Efektivitas Metode Ceramah Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dalam Penanganan Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi

(1)

EFEKTIVITAS METODE CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DALAM PENANGANAN TUBERKULOSIS

PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUGUK PANJANG KOTA BUKITTINGGI

TESIS

OLEH

ERWIN HERIAN BANGUN 077033010/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFEKTIVITAS METODE CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DALAM PENANGANAN TUBERKULOSIS

PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUGUK PANJANG KOTA BUKITTINGGI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERWIN HERIAN BANGUN 077033010/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS METODE CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DALAM PENANGANAN

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUGUK PANJANG KOTA BUKITTINGGI

Nama Mahasiswa : Erwin Herian Bangun Nomor Induk Mahasiswa : 077033010

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) Ketua

(dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD) Anggota

Ketua Program Studi

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 26 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD

2. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes 3. dr. Gunawan, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

EFEKTIVITAS METODE CERAMAH TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DALAM PENANGANAN TUBERKULOSIS

PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUGUK PANJANG KOTA BUKITTINGGI

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2010

Erwin Herian Bangun 077033010


(6)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Tahun 2009. Berbagai upaya penanggulangan yang telah dilakukan belum mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan pengobatan melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Shortcase) belum diikuti dengan peningkatan angka temuan kasus yang masih di

bawah standar nasional 70%.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang. Metode yang digunakan yaitu eksperimen semu (quasi-experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design.. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga yang berada di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang. Sampel dikumpulkan secara purposive sampling yang berjumlah 60 orang. Sampel dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok ceramah dan kelompok ceramah yang menggunakan, film, leaflet yang jumlahnya masing-masing 30 orang. Analisis data dilakukan dengan uji T-test dependent/paired dan uji T-test

independent.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap kedua kelompok intervensi sebelum diberikan pembelajaran baik dengan metode ceramah maupun dengan metode ceramah, film, leaflet mayoritas setara yaitu berpengetahuan dan bersikap kurang baik. Sesudah pemberian penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan dan sikap yang bermakna. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan rata-rata nilai pengetahuan dan sikap responden sebelum dan sesudah metode pembelajaran yang menunjukkan peningkatan signifikan. Penggunaan metode ceramah menggunakan film, leaflet lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap dibandingkan dengan metode ceramah.

Disarankan kepada Puskesmas Guguk Panjang agar menjadikan metode ceramah sebagai alternatif dalam pelaksanaan metode pembelajaran di masyarakat dalam penanganan tuberkulosis paru, dan dilakukan secara kontinu kepada masyarakat yang lebih luas. Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi, diharapkan dapat menyediakan dan melengkapi media film dan leaflet yang dibutuhkan tenaga kesehatan untuk mendukung pelaksanaan promosi kesehatan di masyarakat.


(7)

ABSTRACT

Lung tuberculosis was still become the health problem in the working area of Health Center at Guguk Panjang in 2009. Various efforts had been made to handle the disease, but it did not achieve the optimum results. Medical treatment success such as by DOTS (Directly Observed Treatment Shortcase) was not followed by the improvement of the case finding figures which were still under the national target 70 %.

This research was aimed to analyze the effectiveness of the lecture method on the families’ knowledge and attitude in handling lung tuberculosis in the working area of Health Center at Guguk Panjang in 2009. This research used quasi-experiment method with pretest-postest group design. The population was all 60 families in the working area of Health Center at Guguk Panjang. Sample was ghatered using by purposive sampling. The samples consisted of two groups: the lecture group and lecture group with films and leaflets with 30 respondents each. The data were analyzed by using T-test dependent/paires and T-test independent.

The results of the research showed that the knowledge and attitude of the two groups after the intervention, using by either the lecture method or the lecture methode with film and leaflet was equivalent, that is, the knowledge and attitude were not good. After they were given the intervention, their knowledge and attitude increased significantly. It could be seen from the comparison of the average value of the respondents’ knowlwdge and attitude before and after the intervention. Using the lecture method with film and leaflet was more effective in improving the knowledge and attitude than using the lecture without films and leaflets.

Suggested to Health Center at Guguk Panjang to can make lecture methode in the community for handling lung tuberculosis and does it sustainable to broader. Bukittinggi Health Office , expected able to provide and complements film and leaflet required by health educator to support health promotion at social community.

.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karuniaNya maka penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dorongan. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan FKM Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat.

3. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi. M.K.M selaku komisi pembimbing dan Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulisan tesis ini, yang selalu menyediakan waktu ditengah kesibukannya serta membimbing penulis dengan penuh kesabaran.

4. dr. Alwinsyah Abidin Sp.PD selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu penulisan tesis ini dan menyediakan waktu dalam memberikan bimbingan.

5. drg. Syofia Desmauli, M.Si selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi dan dr. Nila Rahma Suryani selaku Kepala Puskesmas Guguk Panjang yang telah memberikan bantuan dan fasilitas dalam pelaksanaan di lapangan.


(9)

6. Seluruh kader kesehatan dan teman sejawat yang bertugas di Pos Kesehatan Kelurahan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu di mana telah banyak membantu dalam melakukan penyelesaian tesis ini.

7. Seluruh teman-teman yang juga tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuan dan semangat yang diberikan dalam penyusunan tesis ini.

8. Kedua orang tuaku yang selalu mendoakan, istri tercinta Dina Ediana S.Kom dan putraku tersayang Harvino Athanmika Bangun serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan, menghibur, mendampingi dan memberikan dorongan moril maupun materil yang sangat berarti selama penulis pendidikan dan menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih banyak kekurangan sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Oktober 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Erwin Herian Bangun, lahir di Medan Sumatera Utara pada tanggal 18 Maret 1979, anak ke 3 dari 3 bersaudara. Pada saat ini bertempat tinggal di Kota Bukittinggi Sumatera Barat.

Pendidikan formal penulis dimulai tahun 1985 di SD Swasta Brigjen Katamso Medan, selanjutnya di SMP Swasta Immanuel Medan tahun 1991. Kemudian melanjutkan sekolah di SMU Negeri 1 Medan tahun 1994. Setelah tamat SMU tahun 2007 langsung melanjutkan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan tamat tahun 2002.

Penulis menikah pada tahun 2009 dan dikarunia seorang anak laki-laki. Penulis bekerja sebagai PNS pada Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi hingga saat ini.

Tahun 2007 penulis mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Sumatera Utara dengan Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Hipotesis ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Tuberkulosis... 13

2.1.1 Klasifikasi TBC ... 13

2.1.2. Cara penularan dan risiko penularan ... 13

2.1.3. Gejala klinis pasien TB... 14

2.1.4. Pengobatan TB dan efek samping ... 15

2.1.5. Memastikan penyakit TBC ... 17

2.1.6. Pengawas menelan obat (PMO)... 18

2.2. Cara Pencegahan Penyakit TBC ... 18

2.3. Penanggulangan Tuberkulosis ... 19

2.3.1. Visi dan misi penanggulangan tuberculosis... 20

2.3.2. Tujuan dan target ... 20

2.3.3. Kebijakan penanggulangan tubrkulosis ... 21

2.3.4. Strategi advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam penanggulangan tuberkulosis ... 22

2.4. Indikator Keberhasilan Program Tuberkulosis ... 23

2.5. Promosi Kesehatan... 25

2.6. Pengetahuan ... 26

2.7. Sikap (Attitude) ... 29


(12)

2.9. Metode Penyuluhan ... 32

2.9.1.Metode penyuluhan dan proses komunikasi ... 33

2.9.2.Metode penyuluhan dalam pendidikan orang dewasa ... 34

2.9.3.Metode penyuluhan dalam pendidikan non formal ... 34

2.10. Alat Bantu Penyuluhan ... 35

2.11. Media Penyuluhan ... 37

2.12. Landasan Teori... 39

2.13. Kerangka Konsep... 40

BAB 3 METODE PENELITIAN... 41

3.1. Jenis Penelitian... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1. Lokasi penelitian... 42

3.2.2. Waktu penelitian ... 43

3.3. Populasi dan Sampel ... 43

3.4. Metode pengumpulan data... 44

3.4.1. Metode pengumpulan data... 45

3.4.2. Uji validitas dan reliabilitas ... 45

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 49

3.6. Metode Pengukuran ... 49

3.6.1. Pengetahuan ... 49

3.6.2. Sikap ... 50

3.7. Metode Analisis Data... 50

3.7.1. Analisis univariat ... 50

3.7.2. Analisis bivariat ... 51

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 52

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 52

4.2. Karakteristik Responden ... 54

4.3. Analisa Univariat ... 55

4.3.1. Gambaran pengetahuan sebelum intervensi ... 55

4.3.2. Pengetahuan keluarga tentang TB paru sebelum intervensi .. 57

4.3.3. Gambaran pengetahuan setelah intervensi... 58

4.3.4. Pengetahuan keluarga tentang TB paru setelah intervensi .... 60

4.3.5. Gambaran sikap sebelum intervensi ... 61

4.3.6. Sikap keluarga tentang TB paru sebelum intervensi ... 64

4.3.7. Gambaran sikap setelah intervensi ... 65

4.3.8. Sikap keluarga tentang TB paru setelah intervensi... 69

4.4. Analisis Bivariat... 69


(13)

4.4.2. Perbedaan sikap sebelum dan sesudah intervensi... 71

4.4.3. Perbedaan pengetahuan keluarga tentang penanganan TB paru setelah intervensi metode ceramah dan metode

ceramah, film, leaflet ... 72

4.4.4. Perbedaan sikap keluarga tentang penanganan TB paru setelah intervensi metode ceramah dan metode ceramah, film, leaflet... 72

BAB 5 PEMBAHASAN ... 74

5.1. Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 74

5.2. Efektivitas Metode Ceramah Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap ... 78

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

6.1. Kesimpulan ... 82

6.2. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Hasil Kegiatan Program TB Paru Kota Bukittinggi Menurut Unit

Pelayanan Tahun 2009... 42 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 47 4.1. Distribusi Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Wilayah Kerja

Puskesmas Guguk Panjang Tahun 2009 ... 53 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Wilayah Puskesmas

Guguk Panjang Kota Bukittinggi ... 54 4.3. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan

Sebelum Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Ceramah,

Film, Leaflet di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang... 55

4.4. Distribusi Frekwensi Pengetahuan Keluarga tentang Penanganan TB

Paru Sebelum Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 57 4.5. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan

Setelah Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Ceramah, Film, Leaflet di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 58 4.6. Distribusi Frekwensi Pengetahuan Keluarga tentang Penanganan

TB Paru Setelah Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk

Panjang... 60 4.7. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum

intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Ceramah, Film, Leaflet

di Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 61 4.8. Distribusi Frekwensi Sikap Keluarga tentang Penanganan TB Paru

Sebelum Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang... 64 4.9. Distribusi Jawaban Responden Berdasarkan Indikator Sikap Setelah

Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Ceramah, Film, Leaflet


(15)

4.10.Distribusi Frekwensi Sikap Keluarga tentang Penanganan TB Paru

Setelah Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 69 4.11. Perbedaan Pengetahuan Keluarga tentang Penanganan TB Paru

Sebelum dan Sesudah Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas

Guguk Panjang ... 70 4.12. Perbedaan Sikap Keluarga tentang Penanganan TB Paru Sebelum

dan Sesudah Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 71 4.13. Perbedaan Pengetahuan Keluarga tentang Penanganan TB Paru

Setelah Intervensi di Wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang ... 72 4.14. Perbedaan Sikap Keluarga tentang Penanganan TB Paru Setelah


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 40-3.1. Disain Penelitian ... 41


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian... 89

2 Tahapan/proses pelaksanaan metode ceramah... 93

3 Tahapan/proses pelaksanaan metode ceramah dengan film dan leaflet... 95

4 Materi Penyuluhan... 97

5 Hasil Uji validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 100

6 Master Tabel... 106

7 Output Hasil Uji Statistik... 114

8 Surat Permohonan Izin penelitian... 122

9 Surat Izin Melaksanakan Penelitian... 123


(18)

ABSTRAK

Tuberkulosis paru masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Tahun 2009. Berbagai upaya penanggulangan yang telah dilakukan belum mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan pengobatan melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Shortcase) belum diikuti dengan peningkatan angka temuan kasus yang masih di

bawah standar nasional 70%.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang. Metode yang digunakan yaitu eksperimen semu (quasi-experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design.. Populasi penelitian adalah seluruh keluarga yang berada di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang. Sampel dikumpulkan secara purposive sampling yang berjumlah 60 orang. Sampel dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok ceramah dan kelompok ceramah yang menggunakan, film, leaflet yang jumlahnya masing-masing 30 orang. Analisis data dilakukan dengan uji T-test dependent/paired dan uji T-test

independent.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap kedua kelompok intervensi sebelum diberikan pembelajaran baik dengan metode ceramah maupun dengan metode ceramah, film, leaflet mayoritas setara yaitu berpengetahuan dan bersikap kurang baik. Sesudah pemberian penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan dan sikap yang bermakna. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan rata-rata nilai pengetahuan dan sikap responden sebelum dan sesudah metode pembelajaran yang menunjukkan peningkatan signifikan. Penggunaan metode ceramah menggunakan film, leaflet lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap dibandingkan dengan metode ceramah.

Disarankan kepada Puskesmas Guguk Panjang agar menjadikan metode ceramah sebagai alternatif dalam pelaksanaan metode pembelajaran di masyarakat dalam penanganan tuberkulosis paru, dan dilakukan secara kontinu kepada masyarakat yang lebih luas. Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi, diharapkan dapat menyediakan dan melengkapi media film dan leaflet yang dibutuhkan tenaga kesehatan untuk mendukung pelaksanaan promosi kesehatan di masyarakat.


(19)

ABSTRACT

Lung tuberculosis was still become the health problem in the working area of Health Center at Guguk Panjang in 2009. Various efforts had been made to handle the disease, but it did not achieve the optimum results. Medical treatment success such as by DOTS (Directly Observed Treatment Shortcase) was not followed by the improvement of the case finding figures which were still under the national target 70 %.

This research was aimed to analyze the effectiveness of the lecture method on the families’ knowledge and attitude in handling lung tuberculosis in the working area of Health Center at Guguk Panjang in 2009. This research used quasi-experiment method with pretest-postest group design. The population was all 60 families in the working area of Health Center at Guguk Panjang. Sample was ghatered using by purposive sampling. The samples consisted of two groups: the lecture group and lecture group with films and leaflets with 30 respondents each. The data were analyzed by using T-test dependent/paires and T-test independent.

The results of the research showed that the knowledge and attitude of the two groups after the intervention, using by either the lecture method or the lecture methode with film and leaflet was equivalent, that is, the knowledge and attitude were not good. After they were given the intervention, their knowledge and attitude increased significantly. It could be seen from the comparison of the average value of the respondents’ knowlwdge and attitude before and after the intervention. Using the lecture method with film and leaflet was more effective in improving the knowledge and attitude than using the lecture without films and leaflets.

Suggested to Health Center at Guguk Panjang to can make lecture methode in the community for handling lung tuberculosis and does it sustainable to broader. Bukittinggi Health Office , expected able to provide and complements film and leaflet required by health educator to support health promotion at social community.

.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang telah berjangkit dalam periode waktu lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang menyerang kelompok usia produktif maupun anak-anak dan merupakan penyakit menular pembunuh nomor satu (Depkes RI, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat penderita Tuberkulosis paru yang sangat tinggi yang menempati urutan ketiga setelah negara Cina dan India (Depkes RI, 2007).

Hingga saat ini penanggulangan TBC di Indonesia memang masih banyak difokuskan pada sisi suplai melalui misalnya melalui penyediaan obat gratis, pelatihan petugas, dan penyediaan fasilitas diagnosa seperti laboratorium dan mikroskop. Melalui upaya-upaya tersebut Indonesia telah mencapai kemajuan yang pesat dalam pencapaian angka keberhasilan pengobatan (Succes Rate), bahkan melewati target global 85% di tahun 2005. Namun keberhasilan ini belum diikuti dengan peningkatan angka temuan kasus. Hingga tahun 2005, tingkat temuan kasus (Case Detection Rate) baru mencapai 68%, masih di bawah target global sebesar 70%. Melihat kondisi tersebut diperlukan upaya peningkatan dari sisi permintaan

(demand) dengan menggerakkan masyarakat untuk memeriksakan. diri dan mencari


(21)

politis untuk memastikan tersedianya pelayanan TBC yang berkualitas serta meneguhkan kewajiban pejabat publik untuk mewujudkan hak hak dasar warganya untuk hidup.

Hasil survei insiden dan prevalensi TB terakhir tahun 2004 diperoleh perbedaan insidensi dan prevalensi antar wilayah . Insidensi BTA positif bervariasi, yaitu 64/100,000 untuk DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 untuk propinsi di Jawa (kecuali DIY), 160/100.000 untuk Sumatera dan 210/100,000 untuk propinsi-propinsi di wilayah Indonesia Timur (Depkes RI, 2005).

Menurut WHO (World Health Organization), sampai dengan tahun 2006, diperkirakan setiap tahun terjadi 539.000 kasus baru Tuberkulosis (TBC) dengan kematian sekitar 101.000. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 110 penderita baru TBC paru BTA positif yang sebagian besar menyerang kelompok usia produktif (Depkes RI, 2007).

Data Depkes RI (2007), menunjukkan bahwa rata-rata angka temuan kasus (CDR) TBC paru di seluruh Indonesia belum mencapai target yang diharapkan yaitu 69,1%. Namun beberapa propinsi sudah mencapai standart minimal 70% seperti DKI, Sulawesi Utara dan Banten.

Menurut Depkes RI (2007) Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010


(22)

dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015.

Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat menempati urutan ke 10 angka temuan kasus TBC paru terbesar di tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus tersebut yaitu DKI Jakarta (88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%), Jawa Barat (67,57%), Sumatera Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%), Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%), Sumatera Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007).

Kota Bukittinggi sebagai wilayah administratif Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang belum mencapai target nasional dalam penemuan kasus TB paru. Tahun 2009, Kota Bukittinggi hanya mencapai 61,25%, yang meningkat dari tahun sebelumnya (48,8%). Hanya beberapa Puskesmas yang telah mencapai target yang telah ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus pada tiap Puskesmas yaitu Puskesmas Nilam Sari (81,3%), Puskesmas Perkotaan (76%), Puskesmas Gulai Bancah (64,3%), Puskesmas Mandiangin (63,6%), Puskesmas Guguk Panjang (58,3 %), Puskesmas Tigo Baleh (30,6%). Angka temuan tersebut di beberapa puskesmas perlu ditingkatkan agar target yang telah ditetapkan dapat tercapai (Dinkes Kota Bukittinggi, 2009).

Pencapaian target penemuan kasus yang diperoleh oleh Puskesmas Guguk Panjang masih perlu ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan dengan angka


(23)

prevalensi tuberkulosis di wilayah Sumatera (160/100.000), dengan jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang, maka dengan jumlah penduduk 22.919 jiwa diharapkan ditemukan kasus sebanyak 36 orang. Dari 36 kasus tersebut diharapkan tercapai target minimal 25 temuan kasus baru. Ternyata temuan kasus sampai bulan desember 2009 hanya mencapai 21 temuan kasus. Sehingga pencapaian temuan hanya mencapai 58,3%.

Upaya yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan dalam penanganan TBC adalah melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcase ) dengan kegiatan tatalaksana pasien TBC ( penemuan tersangka TBC, diagnosis, pengobatan), manajemen, program (perencanaan, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan), pelatihan (bimbingan teknis, pemantapan mutu laboratorium, pengelolaan logistik, pemantauan dan evaluasi), kegiatan penunjang ( promosi, kemitraan, penelitian), Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TBC tipe menular. Namun upaya penanggulangan TBC paru belum menunjukkan hasil yang belum optimal; dengan indikasi rendahnya angka temuan kasus dan masih terdapat penderita yang putus minum obat (Dinkes Kota Bukittinggi, 2007).

Berdasarkan hasil wawancara dengan staf PMK Dinkes Kota Bukittinggi (April, 2010) diketahui bahwa salah satu masalah mendasar dalam penaggulangan TBC paru adalah peranan dukungan keluarga, baik pada fase pelayanan promotif, preventif, dan rehabilitatif . Adapun masalah peran keluarga adalah (1). pemahaman keluarga tentang pencegahan dan penularannya; (2). dukungan dan pemahaman


(24)

terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan; (3). dukungan terhadap pengawasan pengobatan penderita.

Hasil wawancara dengan Petugas TBC di Puskesmas Guguk Panjang (April, 2010) diketahui bahwa promosi penanganan TBC paru diperkirakan belum menunjukkan tingkat pengaruh yang tinggi. Upaya promosi yang dilakukan adalah penyuluhan terhadap pasien yang datang dan berobat di Puskesmas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Menurut hasil Riset Operasional Tuberkulosis di Bukittinggi yang dilakukan Dinkes provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 diperoleh bahwa stigma negatif terhadap penyakit tuberkulosis masih besar terutama penyakit keturunan dan kutukan (Warta Gerdunas TB, 2010). Disamping itu dari hasil pengamatan petugas di puskesmas pasien dan keluarganya masih merasa malu dengan keberadaan penyakit yang dideritanya. Ini terlihat dari pasien yang mengatakan “ minta obat yang minumnya enam bulan” saat meminta obat ke puskesmas.

Penanggulan TBC memerlukan upaya terpadu dan sistematis dalam berbagai aspek diantaranya melalui strategi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk perubahan perilaku serta mobilisasi kekuatan elemen-elemen sosial kemasyarakatan (Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Menurut Notoatmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu upaya menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, individu agar memperoleh pengetahuan kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku.


(25)

Penyuluhan pada dasarnya merupakan proses komunikasi dan proses perubahan perilaku melalui pendidikan. Agar kegiatan penyuluhan dapat mencapai hasil yang maksimal, maka metode dan media penyuluhan perlu mendapat perhatian yang besar dan harus disesuaikan dengan sasaran. Penggunaan kombinasi berbagai media akan sangat membantu dalam proses penyuluhan kesehatan. Menurut Edgar Dale dalam Notoatmodjo (2003), semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Penggunaan alat peraga dalam melakukan penyuluhan akan membantu penyampaian pesan kepada seseorang/masyarakat secara lebih jelas dan dapat diterima dengan jelas.

Pada penelitian Basuki (2006) mengemukakan bahwa metode penyuluhan mempunyai hubungan yang bermakna dalam peningkatan pengetahuan. Penelitian Sriyono (2001) juga memperlihatkan bahwa penggunaan audiovisual dikombinasikan dengan diskusi kelompok cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap kader posyandu dalam menemukan tersangaka penderita tuberkulosis. Hasil penelitian Silitonga (2000) menunjukkan bahwa risiko putus berobat penderita TB lebih besar bila penyuluhan dilakukan tanpa menggunakan media dibanding bila penyuluhan dilakukan dengan menggunakan media.

Menurut Jaramillo (1998) pendidikan kesehatan berbasis komunitas dapat membantu dalam meningkatkan angka penemuan kasus TB paru, mengurangi keterlambatan pengobatan dan mempromosikan pendekatan pengobatan. Penyuluhan dengan menggunakan berbagai media dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat


(26)

yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TBC dari "suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan" menjadi penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan". Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2007).

Masih kurangnya pengetahuan mengenai bahaya TBC serta pelayanan kesehatan yang tersedia, membuat jumlah pasien yang dapat menjangkau layanan TBC masih relatif rendah. Dalam konteks TBC, ditemukan bahwa pengetahuan, kesadaran dan perilaku nyata warga untuk menjaga mutu asupan makanan minuman yang bergizi, menjaga sanitasi diri dan lingkungan, memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan serta berobat teratur tuntas bila terkena TBC, masih relatif rendah. Untuk itu, diperlukan pula keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TBC (Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Dalam pemberantasan Tuberkulosis, keluarga diharapkan bukan hanya berperan dalam pengawasan minum obat penderita saja, tetapi juga berperan dalam mengajarkan hidup sehat dan menganjurkan ke pelayanan kesehatan. Keluarga yang merupakan elemen masyarakat mempunyai peranan penting dalam penanggulangannya. Dukungan lingkungan sosial dan keluarga diharapkan mampu meningkatkan temuan kasus dan membantu kesembuhan penderita dalam pengobatan (Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

Menurut Notoadmodjo yang mengutip pendapat Sadli (2003) dapat disimpulkan bahwa individu sejak lahir berada dalam satu kelompok, terutama keluarga. Kelompok ini akan membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan


(27)

mempengaruhi anggota kelompok lain, demikian juga perilaku individu tersebut terhadap masalah-masalah kesehatan.

Survei Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004, menunjukkan sebagian besar masyarakat di Indonesia memperoleh informasi TB melalui keluarga atau tetangga (57%), petugas kesehatan (35,6%), guru (12%) dan yang lainnya (3,2%). Untuk kawasan Sumatera lebih banyak mendengar penyakit TBC melalui TV (58%), majalah/koran (19%), tokoh agama/masyarakat (17%) dan melalui guru (17%) ( Depkes RI, 2005).

Menurut studi implikasi survei Tuberkulin penelusuran anak dengan mantoux positif terhadap kejadian sakit tuberkulosis di Sumatera Barat Tahun 2008 didapatkan bahwa sumber kontak TB pada anak bukan hanya pada anak yang punya riwayat TB pada keluarga saja. Ini berarti anak pada setiap keluarga memiliki resiko tinggi tertular tuberkulosis walaupun di keluarganya tidak terdapat penderita TB. Untuk itu perlu mencari sumber kontak lainnya yaitu sumber kontak yang bukan pada keluarga penderita TB di lingkungan masyarakat tempat tinggal (Warta Gerdunas TB, 2010).

Melihat pentingnya peran keluarga dalam penanganan tuberkulosis, untuk itu keluarga sebagai organisasi terkecil dalam masyarakat diharapkan dapat menjadi agen perubahan sosial. Peran serta masyarakat di dalam penanggulangan penyebaran tuberkulosis amat penting dilakukan dan dikembangkan, karena bukan hanya menyangkut kepada penemuan kasus saja, namun dapat membantu pemberantasan berbagai penyakit yang berbasis kepada perilaku masyarakat.


(28)

Menurut Rogers dan Shoemaker yang mengutip pendapat Graeff dkk (1996) dalam mengubah perilaku masyarakat terdapat suatu kegiatan yang dikenal dengan difusi inovasi, yaitu suatu proses penyebarserapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam merubah suatu masyarakat. Dalam penerimaan suatu inovasi biasanya melalui beberapa tahapan yang disebut dengan tahap putusan inovasi atau dikenal dengan model difusi inovasi. Komunikasi yang dilakukan melalui penyuluhan diharapkan akan menjadi bagian dalam tahapan perubahan perilaku dalam masyarakat. Model difusi inovasi menegaskan peran agen – agen perubahan dalam lingkungan sosial, yang mengambil fokus bukan pada individu sasaran utama. Secara relatif, tetangga, petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu.

Dalam konteks penanganan tuberkulosis, selain keluarga pasien, keluarga yang bukan berasal dari penderita TB juga turut berperan penting sebagai agen dalam menciptakan perubahan perilaku masyarakat agar sesuai dengan perilaku yang diharapkan seperti, menganjurkan memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan jika menemui gejala, dukungan terhadap pencegahan TB dan cara hidup sehat, serta dukungan keluarga terhadap pengawasan pengobatan. Oleh sebab itu mereka yang bukan dari keluarga pasien, memiliki kontribusi yang penting dalam perubahan perilaku sehingga dapat dijadikan sebagai sasaran perubahan perilaku.

Dari penjelasan yang telah dijelaskan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga


(29)

perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2003) pendidikan kesehatan tidak lepas dari proses belajar karena proses belajar itu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa ahli pendidikan mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar ke dalam 4 kelompok besar, yakni faktor materi (bahan belajar), lingkungan, instrumental dan subjek belajar. Faktor instrumental ini terdiri dari perangkat keras (hardware) seperti perlengkapan belajar dan alat-alat peraga dan perangkat lunak (software) seperti fasilitator belajar, metode belajar, organisasi dan sebagainya.

Berbagai bentuk pendidikan kesehatan telah dilakukan selama ini, khususnya berkaitan dengan TBC lebih banyak dilakukan secara tidak langsung antara lain melalui berbagai media baik elektronik maupun dalam bentuk spanduk dan poster. Namun dari hasil laporan belum menunjukkan peningkatan jumlah temuan kasus.

Bertitik tolak kepada hal tersebut peneliti mencoba melakukan pendekatan metode belajar melalui dua metode ceramah yakni metode ceramah tanpa menggunakan film dan leaflet, dengan metode ceramah menggunakan film dan

leaflet. Dengan melihat pengaruh dan membandingkan efektifitas kedua metode

tersebut, diharapkan akan lebih berhasil meningkatkan perilaku keluarga dalam penanganan TB paru dan diharapkan terbinanya kelompok-kelompok motivator dalam masyarakat.


(30)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas metode ceramah yang diberikan pada keluarga untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan TB paru sehingga mempunyai dampak pada peningkatan temuan kasus TB paru di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi.

1.4. Hipotesis

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini yaitu terdapat efektivitas metode ceramah terhadap pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan tuberkulosis paru.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi agar dapat menjadi bahan acuan (model) untuk program pencegahan dan pemberantasan TB Paru .


(31)

2. Bagi Puskesmas Guguk Panjang agar dapat memberdayakan keluarga sebagai potensi yang besar untuk ikut berperan dalam pencegahan dan penanggulangan TB paru.


(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Klasifikasi TBC paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan. Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif. Foto rontgen dada menunjukkan hasil positif (Laban, 2007).

2.1.2. Cara penularan dan risiko penularan

Penderita dapat menularkan kuman TB pada orang lain melalui cara ;

1.) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 2.) Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama


(33)

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 3.) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 4.) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2008).

Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2.1.3. Gejala klinis pasien TB

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu


(34)

bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.1.4. Pengobatan TB dan efek samping

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Kombinasi beberapa jenis obat tersebut terdiri dari ; Rifampisin, INH, Pyrazinamid, Etambutol, Streptomisin .

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang PMO, supaya penderita meminum obatnya secara teratur setiap hari. Minum obat yang tidak teratur dan terputus putus bisa


(35)

menimbulkan kekebalan kuman terhadap obat anti TBC sehingga kuman tidak mati dan penyakit sulit untuk sembuh. Keadaan ini akan sangat membahayakan penderita sendiri maupun masyarakat sekitarnya.

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman

persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan yaitu ; luasnya tubuh yang diserang, jenis, jumlah dan dosis obat yang cukup, teratur dalam menjalankan proses pengobatan, Istirahat yang cukup, perumahan yang sehat, makan-makanan bergizi, Iklim, faktor psikis.

Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya


(36)

kepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping saat minum obat yang perlu diketahui yaitu; kulit berwarna kuning, air seni berwarna gelap seperti minum air teh, kesemutan, mual dan muntah, hilang nafsu makan, perubahan pada penglihatan, demam yang tidak jelas, lemas dan keram perut.

2.1.5. Memastikan penyakit TBC

Untuk memastikan bahwa seseorang menderita TB paru atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan dahak sebanyak 3x selama 2 hari yang dikenal dengan istilah SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) yaitu; (i) Sewaktu (hari pertama), yaitu pemeriksaan dahak sewaktu penderita dating pertama kali; (ii) Pagi (hari kedua), yaitu pemeriksaan sehabis bangun tidur kesesokan harinya. Dahak ditampung dalam pot kecil yang diberi petugas laboratorium; (iii) Sewaktu (Hari kedua), yaitu pemeriksaan dahak yang dikeluarkan saat penderita datang ke laboratorium untuk diperiksa. Jika positif, orang tersebut dipastikan menderita TB Paru.

Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2007).


(37)

2.1.6 Pengawas menelan obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO yang memiliki syarat ;

1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. 3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan dan bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, tokoh masyarakat atau anggota keluarga. PMO memiliki tugas yaitu;

1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, 2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien

untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

3. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala- gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2007).

2.2. Cara Pencegahan Penyakit TBC

Menurut Depkes RI (2007) agar terhindar dari TB paru ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya;


(38)

1. Membiasakan cara hidup sehat dengan makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, olah raga teratur, menghindari rokok, alkhol, obat terlarang dan menghindari stress.

2. Bila batuk mulut ditutup.

3. Jangan meludah sembarang tempat 4. Lingkungan sehat.

5. Vaksinasi BCG pada bayi

2.3. Penanggulangan Tuberkulosis

Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against

TB and Lung Diseases) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang

dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif

(cost-efective).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI, 2007).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci; 1. Komitmen politis.


(39)

3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan (Depkes RI, 2007).

2.3.1. Visi dan misi penanggulangan tuberkulosis

Strategi penanggulangan tuberkulosis memiliki visi yaitu masyarakat yang mandiri dalam hidup sehat di mana tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Strategi penanggulangan tuberkulosis memiliki misi yaitu menjamin bahwa setiap pasien TB mempunyai akses terhadap pelayanan yang bermutu, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB, menurunkan resiko penularan TB dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB.

2.3.2. Tujuan dan target

Tujuan penanggulangan Tuberkulosis yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya MDR TB.

Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat


(40)

menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015 (Depkes RI, 2007).

2.3.3. Kebijakan penanggulangan tuberkulosis

Menurut Depkes RI (2007) Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia ditempuh melalui kebijakan - kebijakan yakni;

1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS

3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB.

4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).


(41)

6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB). 7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan

untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara gratis dan dijamin ketersediaannya.

9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

10.Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.

11.Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV. 12.Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 13. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.

2.3.4. Strategi advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam penanggulangan tuberkulosis

AKMS TB adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan penanggulangan TB. Sehubungan dengan itu AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis. Dalam pelaksanaan tiga strategi


(42)

tersebut tidak berdiri sendiri, antara satu strategi dengan strategi lainnya saling ada keterkaitan (Depkes RI, 2007).

2.4. Indikator Keberhasilan Program Tuberkulosis 1. Angka penjaringan suspek

Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).

Rumus :

Jumlah suspek yang diperiksa

———————————— x 100.000 Jumlah pendududk

2. Proporsi pasien TB BTA positif diantara Suspek

Adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

Rumus :

Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan

———————————————————— x 100% Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa


(43)

3. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat/diobati

Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

Rumus :

Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh)

———————————————————— x 100% Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)

4. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.

Rumus :


(44)

5. Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

Rumus :

Jumlah pasien TB BTA positif yang konversi

—————————————————————— x 100% Jumlah seluruh pasien baru TB positif yang diobati

6. Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.

Rumus :

Jumlah pasien TB BTA positif yang sembuh

—————————————————————— x 100% Jumlah seluruh pasien baru TB positif yang diobati

2.5. Promosi Kesehatan

Istilah dan pengertian promosi kesehatan adalah merupakan pengembangan dari istilah pengertian yang sudah dikenal selama ini, seperti: Pendidikan Kesehatan, Penyuluhan Kesehatan, KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi).


(45)

Promosi kesehatan dapat diartikan sebagai upaya menyebarluaskan, mengenalkan atau menjual pesan-pesan kesehatan sehingga masyarakat menerima atau membeli pesan-pesan kesehatan tersebut dan akhirnya masyarakat mau berperilaku hidup sehat (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Notoatmodjo (2005) yang mengutip pendapat Green menyebutkan bahwa promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang dirancang untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan.

Green juga mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang meliputi pengetahuan dan sikap dari seseorang.

2. Faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi sarana, prasarana, dan fasilitas yang mendukung terjadinya perubahan perilaku.

3. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penguat bagi seseorang untuk mengubah perilaku seperti tokoh masyarakat, undang-undang, peraturan- peraturan, surat keputusan.

2.6. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Dari


(46)

pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Menurut Rogers dan Shoemaker (1978) mengungkapkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi 4 tahapan pada seseorang tersebut, yaitu ; (1) tahap pengetahuan, yaitu tahap seseorang untuk memahami atau mengetahui suatu inovasi; (2) tahap persuasi, yaitu tahap peningkatan motivasi dalam menanggapi suatu inovasi sehingga mau dipersuasi atau dibujuk untuk berubah; (3) tahap keputusan, yaitu tahap seseorang untuk membuat keputusan dalam menerima atau menolak suatu inovasi; dan (4) tahap penguatan, yaitu tahap seseorang untuk meminta dukungan dari lingkungannya atas keputusan yang telah diambilnya.

Pengetahuan yang dicakup didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contoh : dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.


(47)

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus makan makanan yang bergizi.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja yaitu dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.


(48)

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak-anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

2.7. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat tetapi


(49)

hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).

Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. 2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan


(50)

Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni : 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatiannya terhadap ceramah-ceramah.

2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu lain (tetangganya, saudaranya, dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.


(51)

Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.

2.8. Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Efendy,1995).

Menurut Friedman (1998) keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesehatan para anggotanya dan saling memelihara . 5 tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh keluarga yaitu : (1) mengenali gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya, (2) mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, (3) memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak membantu dirinya karena cacat / usia yang terlalu muda., (4) mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga, (5) mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dari lembaga-lembaga kesehatan yang menunjukkan pemanfaatan dengan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.

2.9. Metode Penyuluhan

Menurut Mardikanto (1993), bahwa penyuluhan pada dasarnya merupakan proses komunikasi dan proses perubahan perilaku melalui pendidikan.


(52)

Bertolak dari pemahaman tentang pengertian seperti hal di atas maka pemilihan metode penyuluhan dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan- pendekatan seperti berikut:

2.9.1. Metode penyuluhan dan proses komunikasi

Untuk memilih metode yang efektif dalam berkomunikasi dan penyuluhan, dapat didasarkan pada tiga cara pendekatan, yaitu:

1. Metode penyuluhan menurut media yang digunakan di mana dapat dibedakan atas:

a. Media lisan, baik yang disampaikan secara langsung (melalui percakapan, tatap muka) maupun tidak langsung (lewat radio, telefon).

b. Media cetak, baik berupa gambar, tulisan, foto, selebaran, poster, dan lain- lain, yang dibagikan atau dipasang pada tempat-tempat strategis seperti di jalan dan pasar.

c. Media terproyeksi, berupa gambar atau tulisan lewat slide, pertunjukan film, dan lain-lain.

2. Metode penyuluhan menurut hubungan penyuluh dan sasarannya, di mana dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:

a. Komunikasi langsung baik melalui percakapan tatap muka atau telefon yang mana komuniasi dapat secara langsung dalam waktu relatif singkat.

b. Komunikasi tidak langsung seperti lewat surat, perantaraan orang lain, di mana komunikasi tidak dapat dalam waktu singkat.


(53)

3. Metode penyuluhan menurut keadaan psikososial sasarannya, di mana dibedakan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:

a. Pendekatan perorangan di mana penyuluh berkomunikasi secara orang perorang, seperti melalui kunjungan rumah ataupun kunjungan di tempat kegiatan sasaran.

b. Pendekatan kelompok, dalam hal ini penyuluh berkomunikasi dengan sekelompok sasaran pada waktu yang sama.

c. Pendekatan massal jika penyuluh berkomunikasi secara tidak langsung atau langsung dengan sejumlah sasaran yang sangat banyak bahkan mungkin tersebar tempat tinggalnya, seperti penyuluhan lewat televisi.

2.9.2. Metode penyuluhan dalam pendidikan non formal

Yang merupakan ciri utama dalam metode ini adalah penyuluhan dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan program penyuluhan sesuai dengan kebutuhan sasarannya.

2.9.3. Metode penyuluhan dalam pendidikan orang dewasa

Pemilihan metode penyuluhan dalam pendidikan orang dewasa ini harus selalu mempertimbangkan:

a. Waktu penyelenggaraan yang tidak terlalu mengganggu kegiatan/pekerjaan pokoknya.

b. Waktu penyelenggaraan sesingkat mungkin. c. Lebih banyak menggunakan alat peraga.


(54)

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah bahwa program penyuluhan harus lebih banyak mengacu kepada pemecahan masalah yang sedang dan akan dihadapi.

Menurut Notoatmodjo (2005), faktor metode penyuluhan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu hasil penyuluhan secara optimal. Ada beberapa metode yang dikemukakan antara lain:

1. Metode penyuluhan perorangan, termasuk di dalamnya bimbingan dan penyuluhan, serta wawancara (interview).

2. Metode penyuluhan kelompok, dalam metode ini harus diingat besarnya kelompok dan tingkat pendidikan sasaran. Metode ini mencakup:

a. Kelompok besar, yaitu apabila peserta penyuluhan itu lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar ini adalah ceramah dan seminar. b. Kelompok kecil, yaitu apabila peserta penyuluhan kurang dari 15 orang.

Metode yang cocok untuk kelompok kecil adalah diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju (snow balling), permainan simulasi, memainkan peran, dan lain-lain.

3. Metode penyuluhan massa.

Dalam metode ini penyampaian informasi ditujukan kepada masyarakat yang sifatnya massa atau publik. Beberapa contoh dari metode ini adalah seperti ceramah umum (public speaking), pidato-pidato melalui media elektronik, tulisan-tulisan dimajalah atau koran serta Bill Board.


(55)

2.10. Alat Bantu Penyuluhan

Alat bantu penyuluhan adalah alat-alat yang digunakan penyuluh dalam penyampaian informasi. Alat bantu ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Elgar Dale membagi alat peraga tersebut atas sebelas macam dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap alat tesebut dalam sebuah kerucut. Secara berurut dari intensitas yang paling kecil sampai yang paling besar alat tersebut adalah sebagai berikut: 1). Kata-kata; 2). Tulisan; 3). Rekaman, radio; 4) Film; 5) Televisi; 6). Pameran; 7). Fieldtrip; 8). Demonstrasi; 9). Sandiwara; 10). Benda Tiruan; 11). Benda Asli.

Alat bantu akan sangat membantu di dalam melakukan penyuluhan agar pesan-pesan kesehatan dapat disampaikan lebih jelas dan tepat.

Ada beberapa macam alat bantu antara lain:

a. Alat bantu lihat, misalnya slide, film, gambar, dan lain-lain. b. Alat bantu dengar, misalnya radio, piring hitam, dan lain-lain. c. Alat bantu lihat-dengar misalnya, televisi, video cassette.

Menurut pembuatan dan penggunaannya alat bantu ini dapat dikelompokkan menjadi:


(56)

a. Alat bantu yang rumit (complicated) seperti, film strip, slide yang memerlukan alat untuk mengoperasikannya.

b. Alat bantu yang sederhana seperti leaflet, buku bergambar, benda-benda yang nyata, poster, spanduk, flanel graph, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

2.11. Media Penyuluhan

Media penyuluhan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronik dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya kearah positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2005).

Berdasarkan penggolongannya media penyuluhan ini dapat ditinjau dari berbagai pihak, seperti:

1. Menurut bentuk umum penggunaannya

Penggolongan media penyuluhan berdasarkan penggunaannya, dapat dibedakan menjadi:

a. Bahan bacaan: modul, buku rujukan/bacaan, folder, leaflet, majalah, dan lain sebagainya.

b. Bahan peragaan: poster tungal, poster seri. 2. Menurut cara produksi

Berdasarkan cara produksi, media penyuluhan dapat dikelompokkan menjadi beberapa, yaitu:


(57)

a. Media cetak

Media ini mengutamakan pesan-pesan visual, biasanya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata warna. Yang termasuk dalam media ini adalah: poster, leaflet, brosur, majalah, surat kabar, lembar balik, sticker dan pamflet.

Ada beberapa kelebihan media cetak ini antara lain: tahan lama, mencakup banyak orang, biaya rendah, dapat dibawa kemana-mana, tidak perlu listrik, mempermudah pemahaman dan dapat meningkatkan gairah belajar. Tetapi media ini juga memiliki kelemahan yaitu tidak dapat menstimulir efek gerak dan efek suara, dan mudah terlipat.

b. Media elektronika

Media ini merupakan media yang bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan didengar dan penyampaiannya melalui alat bantu elektronika. Yang termasuk dalam madia ini adalah: televisi, radio, film, video film, CD dan VCD. Seperti halnya media cetak, media elektronik ini juga memiliki kelebihan antara lain: lebih mudah dipahami, lebih menarik, sudah dikenal masyarakat, bertatap muka, mengikut sertakan seluruh panca indera, penyajian dapat dikendalikan dan diulang-ulang, serta jangkauannya relatif besar. Kelemahan dari media ini adalah: biaya lebih tinggi, sedikit rumit, perlu listrik dan alat, perlu persiapan, perlu penyimpanan dan perlu keterampilan untuk mengoperasikannya.

c. Media luar ruang

Media ini menyampaikan pesannya di luar ruang, bisa melalui media cetak maupun elektronik, misalnya: papan reklame, spanduk, pameran, banner dan televisi


(58)

layar lebar. Kelebihan dari media ini adalah lebih mudah dipahami, lebih menarik, sebagai informasi umum dan hiburan, bertatap muka, mengikut sertakan seluruh panca indera, penyajian dapat dikendalikan dan jangkauannya relatif besar. Kelemahan dari media ini antara lain: biaya lebih tinggi, sedikit rumit, perlu listrik dan alat, perlu persiapan, perlu penyimpanan dan perlu keterampilan untuk mengoperasikannya.

2.12. Landasan Teori

Keberhasilan pengobatan tuberkulosis melalui strategi DOTS belum diikuti dengan tercapainya target angka temuan kasus. Upaya promosi kesehatan yang telah dilakukan pada pasien dan keluarganya ternyata belum mampu meningkatkan angka temuan kasus di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kotamadya Bukittinggi. Kondisi ini dipersulit dengan masih rendahnya pengetahuan tentang TB dan masih adanya stigma negatif di masyarakat terhadap penderita TB. Pendidikan kesehatan pada masyarakat (yang dalam hal ini diarahkan pada keluarga yang bukan dari penderita TB), memiliki peranan dalam mendukung tercapainya angka temuan kasus tersebut. Saluran komunikasi yang telah dilakukan, baik melalui media cetak maupun elektronik ternyata belum menghasilkan dampak sesuai dengan apa yang diharapkan. Teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Rogers dan Shoemaker (1978) merupakan suatu landasan yang menekankan pentingnya saluran komunikasi dan penyebarserapan ide-ide melalui peran agen – agen perubahan dalam lingkungan sosial. Secara relatif, tetangga, petugas kesehatan atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan perubahan perilaku dengan cara-cara tertentu, misalnya


(59)

dengan cara meningkatkan kebutuhan akan perubahan, membangun hubungan interpersonal yang diperlukan, rnengidentifikasi masalah-masalah dan penyebabnya, mendapatkan sasaran dan jalan keluar yang potensial serta memotivasi seseorang supaya menerima dan memelihara aksi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas saluran komunikasi yang dilakukan dengan metode ceramah dalam merubah pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan tuberkulosis paru.

2.13. Kerangka Konsep

Berdasarkan beberapa kajian teori dan hasil penelitian, maka kerangka konsep penelitian yang disusun adalah sebagai berikut;

Postest

Pengetahuan dan Sikap Keluarga dalam penanganan

TB Paru

Pretest

Pengetahuan dan Sikap Keluarga dalam penanganan TB Paru

Intervensi

Penyuluhan kesehatan

 Metode penyuluhan ceramah

 Metode penyuluhan ceramah, leaflet dan film

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Konsep utama penelitian adalah untuk melihat pengaruh metode penyuluhan ceramah dengan metode penyuluhan melalui media ceramah, leaflet dan film terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap keluarga dalam penanganan TB Paru.


(60)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu

(quasi-experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design (Pratomo, 1986).

Rancangan ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian lapangan untuk memenuhi kriteria randomisasi dari true experiment design sangat sulit dan biayanya mahal. Di samping itu rancangan ini sangat baik digunakan untuk evaluasi program pendidikan kesehatan atau pelatihan-pelatihan lainnya (Notoatmodjo,2005). Penelitian ini menggunakan dua kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakuan penyuluhan dengan metode ceramah dan kelompok yang diberi perlakuan penyuluhan dengan metode ceramah, leaflet dan film

Adapun desain penelitian adalah sebagai berikut:

O1 X1 O2 O3 X2 O4

Gambar 3.1. Disain penelitian

O1 dan O3 Pre-test untuk menilai pengetahuan dan sikap sebelum dilakukan perlakuan penyuluhan metode ceramah dan penyuluhan metode ceramah, leaflet dan


(61)

X1 dan X2 untuk perlakuan penyuluhan metode ceramah dan penyuluhan metode ceramah, laflet dan film .

O2 dan O4 Post test untuk menilai pengetahuan dan sikap sesudah dilakukan perlakuan penyuluhan metode ceramah dan penyuluhan metode ceramah menggunakan leaflet dan film.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang yang meliputi 3 Kelurahan yaitu Bukit Cangang, Tarok Dipo dan Pakan Kurai. Alasan pemilihan lokasi karena Puskesmas Guguk Panjang merupakan salah satu Puskesmas yang memiliki angka temuan kasus TB paru yang rendah di Kota Bukittinggi, yang dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Hasil Kegiatan Program TB Kota Bukittinggi Menurut Unit Pelayanan Tahun 2009.

1

TARGET REALISASI NO Puskesmas/ UPK Jml Pendu duk Sus pek BTA Pos Sus pek BT A + BTA Neg R"O Pos Anak

Kam buh Extra Paru Jml Kasus TB Paru CDR % G.Panjang 22919 360 36 226 21 0 5 1 0 22 58.3 2 Perkotaan 16196 250 25 213 19 2 5 1 0 22 76.0 3 Tigo Baleh 21269 360 36 214 11 0 0 0 0 11 30.6 4 Mandiangin 23411 330 33 264 21 0 1 0 2 21 63.6 5 Nilam Sari 11062 160 16 152 13 0 0 0 0 13 81.3 6

Gulai

Bancah 9709 140 14 114 9 2 2 0 0 11 64.3

7 R.S. Achmad Mochtar

- - - 3 0 0 0 0 3

8 RS. Tentara - - - 1 0 0 0 0 1


(62)

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 sampai Agustus 2010 yang dimulai dari pengumpulan data sekunder, identifikasi masalah, penelusuran pustaka, penentuan judul, bimbingan hingga penyusunan hasil penelitian .

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga bukan penderita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kota Bukittinggi dalam periode waktu penelitian.

Metode pengambilan sampel yang dalam penelitian ini adalah secara

purposive sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1995).

Menurut Depkes RI (2008), seseorang yang terkena TB dapat menularkan 10 orang pada satu tahun. Oleh karena itu peneliti mengambil sampel dari 10 keluarga dari yang berada di sekitar kasus TB pada tahun 2010. Dari hasil laporan SP2TP Puskesmas Guguk Panjang diperoleh bahwa jumlah kasus baru TB sampai dengan Juni 2010 berjumlah 6 orang dengan sebaran 1 orang dari kelurahan Bukit Cangang, 3 orang dari kelurahan Tarok Dipo dan 2 orang dari kelurahan Pakan Kurai. Sehingga total sample dalam penelitian berjumlah 60 orang.

Sampel pada penelitian ini ditetapkan dengan kriteria inklusi, dimana anggota keluarga yang dimaksud memiliki criteria, yaitu:


(1)

media VCD dan Leaflet dapat meningkatkan pengetahuan, sikap guru penjaskes dalam upaya pencegahan GAKI di kalangan murid di Kecamatan Amahai dan Teon Nila Serua Kabupaten Maluku Tengah (Metehoky dkk, 2004). Penelitian Supardi (2002) yang dikutip oleh Nasution (2010) juga membuktikan bahwa adanya pengaruh metode ceramah dan pemberian leaflet terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang pengobatan sendiri.

Pendidikan kesehatan melalui perbandingan kedua metode pembelajaran tersebut diharapkan terjadinya perubahan perilaku dalam keluarga tentang penanganan TB paru, sehingga dalam praktek dan penerapannya dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan metode dan media pembelajaran yang efektif untuk mencapai perilaku yang diharapkan.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pada kelompok intervensi ceramah terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi yaitu dari 16,53 sebelum intervensi menjadi 23,57 sesudah Intervensi, dengan hasil uji pair-t test diperoleh nilai p=0,000 (<0,05).

2. Pada kelompok intervensi ceramah, film, leaflet terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap sebelum dan sesudah intervensi yaitu dari 15,67 menjadi 24.8, dengan hasil uji pair-t test diperoleh nilai p=0,000 (<0,05).

3. Terdapat perbedaan pengetahuan antara kedua metode setelah dilakukan intervensi ceramah dan ceramah, film, leaflet. Hasil uji t test independent diperoleh nilai p=0,013, artinya secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan pengetahuan antara kedua metode setelah dilakukan intervensi ceramah dan ceramah, film, leaflet.

4. Terdapat perbedaan sikap antara kedua metode setelah dilakukan intervensi ceramah dan ceramah, film, leaflet. Hasil uji t test independent diperoleh nilai

p=0,000, artinya secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan sikap antara

kedua metode setelah dilakukan intervensi ceramah dan ceramah, film, leaflet. 5. Penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah, film, leaflet lebih efektif


(3)

dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap responden penanganan TB paru dibandingkan dengan penyuluhan metode ceramah.

6.2. Saran

1. Dinas Kesehatan Kota, diharapkan dapat menyediakan dan melengkapi berbagai media yang dibutuhkan tenaga kesehatan dalam melakukan promosi kesehatan di masyarakat.

2. Puskesmas disarankan menggunakan kombinasi media film dan leaflet saat melakukan ceramah tentang kesehatan kepada masyarakat, karena dengan kombinasi tersebut diharapkan audiens lebih mudah untuk memahami pesan yang disampaikan.

3. Mengingat pentingnya peran keluarga dalam penanganan TB paru, maka perlu dilakukan program pendidikan kesehatan yang efektif dan berkelanjutan serta menjangkau masyarakat yang lebih luas sehingga dapat mencegah terjangkitnya TB paru dan meningkatkan temuan kasus TB di masyarakat.

4. Diharapkan agar puskesmas dan dinas kesehatan mampu memikirkan strategi promosi lain yang dianggap lebih efektif dalam penaganan TB paru di masyarakat secara mandiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Basuki. 2006. Efektifitas Metoda Penyuluhan dalam Peningkatan Pengetahuan tentang Hygiene pada Murid S.D. Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu. Tesis: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Depkes RI, 1999. Paradigma Sehat Menuju Indonesia Sehat 2010, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

---, 2002. Modul Dasar Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan R.I.

………, 2005, Survei Prevalensi Tuberkulosis Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular-Penyehatan Lingkungan Tahun 2004.(Jurnal elektronik). diakses 27 April 2010 ; (http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/BSukana2_3.p df)

………, 2007a. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

...,2007b. Profil Kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. ...,2008. Lembar fakta Tuberkulosis, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dinkes Kota Bukittinggi, 2010. Hasil Kegiatan Program TB Kota Bukittinggi Tahun

2009, Bukittinggi.

De Porter. B. 2000. Quantum Teaching. Terjemahan. Bandung: Kaifa-Mizan. Efendy, 1995. Perawatan Kesehatan Masyarakat, EGC Jakarta

Friedman, Marlyn M. 1998. Praktik Keperawatan Keluarga: Teori, Pengkajian, Diagnosa, dan Intervensi. Toronto: Appleton & Lange.

Graeff, J.A.; Elder, J.P and Booth, E.M.., 1996. Komunikasi Untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


(5)

Green, Lawrence W. and Marshall W. Kreuter. 2005. Health Program Planning: An Educational and Ecological Approach, 4 th ed. Boston: McGraw- Hill.

Hastono, S.P., 2006. Modul Basic Data Analysis for Health Research Training, Jakarta, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Koalisi untuk Indonesia Sehat 2005. Laporan Riset Baseline Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Tuberkulosis, Jakarta.

...,2006. Laporan Riset Evaluasi Program Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial Program Tuberkulosis, Jakarta.

Kriyantono, 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenanda, Media Group, Jakarta.

Laban, 2007. TBC: Penyakit & Cara Pencegahan Jakarta : Kanisius

Ircham., 2005. Metode Penelitian untuk Mahasiswa Institusi Kesehatan Keperawatan dan Kebidanan, Yogyakarta : Penerbit Fitramaya.

Mardikanto. 1991. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Metekohy, Feby A., Toto Sudargo, dan Fatwasari Tetra Dewi. 2004. ”Pengaruh Media Ceramah, Leaflet, dan VCD dalam Pencegahan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium”. Berita Kedokteran Masyarakat, 20 (3), p. 97-135.s

Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. ---. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. ---. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Nasution, Nova, 2010. Efektivitas Media Leaflet dalam Perubahan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusui Dini dan Asi Eksklusif di Kecamatan Padang Sidempuan Selatan. Tesis. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pandiangan. 2005. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Melalui Metode Ceramah, Media Audio Visual, Ceramah Plus Audio Visual pada Pengetahuan dan Sikap Remaja SLTP di Tapanuli Utara. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.


(6)

Pratomo,Sudarti. 1986. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Bidang Kesehatan Masyarakat dan K.B. Jakarta: PMU Pengembangan FKM di Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I.

Purwanta., 2005. Ciri-Ciri Pengawas Minum Obat yang Diharapkan Oleh Penderita Tuberkulosis Paru di Daerah Urban Dan Rural Di Yogyakarta, Program Studi Ilmu Keperawatan, FK-UGM, Yogyakarta.

Roger,E.M, dan Shoemaker,F.F, 1978. Communication of Innovation, The Free Press, New York.

Silitonga, 2000. Hubungan Faktor Komponen Penyuluhan Dengan Resiko Putus Berobat Penderita Tuberculosis Paru Di Jakarta Selatan Tahun 1999. Tesis Program Studi Epidemiologi Universitas Indonesia.

Singarimbun, 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sriyono, 2001, Pendidikan Kesehatan Melalui Metode Diskusi Kelompok Dan Ceramah Menggunakan Audio Visual Untuk Meningkatkan, Pengetahuan, Sikap, Dan Ketrampilan Kader Posyandu Dalam Menemukan Tersangka Tuberculosis Paru. Thesis, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Sukana,B., Herryanto, Supraptin., 1999. Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan Penderita TB Paru Di Kabupaten Tangerang,Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 3.

Riduwan, 2002. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Warta Gerdunas TB, 2010. Riset Operasional Tuberkulosis :“Studi implikasi survei Tuberkulin penelusuran anak dengan mantoux (+) terhadap kejadian sakit Tuberkulosis di 3 daerah Sumatera Barat, 2008”. Volume 16 Februari 2010.


Dokumen yang terkait

EFEKTIFITAS PROGRAM PENYULUHAN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP PERILAKU SEHAT PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JANTI DAN MULYOREJO KOTA MALANG

5 45 31

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU KELUARGA TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGWUNGU KABUPATEN BANYUWANGI

1 34 28

PENGARUH MEROKOK TERHADAP KEJADIAN KONVERSI SPUTUM PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PANJANG

1 30 76

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP KLIEN DAN KELUARGA TB PARU DI Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan, Sikap Klien Dan Keluarga TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Miri Sragen.

0 7 15

PENDAHULUAN Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan, Sikap Klien Dan Keluarga TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Miri Sragen.

0 6 7

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Keluarga Pasien Tuberkulosis Paru dengan Upaya Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kesunean dan Pegambiran Kota Cirebon Jawa Barat

0 0 10

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU TENTANG AIR SUSU IBU (ASI) DENGAN PEMBERIAN ASI EKSLUSIF DI KELURAHAN TAROK DIPO WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUGUK PANJANG KOTA BUKITTINGGI TAHUN 2014

0 2 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Promosi Kesehatan - Pengaruh Metode Ceramah dan Media Leaflet terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat untuk mencegah TB paru di Desa Meunasah Meucat Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2014

0 0 33

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Metode Ceramah dan Media Leaflet terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat untuk mencegah TB paru di Desa Meunasah Meucat Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara Tahun 2014

0 0 8

THE INFLUENCE OF LECTURE AND LEAFLET MEDIA METHODS ON THE KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF COMMUNITY IN PREVENTING LUNG TB IN DESA MEUNASAH MEUCAT, NISAM SUBDISTRICT, ACEH UTARA DISTRICT IN 2014 THESIS BY

0 0 18