan metode pengajarannya saja dan biasanya guru yang mengembangkan. Metode ini diajarkan hingga sekarang, subjek menuturkan bahwa sekolah masih memberikan bimbingan rutin kepada guru. Bimbingan ini silaksanakan dengan jadwal tertentu, antara 2 minggu atau 3 minggu sekali. SLB-B Karnnamanohara juga memfasilitasi guru untuk mendapatkan pelatihan MMR dari sekolah yang juga sudah menerapkan metode ini, biasanya mereka mengundang dari SLB-B Santi Rama Jakarta. Selain bimbingan tersebut, sekolah juga menyediakan buku-buku serta video pengajaran MMR yang bisa dipelajari oleh guru, termasuk subjek.

Di sekolah, subjek termasuk salah satu guru yang tidak menempuh pendidikan PLB secara formal sehingga jika ada pelatihan atau diklat dari Dinas PLB, maka subjek diikutsertakan. Subjek pernah mengikuti pelatihan tersebut di tahun 2010. Pelatihan tersebut membahas mengenai hal-hal apa saja yang terkait dengan bidang ke-PLB-an.

B. PELAKSANAAN PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di SLB-B Karnnamanohara yang beralamat di Jalan Pandean 2, Gang Wulung, Condongcatur, Depok, Sleman pada


(61)

hari Senin, tanggal 20 Juni 2013, pukul 08.00 WIB. Wawancara dilakukan di ruang untuk penerimaan tamu. Peneliti bertemu dahulu dengan wakil sekolah terlebih dahulu untuk menyampaikan surat ijin penelitian. Setelah bertemu dengan wakil dari sekolah tersebut, peneliti segera mempersiapkan untuk wawancara dengan subjek.

Peneliti bertemu langsung dengan subjek dan melakukan rapport

terlebih dahulu. Peneliti mengungkapkan maksud dan tujuan kedatangannya kepada subjek. Peneliti juga menanyakan perihal waktu untuk melakukan pengumpulan data bersama dengan subjek. Setelah mendapat jawaban bahwa subjek memiliki waktu saat itu, maka pengambilan data dilakukan.

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode wawancara semi-terstruktur. Subjek diwanwancarai dengan menggunakan panduan pertanyaan tetapi kemudian dikembangkan seiring dengan munculnya respon dari subjek. Peneliti menggunakan alat perekam guna menyimpan data yang sudah diperoleh dari subjek. Peneliti juga menyiapkan semacam lembar panduan pertanyaan yang digunakan sekaligus sebagi transkripsi.

Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan identitas subjek terlebih dahulu. Setelah sesi awal tersebut selesai, peneliti melanjutkan proses wawancara lebih mendalam dengan subjek. Beberapa pertanyaan diajukan oleh peneliti. Subjek menjawab dengan suara yang cukup keras sehingga memudahkan peneliti untuk menggunakan alat perekam. Peneliti mengakhiri sesi pengambilan data tersebut setelah dirasa cukup. Sesi


(62)

pengambilan data tersebut ditutup oleh peneliti dengan menyampaikan bahwa peneliti akan melakukan kroscek data setelah penyusunan verbatim. Peneliti kemudian langsung melakukan penulisan verbatim guna mengkroscek data kembali dengan subjek. Proses penulisan verbatim memakan waktu kurang lebih 2 jam. Selain mendengarkan hasil rekaman yang sudah ada, peneliti juga menambahkan data yang tertulis dalam transkripsi. Transkripsi tersebut ditulis pada saat bersamaan dengan wawancara dilakukan. Ada beberapa info penting yang ditulis oleh peneliti guna mempermudah menemukan kata kunci untuk melakukan tahapan penggalian tema dan kategorisasi.

C. KATEGORISASI DAN HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Tabel Kategorisasi Aspek Penyesuaian Diri Subjek

Masa Awal Mengajar Masa Mengajar Saat Ini

1. Pribadi

a. Tanda fisiologis: 1) sehat

2) menangis

3) keringat dingin dan jantung berdebar b. Gejala psikologis

1) kurangnya rasa percaya diri

2) cemas dan takut

2. Sosial

a. Relasi interpersonal yang masih kaku

b. Kesulitan berkomunikasi dengan siswa

c. Keraguan keluarga akan karir subjek

1. Pribadi

a. Tanda fisologis 1) sehat

b. Gejala psikologis: 1) munculnya kepuasan

diri

2. Sosial

a. Relasi interpersonal yang dekat dan akrab

b. Kelancaran dalam berkomunikasi dengan siswa

c. Kepercayaan keluarga pada karir subjek

3. Tugas sekolah


(63)

3. Tugas sekolah

Pemenuhan tugas sekolah belum maksimal

secara maksimal

Tabel 2. Tabel Kategorisasi Faktor Penyesuaian Diri Subjek

Faktor Internal Faktor Eksternal Faktor pendukung:

1. Latar belakang pendidikan psikologi

2. Kemauan untuk belajar 3. Pengetahuan kemampuan diri

Faktor pendukung:

1. Diklat atau pelatihan tentang ke-plb-an dan MMR

2. Fasilitas sekolah

3. Informasi dari rekan kerja Faktor penghambat:

1. Latar belakang pendidikan non-plb

2. Tidak terbiasa dengan budaya teguran langsung

Faktor penghambat:

i. Pengawasan rekan kerja senior saat menjadi observer

D. DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

1. Masa Awal Mengajar (Periode 3 Bulan Pertama)

Masa awal mengajar merupakan periode masa observasi setelah subjek resmi diterima bekerja di SLB-B Karnnamanohara. Periode masa awal adalah 3 bulan pertama subjek mengajar di sekolah. Di masa awal mengajar, subjek mendapatkan kelas di kelas taman. Pada masa awal mengajar, subjek masih didampingi oleh guru senior. Tugas dari guru senior tersebut adalah memberikan contoh cara mengajar di kelas dan sekaligus melakukan observasi terhadap cara


(64)

mengajar subjek. Observasi ini digunakan sebagai bahan untuk evaluasi dalam penempatan guru baru di SLB-B Karnnamanohara.

Ditinjau dari aspek yang ada dalam penyesuaian diri, berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian terhadap subjek berdasarkan aspek penyesuaian diri di masa awal mengajar.

a.Aspek Pribadi

1) Tanda fisiologis

Berdasarkan hasil wawancara, subjek menyatakan bahwa selama proses awal mengajar tidak mengalami sakit atau terjangkit suatu penyakit (sht.76). Sakit yang dimaksud bisa berupa pusing, sakit perut, kejang hingga penyakit membahayakan lainnya. Selama menjalani masa masa-masa awal, subjek merasa tidak mengalami gangguan terkait dengan kondisi tubuhnya. Tidak adanya keluhan terkait dengan kesehatan menjadi salah satu faktor yang membantu subjek melewati masa observasinya dengan lancar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lazarus (1961) bahwa tubuh manusia juga bisa menjadi salah satu tanda bagi perkembangan diri. Hal tersebut juga berlaku ketika seseorang menyesuaikan diri, dimana penyesuaian diri yang baik akan membentuk fisik yang sehat.

Saat masa observasi, subjek sempat menangis melihat kondisi anak-anak yang berada di kelas (mng.21). Reaksi spontan


(65)

subjek ini muncul ketika melihat kondisi anak di dalam kelasnya. Pemikiran subjek yang membuatnya menangis adalah saat melihat anak dalam satu kelas tersebut hampir semuanya tidak dapat berbicara (kbs.22).

Di sisi lain, subjek yang merasakan tubuhnya sehat mengalami gejala fisik lainnya. Subjek menjelaskan bahwa pada saat awal masa mengajar, subjek sempat mengalami keringat dingin dan jantung berdebar kencang (kdj.65-67). Gejala fisik ini muncul beberapa kali ketika masa observasi berlangsung.

2) Gejala psikis

Subjek sempat mengalami penurunan rasa percaya diri. Pernyataan subjek yang mengungkapkan hal tersebut adalah subjek sempat berpikir tidak bisa dan ini diungkapkan beberapa kali (kpd.22, kpd.33, kpd.60). Pemikiran subjek didasari oleh munculnya rasa keraguan dalam dirinya (kpd23, kpd.60-63).

Rasa percaya diri subjek yang menurun akhirnya mempengaruhi respon mental secara keseluruhan. Subjek mengatakan bahwa dirinya merasa “down” ketika pertama kali masuk dan bergabung dengan rekan kerja di kelas (kpd.20). Persiapan mental yang subjek katakan menjadi bukti bahwa dirinya merasa kesulitan untuk menjalani masa observasi. Hal ini diperkuat dengan kebingungan subjek ketika harus mengajar. Pertanyaan mulai muncul dalam diri subjek yaitu tentang


(66)

bagaimana cara mengajar, cara penyampaian (ct.23-24), semua membuat subjek semakin merasa cemas dan takut.

Berbagai gejala psikis tersebut mempengaruhi kepuasan diri subjek secara menyeluruh. Masa awal mengajar bagi subjek merupakan masa yang cukup sulit hingga menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, subjek juga merasakan bahwa apa yang dihadapinya adalah sebuah tantangan.

b. Aspek Sosial

1) Relasi interpersonal yang masih kaku

Lingkungan sekolah menjadi ruang lingkup yang diteliti oleh peneliti. Subjek menjadi guru sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini. Subjek sebagai guru memiliki peran ganda di dalam sekolah, sebagai guru bagi siswa dan sebagai karyawan untuk sekolah. Selama masa awal mengajar, subjek merasa banyak sekali bantuan yang diperoleh dari rekan kerja yang senior meskipun belum terlalu mengenal karateristik mereka (rik.31-32). Namun, di awal masa mengajar ini subjek juga melihat rekan kerja tersebut sebagai senior dan observer. Hal ini berpengaruh pada cara subjek berelasi, cenderung kaku karena adanya batasan antara observer dan yang diawasi (rik.65-66).

Selain dengan rekan kerja, relasi interpersonal subjek juga dibangun dengan siswa. Relasi yang terjalin diantara


(67)

keduanya juga menunjukkan adanya kekakuan, terutama dalam berkomunikasi. Subjek yang merupakan warga baru sekolah tersebut belum begitu terampil dan terbiasa dalam berkomunikasi dengan siswa yang kondisinya tidak bisa mendengar.

2) Kesulitan berkomunikasi dengan siswa

Berbahasa dengan siswa menjadi salah satu aspek yang menurut subjek cukup sulit dilakukan di masa awal mengajar ini (kks.244). Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman subjek yang masih nol atau sama sekali belum pernah berelasi dengan anak tunarungu. Kesulitan ini juga menjadi salah satu pemicu rasa cemas yang muncul dalam diri subjek. Rasa cemas yang muncul tersebut dikarenakan pemikiran subjek akan penerimaan siswanya di kelas. Subjek merasa takut jika tidak bisa menyampaikan dengan baik. Selain itu, ada kecemasan dari diri subjek jika maksud dari pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh anak (kks.61-62).

3) Keraguan keluarga akan karir subjek

Relasi dengan keluarga merupakan salah satu relasi yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses penyesuaian diri individu. Begitu pula dengan subjek, dimana relasi yang terjalin diantara keduanya cukup baik. Namun, subjek sempat merasakan bahwa ada semacam keraguan akan karirnya sebagai pengajar di SLB-B dari pihak keluarga. Hal ini nampak pada sikap keluarga


(68)

subjek dengan menunjukkan reaksi terkejut ketika mendengar subjek memutuskan untuk bekerja di SLB-B sebagai pengajar (krk.127). Subjek menuturkan juga bahwa dirinya tidak memiliki rencana sama sekali untuk menjadi seorang guru, terlebih guru anak tunarungu. Hal inilah yang mungkin membuat keluarga menjadi ragu dengan karir subjek ke depan. Dalam hal ini, subjek menjelaskan kepada keluarganya bahwa pilihannya tersebut akan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab (krk.127-130).

c.Tugas Sekolah (Pemenuhan Tugas Sekolah Belum Maksimal)

Sekolah adalah sebuah lembaga. Jadi bagaimanapun, subjek termasuk ke dalam sebuah lembaga dengan segala peraturan dan tanggungjawabnya. Salah satu tanggungjawab ketika subjek menjalani tugas sebagai guru adalah menjaga kelas agar tetap terkondisi sehingga memudahkan guru untuk mengajar (ptbm.89). Di awal masa mengajar, subjek sempat mengalami kesulitan atas banyaknya tuntutan yang harus dilaksanakan, khususnya terkait dengan pengajaran di kelas, dimana pengetahuan subjek belum banyak. Salah satu contohnya adalah keutamaan guru untuk bisa menulis latin dan menggambar (ptbm.68-69). Hal ini juga menjadi salah satu pemicu munculnya ketakutan subjek dalam menjalani masa awal mengajar. Kemampuan menulis latin menjadi sangat


(69)

penting karena cara penulisan ini adalah sebagai sarana untuk memudahkan anak dalam pengenalan kata dan bahasa.

2. Masa Mengajar Saat Ini

Masa mengajar sekarang merupakan periode waktu mengajar subjek setelah masa observasi hingga sekarang, yaitu 8 tahun masa kerja. Berbagai usaha dilakukan oleh subjek untuk bisa melewati masa awal mengajar dan memasuki dunia pengajaran yang sesungguhnya yaitu dengan mendapatkan kelas sendiri. Berikut ini adalah pembahasan hasil penelitian terhadap subjek berdasarkan aspek penyesuaian diri di masa awal mengajar.

a. Aspek Pribadi

1) Tanda fisiologis

Masa awal mengajar bisa dengan baik dilewati oleh subjek, meskipun sempat merasakan tanda fisik seperti keringat dingin dan jantung berdebar kencang serta menangis. Namun, setelah melewati 3 bulan pertama tersebut subjek tidak lagi mengalaminya (kd.201). Secara umum, kesehatan subjek juga baik, tidak ada penyakit yang diderita dari masa awal mengajar sampai dengan sekarang. Adanya pengetahuan tentang diri yang sehat ini menunjukkan bahwa subjek memliki wawasan tentang diri yang baik.


(70)

2) Gejala psikis

Setelah melewati masa awal mengajar, subjek mulai merasakan kenyamanan di sekolah tersebut (mkd.287). Ungkapan subjek akan kepuasan dirinya adalah ketika subjek mengatakan merasa nyaman dan betah bekerja di sekolah, subjek juga memperjelas pernyataannya dengan kata “manteb

(mkd.225). Kepuasan diri subjek ini juga dipengaruhi oleh usaha subjek untuk bisa mengatasi masalah di awal masa mengajar. Dimulai dengan mempelajari karateristik siswa yang di kelasnya sendiri, lalu rekan kerja yang lebih senior dan lingkungan keluarga subjek. Berdasarkan hasil wawancara, subjek mulai bangkit dari rasa cemasnya ketika sedang di posisi terendah dalam hidupnya, rekan kerja yang senior memberinya semangat. Subjek seperti diberi suntikan, terlebih lagi melihat siswa di kelas yang setiap harinya berusaha untuk belajar. Subjek merasa tertantang dengan melihat kondisi siswa yang setiap hari semakin berkembang. Subjek mulai mengamati cara mengajar guru senior di kelas, cara mengatasi anak pada guru senior, bertanya dengan rekan kerja, mencari buku-buku penunjang pendidikan di kelas dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang ada. Hal ini semata dilakukan demi perkembangan dirinya dan kemajuan anak didiknya.


(71)

b. Aspek Sosial

1) Relasi interpersonal yang dekat dan akrab

Relasi subjek dengan berbagai pihak di sekolah, seperti rekan kerja, siswa dan wali murid semakin akrab setelah masa awal mengajar terlewati. Relasi tersebut menurut subjek sudah jauh lebih dekat, seperti relasi dengan rekan kerja dimana mereka bisa saling bertukar informasi, bisa saling mengarahkan satu sama lain dan bertukar pengalaman (rid.275). Adanya keterbukaan dengan rekan kerja juga membuat subjek merasa senang. Misalnya, subjek melakukan kesalahan dalam mengajar maka akan langsung mendapatkan teguran dan sekaligus informasi mengenai bagaimana pengajaran yang benar (rid.385). Saat ini, subjek telah menjadi guru kelas dan memiliki guru pendamping yang membantunya. Dalam relasi tersebut subjek juga mengungkapkan bahwa tidak ada hambatan, seperti yang dicontohkan subjek, guru pendamping diberitahu untuk mengarahkan anak-anak supaya bisa fokus (rid.275-279). Penerimaan oleh rekan kerja ini menjadi salah satu hal yang membuat subjek merasa nyaman bekerja di sekolah tersebut.

Relasi dengan siswa juga semakin lama semakin akrab. Subjek sudah bisa memahami karateristik anak secara lebih mendalam. Subjek mengungkapakan bahwa untuk saat ini, subjek sudah hafal dengan anak-anak (rid.177). Meskipun demikian,


(72)

subjek juga terkadang masih kesulitan untuk menghadapi beberapa anak yang karakternya berbeda dengan yang lain (rid.257). Berkumpul dengan anak-anak setiap hari, berdinamika bersama membuat subjek sebagai guru pada akhirnya mengetahui bagaimana karakter masing-masing anak (rid.94-97). Setiap tahun berganti siswa dan disinilah peran guru sangat penting karena di kelas kecil, pendampingan guru adalah mutlak. Adanya relasi yang dekat dengan siswa juga berpengaruh pada relasi subjek dengan orangtua mereka. Hubungan yang khusus memang terjalin diantara guru dengan wali murid ini karena di sekolah sendiri setiap bulan ada pertemuan dengan mereka dalam rangka memberikan laporan perkembangan anak.

2) Kelancaran dalam berkomunikasi dengan siswa

Di masa awal mengajar, subjek sempat merasakan kesulitan dalam berkomunikasi dengan siswa. Subjek merasa cemas jika tidak bisa mengajar dengan baik karena adanya hambatan tersebut. Pada saat mengalami hal tersebut, subjek tidak lantas berhenti dan putus asa. Subjek mencoba untuk mempelajari cara berkomunikasi dengan siswanya. Pembelajaran tersebut dimulai dengan mengamati rekan kerja ketika berkomunikasi dengan siswa, membaca buku, melihat video pengajaran dan mencoba sering berdinamika dengan siswanya. Subjek mengungkapkan bahwa


(1)

339 Lalu apakah itu menjadi semacam ketakutan bagi ibu? 340

341 342

Nggak sih mbak, tapi semacam apa ya….bukan ketakutan tapi

hanya membuat saya berpikir kok saya tidak bisa menaikkan anak semua

343 Sempat terjadi seperti itu ya bu 344 Iya

345 346

Lalu bisa terjadi seperti itu karena memang kondisi siswa atau bagaimana bu?

347 348

Iya, biasanya kondisi siswa mbak, memang belum bisa naik, jadi ya sudah

349 350

Kalau dari orang tua siswa sendiri sempat ada yang protes begitu nggak bu? 351 352 353 354 355

Alhamdulilah nggak ada ya mbak, sampai sekarang nggak ada yang protes, manut karena kalau orangtuanya ngikut saja, kalau memang anaknya belum mampu ya sudah ngikut saja. Kalau disini kan nggak sembarangan mbak, jadi seleksinya memang agak ketat gitu lho mbak, jadi orangtua ngikut aja

356 357 358

Setelah mengajar beberapa tahun, lalu menurut ibu, kelebihan apa yang ada pada diri anda sehingga bisa digunakan dalam pembelajaran di kelas?

359 360 361 362 363 364 365

Waduh apa ya mbak, mungkin kelebihan berat badan ya, selama ngajar disini jadi naik terus, seneng soalnya. Kalau yang apa ya mbak, ya yang penting saya bisa mengajari anak sampai paham. Dari yang dulu anak tidak yang tidak ngerti berbahasa terus akhirnya bisa berbahasa dan berbicara, saya sudah seneng sekali. Jadi dari yang nol dia kesini, hanya bisanya duduk dan nangis, setelah disini dia bisa ngomong, itu sudah senang sekali.

366 367

Kalau dari sekolah sendiri apakah ada tuntutan atau target yang harus dipenuhi begitu bu?

368 Untuk siapa ini mbak? Siswa atau guru?

369 Siswanya dulu bagaimana bu? 370

371 372 373

Kalau disini, siswa bisa naik kelas ya kalau memenuhi 3 aspek mbak, secara kognitif, psikomotorik dan afektifnya. Jadi kalau siswa sudah bisa ketiganya ya boleh dinaikkan, tapi kalau belum ya nggak boleh naik mbak. Itu aja kalau untuk siswanya

374 375

Kalau untuk gurunya sendiri gimana bu?atau untuk karyawan dari sekolah apakah juga sama?ada tuntutan semacam itu 376 377 378 379 380 381

Kalau itu si selama ini kesadaran diri masing-masing guru saja. Kalau sekolah yang penting anak bisa bicara, bisa ngerti, bisa berkomunikasi. Gitu aja sih mbak kalo sini, fleksibel. Kalau misalnya saya nggak tahu ya harus nanya ke yang lebih senior, jadi kita belajarnya kayak gitu. Makanya disini itu sistemnya sistem keluarga

382 Saling terbuka gitu ya bu? 383

384 385 386 387

Iya, misalnya saya kurangnya ini harus gimana, terus anti dikasih tahu, o begini, begini. Masukkannya kayak gitu. Kalau disini ditegur saat itu juga kok mbak, misalnya saat itu kita ngajarnya nggak bener, kita biasanya langsung menegur, jadi langsung seketika itu. Jadi misalnya saya salah gitu ya mbak,


(2)

82

388 389 390

kok penyampaiannya tidak sesuai bahasa yang kongkret, ya saat

itu langsung ditegur, “o, tidak seperti itu, jadi harus begini

-begini” seperti itu

391 Kalau di awal dulu ada proses seperti itu, ibu kaget nggak bu? 392

393 394 395

Ya, agak kaget mbak, ya itu tadi 3 bulan pertama sempet down, terus belajar, belajar, belajar akhirnya ya sekarang sudah biasa. Jadi sudah tahu kalau disini itu, kalau salah langsung ditegur, salah ditegur, seperti itu

396 Berarti cukup terbuka ya bu satu sama lain 397

398 399

Iya, tidak terus kalau salah didiamkan, begitu salah ya langsung ditegur, diberitahu baiknya bagaimana, yang benernya

bagaimana

400 401 402

Ibu kan lulusan dari jurusan psikologi ya bu, lalu apakah ibu memakai ilmu yang didapatkan semasa kuliah untuk mengajar bu?

403 404 405 406 407 408

O, iya mbk. Saya menerapkan beberapa ilmu yang saya dapat. Ya kayak pemahaman terhadap karakter anak itu, saya buka buku lagi kayak kuliah. Say abaca tugas-tugas perkembangan gitu itu mbak. Terus mulai melihat lagi karateristik anak usia segini itu apa, segini apa, jadi ya lumayan membantulah mbak. Bisa sata terapkan untuk menghadapi anak-anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

Lampiran 3


(4)

84

LAMPIRAN : TABEL TEMA VERBATIM

Tema-tema dalam Verbatim

1.

Kurangnya rasa percaya diri

2.

Cemas dan takut tidak bisa mengajar

3.

Menangis

4.

Depresi

5.

Kemauan tinggi untuk belajar hal yang baru

6.

Tuntutan dari sekolah (peran guru dan karyawan)

7.

Merasa harus bisa

8.

Pengetahuan yang baik akan proses dan metode belajar

9.

Gejala fisik : deg-degan, keringat dingin

10.

Tidak merasa sakit (sehat)

11.

Tanggungjawab terhadap kelas

12.

Mengembangkan kreativitas

13.

Pemahaman terhadap tugas sebagai guru dan warga sekolah

14.

Kemampuan memecahkan masalah

15.

Pemahaman terhadap karakter siswa

16.

Relasi yang baik dengan lingkungan (siswa, rekan kerja, wali murid)

17.

Penerimaan keluarga

18.

Kepuasan pribadi

19.

Kenyamanan

20.

Menyadari kelemahan

21.

Menyadari kelebihan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

86

Gambar 1. Skema Penyesuaian Diri Guru Non-PLB yang Mengajar Siswa di SLB-B

Penyesuaian Diri Guru

Non-Pribadi :

1. Gejala fisik (sehat, menangis, keringat dingin, jantung berdebar)

2. Gejala psikis (kurangnya percaya diri dan cemas)

Sosial :

1. Relasi yang masih kaku

2. Kesulitan komunikasi

dengan siswa

3. Keraguan keluarga akan

karir subjek

Kondisi Awal Mengajar (3 bulan pertama)

Tugas sekolah:

1. Pemenuhan tugas yang belum maksimal

Subjek mencoba memahami kondisi fisik dan psikis yang terjadi dalam dirinya

1. Subjek belajar memahami

karateristik rekankerja

2. Subjek belajar memahami

kondisi dan karateristik siswanya

3. Subjek membuktikan

tanggungjawabnya kepada

1.Subjek mendalami

ilmu ke-plb-an 2.Subjek belajar

memahami dan membiasakan budaya teguran langsung

Pribadi:

1. Gejala fisik: sehat

2. Gejala psikis : munculnya kepuasan diri

Sosial:

1. Relasi yang dekat dan akrab

2. Kelancaran komunikasi dengan siswa 3. Kepercayaan keluarga akan karir subjek

Faktor internal:

Pendukung:

1. Latar belakang

pendidikan psikologi

2. Kemauan untuk

belajar

3. Pengetahuan

kemampuan diri Penghambat: 1.Latar belakang

pendidikan

non-Faktor eksternal:

Pendukung: 1. Diklat atau

petihan ke-plb-an dke-plb-an MMR 2. Fasilitas

sekolah 3. Informasi dari

rekan kerja Penghambat:

1. Pengawasan

Kondisi Mengajar Saat Ini (8 tahun masa kerja)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI